This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 26 Mei 2012

Aplikasi Kedokteran Untuk Smartphone dan Tablet


Tidak sengaja pagi ini ngisi survei di medscape.com, ternyata mereka punya aplikasi untuk smartphone dan tablet. Aplikasinya ini bisa untuk iPhone, Android, Blackberry, iPad, Kindle Fire.
Silahkan langsung kunjungi ke http://www.medscape.com/public/mobileapp
Aplikasi yang disediakannya gratis,kita bebas untuk mendownload dan memakainya

Kamis, 24 Mei 2012

Pemberian H2-Blocker Terkait dengan Risiko Infeksi pada BBLSR

Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) dengan tukak lambung dan GERD (gastroesophageal reflux disease) akan mengalami peningkatan risiko kematian enam kali lebih tinggi bila diberikan terapi ranitidine. Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh dr. Gianluca Terrin dan kolega dari Department of Women's Health and Territorial Medicine, University La Sapienza, Roma, Italia. Hasil penelitian ini juga telah dipublikasikan dalam jurnal ternama, Pediatrics.
 
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa obat penghambat sekresi asam lambung dapat meningkatkan risiko infeksi, baik pada pasien dewasa, maupun pada pasien anak-anak. Ada juga beberapa bukti yang memperlihatkan peningkatan risiko infeksi dan NEC (necrotizing enterocolitis) pada neonatus yang diberikan obat-obat golongan histamine-2 receptor (H2-R) blockers dan PPI (proton pump inhibitors).

Penggunaan ranitidine pada bayi prematur tidak direkomendasikan oleh FDA. Namun, menurut para ahli dalam penelitian ini, ranitidine semakin sering diberikan sebagai indikasi off-label pada populasi ini. “Asam lambung,” ujar dr. Terrin, “bermanfaat membunuh kuman, dan bila sekresi asam lambung dihambat dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi.” Pemberian ranitidine sebaiknya diberikan dengan perhatian pada prematur karena risiko infeksi berat seperti necrotizing enterocolitis dan berakibat fatal.

Sebuah penelitian dilakukan oleh dr. Terrin dan kolega untuk mengetahui efek pemberian ranitidine terhadap risiko terjadinya infeksi pada BBLSR. Penelitian multisenter prospektif yang dilakukan ini merupakan penelitian pertama yang meneliti efek pemberian ranitidine pada bayi-bayi dengan BBLSR. Penelitian melibatkan 274 bayi dengan berat badan berkisar antara 401-1500 gram, atau dengan usia gestasional antara 24 hingga 32 tahun. Pasien yang dilibatkan adalah pasien-pasien dari 4 NICU (Neonatal Intensive Care Units) di Italia. Dari semua bayi, 42 bayi menerima ranitidine untuk mencegah penyakit lambung yang disebabkan karena stres. Sedangkan 49 bayi lainnya juga menerima ranitidine karena diperkirakan menderita GERD. Jumlah bayi yang tidak menerima terapi ranitidine adalah 183 bayi. Analisa multivarian memperlihatkan bahwa pemberian ranitidine oleh dokter tidak terpengaruh oleh umur kehamilan, berat badan, jenis kelamin, Apgar score, Critical Risk Index for Babies score, akses vaskuler sentral, maupun ventilasi mekanik.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada kelompok bayi preamtur yang diterapi dengan ranitidine mengalami infeksi lebih banyak secara bermakna dibandingkan dengan kelompok bayi yang tidak diterapi dengan ranitidine (p <0,001). Selain itu, data-data menunjukkan bahwa jumlah kejadian NEC lebih banyak pada bayi yang diterapi dengan ranitidine dibandingkan dengan yang tidak (9,8% vs 1,6%, p=0,003). Bayi yang diterapi dengan ranitidine menjalani rawat inap lebih lama dibandingkan dengan yang tidak (rerata 52 hari vs 36 hari, p=0,001). Sebanyak 9,9% bayi dari kelompok ranitidine meninggal, dibandingkan dengan 1,6% dari kelompok yang tidak diterapi dengan ranitidine (p=0,003). Lama pemberian ranitidine tidak memengaruhi risiko terjadinya infeksi. Jumlah bayi yang mengalami necrotizing enterocolitis, menjalani rawat inap lebih lama, serta yang meninggal lebih banyak secara bermakna pada kelompok bayi yang diberikan terapi ranitidine.

Para ahli menyimpulkan bahwa ranitidine perlu dipertimbangkan secara hati-hati pemberiannya pada BBLSR berkenaan dengan adanya risiko infeksi dan kematian. Para ahli juga menyarankan penelitian lanjutan untuk mengetahui mengapa pemberian ranitidine pada BBLSR dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Peningkatan risiko ini diperkirakan terjadi karena perubahan suasana lambung oleh ranitidine yang mendukung pertumbuhan pakteri patogen, seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae, penekanan sistem imun, pembentukan sitokin inflamatorik, dan gangguan keseimbangan Th1-Th2. (YYA)


Referensi:
  1. Martinsen TC, Bergh K, Waldum HL. Gastric juice: a barrier against infectious diseases. Basic Clin Pharmacol Toxicol. 2005;96(2):94–102.
  2. Dial MS. Proton pump inhibitor use and enteric infections. Am J Gastroenterol. 2009;104(Suppl 2):S10–S6.
  3. Terrin G, Passariello A, De Curtis M, Manguso F, Salvia G, Lega L, et al. Ranitidine is Associated With Infections, Necrotizing Enterocolitis, and Fatal Outcome in Newborns. Pediatrics 2012;129:1–6.
Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1575/Pemberian-H2-Blocker-Terkait-dengan-Risiko-Infeksi-pada-BBLSR.aspx

Kopi Mengurangi Risiko Terjadinya Perlemakan Hati Non-Alkoholik (NAFLD)

Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), merupakan menifestasi sindrom metabolik pada organ hati, dan hal ini merupakan salah satu penyebab utama pada penyakit hati. Studi terbaru menunjukkan bahwa konsumsi kopi (kafein), dapat menurunkan risiko terjadinya NAFLD (perlemakan hati non-alkoholik), hal ini merupakan kesimpulan dari suatu penelitian yang dilakukan oleh Dr. Birerdinc yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Alimentary Pharmacology & Therapeutics bulan November 2011. Dalam studi tersebut, peneliti menilai kebiasaan konsumsi terhadap kejadian perlemakan hati non-alkoholik.

Penelitian tersebut melibatkan data yang diambil dari the National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES 2001-2008, sedangkan komponen makanan yang dikonsumsi berdasarkan dari kuesioner asupan harian yang mengandung daftar sebanyak 62 komponen nutrisi. Regresi logistik digunakan unutk prediktor independen perlemakan hari diantara komponen nutrisi.

Dari sebanyak 62 daftar makanan yang dikonsumsi dengan menggunakan univariat analisis menunjukkan bahwa secara bermakna sebanyak 38% pasien kontrol adri kelompok yan gmengkonsumsi kafein  terjadi perlemakan hati. Dan berdasarkan dari analisis multivariat  dari demografi, parameter klinis, dan komponen nutrisi menunjukkan bahwa NAFLD lebih rendah pada ras Afro-Amerika, jenis kelamin laki-laki, konsumsi kafein, dan konsumsi air putih, namun tinggi pada subyek dengan obesitas (BMI > 30).

Dari hasil studi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa intake kafein merupakan faktor independen yang akan menurunkan risiko NAFLD dan hal ini menunjukkan adanya efek proteksi dari kafein. Namun untuk diperlukan studi lebih lanjut untuk mengetahui atau memperjelas mekanisme kafein dalam melindungi terhadap kejadian NAFLD tersebut.


Referensi: Birerdinc A, Stepanova M, Pawloski L, Younossi ZM; Caffeine is protective in patients with non-alcoholic fatty liver disease  Alimentary Pharmacology & Therapeutics (Nov 2011)

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1578/Konsumsi-Kopi-Mengurangi-Risiko-Terjadinya-Perlemakan-Hati-Non-Alkoholik-NAFLD.aspx

Gabapentin Gastroretensif Bermanfaat untuk Neuropati Diabetikum

Gabapentin sediaan baru memberikan kentungan untuk penanganan nyeri neuropati pada pasien diabetes. Studi tentang gabapentin gastroretensif ini dilakukan oleh Dr. Sandercock dankolega dan telah dipublikasikan secara online dalam jurnal Diabetes Research and Clinical Practice bulan April 2012.
Dalam penelitian ini dilakukan dengan disain acak, tersamar ganda, berkontrol plasebo yang dilakukan pada 147 pasien dengan tujuan untuk menentukan efikasi dan keamanan dari penggunaan gabapentin yang diformulasi gastrorentetive (G-GR) dalam tatalaksana neuropati perifer diabetikum yang sangat nyeri.
Pasien diabetes dengan gejala nyeri yang simetris pada anggota gerak ujung selama 1 hingga 5 tahun dan skor rerata nyeri harian (average daily pain, ADP) awal sebesar >4 menerima pengobatan dengan G-GR 3000 mg, sebagai dosis harian tunggal malam hari (G-GR-QD) atau dosis terbagi (G-GR-DD 1200 mg siang hari/1800 mg malam hari), atau plasebo selama 4 minggu. G-GR dititrasi dari 300 mg hingga 3000 mg/hari selama 2 minggu. Diikuti dengan 2 minggu tambahan dengan dosis 3000 mg/hari. Patokan efikasi meliputi perubahan skor ADP dan rerata skor interferensi tidur harian (sleep interference score, SIS) dari nilai awal hingga minggu ke-4.

Penurunan skor ADP yang secara bermakna lebih besar terlihat pada kelompok yang diberikan G-GR-QD dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo (-2,50 vs -1,30; p =0,002). Penurunan skor ADP sebesar >50% tercapai pada 34,8% pasien di kelompok G-GR-QD dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo yang sebesar 7,8% (p =0,001). Hasil serupa juga terlihat pada perubahan dari SIS. Insiden pusing dan mengantuk, yang umumnya berkaitan dengan penggunaan gabapentin, rendah.

Berdasarkan data-data di atas peneliti menyimpulkan bahwa G-GR sekali sehari efektif dan ditoleransi dengan baik untuk pengobatan nyeri yang ditimbulkan dari neuropati perifer diabetikum. (SFN)
Referensi:
Sandercock D, Cramer M, Biton V, Cowles VE. A gastroretentive gabapentin formulation for the treatment of painful diabetic peripheral neuropathy: efficacy and tolerability in a double-blind, randomized, controlled clinical trial. [internet]. Diabetes Res Clin Pract. 2012 Apr 10.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1579/GabapentinGastroretensif-Bermanfaat-untuk-Neuropati-Diabetikum.aspx

Senin, 21 Mei 2012

Fluoroquinolone untuk Meningitis Tuberkulosa

Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahap pertama adalah ketika basil Mycobacterium tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk lesi metastatik kaseosa foci subependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran rich foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarachnoid dan mengakibatkan meningitis.

Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan menimbulkan gejala sisa yang permanen; oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia, dan demam.

Terapi antibiotik yaitu isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan streptomycin. Terapi antituberkulosis yang dikombinasikan dengan steroid dapat memperbaiki outcome. Fluoroquinolone dipertimbangkan sebagai terapi MDR tuberkulosis tetapi peranannya dalam meningitis tuberkulosa belum diketahui.


Methylprednisolone dapat Meringankan Renal Scarring akibat Pielonefritis Akut

Uji klinis terbaru menunjukkan bahwa terapi pendamping methylprednisolone oral dapat menurunkan kejadian dan/atau keparahan renal scarring pada pielonefritis anak. Renal scarring setelah pielonefritis akut dikaitkan dengan kondisi patologis yang berkepanjangan, sebagaimana diungkapkan oleh dr. Ya-Yun Huang dkk. dari Department of Pediatrics, National Cheng Kung University Medical College and Hospital di Tainan, Taiwan. Pencegahan scarring setelah pielonefritis akut tidak hanya bergantung pada diagnosis awal dan perawatan segera untuk eradikasi bakteri, tetapi juga pada cara mengatasi respons inflamasi yang destruktif.

Tujuan studi ini adalah untuk meneliti apakah pemberian glukokortikoid dapat
mencegah pembentukan renal scarring setelah episode pertama pielonefritis akut pada pasien anak (<16 tahun) yang berisiko tinggi mengalami renal scarring. Kriteria inklusinya adalah volume inflamasi sedikitnya 4,6 mL pada technetium-99m–labeled dimercaptosuccinic acid scan (DMSA) atau temuan
ultrosonografi (USG) yang abnormal.

Delapan puluh empat subjek secara acak menerima antibiotik plus methylprednisolone sodium phosphate (1,6 mg/kg/hari; n=19) atau antibiotik plus plasebo (n=65) setiap 6 jam selama 3 hari. Endpoint primernya adalah renal scarring yang terlihat pada pemeriksaan 6 bulan kemudian.
Pada awal studi, kedua kelompok memiliki karakteristik, parameter inflamasi akut, dan temuan DMSA yang mirip. Enam bulan kemudian, 33,3% anak yang diberi methyl­ prednisolone memperlihatkan renal scarring pada pemeriksaan DMSA, sedangkan pada kelompok kontrol, 60% menunjukkan renal scarring pada pemeriksaan DMSA (p<0,05), dengan nilai median volume defek kortikal berturut-turut 0,0 mL (0-4,5 mL) dan 1,5 mL (0-14,8 mL) (p <0,01). Dibandingkan dengan kelompok kontrol, demam pasien di kelompok methylprednisolone turun lebih cepat.

Studi ini memiliki keterbatasan, seperti lokasi uji klinis (sebuah pusat rujukan tersier), desain skala kecil, jumlah pasien yang sedikit di beberapa analisis sub-grup, dan inkonsistensi metode yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi renal scarring. Terlepas dari keterbatasan studi ini, hasil penelitian ini cukup menjanjikan; tetap diperlukan studi tambahan dengan populasi lebih besar untuk memvalidasi efek serta menentukan dosis optimum glukokortikoid dan kelompok umur pasien yang kemungkinan besar akan beroleh manfaat dari pemberian glukokortikoid.

Terapi pendamping methylprednisolone oral dengan pemberian antibiotik yang
kuat dapat menjadi terapi yang potensial mencegah atau mengurangi kerusakan jaringan permanen pada pasien pielonefritis akut. (AGN)
 
REFERENSI
1.     Huang YY, Chen MJ, Chiu NT, Chou HH, Lin KY, Chiou YY. Adjunctive Oral Methylprednisolone in Pediatric Acute Pyelonephritis Alleviates Renal Scarring. Pediatrics 2011;128:e 496-504
2.     Barclay L. Steroids May Alleviate Acute Pyelonephritis in Children.  Medscape Medical News. Available from: http://www.medscape.com/ viewarticle/748377
3.     Wennerström M, Hansson S, Jodal U, Stokland E. Primary and acquired renal scarring in boys and girls with urinary tract infection. J Pediatr. 2000;136(1):30-4.


Sumber: http://www.kalbemedical.org/Portals/6/15_190Berita%20Terkini-Methylprednisolone%20dapat%20meringankan%20renal%20scarring%20akibat%20pielonefritis%20akut.pdf








Asam Folat Memperbaiki Gangguan Bahasa Pada Anak

Suplementasi asam folat prenatal menurunkan risiko terjadinya defek selubung saraf yang dikenal sebagai NTD (neural tube defect) serta memberikan beberapa efek menguntungkan lainnya dalam aspek neurodevelopment pada bayi dan anak.

Dalam suatu penelitian di Norwegia, diperoleh hasil bahwa pemberian asam folat pada ibu hamil ternyata dapat menurunkan risiko gangguan berbahasa yang berat pada anak di usia 3 tahun. Temuan ini dipublikasikan dalam JAMA Oktober 2011. Penelitian itu bertujuan memeriksa hubungan antara suplementasi asam folat pada ibu sebelum kelahiran dengan risiko gangguan berbahasa, dalam konteks keterlambatan berbahasa yang berat pada anak usia 3 tahun.

Penelitian prospektif observasional yang diberi nama Norwegian Mother and Child Cohort Study ini melibatkan sejumlah wanita yang hamil antara tahun 1999 hingga Desember 2008. Para peneliti menggunakan data anak-anak yang lahir sebelum tahun 2008, yang diberikan oleh ibunya melalui isian kuesioner yang dikembalikan sebelum tanggal 16 Juni 2010. Para ibu diberi suplemen asam folat dalam interval 4-8 minggu setelah konsepsi. Risiko relatif diperkirakan dengan mengestimasi odds ratio (OR) dengan 95% CI pada analisis regresi logistik. Outcome primernya adalah kompetensi bahasa anak pada usia 3 tahun yang diukur melalui laporan ibu dengan menggunakan skala 6-point ordinal la­nguage grammar. Anak usia 3 tahun dengan bahasa ekspresif minimal (hanya 1 kata atau ucapan yang tidak dipahami) dianggap mempunyai gangguan (keterlambatan) berbahasa yang berat.

Dari 38.954 anak yang diikutkan, 204 (0,5%) di antaranya mengalami keterlam-
batan berbahasa yang berat. Anak dari ibu yang tidak mendapat suplemen asam folat dengan pajanan interval spesifik dimasukkan dalam kelompok kontrol (n  =  9.052 [24%]), di kelompok ini keterlambatan berbahasa berat ditemukan pada 81 anak (0,9%). Adjusted OR untuk 3 pola pajanan dalam suplemen diet ibu adalah (1) suplemen lain selain asam folat (n = 2.480 [6,6%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 22 anak (0,9%); OR, 1,04; 95% CI, 0,62-1,74; (2) asam folat saja (n = 7.127 [18,9%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 28 anak (0,4%); OR, 0,55; 95% CI, 0,35-0,86; (3) kombinasi asam folat dengan suplemen lain (n  =  19.005 [50.5%]),dengan keterlambatan berbahasa berat Dari 38.954 anak yang diikutkan, 204 (0,5%) di antaranya mengalami keterlambatan berbahasa yang berat. Anak dari ibu yang tidak mendapat suplemen asam folat dengan pajanan interval spesifik dimasuk kan dalam kelompok kontrol (n  =  9.052 [24%]), di kelompok ini keterlambatan
berbahasa berat ditemukan pada 81 anak (0,9%). Adjusted OR untuk 3 pola pa
janan dalam suplemen diet ibu adalah (1)suplemen lain selain asam folat (n = 2.480 [6,6%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 22 anak (0,9%); OR, 1,04; 95% CI, 0,62-1,74; (2) asam folat saja (n = 7.127 [18,9%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 28 anak (0,4%); OR, 0,55; 95% CI, 0,35-0,86; (3) kombinasi asam folat dengan suplemen lain (n  =  19.005 [50.5%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 73 anak (0,4%); OR, 0,55; 95% CI, 0,39-0,78.Simpulannya, suplementasi asam folat pada masa-masa awal kehamilan terkait dengan penurunan risiko keterlambatan berbahasa yang berat pada anak di usia 3 tahun. 

Referensi
Roth C, Magnus P, Schjolberg, Stoltenberg C, Suren P, McKeague IW, et al. Folic Acid Supplements in Pregnancy and Severe Language Delay in Children. JAMA 2011;306(14):1566-73.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/Portals/6/13_190Berita%20Terkini-Asam%20folat%20memperbaiki%20gangguan%20bahasa%20pada%20anak.pdf
pada 73 anak (0,4%); OR, 0,55; 95% CI,
0,39-0,78.

Certriaxone Sebanding dengan Ertapenem untuk Pielonefritis Akut

Cetriaxone mempunyai efektivitas sebanding dengan ertapenem untuk penanganan pielonefritis akut dan infeksi saluran kemih tanpa komplikasi lainnya. Hal ini merupakan kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh Dr. Park dan kolega yang dipublikasikan dalam jurnal Korean Medical of Science tahun 2012 ini. Penelitian tersebut dilakukan untuk membandingkan efektivitas ceftriaxone 2 g sekali sehari dengan ertapenem 1 g sekali sehari untuk pengobatan infeksi saluran kemih berkomplikasi termasuk pielonefritis yang melibatkan 271 pasien. Desain studi bersifat prospektif, acak, tersamar ganda, multisenter di 9 rumah sakit di Korea Selatan dari April 2008 sampai Februari 2009.

Pasien mendapat pegobatan ceftriaxone 2 g sekali sehari atau ertapenem 1 g sekali sehari selama 7 – 14 hari kemudian dilanjutkan dengan pengobatan oral yaitu ciprofloxacin 2 x 500 mg atau cefixime 2 x 200 mg setelah bebas demam 24 jam dan gejala klinis stabil. Kriteria inklusinya adalah pasien berusia 18 tahun ke atas dengan infeksi saluran kemih berkomplikasi dan pielonefritis akut yang membutuhkan pengobatan parenteral. Kriteria eksklusinya adalah pasien hamil, menyusui dan hipersensitif terhadap obat percobaan.

Ada 2 endpoint yang dinilai yaitu eradikasi bakteri (efficacy endpoint) membandingkan proporsi pasien yang mengalami eradikasi bakteri dan efek samping (safety endpoint) membandingkan proporsi pasien yang mengalami efek samping obat. Hasil penelitian menemukan bahwa eradikasi bakteri (efficacy endpoint) pada kelompok ceftriaxone sebanding dengan ertapenem yaitu 88,7% vs 87,9%; (-0,8%, 95% CI, -11,7 to 10,2). Profil keamanan (safety endpoint) sebanding antara kedua kelompok karena proporsi pasien yang mengalami efek samping obat pada kelompok ceftriaxone sebanding dari kelompok ertapenem yaitu 4,4% vs 10,6%. 

Kesimpulan penelitian ini adalah ceftriaxone sama efektifnya dibandingkan dengan ertapenem dengan profil keamanan yang sama baiknya untuk pengobatan infeksi saluran kemih dengan komplikasi termasuk pieloneftritis.(NNO)


Referensi:
Park DW, Peck KR, Chung MH, Lee JS, Park YS, Kim HY, Lee MS, Kim JY, Yeom JS, Kim MJ. Comparison of Ertapenem and Ceftriaxone Therapy for Acute Pyelonephritis and Other Complicated Urinary Tract Infections in Korean Adults: A Randomized, Double-Blind, Multicenter Trial. Korean Med Sci. 2012; 27: 476-83.



Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1570/Certriaxone-Sebanding-dengan-Ertapenem-untuk-Pielonefritis-Akut.aspx

Vitamin B Mungkin Menurunkan Keluhan PMS (Pre-Menstrual Syndrome)

Wanita yang mengkonsumi makanan kaya vitamin B mempunyai risiko premenstrual syndrome (PMS) lebih rendah, kata para peneliti. Wanita yang mengkonsumsi makanan banyak mengandung vitamin B seperti bayam dan sereal yang diperkaya dengan vitamin B memiliki risiko 25% lebih rendah menderita keluhan PMS, menurut penelitian yang diterbitkan American Journal of Clinical Nutrition secara online bulan Februari 2011.  Keluhan PMS berat yang mempengaruhi sekitar satu dari enam wanita, kadang kala diobati dengan baik pil KB atau antidepresan, kemungkinan diet juga mempu mengurangi keluhan  PMS. 
 
Para peneliti mengamati pola makan lebih dari 3000 wanita yang telah mengisi survei makanan tiga kali lebih dari 10 tahun. Selama waktu ini, sekitar 1000 perempuan mengalami gejala PMS sedang hingga berat seperti kecemasan, depresi, iritabilitas, sakit perut, kelelahan dan  kembung. The Institute of Medicine merekomendasikan wanita dewasa makan masing-masing 1,1 miligram tiamin dan riboflavin per hari. Tetapi para peneliti menemukan bahwa jumlah yang lebih tinggi diperlukan untuk menunjukkan manfaat, Bertone-Johnson mengatakan. Perempuan yang melaporkan makan sekitar 1,9 mg thiamin per hari kurang cenderung memiliki keluhan PMS,sekitar dua dari lima PMS dibandingkan dengan tiga dari lima wanita yang mengkonsumsi sekitar 1,2 mg/hari. Angka-angka ini realtif sama  untuk wanita yang mengkonsumsi sekitar 2,5 mg riboflavin perhari dibandingkan dengan wanita yang mengkonsumsi sekitar 1,4 mg per hari.

Sekitar satu hingga dua mangkuk sereal difortifikasi yang banyak mengandung riboflavin, atau tiga-ons hati sapi. Hal inilah pertama kalinya bahwa nutrisi makanan dikaitkan dengan risiko keluhan PMS, kata Dr. Ellen Freeman, profesor kebidanan/ginekologi dan psikiatri di University of Pennsylvania di Philadelphia. "Ini menunjukkan bahwa vitamin B mungkin memiliki peran dalam menurunkan gejala" dari PMS, Dr Freeman, yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Terlepas dari kenyataan bahwa PMS telah dipelajari selama beberapa dekade, tidak ada yang benar-benar tahu apa penyebabnya, Bertone-Johnson mengatakan. Suplemen - yang dalam studi tidak diketemukan kaitannya dengan gejala PMS - adalah cara yang populer untuk mengobati PMS, meskipun tidak ada bukti mereka efektif, menurut National Institutes of Health.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1571/Vitamin-B-Mungkin-Menurunkan-Keluhan-PMS-Pre-Menstrual-Syndrome.aspx
 age: Ilustrasi

Referensi: Am J Clin Nutr 2011.

Minggu, 20 Mei 2012

Tata Laksana Terkini Demam Tifoid

RHH Nelwan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta



ABSTRAK


Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi). Insidens penyakit ini sering dijumpai di negara-negara Asia dan dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi. Pada permulaan penyakit, biasanya tidak tampak gejala atau keluhan dan kemudian timbul gejala atau keluhan seperti demam sore hari dan serangkaian gejala infeksi umum dan pada saluran cerna. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan tambahan dari laboratorium. Terapi untuk demam tifoid meliputi istirahat, pemberian anti-mikroba, antipiretika, serta nutrisi dan cairan yang adekuat. Salah satu anti-mikroba yang saat ini dapat diberikan secara optimal cost-effective adalah levofloxacin 500 mg 1 kali sehari selama 7 hari. Strategi pencegahan meliputi higiene perorangan,


sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih sampai dengan penggunaan vaksin.


Kata kunci: demam tifoid, fluoroquinolone

Methtylprednisolone Efektif untuk Penanganan Nyeri Karena Kerusakan saraf Perifer

Dari penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Turki dan telah dipublikasi dalam jurnal Pain Medicine  edisi Maret 2012, disebutkan blok saraf periferal dengan menggunakan  metilprednisolon, efektif untuk mengurangi nyeri dengan menurunkan kerusakan neuronal ektopik dan juga menurunkan pelepasan mediator inflamasi lokal pada tempat perlukaan saraf.  

Dalam studi ini peneliti membandingkan efikasi lidokain tunggal sebagai kelompok kontrol dengan kombinasi lidokain dan depo-metilprednisolon sebagai kelompok pembanding untuk penatalaksanaan nyeri neuropatik yang disebabkan kerusakan saraf periferal. Desain penelitian secara acak, tersamar ganda dan terkontrol (randomized, double-blind comparator trial), dengan kelompok kontrol (n=44) menerima lidokain 0,5% dan kelompok metil prednisolon (n=44) menerima 80 mg depo-metilprednisolon dan lidokain 0,5%  pada bagian proksimal tempat luka persarafan dengan jumlah total 10–20 mL larutan menurut tipe blok persarafan periferal dengan stimulator syaraf. 

Pengukuran hasil berdasarkan data demografik, skala rating  atau preblock numerical rating scales (NRSs), gejala dan tanda neuropatik dari skor the Leeds assessment (LANSS0), gejala yang menyertai, dan keperluaan analgesik yang tercatat. Skor dari Postblock NRS dicatat mengikuti blok syaraf periferal dan setelah 3 bulan. Selanjutnya LANSS1, gejala yang menyertai, dan keperluan analgesik juga dire-evaluasi 3 bulan setelah penyuntikan.

Hasil penelitian menunjukkan preblock NRS  masing-masing 8±1,5 vs 8,1±1,2, postblock NRS masing-masing 2,1±1,2 vs 2,4±1,4, kemudian untuk LANSS0 masing-masing 18,4±2,2 vs 18,2±2,1, dan gejala penyerta sebanding diantara 2 kelompok tersebut. Skor pada kelompok metilprednisolon secara bermakna membaik setelah 3 bulan postblock untuk NRS (2±1,4 vs 5,2±1,7) dan skor LANSS1 (4,14±2,7 vs 14,1±2,8), gejala penyerta, dan keperluan analgesik (P <0,0001).
Dari studi tersebut peneliti menyimpulkan bahwa, blok persarafan periferal dengan menggunakan 80 mg depo metilprednisolon ditambah lidokain 0,5% efektif untuk penatalaksanaan nyeri neuropatik yang disebabkan kerusakan saraf periferal (IWA).


Referensi :
Eker HE, Cok OY, Aribogan A , Arslan G. Management of Neuropathic Pain with Methylprednisolone at the Site of Nerve Injury.  Pain Medicine 2012;(3):443–51

Sumber:  http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1520/Methtylprednisolone-Efektif-untuk-Penanganan-Nyeri-Karena-Kerusakan-saraf-Perifer.aspx

Eosinofil Hidung sebagai Penanda Rinitis Alergi

Eosinofil merupakan sel efektor utama yang terlibat dalam patogenesis peradangan alergi. Dari studi yang dilakukan oleh Dr. Ahmadiafshar dan kolega yang dipublikasikan dalam Ear, Nose, & Throat Journal Maret 2012 ini menunjukkan bahwa eosinofil dalam hidup secara spesifik dan sensitif dapat digunakan sebagai penanda adanya rinitis alergi. 

Dalam studinya, peneliti mengkelompokkan subyek yang terdiri dari pada penderita rinitis alergi sebanyak 50 pasien dengan sebanyak 50 subyek dengan rata-rata usia dan jenis kelamin yang sama namun tanpa rinitis alergi sebagai kelompok pembanding. Pap diperoleh dari sekret hidung pada kedua kelompok dan selanjutnya diproses fiksasi, pewarnaan dan penilaian di bawah mikroskop cahaya. Analisis statistik menunjukkan bahwa rasio odds untuk eosinofilia positif di pap hidung pada kelompok rinitis adalah 25,61 dengan CI 95% 8-78. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif dari tes ini masing-masing adalah 74%, 90%, 88%, dan 77%.

Dari studi tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tes eosinofilia hidung sangat spesifik dan cukup sensitif dalam mendiagnosis rhinitis alergi, dan oleh karena itu dapat digunakan sebagai prosedur karena mudah, noninvasive, dan murah untuk penappisan pasien dan untuk melakukan studi epidemiologi gangguan ini. 


Referensi:
Ahmadiafshar A, Taghiloo D, Esmailzadeh A, Falakaflaki B; Ear, Nose, & Throat Journal 2012:91:(3),122-4.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1519/Eosinofil-Hidung-sebagai-Penanda-Rinitis-Alergi.aspx

Doxycycline Sekali Sehari Efektif untuk Clamydia trachomatis Urogenital Uncomplicated

Studi fase III menunjukkan formula doxycycline sekali sehari (dengan dosis lebih tinggi) bekerja sama baiknya dengan kapsul standar 2x sehari pada pria dan wanita dengan infeksi Chlamydia urogenital non-komplikasi, selain itu dosis sekali sehari meningkatkan kepatuhan pasien. Hal ini merupakan hasil studi yang dilakukan oleh Dr. William  Geisler (University of Alabama, Birmingham), dan kolega  telah dipublikasikan dalam Clinical Infectectious Disease tahun 2012 ini.

Dalam studi fase III ini, pria dan wanita berumur 19 – 45 tahun dengan infeksi Chlamydia urogenital atau dengan partner seksual yang menderita Chlamydia secara acak menerima formula WC2031 sekali sehari atau 100 mg Vibramycin (doxycyline kapsul) dua kali sehari selama 7 hari.Setelah eksklusi, terutama karena hasil tes C. Trachomatis yang negatif pada saat rekrutmen, 323 pasien dievaluasi. Tingkat kesembuhan mikrobial sebesar 95,5% untuk WC2031 dan 95,2% untuk Vibramycin. Efek samping sebanding pada kedua obat, sekalipun kejadian mual lebih rendah pada WC2031 (13% vs 21%), begitu juga dengan kejadian muntah (8% vs 12%).

Efikasi dan keamanan dari doxycycline (WC201) once daily selama 7 hari, dibandingkan dengan doxycycline dua kali sehari untuk perawatan Chlamydia non-komplikasi menunjukkan bahwa WC2031 (doxycycline 200 mg OD) dapat menjadi pilihan perawatan yang menjanjikan di masa depan untuk Chlamydia, dan WC2031 OD menyederhanakan perawatan Chlamydia dibanding doxyxycline dua kali sehari.

Dalam kesimpulannya peneliti menyebutkan bahwa, doxycyline 200 mg OD (WC2031) dapat menjadi pilihan perawatan yang menjanjikan untuk infeksi Chlamydia. (AGN)


Referensi:
Geisler WM, Koltun WD, Abdelsayed N, Burigo J, Mena L, Taylor SN, et.al. Safety and efficacy of WC2031 versus Vibramycin for the treatment of uncomplicated urogenital Chlamydia trachomatis infection: A randomized, double-blind, double-dummy, active-controlled, multicenter trial. Clin Infect Dis. 2012

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1522/Doxycycline-Sekali-Sehari-Efektif-untuk-Clamydia-trachomatis-Urogenital-Uncomplicated.aspx

Statin Dosis Tinggi maupun Rendah Sebanding dalam Peningkatan Risiko Diabetes

Kontroversi mengenai peningkatan risiko diabetes pada pasien yang diterapi dengan statin dosis tinggi telah mendorong pada ahli dalam penelitian-penelitian yang pernah menggunakan statin untuk kembali melakukan analisa terhadap penelitian yang pernah dilakukan untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda diabetes, yang mungkin sebelumnya tidak terpantau. Dalam penelitian EFFECT yang dilakukan oleh para ahli tersebut dan disampaikan pada pertemuan WCC (World Congress of Cardiology) 2012, ternyata tidak memperlihatkan tanda-tanda peningkatan risiko diabetes melitus baik antara pasien yang diterapi dengan statin dosis rendah maupun dosis tinggi.
Analisa yang meneliti data dari 7746 pasien dan dipimpin oleh Dr Altayyeb Yousef dan rekan dari Institute for Clinical Evaluative Sciences, Toronto, Ontario, Kanada tersebut memperlihatkan baha para dokter sebenarnya percaya bahwa manfaat yang diberikan oleh pemberian statin melebihi risiko efek samping yang diberikannya, namun peringatan dari FDA (Food and Drug Administration) Amerika beberapa waktu yang lalu mengenai efek statin terhadap risiko diabetes membuat para dokter lebih berhati-hati dalam memberikan statin dosis tinggi pada pasien.

Analisa EFFECT, yang merupakan penelitian kohort meneliti  efek pemberian statin terhadap kematian, kematian atau SKA (sindrom koroner akut) dan kejadian diabetes baru. Semua pasien yang dilibatkan telah menjalani rawat inap karena infark miokard akut. Dr Yousef dan rekan tidak menemukan perbedaan yang bermakna untuk semua endpoint penelitian dalam 5 tahun antara kelompok terapi statin dosis tinggi dengan dosis rendah. Dalam setiap tahunnya, risiko terjadinya diabetes pada kelompok terapi statin intensif lebih rendah secara numerik dibandingkan dengan kelompok statin dosis sedang, namun tidak berbeda bermakna secara statistik. Sebaliknya, walaupun tidak berbeda secara bermakna (statistik) risiko kematian dan infark secara numerik lebih tinggi pada pasien yang diberikan statin dosis rendah dibandingkan dengan pasien yang diberikan statin dosis tinggi.

Pesan yang ingin disampaikan oleh para ahli dalam penelitian EFFECT ini adalah bahwa selama ini pemberian statin telah memberikan manfaat yang bermakna, dan, ditambahkan oleh Dr Yousef bahwa risiko diabetes karena statin (dibandingkan dengan plasebo)  mungkin ada, namun bila dibandingkan dengan statin dosis rendah, perbedaannya tidak bermakna. Dr Yousef dan rekan terus menekankan bahwa manfaat statin melebihi risiko diabetes yang mungkin dapat ditimbulkannya. Penelitian lanjutan berupa penelitian prospektif perlu dilakukan untuk meneliti perbandingan manfaat dan risiko pemberian statin pada kelompok pasien dengan risiko tinggi diabetes, termasuk wanita dengan riwayat diabetes dalam kehamilan, baik pada pasien ras Asia maupun pasien Kaukasian.(YYA)

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1526/Statin-Dosis-Tinggi-maupun-Rendah-Sebanding-dalam-Peningkatan-Risiko-Diabetes.aspx

Rabeprazole Dua Kali Sehari Memberikan Efek yang Lebih Baik pada Pasien GERD

Para dokter di Jepang telah mengonfirmasikan secara endoskopik bahwa bila terapi menggunakan rabeprazole dosis standar tidak berhasil memperbaiki refluks esofagitis, maka pemberian rabeprazole dua kali sehari dapat bermanfaat mengatasi refluks tersebut. Kesimpulan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Yoshikazu Kinoshita dan rekan dari Shimane University School of Medicine, Izumo, Shimane, dan Dr. Michio Hongo dan rekan dari Tohoku University Hospital, Sendai, Miyagi, Jepang. Hasil penelitian ini juga telah dipublikasikan secara online dalam the American Journal of Gastroenterology bulan Maret 2012. 

Para ahli berpendapat bahwa kurang lebih 10% pasien dengan refluks esofagitis tidak mengalami perbaikan gejala dengan pemberian PPI (proton pump inhibitor) sekali sehari, selama 8 minggu, dan panduan merekomendasikan pemberian PPI dengan dosis dua kali lipat pada kasus-kasus ini. Walau demikian, rekomendasi tersebut belum pernah dievaluasi dengan tindakan endoskopik untuk melihat perbaikan yang terjadi.Para ahli dalam penelitian yang dilakukan mengatakan bahwa dalam analsia sub-kelompok yang dilakukan, angka kesembuhan lebih tinggi pada kelompok yang diberikan rabeprazole 10 mg dan 20 mg dua kali sehari dibandingkan dengan pemberian 20 mg sehari, terutama pada pasien-pasien dengan heartburn pada malam hari atau gangguan tidur yang berhubungan dengan efek obat pada malam hari (nocturnal symptoms). 

Penelitian yang dilakukan melibatkan 337 pasien dengan refluk esofagitis refrakter walau telah diberikan PPI selama 8 minggu. Penelitian dilakukan secara acak, tersamar ganda, dengan membandingkan rabeprazole 10/ 20 mg dua kali sehari, dengan rabeprazole 20 mg sehari sebagai pembanding, selama 8 minggu. Para peserta dalam penelitian menjalani pemeriksaan esofago-gastro-duodenoskopi pada baseline, minggu ke-4 dan minggu ke-8. 

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa angka kesembuhan lebih tinggi secara bermakna pada kelompok terapi rabeprazole 10/ 20 mg dua kali sehari, dibandingkan dengan rabeprazole 20 mg sehari. Selain itu para ahli juga menyampaikan bahwa efek samping yang tidak diperkirakan terjadi lebih banyak secara bermakna pada kelompok terapi rabeprazole 20 mg dua kali sehari, namun tidak pada kelompok rabeprazole 10 mg dua kali sehari atau rabeprazol 10 mg sehari.

Sesuai dengan hasil penelitian ini, Dr Kinoshita dan Dr Hongo menyimpulkan bahwa pasien dengan refluks esofagitis yang resisten dengan PPI tingkat A atau B dapat diterapi dengan baik menggunakan rabeprazole 10 mg dua kali sehari, sementara itu pemberian rabeprazole dosis 20 mg dua kali sehari dapat diberikan sebagai dosis optimal pada pasien dengan refluks esofagitis yang resisten dengan PPI tingkat C atau D. (YYA)


Referensi:
Kinoshita Y, Hongo M, The Japan TWICE Study Group. Efficacy of Twice-Daily Rabeprazole for Reflux Esophagitis Patients Refractory to Standard Once-Daily Administration of PPI: The Japan-Based TWICE Study. The American Journal of Gastroenterology 2012 107, 522-30.


Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1527/Rabeprazole-Dua-Kali-Sehari-Memberikan-Efek-yang-Lebih-Baik-pada-Pasien-GERD.aspx

Penggunaan HRT (Hormone Replacement Therapy) Menurunkan Oksidasi DNA dan Lemak pada Wanita Posca Menopause

Wanita menopause mengalami peningkatan stres oksidatif dan penurunan status antioksidan.Studi terbaru menunjukkan bahwa penggunaan HRT (hormone replacement therapy) akan menurunkan oksidasi dari DNA dan lemak pada wanita pasca menopause, hal ini merupakan kesimpulan dari studi yang dailakukan oleh Dr.Escalante Gómez dan kolega yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Climacteric April 2012 ini.
Dalam studi tersebut sebanyak enam puluh dua wanita postmenopause dengan karakteristik biofisik yang sama dibagi menjadi tiga kelompok: (1) sebanyak 18 wanita tidak mengambil HRT atau apapun, (2) 20 menerima terapi pengganti estrogen saja (ERT, conugated equine estrogen) dan (3) sebanyak 22 wanita yang menerima dikombinasikan HRT estrogen/progestin (conjugated equine estrogen + medroxyprogesterone acetate). Kerusakan oksidatif molekul tertentu terdeteksi dengan mengukur 8-hidroksi-2-deoksi guanosin (8-OH-2DG), untuk kerusakan DNA, dan standardized thiobarbituric acid reactive substances (TBARS), untuk kerusakan molekul lemak dan protein karbonil (protein). Aktivitas antioksidan enzim dideteksi dengan mengukur aktivitas katalase, dan status antioksidan total diukur dengan menggunakan 1,1,difenil-2-picril hydrazil. Kedua metode ELISA dan fotometrik digunakan.

Hasil 8-OH-2DG tingkat jauh lebih rendah pada wanita yang menerima HRT yang dikombinasikan jika dibandingkan dengan wanita yang tidak menerima HRT (ANOVA, p<0,05). Oksidasi lipid secara signifikan lebih rendah pada wanita pada ERT dibandingkan dengan wanita yang menggunakan tidak menggunakan HRT (ANOVA, p<0,05). Korelasi Pearson menunjukkan bahwa oksidasi lipid menurun karena konsentrasi estradiol meningkat dalam rentang penelitian (r =-0,362, p<0,05). Tidak ada perbedaan statistik tercatat untuk oksidasi protein dan aktivitas katalase antar kelompok. Tidak ada perbedaan statistik ditemukan untuk status antioksidan total antar kelompok (ANOVA).

Kesimpulan HRT menurunkan kerusakan oksidatif pada DNA dan lipid pada wanita menopause. Lipid Status oksidasi mungkin berbanding terbalik dengan kadar estrogen pada wanita menopause.

Referensi: Escalante Gómez C, Quesada Mora S;. HRT decreases DNA and lipid oxidation in postmenopausal women; Climacteric (Apr 2012)

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1537/Penggunaan-HRT-Hormone-Replacement-Therapy-Menurunkan-Oksidasi-DNA-dan-Lemak-pada-Wanita-Posca-Menopause.aspx

Efek Sistemik dan lokal pada Penggunaan Kortikosteroid Intranasal

Keamanan dan efikasi kortikosteroid intranasal (INCs) telah mapan untuk pengelolaan rinitis alergi, rinosinusitis, dan polip hidung. Seperti yang terlihat dalam berbagai studi, INCs menunjukkan secara bermakna mengurangi bioavailabilitas sistemik dibandingkan dengan kortikosteroid oral dan bahkan kortikosteroid yang dihirup dan telah menunjukkan profil keamanan yang sangat baik lebih dari 3 dekade penggunaan. Hal ini berdasarkan laporan yang disampaikan oleh dr. Sastre dari Allergy Department, Fundación Jiménez Díaz, Madrid, Spain dan kolega yang dipublikasikan dalam Journal of Investigational Allergology and Clinical Immunology (JIACI) tahun 2012 ini. 

Meskipun demikian, kekhawatiran tetap di antara beberapa klinisi dan pasien bahwa preparat ini dapat mencapai sirkulasi sistemik dalam konsentrasi yang cukup untuk menghasilkan efek merugikan (AE). Bukti yang tersedia tidak mendukung kekhawatiran ini. Sebuah tinjauan literatur yang diterbitkan menunjukkan bahwa profil efek samping dari INCs terutama terjadi dengan frekuensi yang rendah, dan kebanyakan efek samping dengan derajat ringan dan bersifat sementara, seperti iritasi hidung dan epistaksis.

Generasi kedua preparat INC yang saat sedang digunakan (furoate mometasone semprot hidung, flutikason propionat, ciclesonide, dan flutikason mometasone) memiliki karakteristik farmakokinetik yang menguntungkan yang lebih meminimalkan bioavailabilitas sistemik (<1%) dibandingkan dengan INCs generasi yang lebih tua dan dibandingkan dengan obat oral, sehingga membatasi risiko efek samping sistemik.



Referensi: Sastre J, Mosges R; Local and systemic safety of intranasal corticosteroids.Journal of Investigational Allergology and Clinical Immunology (JIACI) 2012;22(1):1-12.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1546/Efek-Sistemik-dan-lokal-pada-Penggunaan-Kortikosteroid-Intranasal.aspx

Aktivitas Fisik Menurunkan Risiko Insidens Diabetes Mellitus

Aktivitas fisik diketahui menurunkan risiko insidens DM pada populasi obes baik kaum laki-laki maupun perempuan. Hal ini merupakan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh the EPIC-InterAct Consortium Study dan dipublikasikan dalam jurnal Diabetologia april 2012.

Dalam studi ini, diketahui insidens DM sebanyak 12.403 kasus dan secara acara dipilih dari sebanyak  16.154 orang, yang diambil dari kohort total 340.234 peserta dengan 3.990.000 orang-tahun masa tindak lanjut. Aktivitas fisik dinilai dengan empat indeks kategori. Obesitas diukur dengan IMT dan lingkar pinggang (WC). HUbungan antara aktivitas fisik, obesitas dan insidens kasusDM tipe 2 dianalisis dengan regresi Cox setelah disesuaikan dengan tingkat pendidikan, status merokok, konsumsi alkohol dan asupan energi. Dalam analisis dikombinasikan, individu dikelompokkan sesuai dengan tingkat aktivitas fisik, BMI dan WC. 

Perbedaan satu kategori dalam aktivitas fisik (setara dengan masing-masing 460 dan 365/hari kJ pada pria dan wanita) adalah terkait dengan penurunan risiko relatif faktor independen DM tipe 2 dari masing-masing sebesar 13% (HR 0,87, 95% CI 0,80, 0,94) dan 7% (HR 0,93, 95% CI 0,89, 0,98) pada pria dan wanita. Tingkat lebih rendah dari aktivitas fisik dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes di semua strata BMI. Membandingkan antara individu yang tidak aktif dengan yang aktif, HR masing-masing sebesar 1,44 (95% CI 1,11;1,87) dan 1,38 (95% CI 1,17;1,62) pada laki-laki yang tidak aktif dengan perut yang kurus dan obes dan pada wanita yang tidak aktif masing-masing sebesar 1,57 (95% CI 1,19, 2,07) dan 1,19 (95% CI 1,01, 1,39) dengan  perut yang kurus dan obes.
Aktivitas fisik dikaitkan dengan penurunan risiko diabetes tipe 2 di kategori BMI pada pria dan wanita, serta pada pria abdominally kurus dan gemuk dan perempuan.


Referensi: The InterAct Consortium. the EPIC-InterAct Study - Physical activity reduces the risk of incident type 2 diabetes in general and in abdominally lean and obese men and women. Diabetologia (Apr 2012)

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1549/Aktivitas-Fisik-Menurunkan-Risiko-Insidens-Diabetes-Mellitus.aspx

Batuk Malam Hari pada Anak, mungkin Adanya Rhinitis

Keluhan rhinitis, asma, dan batuk malam hari sering dijumpai pada anak masa sekolah dan remaja. Studi terbaru menujukkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara rhinitis dengan kejadian batuk pada malam hari, hal ini merupakan kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh Dr. Higuchi dan kolega yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Pediatric Allergy and Immunology pada Mei 2012.
Dalam studi tersebut, dievaluasi apakah rinitis merupakan faktor risiko penting untuk batuk malam hari dan apakah efek ini merupakan faktor independen dari asma. Data diperoleh dari survei nasional dengan mengacu dari kuesioner the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Seorang anak yang mengalami batuk kering di malam hari dalam 12 bulan terakhir dengan tidak adanya pilek didefinisikan sebagai memiliki batuk malam hari.

Hasil dari survei tersebut menujukkan setelah diekslusi sebanyak 11.475 data karena tidak lengkap, data sebanyak 136.506 anak-anak dianalisis. Batuk malam hari secara signifikan lebih umum pada anak yang saat ini dengan rhinitis dibandingkan dengan anak tanpa rinitis. Hubungan antara rhinitis dan batuk malam hari signifikan pada anak yang saat ini menderita asma (OR [95% CI]: 2,26 [2,00-2,56] pada anak usia 6-7 tahun, 1,90 [1,58-2,30] pada mereka yang berusia 13-14 tahun, dan 1,86 [1,60-2,19] pada mereka tahun 16-17 umur), dan hubungan ini bahkan lebih tinggi di antara anak-anak yang tidak menderita asma (OR [95% CI]: 3,65 [3,36-3,97] pada anak usia 6-7 tahun, 3,05 [2,79-3,32] pada usia 13-14 tahun dan 2,69 [2,51-2,88] pada mereka yang berusia 16-17 tahun).

Dari studi tersebut peneliti menyimpulkan bahwa, ada hubungan erat antara rhinitis dan  batuk  malam hari pada anak-anak muda-remaja, dan efek ini merupakan faktor independen dari asma. Saluran nafas atas harus diperiksa pada anak dengan batuk malam hari.

Referensi: Higuchi O, Adachi Y, Itazawa T, Ito Y, Yoshida K, Ohya Y, Odajima H, Akasawa A, Miyawaki T. Relationship between rhinitis and nocturnal cough in school children.  Pediatric Allergy and Immunology (May 2012)

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1552/Batuk-Malam-Hari-pada-Anak-mungkin-Adanya-Rhinitis.aspx

Batuk Kronik, Laringitis, maupun Nyeri Dada mungkin Gejala GERD

Refluks gastro-esofageal merupakan kondisi yang sering terjadi di berbagai belahan dunia. Hal ini biasanya muncul dengan gambaran gejala-gejala klasik seperti nyeri ulu hati, dan regurgitasi. Namun dalam beberapa kasus gejala-gejala GERD dapat pula muncul sebagai gejala ekstra-esofageal seperti; batuk kronik, laringitis, asma ataupun nyeri dada non-kardiak.
Biasanya tes diagnosik yang sering dilakukan seperti EGD (endoscopic suturing device) ambulatory pH ataupun monitoring impedance pasien GERD, biasanya kurang bermanfaat pada pasien dengan gejala ekstra-esofageal hal ini dikarenakan sensitivitas dan spesifitas yang rendah.

Sebaliknya, studi empiris penggunaan PPI (penghambat pompa proton) menunjukkan efektif untuk kasus ini, walaupun pasien membutuhkan pengobatan jangka panjang untuk memperoleh efektivitas pengobatan yang mantap. Tes diagnostik dengan menggunakan monitor pH dan impedance biasanya dilakukan untuk pasien dengan respon yang rendah ataupun parsial pada pemberian awal dengan PPI (PPI test). 

Respon yang rendah  terhadap terapi PPI mungkin merupakan indikator yang penting untuk gejala-gejala dari pasien non-GERD dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui faktor yang berpotensi sebagai penyebab. Hal ini seperti yang disampaikan Dr. Saritas dan kolega dalam artikel yang dipublikasikan secara online dalam Swiss Medical Weekly tahun 2012.


Referensi: Saritas Y, Vaezi M; Extraesophageal manifestations of gastroesophageal reflux disease: cough, asthma, laryngitis, chest pain;  Swiss Medical Weekly 142 (2012)

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1553/Batuk-Kronik-Laringitis-maupun-Nyeri-Dada-mungkin-Gejala-GERD.aspx

Merokok selama Kehamilan dapat Merusakan Pembuluh Darah Janin ?

Ibu yang merokok selama kehamilannya mungkin akan menyebabkan gangguan ataupun kerusakan pembuluh darah pada anak usia ketika sampai lima tahunan, hal ini berdasarkan hasil studi yang dipubikasikan secara online dalam  jurnal Pediatrics bulan Desember 2011. Ibu yang merokok akan menyebabkan penebalan dari tunika media pembuluh karotid pada usia muda, dan ini juga terlihat pada neonatus. 
 
Dalam studi tersebut, peneliti menggunakan data kohort dari the Wheezing Illnesses Study Leidsche Rijn (WHISTLER)-Cardio study. Dan pada usia 5 tahun, sebanyak 259 partisipan dilakukan pengukuran ketebalan tunika media dari pembuluh darah karotid (CIMT) dengan USG dan distensibilitas dari dinding pembuluh darah.

Setelah dilakukan penyesuaian dalam hal usia anak,jenis kelamin, usia ibu, serta lama pemberian ASI menunjukkan bahwa anak dengan ibu yang merokok selama kehamilannya mempunyai kerusakan vaskuler yan glebih banyak jika dibandingkan dengan anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang tidak merokok. Ketebalan CIMT sebesar 18,8 mm pada ibu perokok, dan dengan distensibilitas 21% lebih rendah. Sedangkan anak yang dilahirkan  oleh ibu yang tidak merokok tidak ada efek dalam hal CIMT dan distensibilitas pembuluh darah. 

Dari studi ini menunjukkan bagaimana efek merokok selama kehamilan terhadap pembuluh darah anak yang terlihat pada saat masuk usia 5 tahun dan pencegahan merupakan tindakan yang spesifik dilakukan pada masa kehamilan.


Referensi:
Pediatrics. Published online December 26, 2011. Abstract 

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1559/Merokok-selama-Kehamilan-dapat-Merusakan-Pembuluh-Darah-Janin-.aspx

Kopi dan Risiko Kanker Endometrial

Konsumsi sedikitnya 4 cangkir perhari sering dihubungkan dengan penurunan risiko kanker endometriim, hal ini menurut data dari the Nurses' Health Study, yang dilakukan oleh Dr.Youjin Je dan kolega dari the lab. of Edward Giovannucci, MD, ScD, - the Department of Nutrition and Epidemiology, the Harvard School of Public Health in Boston, Massachusetts, dan hal ini dipublikasikan secara online pada 22 November 2011 dalam Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention.

Analisis ini melibatkan sebanyak 67.470 wanita dengan rentang usia 34 - 59 tahun, dan diikuti selama 26 tahun. Peneliti mendokumentasikan sebanyak 26 kasus kanker endometriosis. Konsumsi kopi kurang dari 4 cangkir hari tidak berhubungan dengan perubahan risiko kanker endometrium dibandingkan dengan minum 1 cangkir atau kurang per hari. Para peneliti memperhitungkan berbagai faktor dalam analisis multivariabel mereka, termasuk BMI, usia saat menopause, usia saat menarche, paritas dan usia saat kelahiran terakhir, penggunaan kontrasepsi oral, penggunaan hormon pascamenopause, dan konsumsi rokok dan alkohol.

Namun, minum 4 cangkir atau lebih kopi per hari dikaitkan dengan penurunan risiko relatif sebesar 25% dibandingkan dengan mengkonsumsi kurang dari 1 cangkir dengan rasio tingkat multivariabel harian, 0,75; 95% [CI], 0,57-0,97; P trend =. 02). Minum antara 2 dan 3 cangkir kopi per hari dikaitkan dengan risiko berkurang 7%, tetapi perbedaannya tidak bermakna secara statistik (tingkat rasio, 0,93; 95% CI, 0,76-1,14; P trend = 0,02).

Dalam hal pengurangan risiko absolut, perempuan yang minum kopi 4 cangkir atau lebih mengurangi risiko kanker endometrium dari 56 kasus per 100.000 perempuan menjadi 35 kasus per 100.000 perempuan. Para peneliti melihat hubungan yang sama ketika mereka membatasi analisis mereka untuk konsumsi kopi berkafein. Dalam hal ini, ada 30% pengurangan risiko relatif pada risiko kanker endometrium yang terkait dengan konsumsi dari 4 atau lebih cangkir dibandingkan dengan kurang dari 1 cangkir sehari.

Dari studi tersebut menujukkan bahwa kafein menunjukkan efek protektif terhadap kejadian kanker endometrium, dan kopi ternyata dari hasil studi laboratorium juga mempunyai manfaaat sebagai antioksidan.

Referensi:
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. Published online November 22, 2011.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1560/Kopi-dan-Risiko-Kanker-Endometrial.aspx

Kedelai dan Risiko Kanker Paru

Orang yang banyak mengkonsumsi produk kedelai yang tidak difermentasi mungkin memiliki kesempatan yang lebih kecil terkena kanker paru-paru, hal ini berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh peneliti dari Cina dan ilmuwan AS dengan melakukan meta-analisis dari 11 penelitian observasional, beberapa yang diikuti untuk satu dekade atau lebih. Dari data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa orang yang banyak mengkonsumsi kedelai memiliki risiko 23% lebih rendah terkena kanker paru-paru dibandingkan mereka yang mengkonsumsi sedikit.

Temuan baru tersebut dipublikasikan secara online pada 9 November di American Journal of Clinical Nutrition. Hubungan antara kedelai dan kanker hanya dilakukan untuk produk kedelai yang tidak difermentasi seperti tahu dan susu kedelai, misalnya. Terlebih lagi, itu hanya ditemukan pada orang yang tidak pernah merokok, pada wanita dan pada populasi Asia.

Dr Matthew Schabath, seorang peneliti di Moffitt Cancer Center di Tampa, Florida yang studinya juga dimasukkan dalam analisis, memperingatkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut hubungan antara kedelai dan kanker paru-paru. Mungkin hal ini tidak karena faktor kedelai saja, mungkin juga efek dari semua nutrisi yang dikemas dalam dalam makanan. Studi observasional melakukannya secara konsisten menunjukkan bahwa diet sehat akan memberikan efek yang menguntungkan.

Referensi: Am J Clin Nutrition 2011.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1561/Kedelai-dan-Risiko-Kanker-Paru.aspx

Probiotik Bermanfaat untuk Mencegan dan Mengobati AAD (antibiotic associated diarrhoea)

Meta-analisis terbaru menunjukkan probiotik dapat mengurangi risiko diare terkait antibiotik. Hal ini merupakan kesimpulan dari meta-analisis yang dilakukan oleh Dr. Hempel  dan kolega yang telah dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association tahun 2012 ini. Diare terkait antibiotik diperkirakan terjadi pada 30% pasien yang diberikan antibiotik dan dapat menjadi faktor yang memperlama perawatan .
Dalam meta-analisis ini, Sussane Hempel, PhD (Southern California Evidence-Based Practice Center, RAND Health, Santa Monica) dan koleganya mencari  12 database jurnal elektronik dan menemukan 82 RCT (randomized controlled trial) yang memenuhi kriteria. Di antara 11.811 peserta dalam 63 RCT, probiotik dikaitkan dengan penurunan risiko diare terkait antibiotik sebesar 42% (relative risk [RR], 0,58; 95% confidence interval [CI], 0,50–0,68; P<0,001) dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menggunakan probiotik. Penulis melaporkan nilai number needed to treat (NNT) sebesar 13 (95% CI, 10,3-19,1).

Setengah dari studi-studi ini (41/82) mencantumkan genus dan spesies dari probiotik yang digunakan, tetapi tidak nama strainnya. Studi-studi jarang menyebutkan antibiotik yang digunakan. Peneliti mencatat bahwa sebagian studi di dalam analisa ini merupakan studi dengan kualitas yang kurang, tetapi melaporkan bahwa efek positif dari probiotik ini tetap bertahan ketika analisa ini dibatasi hanya pada studi kualitas lebih . Ketika peneliti menganalisa 44 RCT tersamar ganda, mereka menemukan nilai RR sebesar 0,61 (95% CI, 0,52–0,73; P<0.001; NNT: 14). Efek ini bertahan ketika analisa dibatasi pada 12 studi tersamar ganda di mana alokasi perawatan tetap terselubung, nilai RR sebesar 0,62 (95% CI, 0,41–0,95; P=0.029; NNT:14).

Sebagian besar RCT dalam analisa ini menggunakan Lactobacillus, baik diberikan sendiri (sebagai agen tunggal), atau dikombinasikan dengan organisme lain. Probiotik lain yang digunakan termasuk Bifidobacterium, Saccharomyces, Streptococcus, Enterococcus, dan/atau Bacillus.(AGN)

Referensi:
Hempel S, Newberry SJ, Maher AR, Wang Z, Miles JNV, Shanmen R. Probiotics for the prevention and treatment of antibiotic associated diarrhea. JAMA. 2012;307:1959-69. 

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1563/Meta-analisis-Probiotik-Bermanfaat-untuk-Mencegan-dan-Mengobati-AAD-antibiotic-associated-diarrhoea.aspx

Diabetes Mellitus Tipe 2 Dapat Dicegah dengan Intervensi OAD Lebih Awal

Ternyata diabetes mellitus tipe 2 dapat dicegah, dan pemberian OAD (oral antidiabetic) pada pasien prediabetes dapat menyebabkan regresi dan menjadi normoglikemik. Hal ini merupakan hasil meta-analisis yang dilakukan oleh Dr. Phung dan kolega yang dipublikasikan dalam The Annals of Pharmacotherapy 2012. Meta-analisis ini menggunakan metode pencarian sistematik dari  MEDLINE (1950-November 2011), EMBASE (1990-November 2011), dan Cochrane Central Register of Controlled Trials (September 2011). Menyertakan disain penelitian secara acak, durasi lebih dari 12 minggu.
Didapatkan 13 penelitian dengan melibatkan 11.600 pasien. Didapatkan hasil pasien yang mendapatkan obat diabetes oral pada pradiabetes memperlihatkan dua kali lipat tercapai normoglikemia dibandingkan kelompok kontrol (OR 2.03, 95% CI 1.54-2.67). Golongan obat diabetes oral yang dievaluasi terlihat bermakna adalah golongan thiazolidinediones (OR 2.33, 95% CI 1.93 - 2.81) dan  α-glucosidase inhibitors (OR 2.02, 95% CI 1.26 - 3.24), tetapi pada kelompok yang mendapatkan biguanide dan sulfonylurea gagal mencapai nilai bermakna. (p=0,06 dan p=0,39)

Kesimpulan: Pemberian obat diabetes oral pada pasien pradiabetes meningkatkan odd rasio terjadinya regresi menjadi normoglikemia yaitu pada pemberian golongan thiazolidinediones dan α-glucosidase inhibitor.

Ada beberapa keterbatasan dari meta-analisis ini yaitu, hasil yang tidak terlihat bermakna pada kelompok biguanide dan sulfonylurea kemungkinan karena analisis yang kurang kuat, kriteria inklusi hanya berdasarkan artikel yang hasilnya dilaporkan sehingga hanya 1 penelitian sulfonylurea yang teridentifikasi, data penelitian biguanides dan sulfonylureas masih diperlukan kemungkinan terhadap potensi terapi yang lebih baik. (ARI)

Referensi
1. Phung OJ, Baker WL, Tongbram V, Bhardwaj A, Coleman CI. Oral Antidiabetic Drugs and Regression From Prediabetes to Normoglycemia. A Meta-analysis. The Annals of Pharmacotherapy 2012;46(4):469-476.
2. Defronzo RA, Ghani MA.Type 2 Diabetes Can Be Prevented With Early Pharmacological Intervention.Diabetes Care 2011; 34(2):S202–9



Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1564/Diabetes-Mellitus-Tipe-2-Dapat-Dicegah-dengan-Intervensi-OAD-Lebih-Awal.aspx

Studi ALISAH: Albumin untuk Perdarahan Subaraknoid

Albumin manusia telah terbukti memiliki efek neuroprotektan pada hewan coba yang dikondisikan mengalami iskemia serebral dan pada manusia dengan berbagai patologi intrakranial. Dari penelitian yang dilakukan oleh Suarez et al pada tahun 2004, disimpulkan bahwa albumin manusia pada kasus perdarahan pada rongga subaraknoid dapat memperbaiki keluaran klinis dan menurunkan biaya perawatan di rumah sakit. Penelitian yang akan dibahas di bawah ini, yang juga merupakan penelitian Suarez et al, menginvestigasi keamanan dan tolerabilitas dari 25% human albumin pada pasien dengan perdarahan subaraknoid.

Uji klinis Albumin in Subarachnoid Hemorrhage (ALISAH) adalah penelitian yang open label dan eskalasi dosis. Peneliti mempelajari empat dosis berbeda dari albumin (Tier 1 0,625 g/kg, Tier 2 1,25 g/kg, Tier 3 1,875 g/kg, dan, Tier 4 2,5 g/kg). Setiap dosis albumin diberikan kepada 20 pasien dewasa. Pengobatan diberikan setiap hari selama 7 hari. Peneliti mempelajari dosis toleransi maksimum albumin berdasarkan angka gagal jantung yang berat hingga mengancam jiwa dan reaksi anafilaktik dan keluaran fungsi dalam 3 bulan.

Sebanyak 47 subjek penelitian diterapi dalam penelitian ini: 20 subjek mendapatkan dosis 0,625 g/kg (Tier 1), 20 subjek mendapatkan dosis 1,25 g/kg (Tier 2), dan 7 subjek mendapatkan dosis 1,875 g/kg (Tier 3). Peneliti menemukan bahwa dosis yang berkisar hingga 1,25 g/kg/hari selama 7 hari ditoleransi oleh pasien tanpa komplikasi mayor terkait dosis. Peneliti juga menemukan bahwa keluaran cenderung terus menuju tanggapan yang lebih baik pada subjek penelitian yang mendapatkan dosis 1,25 g/kg (Tier 2) dibandingkan dengan yang mendapatkan dosis 0,625 g/kg (Tier 1) (OR 3,0513; CI 0,6586 – 14,1367).

Simpulannya, albumin dalam dosis yang berkisar hingga 1,25 g/kg/hari selama 7 hari ditoleransi oleh pasien dengan perdarahan subaraknoid tanpa komplikasi mayor dan dapat berperan sebagai neuroprotektan. Berdasarkan hasil penelitian ini, rencana untuk melakukan uji klinis ALISAH II, sebuah uji klinis fase III, acak, berkontrol plasebo untuk menguji efikasi albumin, sedang dikerjakan. (SFN)


Referensi:
  1. Suarez JI, Martin RH, Calvillo E, Dillon C, Bershad EM, Macdonald RL, et al. The Albumin in Subarachnoid Hemorrhage (ALISAH) multicenter pilot clinical trial: safety and neurologic outcomes. [internet]. Stroke. 2012 Mar;43(3):683-90. [cited 2012 May 11]. Available from: http://stroke.ahajournals.org/content/early/2012/01/19/STROKEAHA.111.633958.abstract
  2. Ginsberg MD, Hill MD, Palesch YY, Ryckborst KJ, Tamariz D. The ALIAS Pilot Trial: a dose-escalation and safety study of albumin therapy for acute ischemic stroke--I: Physiological responses and safety results. [internet]. Stroke. 2006.
Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1565/Studi-ALISAH-Albumin-untuk-Perdarahan-Subaraknoid.aspx

    Sabtu, 19 Mei 2012

    FDA Menyetujui Versi Generix dari Plavix


    US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui 2 versi generik dari clopidgel (Plavix, Bristol-Meyers Squibb/ Sanofi). 
    FDA menjelaskan bahwa Dr. Reddy's Laboratories, Gate Pharmaceuticals, Mylan Pharmaceuticals, dan Teva Pharmaceuticals akan memproduksi Clopidogrel 300 mg. Teva dan Mylan juga menyetujui Apotex, Aurobindo Pharma, Roxane Laboratories, Sun Pharma, dan Torrent Pharmaceuticals akan memproduksi clopidogrel 75-mg.
    Clopidgel merupakan obat untuk indikasi pasien yang kena serangan jantung atau stroke atau juga peripheral artery disease atau sindrom Koroner Akut. Obat ini efektifitasnya akan menurun pada pasien dengan gangguan metabolisme, obat golongan proton pump inhibitor juga dapat mengurangi efikasi clopidogrel seperti Prilosec, Procter & Gamble) dan esomeprazole (Nexium, AstraZeneca) 

    Rabu, 16 Mei 2012

    Terapi Baru Pneumonia

    Pendahuluan
    ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan permasalahan kesehatan masyarakat dan menyebabkan banyak kematian di seluruh dunia. Perkembangan antibiotik baru dan dikombinasikan dengan peningkatan resistensi bakteri menyebabkan kekhawatiran pada populasi global dan merupakan suatu tantangan untuk institusi kesehatan. Selama beberapa tahun ini pemahanan terhadap pertumbuhan bakteri, mtabulisme dan virulensinya telah memberikan ke arah terapi non antibiotik. Pendekatan ini memberikan beberapa keuntungan
    Over recent years, a better understanding of bacterial growth, metabolism, and virulence has offered several potential targets for nonantibiotic antimicrobial therapies. These approaches have several potential advantages: they expand the repertoire of bacterial targets, they preserve the host's endogenous microbiome, and they exert less selective pressure for the development of antibiotic resistance relative to current antibiotics. This study will review the more recent developments of antivirulence and nonantibiotic strategies in the field of lung infections.