This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 24 Desember 2007

TUBERKULOSIS KUTIS

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh basil mikobakterium tuberkulosis. Jalan masuk kedalam tubuh biasanya melalui inhalasi, atau yang pada umumnya adalah dengan meminum susu sapi yang tidak dipasteurisasi. Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia hingga saat ini (7).

Tuberkulosis kutis, seperti tuberkulosis paru, terutama di negara yang sedang berkembang. Insidensi di Indonesia kian menurun sejalan dengan menurunnya tuberkulosis paru. Hal itu tentu disebabkan oleh kian membaiknya keadaan ekonomi. Bentuk-bentuk yang dahulu masih terdapat sekarang telah jarang terlihat, misalnya tuberkulosis kutis papulonekrotika, tuberkulosis kutis gumosa, dan eritema nodusum (1).
II. EPIDEMIOLOGI
Faktor predisposisi terjadinya tuberkulosis kutis diantaranya adalah kemiskinan, gizi kurang, penggunaan obat-obatan secara intravena, dan status imunodefisiensi (1,2). Penelitian di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo, skrofuloderma merupakan bentuk yang tersering terdapat (84%), disusul oleh tuberkulosis kutis verukosa (13%), bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan. Lupus vulgaris yang dahulu dikatakan tidak terdapat, ternyata ditemukan, meskipun jarang (1). Tuberkulosis kutis pada umumnya ditemukan pada bayi dan orang dewasa dengan status imunodefisiensi (2).
III. ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis kutis adalah mikobakterium obligat yang bersifat patogen terhadap manusia: M. tuberkulosis, M. bovis, dan kadang-kadang bisa juga disebabkan oleh Bacillus Calmette-Guerin (BCG) (5). Penyebab utama tuberkulosis kutis di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) ialah Mycobacterium Tuberkulosis (jenis human) berjumlah 91,5%, sisanya (8,5%) disebabkan oleh M. atipikal, yang terdiri atas golongan II atau skotokromogen, yakni M. scrofulocaeum (80%) dan golongan IV atau rapid growers (20%). M. bovis dan M. avium belum pernah ditemukan, demikian pula M. atipikal golongan lain (1).

IV. BAKTERIOLOGI
Mikobakterium tuberkulosis mempunyai sifat-sifat yaitu berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob, tahan asam (1,2), panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/µ, tidak bergerak dan suhu optimal pertumbuhan pada 37ºC (1).
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 macam (1)
1. Sediaan mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening. Pada pewarnaan dengan Ziehl Neelsen, atau modifikasinya, jika positif kuman tampak berwarna merah pada dasar yang biru. Kalau positif belum berarti kuman tersebut M. tuberkulosis, oleh karena ada kuman lain yang tahan asam, misalnya M. leprae.
2. Kultur
kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37º. Jika positif koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu. Kalau hasil kultur positif, berarti pasti kuman tuberkulosis.
3. Binatang percobaan
Dipakai marmot, percobaan tersebut memerlukan waktu 2 bulan.
4. Tes biokimia
Ada beberapa macam, misalnya tes niasin dipakai untuk membedakan jenis human dengan yang lain. Jika tes niasin positif berarti jenis human.
5. Percobaan resistensi

V. KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut PILLSBURRY dengan sedikit perubahan (1).
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut PILLSBURRY dengan sedikit perubahan (1).
1. Tuberkulosis kutis sejati
A. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
B. Tuberkulosis kutis sekunder
 Tuberkulosis kutis miliaris
 Skrofuloderma
 Tuberkulosis kutis verukosa
 Tuberkulosis kutis gumosa
 Tuberkulosis kutis orifisialis
 Lupus vulgaris
2. Tuberkulid
A. Bentuk papul
 Lupus miliaris diseminatus fasiei
 Tuberkuloid papulonekrotika
 Liken skrofulosorum
B. Bentuk granuloma dan ulseronodulus
 Eritema nodusum
 Eritema induratum






VI. PATOGENESIS
Cara infeksi ada 6 macam (1)
1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau jika ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.

VII. MANIFESTASI KLINIS
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
Kompleks lesi primer meliputi kulit dan nodus limfatikus terutama pada bayi dan anak-anak. Jalan masuk basil tuberkel adalah paru-paru (6), luka kecil, kuku yang terbuka, atau luka tusuk (4). Afek primer dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus indolen, berdinding tergaung dan disekitarnya livid. Masa tunas 2-3 minggu, limfangitis dan limfadenitis timbul beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah afek primer, pada waktu tersebut reaksi tuberkulin menjadi positif. Keseluruhannya merupakan kompleks primer. Pada ulkus tersebut dapat terjadi indurasi, karena itu disebut tuberculous chancre. Makin muda usia penderita makin berat gejalanya. Bagian yang sering terkena adalah wajah dan ekstremitas yang berhubungan dengan limphadenopaty regional (6). Biasanya ditemukan pada daerah kulit yang mudah terkena trauma (2,4).
Gambar 1. Inokulasi TB primer
Tuberkulosis kutis miliaris
Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak (6) dengan status imunokompromise (2). Fokus infeksi terdapat secara khusus pada paru-paru atau selaput otak (2). Terjadi karena penjalaran ke kulit dari fokus di badan. Reaksi terhadap tuberkulin biasanya negatif (anergi). Ruam berupa eritema berbatas tegas, papul, vesikel, pustul, skuama atau purpura yang menyeluruh. Pada umumnya prognosisnya buruk (1,5).
Skrofuloderma
Tuberkulosis kutis murni sekunder yang terjadi secara pekontinuitatum dari jaringan di bawahnya, misalnya kelenjar getah bening, otot dan tulang (3). Skrofuloderma terjadi terutama pada anak-anak (2) dan dewasa muda pada bagian kulit yang berada diatas nodus limfatikus dan daerah yang kelihatan tulangnya (6). Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan. Dimulai dengan infeksi sebuah kelenjar yang selanjutnya menjadi berkembang menjadi periadenitis. Beberapa kelenjar kemudian dapat meradang, sehingga membentuk suatu kantong kelenjar “klier packet”. Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, mencari jalan keluar dengan menembus kulit diatasnya, dengan demikian terbentuk fistel. Fistel tersebut kian melebar, membentuk ulkus yang mempunyai sifat-sifat khas (3).
Tuberkulosis kutis verukosa
Tipe ini terjadi terutama pada orang dewasa, anak-anak dan individu yang resisten terhadap terjadinya inokulasi eksternal basil tuberkel (3,6). Infeksi terjadi secara eksogen, jadi kuman masuk ke dalam kulit, oleh sebab itu tempat predileksinya pada tungkai bawah dan kaki, tempat yang lebih sering mendapat trauma (1,3,4). Gambaran klinis biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran secara serpiginosa, yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan di jurusan yang lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat sikatriks (1,3).
Gambar 2. Tuberkulosis kutis verukosa
Tuberkulosis kutis gumosa
Tuberkulosis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen, biasanya dari paru. Kelainan kulit berupa infiltrat subkutan, berbatas tegas yang menahun, kemudian melunak dan bersifat destruktif (1). Pada awalnya kulit berwarna normal dan lama-kelamaan menjadi merah kebiruan (5). Lesi tersebar berbentu makula dan papul berukuran kecil atau lesi berwarna kemerahan. Kadang-kadang vesikuler dan terdapat krusta (5).
Tuberkulosis kutis orifisialis
Pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit tuberkulosa pada organ-organ dalam (2). Sesuai dengan namanya maka lokasinya di sekitar orifisium. Pada tuberkulosis paru dapat terjadi ulkus di mulut, bibir atau di sekitarnya. Pada tuberkulosis saluran cerna, ulkus dapat ditemukan di sekitar anus. Pada tuberkulosis saluran kemih, ulkus dapat ditemukan di sekitar orifisium uretra eksternum. Ulkus berdinding tergaung, kemerahan, hemoragik, purulen dan sekitarnya livid (1,5).
Gambar 3. Tuberkulosis kutis orifisialis

Lupus vulgaris
Lupus vulgaris merupakan bentuk yang sering dan mengenai terutama pada bagian yang sering terpapar misalnya pada wajah dan ekstremitas (6). Cara infeksi dapat secara endogen atau eksogen. Gambaran klinis yang umum adalah kelompok nodus eritematosa yang berubah warna menjadi kuning pada penekanan (apple jelly colour) (1,4,5). Nodus-nodus tersebut berkonfluensi berbentuk plak, bersifat destruktif, sering terjadi ulkus. Pada waktu terjadi involusi terbentuk sikatriks. Bila mengenai muka tulang rawan hidung dapat mengalami kerusakan (1,5). Penyembuhan spontan terjadi perlahan-lahan di suatu tempat, tetapi terjadi perjalanan di tempat lain, yang dapat ke perifer atau serpiginosa (1).

Gambar 4. Lupus vulgaris
Lupus milliaris diseminatus fasiel
Mengenai muka, timbulnya secara bergelombang. Ruam berupa papul-papul bulat, biasanya diameternya tidak melebihi 5 mm, eritematosa kemudian meninggalkan sikatriks. Pada diaskopi memberi gambaran apple jelly colour seperti pada lupus vulgaris (1).
Tuberkulosis papulonekrotika
Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menderita TB pada bagian tubuh lain. Keadaan ini terjadi karena adanya reaksi alergi terhadap basil tuberkel. Basil menyebar secara hematogen pada orang dengan satus imunitas sedang atau baik, akan tetapi fokus tuberkulosis secara klinis tidak aktif pada saat terjadinya erupsi, dan pasien sedang berada dalam keadaan sehat (6). Selain berbentuk papulonekrotika juga dapat berbentuk papulopustul. Tempat predileksi pada muka, anggota badan bagian ekstensor, dan badan (1,4). Mula-mula terdapat papul eritematosa yang timbul secara bergelombag, membesar perlahan-lahan dan kemudian menjadi pustul, lalu memecah menjadi krusta dan membentuk jaringan nekrotik dalam waktu 8 minggu, lalu menyembuh dan meninggalkan sikatriks. Kemudian timbul lesi-lesi baru. Lama penyakit dapat bertahun-tahun (1).
Gambar 5. Tuberkulosis papulonekrotika
Liken skrofulosorum
Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang menderita tuberkulosis tulang atau nodus limfatikus (1,6). Kelainan kulit terdiri atas beberapa papul miliar, warna dapat serupa dengan kulit atau eritematosa. Mula-mula tersusun tersendiri, kemudian berkelompok tersusun sirsinar, kadang-kadang di sekitarnya terdapat skuama halus. Tempat predileksi pada dada, perut, punggung dan daerah sacrum. Perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan dan residif, jika sembuh tidak meninggalkan sikatriks (1).
Eritema nodusum
Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas bagian ekstensor. Diatasnya terdapat eritema. Banyak penyakit yang juga dapat memberi gambaran klinis sebagai E.N., yang sering: lepra sebagai eritema nodusum leprosum, reaksi id karena Streptococcus B Hemolyticus, alergi obat secara sistemik, dan demam reumatik (1).
Eritema induratum
Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah arteri dan vena bersifat jinak, dan disertai nekrosis lemak (4,6). Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen. Tempat predileksinya pada daerah fleksor. Terjadi supurasi sehingga terbentuk ulkus-ulkus. Kadang-kadang tidak mengalami supurasi, tetapi regresi sehingga terjadi hipotrofi berupa lekukan-lekukan. Perjalanan penyakit kronik residif (1).
Gambar 6. Eritema induratum
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
Sindrom Chancriform yaitu syphilis primer dengan disertai chancre, penyakit cat-scratch, sporotrichosis, tularemia, infeksi M. marinum (5).
Tuberkulosis kutis verukosa
Kromomikosis, nevus verukosa, dan frambusis stadium II, veruka vulgaris, infeksi M. marinum, pyoderma, chromomycosis, bromoderma, lichen planus hipertrofik, dermatosis aktinik hipertropik (3,5).
Lupus Vulgaris
Sarkoidosis, lymphocytoma, lymphoma, lupus eritematosus kutaneus kronik, syphilis tersier, leprosy, blastomycosis, leismaniasis lupoid dan pioderma (5).
Scrofuloderma
Aktinomikosis, hidradenitis supurativa, limfopatia venereum, infeksi jamur invasive, sporothrikosis, nocardiosis, actinomicosis, syphilis tersier, acne conglobata (3,5).
Tuberkulosis kutis gumosa
Pannikulitis, infeksi jamur infasive, hidradenitis, syphilis tersier.
Tuberkulosis kutis orifisialis
Ulkus aphthous, histoplasmosis, syphilis.

IX. PENGOBATAN
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis paru. Untuk mencapai hasil yang baik hendaknya diperhatikan syarat-syarat yaitu pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi resistensi dan pengobatan harus dalam kombinasi. Dalam kombinasi tersebut INH disertakan, diantaranya karena obat tersebut bersifat bakterisidal, harganya murah dan efek sampingnya langka. Sedapat-dapatnya dipilih paling sedikit 2 obat yang bersifat bakterisidal, dan keadaan umum diperbaiki (1).
Pemilihan obat tergantung pada keadaan ekonomi penderita, berat-ringannya penyakit, dan adakah kontraindikasi. Dosis INH (H) pada anak 10 mg/Kg BB, pada orang dewasa 5mg/Kg BB, dosis maksimum 400 mg sehari. Rifampisin (R) 10 mg/kg BB paling lama diberikan 9 bulan. Bila digunakan Z hanya selama 2 bulan, kontraindikasinya penyakit hepar. Pirazinamid (Z) 25 mg/kg BB, streptomisin (S) 15 mg/kg BB, dosis maksimun streptomisin 90 gram. Ethambutol (E) 15 mg/kg BB (1,7).
Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan, yaitu tahapan awal (intensif) dan tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Tahapan lanjutan ialah melalui kegiatan sterilisasi membunuh kuman yang tumbuh lambat (1).
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Selama fase lanjutan diuperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan. Pada paien dengan sputum BTA positif ada resiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstrapulmoner tidak terdapat resiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase awal dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah memadai. Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang diberikan haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar dengan INH, Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui, dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin tidak boleh diberikan (9).
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB. diikuti fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH (8).

Tabel 1. Obat antituberkulosis yang ada di Indonesia: dosis, cara pemberian dan efek sampingnya (1)

Nama obat Dosis Cara pemberian Efek samping utama
INH 5-10 mg/kg BB per os, dosis tunggal neuritis perifer
Rifampisin 10 mg/kg BB per os, dosis tunggal
waktu lambung kosong gangguan hepar
Pirazinamid 20-35 mg/kg BB per os dosis terbagi gangguan hepar
Etambutol bulan I/II 25 mg/ per os, dosis tunggal gangguan N II
Kg BB,berikutnya
15 mg/kg BB
Streptomisin 25 mg/kg BB per inj gangguan N VIII

Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan pada lupus vulgaris, tuberkulosis kutis verukosa yang kecil, serta skrofuloderma pada ekstremitas bawah (1,7).
Pengobatan topikal pada tuberkulosis kutis tidak sepenting pengobatan sistemik. Pada skrofuloderma, jika ulkus masih mengandung pus dikompres, misalnya dengan larutan kalium permanganas 1/5000 (1).

X. PROGNOSIS
Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan, prognosisnya baik.

XI. RESUME
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh basil mikobakterium tuberkulosis. Jalan masuk kedalam tubuh biasanya melalui inhalasi, atau yang pada umumnya adalah dengan meminum susu sapi yang tidak dipasteurisasi. Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia hingga saat ini (7). Tuberkulosis kutis pada umumnya ditemukan pada bayi dan orang dewasa dengan status imunodefisiensi (2). Faktor predisposisi terjadinya tuberkulosis kutis diantaranya adalah kemiskinan, gizi kurang, penggunaan obat-obatan secara intravena, dan status imunodefisiensi (1,2).
Penelitian di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo, skrofuloderma merupakan bentuk yang tersering terdapat (84%), disusul oleh tuberkulosis kutis verukosa (13%), bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan (1). Penyebab utama tuberkulosis kutis di Rumah Ssakit Dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) ialah Mycobacterium Tuberkulosis (jenis human) berjumlah 91,5%. Sisanya (8,5%) disebabkan oleh M. atipikal, yang terdiri atas golongan II atau skotokromogen, yakni M. scrofulocaeum (80%) dan golongan IV atau rapid growers (20%). M. bovis dan M. avium belum pernah ditemukan, demikian pula M. atipikal golongan lain (1). Mikobakterium tuberkulosis mempunyai sifat-sifat yaitu berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob, tahan asam (1,2), panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/µ, tidak bergerak dan suhu optimal pertumbuhan pada 37ºC (1). Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 macam (1) yaitu sediaan mikroskopik, kultur, binatang percobaan, tes biokimia dan percobaan resistensi.
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut PILLSBURRY dengan sedikit perubahan (1).
1. Tuberkulosis kutis sejati
A. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
B. Tuberkulosis kutis sekunder
 Tuberkulosis kutis miliaris
 Skrofuloderma
 Tuberkulosis kutis verukosa
 Tuberkulosis kutis gumosa
 Tuberkulosis kutis orifisialis
 Lupus vulgaris
Tuberkulid
Bentuk papul
 Lupus miliaris diseminatus fasiei
 Tuberkuloid papulonekrotika
 Liken skrofulosorum
Bentuk granuloma dan ulseronodulus
 Eritema nodusum
 Eritema induratum
Cara infeksi ada 6 macam (1)
1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau jika ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.

Gejala klinis
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
Kompleks lesi primer meliputi kulit dan nodus limfatikus terutama pada bayi dan anak-anak. Jalan masuk basil tuberkel adalah paru-paru (6), luka kecil, kuku yang terbuka, atau luka tusuk (4). Afek primer dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus indolen, berdinding tergaung dan disekitarnya livid.



Tuberkulosis kutis miliaris
Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak (6) dengan status imunokompromise (2). Ruam berupa eritema berbatas tegas, papul, vesikel, pustul, skuama atau purpura yang menyeluruh. Pada umumnya prognosisnya buruk (1,5).
Skrofuloderma
Skrofuloderma terjadi terutama pada anak-anak (2) dan dewasa muda pada bagian kulit yang berada diatas nodus limfatikus dan daerah yang kelihatan tulangnya (6). Dimulai dengan infeksi sebuah kelenjar yang selanjutnya menjadi berkembang menjadi periadenitis. Beberapa kelenjar kemudian dapat meradang, sehingga membentuk suatu kantong kelenjar “klier packet”. Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, mencari jalan keluar dengan menembus kulit diatasnya, dengan demikian terbentuk fistel. Fistel tersebut kian melebar, membentuk ulkus yang mempunyai sifat-sifat khas (3).
Tuberkulosis kutis verukosa
Tipe ini terjadi terutama pada orang dewasa, anak-anak dan individu yang resisten terhadap terjadinya inokulasi eksternal basil tuberkel (3,6Gambaran klinis biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran secara serpiginosa, yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan di jurusan yang lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat sikatriks (1,3).
Tuberkulosis kutis gumosa
Kelainan kulit berupa infiltrat subkutan, berbatas tegas yang menahun, kemudian melunak dan bersifat destruktif (1). Pada awalnya kulit berwarna normal dan lama-kelamaan menjadi merah kebiruan (5). Lesi tersebar berbentu makula dan papul berukuran kecil atau lesi berwarna kemerahan. Kadang-kadang vesikuler dan terdapat krusta (5).
Tuberkulosis kutis orifisialis
Pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit tuberkulosa pada organ-organ dalam (2). Sesuai dengan namanya maka lokasinya di sekitar orifisium. Ulkus berdinding tergaung, kemerahan, hemoragik, purulen dan sekitarnya livid (1,5).
Lupus vulgaris
Lupus vulgaris merupakan bentuk yang sering dan mengenai terutama pada bagian yang sering terpapar misalnya pada wajah dan ekstremitas (6) . Gambaran klinis yang umum adalah kelompok nodus eritematosa yang berubah warna menjadi kuning pada penekanan (apple jelly colour) (1,4,5). Nodus-nodus tersebut berkonfluensi berbentuk plak, bersifat destruktif, sering terjadi ulkus.
Lupus milliaris diseminatus fasiel
Mengenai muka, timbulnya secara bergelombang. Ruam berupa papul-papul bulat, biasanya diameternya tidak melebihi 5 mm, eritematosa kemudian meninggalkan sikatriks. Pada diaskopi memberi gambaran apple jelly colour seperti pada lupus vulgaris (1).
Tuberkulosis papulonekrotika
Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menderita TB pada bagian tubuh lain. Mula-mula terdapat papul eritematosa yang timbul secara bergelombag, membesar perlahan-lahan dan kemudian menjadi pustul, lalu memecah menjadi krusta dan membentuk jaringan nekrotik dalam waktu 8 minggu, lalu menyembuh dan meninggalkan sikatriks. Kemudian timbul lesi-lesi baru. Lama penyakit dapat bertahun-tahun (1).
Liken skrofulosorum
Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang menderita tuberkulosis tulang atau nodus limfatikus (1,6). Kelainan kulit terdiri atas beberapa papul miliar, warna dapat serupa dengan kulit atau eritematosa. Mula-mula tersusun tersendiri, kemudian berkelompok tersusun sirsinar, kadang-kadang di sekitarnya terdapat skuama halus (1).
Eritema nodusum
Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas bagian ekstensor. Diatasnya terdapat eritema (1).


Eritema induratum
Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah arteri dan vena bersifat jinak, dan disertai nekrosis lemak (4,6). Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen. Terjadi supurasi sehingga terbentuk ulkus-ulkus. Kadang-kadang tidak mengalami supurasi, tetapi regresi sehingga terjadi hipotrofi berupa lekukan-lekukan. Perjalanan penyakit kronik residif (1).
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis paru (1). Dosis INH (H) pada anak 10 mg/Kg BB, pada orang dewasa 5mg/Kg BB, dosis maksimum 400 mg sehari. Rifampisin (R) 10 mg/kg BB paling lama diberikan 9 bulan. Bila digunakan Z hanya selama 2 bulan, kontraindikasinya penyakit hepar. Pirazinamid (Z) 25 mg/kg BB, streptomisin (S) 15 mg/kg BB, dosis maksimun streptomisin 90 gram. Ethambutol (E) 15 mg/kg BB (1,7). Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB. diikuti fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH (8).
Pengobatan topikal pada tuberkulosis kutis tidak sepenting pengobatan sistemik. Pada skrofuloderma, jika ulkus masih mengandung pus dikompres, misalnya dengan larutan kalium permanganas 1/5000 (1). Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan, prognosisnya baik.










DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005. Pages: 64-72
2. Kerdel F.A., Jimenez-Acosta A., Dermatology: Just the fact. USA: McGraw-Hill Inc. 2003. Pages: 85-86
3. Siregar R.S., Atlas berwarna saripati penyakit kulit, edisi kedua. Jakarta: EGC. 2005. Pages: 173-179
4. Arnold, Harry,L., Odom, Richard,B., James, William,D. Andrew’s DiseaseOf The Skin. Clinical Dermatology 8th ed. Philadelphia. W.B.Saunders Co. 1990. Pages: 375-384
5. Fitzpatrick, Thomas,B., Johnson,Richard, Alen., Wollf, Klaus., Polano, Machiel,K., Suurmanol, Dick. Color Atlas Synopsis Of Clinical Dermatology. Common And Serious Disease 3rd ed. USA. McGraw Hill Co. 1997. Pages: 664-668
6. AN. Mycobacterial Skin Infections Tuberculosis of The Skin. http://www.drmhijazy.com/english/chapters/chapter07.htm#54
7. Olawunmi A. Fatusi, Olaniyi Onayemi, Kehinde E. Adebiyi, Victor A. Adetiloye, Foluso J. Owotade, Olumayowa A. Oninla. Tuberkulosis Cutis Orificialis (TBCO)/Lupus Vulgaris (LV): Simultaneous Occurrence And Review Of The Literature. The Internet Journal of Infectious Diseases. 2005. Volume 4 Number 2
8. Lebwohl M.G., Heymann W.R., Berth-Jones J., Coulson I., Treatment of Skin Disease: Comprehensive and Theraupetic Strategis. USA: Mosby Inc. 2002. Pages: 640-641
9. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan., Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Jakarta. 2000. Pages: 234-236




Senin, 26 November 2007

Ruptur Membran Pre Persalinan

Persalinan atau premature rupture membrane (PROM) terjadi sebelum waktu persalinan. Interval antara rupture membrane dan persalinan biasanya selama 1 jam. Jika hal tersebut terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut preterm PROM. Pada preterm PROM, prognosis bagi ibu dan anak adalah jelek. Sementara beberapa penelitian memusatkan perhatian pada pemecahan masalah mengenai prognosis yang mungkin dapat lebih baik, masih terdapat beberapa informasi yang kontroversial. Pilihan penatalaksanaan terbaru mencakup pemberian antibiotik, kortikosteroid, tokolitik.

Insidensi
PROM terjadi 2 -18% kehamilan, sedangkan preterm PROM umumnya jarang terjadi 0,7-4% kehamilan. Jumlah preterm sebanyak 20-40% kasus PROM.

Diagnosis
Kebanyakan kasus PROM dapat didiagnosis berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik harus dikerjakan secara hati-hati untuk meminimalisasai resiko infeksi, terutama sebelum term. Pemeriksaan pelvic manual meningkatkan resiko infeksi, yang masuk melalui pemeriksaan speculum sehingga harus dihindari, kecuali persalinan cepat dan kelahiran yang telah dipersiapkan.
Diagnosis diferensial meliputi kebocoran urin, discharge vagina yang berlebihan dengan dilatasi berat atau prolap membrane, servisitis, perdarahan, semen dan cairan vagina.
Pemeriksaan menggunakan speculum servik dapat memperkuat diagnosis dan memberikan ahli obstetric secara visual gambaran servisitis, tali pusat dan prolap janin. Dilatasi servik dan “effacement” dapat dinilai dan diperoleh kultur jika tepat. Diagnosis rupture membrane juga diperkuat dengan penilaian cairan amnion pada forniks posterior vagina atau cairan amnion yang melewati saluran serviks.
Tes laboratorium “bedside” dapat mempertegas cairan amnion. Tes laboratorium mencakup tes pH, tes “ fern”, Nile blue tes.
PH sekresi vagina umumnya 4,5 – 6,0 sedangkan cairan amnion pHnya 7,1 – 7,3. Tes dikatakan posistif bila kertas Nitrazin berubah biru (pH > 6,0 – 6,5). Positif palsu dapat terjadi dalam keadaan kontaminasi dengan darah atau semen, antiseptic alkaline atau vaginosis bakteri. Sedangkan negative palsu dapat terjadi ketika ada kebocoran cairan amnion yang diperlama dengan minimal residu.
Tes fern dilakukan dengan swab forniks posterior dan cairan vagina yang dibiarkan kering di atas slide mikroskop. Tes positif bila arborization (ferning) tampak di bawah mikroskop. Positif palsu dapat terjadi bila mucus serviks terjadi ferning.
Tes Nile blue dilakukan dengan penembahan 1 tetes cairan vagina pada 1 tetes 0,1% Nile blue sulfat di atas slide mikroskop. Tes posistif bila sel lemak janin (sel non-nukleasi) berwarna merah. Negatif palsu dapat terjadi pada umur kehamilan dibawah 36 minggu dan perpanjangan rupture membrane.
Keakuratan tes pH, tes fern dan tes Nile blue diperlihatkan pada table 1. Tidak ada satupun yang benar-benar akurat. Kita menganjurkan teknik menyatupadukan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan tes laboratorium yang telah disebutkan di atas untuk diagnosis. Kombinasi ini mempunyai nilai keakuratan 93,1%.
Jika riwayat, pemeriksaan fisik atau tes laboratorium tidak jelas, pemeriksaan USG mungkin berguna untuk mengetahui oligohidramnion. Terdapatnya oligohidramnion dan anomali saluran kencing janin atau pertumbuhan yang terganggu mendukung PROM. Jika ruptuir membrane tidak dapat didiagnosis oleh riwayat, pemeriksaan fisik, tes laboratorium dan USG, secara USG dengan bantuan pemberian zat warna indigocarmine secara transabdominal ( 1 ml dalam 9 ml salin normal steril) yang diikuti pengamatan terhadap aliran cairan biru dari vagina dalam 30 menit amniosentesis.



Preterm PROM
Etiologi
Banyak faktor yang telah diperlihatkan sampai meningkatkan preterm PROM, :
Infeksi intrauterine
Infeksi saluran reproduksi lain (Vaginosis bacterial, Trichomoniasis, Gonorre, Clamydia, Urealytikum ureaplasma, Gardnella vaginalis, Bacteroides, Staphylococcus aureus), kolonisasi servik (Streptococcus grup B), sebelum kelahiran preterm (khususnya yang berkaitan dengan PROM), perdarahan vagina, cervical cerclage, cervical inkompeten, distensi uterin (kehamilan multiple, hydramnion), membrane janin oleh flora vagina, asap rokok, status pemaparan nutrisi dan status sosial ekonomi rendah. Mekanisme kegagalan diperlihatkan pada gambar 1.

Riwayat Alami
Riwayat alami preterm PROM adalah persalinan ; 49-93% wanita dengan preterm PROM yang mengalami persalinan dalam 48 jam (tabel 2) dan 5,3-51% mengikuti kehamilan selama 7 hari. Pasien tersebut yang mencapai periode laten lebih dari 48 jam, penundaan kelahiran selama seminggu atau lebih dapat diharapkan. Keuntungan nyata terhadap janin telah diperlihatkan pada wanita yang mengalami perpanjangan periode laten. Periode laten minimal 7 hari menghasilkan penurunan morbiditas dan mortalitas neonatal dibandingkan dengan kelahiran dalam 48 jam. Preterm PROM dapat mempercepat proses maturasi. Terdapat penurunan kematian neonatal berkisar dari 8% dalam kelompok yang melahirkan segera sampai 0% dalam kelompok janin yang dilahirkan 48 jam atau lebih setelah preterm PROM.
Rata-rata periode laten setelah midtrimester preterm PROM (umur kehamilan sebelum 26 minggu) adalah 6,6 hari.Bagaimanapun median periode laten ini tidak berbeda dengan yang terjadi setelah preterm prom (2,2-3,6 hari). Dalam midtrimester preterm PROM, 57% wanita melahirkan dalam 1 minggu, 73,4% dalam 2 minggu dan 78% dalam 1 bulan.
Berdasarkan keuntungan dan perpanjangan periode laten ini, tindakan yang lebih aktif telah dilakukan dalam rangka usaha untuk meningkatkan presentasi pasien yang menunda kelahiran 48 jam. Penatalaksanaan tersebut sudah termasuk penggunaan tokolitik dan antibiotik.

Akibat Maternal
“Expectant Managemen” preterm PROM mengakibatkan resiko maternal : korioamnionitis, metritis, abrupsi plasenta (tabel 3). Resiko infeksi meningkat tergantung umur kehamilan.
Beberapa penelitian telah dilaporkan peningkatan kejadian korioamnionitis pada PROM berkisar 10 - 40%. Korioamnionitis terjadi lebih sering pada wanita dengan preterm PROM dibandingkan term PROM (26% preterm berbanding 6,7% term). Sampai 30% kasus juga terjadi infeksi postpartum.
Komplikasi infeksi mencakup lamanya tinggal di rumah sakit, sepsis dan yang jarang kematian maternal. Pada wanita yang didiagnosis korioamnionitis yang menjalani Seksio Cesaria (SC) resiko mengalami peningkatan untuk komplikasi operasi sangat potensial, contoh post operasi abses pelvis dan infeksi luka.
Wanita dengan PROM juga lebih sering membutuhkan persalinan dengan SC. Alasannya mencakup peningkatan kejadian malposisi pada janin dan variasi perlambatan berulang pada denyut jantung janin.
Faktor resiko lain adalah abruptio plasenta yang membesar. Resiko meningkat sebanyak 4 - 8 kali lipat dibandingkan rata-rata semula kurang dari 1%. Hal ini dapat mengakibatkan perdarahan, hipovolemi dan koagulapathi. Pengurangan tekanan uterus diakibatkan penurunan area permukaan intrauterin maka dari itu terjadi gangguan perlengketan plasenta.

Akibat Pada Janin
Penyebab umum dari morbiditas dan mortalitas pada kejadian PROM adalah prematuritas dan sepsis. Mayoritas perempuan dengan PROM akan melahirkan prematur. PROM yang terjadi sebelum umur kehamilan 34 minggu terjadi hanya 1,7% dari semua kehamilan, tetapi mencapai sejumlah 20% dari mortalitas perinatal. Komplikasi yang paling umum pada semua umur kehamilan sebelum mencapai aterm adalah respiratory distress syndrome (RDS). Komplikasi serius lainnya necrotizing entero colitis (NEC) dan intraventricular haemorrhage (IVH).
Sepsis terjadi rata-rata 10% pada semua persalinan preterm dan tergantung pada umur kehamilan. Pada umur kehamilan kurang dari 29 minggu, kejadian sepsis neonatal adalah 35 - 45%; setelah 29 minggu kurang dari 10%. Resiko sepsis neonatal meningkat 6 kali lipat pada kejadian dari korioamnionitis.
Pada bayi preterm, angka kelangsungan hidup berbanding terbalik dengan umur kehamilan. Angka mortalitas berkisar antara 90% pada umur kehamilan 24 minggu, kurang dari 1% pada umur kehamilan 35 minggu, yang mempunyai kemampuan hidup lebih dari 90% pada umur kehamilan 30 minggu (tabel 4).
Morbiditas yang berat lebih banyak terjadi pada neonatus yang lahir pada umur awal kehamilan. Angka kejadian RDS menurun 100% pada umur kehamilan 25 minggu mendekati 0% pada umur kehamilan 37 minggu. Angka kejadian IVH, patent ductus arteriosus (PDA), NEC, dan sepsis secara pasti menurun setelah umur kehamilan 32 minggu dan mencapai 5% setelah 34 minggu. Bayi yang bertahan hidup pada semua komplikasi ini kebanyakan mempunyai masalah jangka panjang yang meliputi penyakit paru kronik, kelainan neurologi seperti serebral palsy, kebutaan, short bowel syndrome dan gangguan perkembangan.
Komplikasi neonatal yang lain pada PROM adalah komplikasi tulang belakang seperti prolaps dan kompresi, terbukti adanya denyut jantung janin abnormal. Jika PROM dan oligohidramnion lama (terjadi sebelum umur kehamilan 24 minggu) janin memiliki penampakan wajah abnormal, deformitas ekstremitas, gangguan pertumbuhan dan hipoplasi pulmoner.

Penatalaksanaan
Penilaian awal harus meliputi evaluasi persalinan dan janin yang mencurigakan dan infeksi intrauterin. Jika terdapat korioamnionitis kehamilan harus diterminasi tanpa memperdulikan umur kehamilan. Tidak adanya korioamnionitis penatalaksanaan tergantung pada lamanya umur kehamilan.
Presentasi janin harus ditentukan setelah swab servik dikultur, pengawasan jangka panjang harus dilakukan sampai identifikasi kompresi tali umbilikus yang jelas awal kelahiran. Pemeriksaan ultrasound dapat menilai umur kehamilan, identifikasi anomali janin, gangguan pertumbuhan janin yang jelas, dan dapat mengetahui volume cairan amnion. Jika tidak ada kecurigaan pada janin dan tidak ada infeksi intrauterin,penatalaksanaan harus dapat dilaksanakan. Pasien harus dinilai secara periodik untuk kejadian infeksi atau persalinan. Jika janin mempunyai paru-paru matur mengikuti PROM pada umur kehamilan 32 - 36 minggu, induksi persalinan dapat dipertimbangkan. Kematangan paru janin dapat ditentukan oleh perbandingan lesitin / spingomielin (L/S) atau pospatidilgliserol dari cairan amnion. Data klinik mengenai “expectant management” dibandingkan dengan induksi segera pada 30 - 34 dan 32 - 36 minggu umur kehamilan memperlihatkan peningkatan resiko korioamnionitis dan pemanjangan masa rawat inap dengan “expectat management”, tetapi resiko yang sama pada RDS, IVH, NEC dan kematian neonatal. Ketika persalinan terjadi secara induksi atau spontan, antibiotik profilaksis untuk infeksi streptococcus grup B harus diberikan intra partum.

Expectant Management
Expectant Management harus meliputi sebagai berikut :
Modifikasi bed rest untuk mempertinggi reakumulasi cairan amnion dan istirahat total pelvis untuk mencegah infeksi.
Penilaian periodik untuk kejadian infeksi atau persalinan. Peningkatan hitung sel darah putih (WBC) maternal adalah gold standar klinis untuk diagnosis pasti infeksi sistemik, meskipun tes ini tidak spesifik. Hitung darah komplit harus diulang tiap minggu untuk mengawasi kejadian infeksi. Tetapi pengawasan untuk kejadian persalinan harus dikerjakan tiap hari secara manual atau elektronik.
Kondisi janin harus diawasi secara rutin. Non stress test (NST) merupakan alat yang adekuat untuk mengetahui infeksi intrauterin dan biaya yang terjangkau. NST harus dikerjakan tiap hari pada semua pasien preterm PROM. Biophysical prifile (BPP) harus disediakan pada NST yang tidak reaktif atau tidak memuaskan. Variasi yang paling dapat ditentukan dengan BPP untuk infeksi adalah pernafasan janin. Jika NST tidak reaktif dan pernafasan abnormal janin bersamaan dengan tidak ada gerakan janin, persalinan harus dimulai.
Antibiotik harus diberikan pada pasien dengan preterm PROM. Antibiotik secara pasti memperpanjang kehamilan dan menurunkan morbiditas maternal dan neonatal. Sediaan antibiotik yang optimal tidak ada aturan pasti, tetapi penelitian terbaik yang terbaru menggunakan jenis spektrum yang luas secara intravena ( ampicillin + eritromisin ) selam 48 jam diikuti terapi oral jangka pendek dikombinasi jenis spektrum luas ( amoxillin + eritromisin ). Dari penelitian evidence based, antibiotik harus secara rutin diberikan pada preterm PROM ( 24 – 34 minggu ) karena keuntungannya lebih besar.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm PROM telah dilaporkan secara pasti manurunkan kejadian RDS, IVH dan NEC. Konsensus panel National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm PROM sebelum umur kehamilan 30 – 32 minggu yang tidak ada infeksi intra amnion. Sediaan terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.
Tokolitik profilaksis setelah preterm PROM memperpanjang fase laten selama 1-2 hari, meskipun terapi tokolitik ( yang dilakukan setelah mulai kontraksi ) tidak terjadi. Nilai tokolitik profilaksis selama 1-2 hari dan kortikosteroid pada preterm PROM untuk meningkatkan maturitas paru janin tidak adekuat bila dievaluasi. Penatalaksanaan tersebut dapat meningkatkan resiko korioamnionitis dan endometritis.

TERM PROM
Etiologi
Banyak faktor yang meningkatkan resiko term PROM sama seperti preterm PROM: infeksi intrauterin, infeksi saluran reproduktif lain (vaginosis bakteri, trichomoniasis, ganore, clamidia, ureaplasma urealitikum, gardnerrella vaginalis, bacteriodeas, Sthaphyllococcus aureus), cervikal colonization (streptococcus grup B),sebelum persalinan preterm (khususnya yang berhubungan dengan PROM), perdarahan vagina, cervikal cerclage, inkompetensi servik distensi uteri (kehamilan multipel, hidramnion), pemaparan membran janin oleh flora vagina, asap rokok, status nutrisi dan status sosial ekonomi yang rendah. Faktor lainnya sel apoptotik banyak terjadi pada area berdekatan dengan sisi yang ruptur pada term PROM.

Riwayat Alamiah
Ketika PROM terjadi pada term penuh, 50% wanita akan melahirkan dalam waktu 5 jam dan 95% dalam waktu 28 jam dari pecahnya membran.

Akibat Maternal
Expectant Management dari term PROM mempunyai resiko maternal yang sama dengan preterm PROM seperti korioamnionitis, metritis, plasenta abrupsi tetapi resiko lebih rendah daripada preterm PROM.

Akibat pada Janin
Penyebab umum dari morbiditas dan mortalitas neonatal pada term PROM adalah sepsis. Resiko sepsis neonatal meningkat 6 kali pada korioamnionitis.
Komlikasi neonatal lainnya pada term PROM adalah kompilkasi cord seperti prolap cord dan kompresi cord, terbukti dengan DJJ yang abnormal.

Penatalaksanaan
Jika korioamnionitis terjadi, kehamilan harus diterminasi setelah kultur swab servik dan penilaian adanya infeksi janin harus dinilai dengan monitoring DJJ. Sertvik kemudian dinilai untuk menentukan apakah induksi persalinan tepat.
Jika kondisi servik tidak baik, pematangan servik diikuti dengan induksi persalinan harus dipertimbangkan, karena hasilnya tidak berbeda pada persalinan induksi atau “expectant management”. Induksi dapat dilakukan segera atau ditunda 24-72 jam. Jika waktu masuk sampai persalinan dipercep[et oleh induksi, persalinan akan lebih panjang dan kebutuhan alat persalinan vagina akan lebih besar. Meskipun resiko infeksi maternal dapat meningkat dengan “expectant management” tidak berbeda dengan SC dan komplikasi infeksi neonatal telah diobservasi dibandingkan dengan persalinan induksi.
Jika kondisi servik bagus, sedikit yang diuntungkan persalinan yang ditunda, persalinan harus diinduksi dengan oksitosin atau prostaglandin. Pemeriksaan vagina harus dihindari selama masa laten persalinan dan diminimalisasi selama fase aktif. Jika durasi total dari pecahnya membrane diperkirakan melebihi 18 jam atau faktor resiko lain berupa infeksi streptokokus grup B. Antibiotik profilaksis harus diberikan intrapartu.

Ringkasan
PROM adalah komplikasi penting yang terjadi pada 2 - 18% dari kehamilan. Diagnosis berdasarkan riwayat klinis dan pemeriksaan fisik. Tes laboratorium juga menentukan diagnosis. Morbiditas maternal dan neonatal meningkat terutama pada preterm PROM. Penatalaksanaan PROM akan dipengaruhi oleh ada tidaknya korioamnionitis dan oleh umur kehamilan. Pemeriksaan digital harus dicegah kecuali mendekati persalinan. Tidak adanya infeksi intrauterine dan resiko janin membahayakan atau umur kehamilan kurang dari 30 – 32 minggu, penatalaksanaan harus ekspektan. Kortekosteroid antenatal harus diberikan untuk meningkatkan maturitas paru janin. Antibiotik harus diresepkan tetapi manfaat tokolitik belum pasti.




Presentasi Bokong

Angka kematian ibu bersalin dan angka kematian perinatal merupakan indikator yang paling peka untuk menilai keberhasilan program kesehatan ibu dan anak.1 Malpresentasi dapat mengakibatkan timbulnya penyebab kematian perinatal termasuk diantaranya adalah kelainan presentasi bokong, kejadian hipoksia dan trauma lahir pada perinatal sering ditemui pada kasus persalinan dengan malpresentasi yaitu pada presentasi bokong.2

Kematian perinatal langsung yang disebabkan karena persalinan presentasi bokong sebesar 4-5 kali dibanding presentasi kepala. Sebab kematian perinatal pada persalinan presentasi bokong yang terpenting adalah prematuritas dan penanganan persalinan yang kurang sempurna, dengan akibat hipoksia atau perdarahan di dalam tengkorak. Trauma lahir pada presentasi bokong banyak dihubungkan dengan usaha untuk mempercepat persalinan dengan tindakan-tindakan untuk mengatasi macetnya persalinan.3
Kehamilan dengan presentasi bokong merupakan kehamilan yang memiliki risiko. Hal ini dikaitkan dengan abnormalitas janin dan ibu. Frekuensi dari letak sungsang ditemukan kira-kira 4,4 % di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan dan 4,6 % di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.4,5
Banyak faktor yang dapat menyebabkan kelainan letak presentasi bokong, diantaranya paritas ibu dan bentuk panggul ibu. Angka kejadian presentasi bokong jika dihubungkan dengan paritas ibu maka kejadian terbanyak adalah pada ibu dengan multigravida dibanding pada primigravida, sedangkan jika dihubungkan dengan panggul ibu maka angka kejadian presentasi bokong terbanyak adalah pada panggul sempit, dikarenakan fiksasi kepala janin yang tidak baik pada Pintu Atas Panggul.5
A. DEFINISI
Presentasi Bokong merupakan letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang terendah sehingga kepala berada di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri.2,4,5

B. ETIOLOGI
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap ruangan di dalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32 minggu, jumlah air ketuban relatif lebih banyak, sehingga memungkinkan janin bergerak dengan leluasa. Dengan demikian janin dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala, presentasi bokong atau letak lintang.4
Karena berbagai sebab yang belum diketahui begitu jelas, menjelang kehamilan aterm, kavum uteri telah mempersiapkan janin pada posisi longitudinal dengan presentasi belakang kepala. Presentasi bokong umumnya terjadi pada akhir trimester kedua kehamilan atau mendekati aterm.5
Faktor predisposisi untuk presentasi bokong selain usia kehamilan adalah relaksasi uterus yang dapat disebabkan oleh multiparitas, bayi multipel, hidramnion, oligohidramnion, hidrosefalus, anensefalus, presentasi bokong sebelumnya, anomali uterus dan berbagai tumor dalam panggul juga pada plasenta yang terletak didaerah kornu fundus uteri.4,5

C. KLASIFIKASI 5
1.Presentasi bokong murni (Frank Breech)
Yaitu fleksi ekstremitas bawah pada sendi paha dan ekstensi lutut sehingga kaki terletak berdekatan dengan kepala.
2.Presentasi bokong lengkap (Complete Breech)
Yaitu satu atau kedua lutut lebih banyak dalam keadaan fleksi dari pada ekstensi.
3.Presentasi bokong tidak lengkap (Incomplete Breech)
Yaitu satu atau kedua sendi paha tidak dalam keadaan fleksi dan satu atau kedua kaki atau lutut terletak dibawah bokong, sehingga kaki atau lutut bayi terletak paling bawah pada jalan lahir,terdiri dari :
Letak kaki :
Kedua kaki terletak dibawah = letak kaki sempurna
Hanya satu kaki terletak dibawah = letak kaki tak sempurna
Letak lutut :
Kedua lutut terletak paling rendah (letak lutut sempurna)
Hanya satu lutut terletak paling rendah (letak lutut tak sempurna)

D. DIAGNOSIS
1.Pemeriksaan Abdomen 5
Palpasi
Dengan perasat Leopold didapatkan;
Leopold I : Kepala janin yang keras dan bulat dengan balotemen menempati bagian fundus uteri
Leopold II : Teraba punggung berada satu sisi dengan abdomen dan bagian-bagian kecil berada pada sisi yang lain.
Leopold III : Bokong janin teraba di atas pintu atas panggul selama engagement belum terjadi.
Auskultasi
Denyut jantung janin biasanya terdengar paling keras pada daerah sedikit diatas umbilikus, sedangkan bila ada engagement kepala janin, denyut jantung janin terdengar dibawah umbilikus.
2.Pemeriksaan dalam
Untuk mengetahui bokong dengan pasti, kita harus meraba os sacrum, tuber ossis ischii, anus. 4
3.Pemeriksaan Penunjang.
Apabila masih ada keraguan harus dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografik atau M.R.I. (Magnetic Resonance Imaging). 4


E. PENANGANAN
Penanganan dalam persalinan6
Jenis pimpinan persalinan pada presentasi bokong, antara lain;
1.Persalinan pervaginam
Berdasarkan tenaga yang dipakai dalam melahirkan janin pervaginam, persalinan pervaginam dibagi menjadi 3 yaitu;
a.Persalinan spontan (spontaneous breech)
Janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri. Cara yang lazim dipakai disebut cara BRACHT.
1)Tahap pertama : fase lambat, Lahirnya bokong sampai dengan umbilikus, spontan
2)Tahap kedua : fase cepat, lahirnya umbilikus sampai mulut
3)Tahap ketiga : fase lambat, lahirnya mulut sampai kepala.
Tehnik : Hiperlordosis badan bayi

b.Ekstraksi Parsial / EP (Manual aid / partial breech extraction)
Janin dilahirkan sebagian dengan tenaga dan kekuatan ibu dan sebagian lagi dengan tenaga penolong.
Indikasi;
1)Bila pertolongan cara bracht gagal
2)Elektif, karena sejak semula direncanakan pertolongan dengan manual aid.
Tahapan dalam manual aid;
1)Tahap pertama : lahirnya bokong sampai umbilikus, spontan
2)Tahap kedua : lahirnya bahu dan lengan dengan tenaga penolong baik secara klasik (Deventer), Mueller atau Lovset.
3)Tahap ketiga : Lahirnya kepala dengan cara Mauriceau (Veit-smellie), Najouk, Wigand Martin-Winckel, Prague terbalik atau dengan cunam piper.

c.Ekstraksi Total / ET (Total breech extraction)
Janin dilahirkan seluruhnya dengan memakai tenaga penolong. Cara ini dilakukan hanya bila terjadi fetal distress atau ada indikasi untuk menolong persalinan dengan ekstraksi total.

2.Persalinan perabdominam (Sectio Cesaria / SC).
Persalianan presentasi bokong dengan Sectio Cesaria merupakan cara yang terbaik ditinjau dari janin. Banyak ahli melaporkan bahwa persalinan presentasi bokong secara pervaginam, memberi trauma yang sangat berarti bagi janin, yang gejala-gejalanya akan tampak pada waktu persalinan maupun dikemudian hari.6
Namun hal ini tidak berarti bahwa semua presentasi bokong harus harus dilahirkan secara perabdominam. Beberapa kriteria yang dapat dipakai pegangan bawa presentasi bokong harus dilahirkan secara perabdominam, antara lain;
1)Primigravida tua,
2)Nilai sosial janin tinggi,
3)Riwayat persalinan yang buruk,
4)Taksiran berat janin besar ³ 3500 kg,
5)Dicurigai terdapat kesempitan panggul
6)Prematuritas. 6
Sebelum melakukan pertolongan persalinan sebaiknya dilakukan penilaian persalinan sungsang. Metode penilaian yang lazim dipakai adalah dari Zatuchni-Andros.

DAFTAR PUSTAKA

1.Yuliawati, S., Analisis Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Terjadinya Kematian Perinatal di Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali tahun 1998-2000, Tesis FK UGM, Yogyakarta, 2001

2.Collea,J.V., Malpresentation and Cord Accident, in; Pernoll,M.L., Benson,R.C., Current Obstetric and Gynecologic Diagnostic and treatment, Appleton and longer, LA,1987

3.Benson,R.C., Current Obstetric and Gynecologic Diagnostic and treatment, 3rd ed, Lange Medical Publication, Maruzen Asia, Singapore,1980

4.Martohoesodo,S., Hariadi,R., Distokia karena kelainan letak serta bentuk janin, dalam Ilmu Kebidanan Edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002, hal;595-636

5.Cunningham, F.G., Mac.Donald, P.C., Gant, N.F., Distosia karena kelainan pada presentasi, posisi atau perkembangan janin , Obstetri Williams (18th ed), Suyono, J., Hartono, A., ( Alih Bahasa ), Jakarta : EGC, 1995

6.Angsar,M.D., Setjalilakusuma,L., Persalinan sungsang, dalam Ilmu Bedah Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2000, hal;104-122

Klimakterium

Sekitar separuh dari semua wanita berhenti menstruasi antara usia 45 dan 50, sekitar seperempat berhenti sebelum umur 45 tahun, dan seperempat lainnya terus menstruasi sampai melewati umur 50 tahun. Istilah klimakterium berasal dari kata Yunani yang berarti “anak tangga” dan mengandung hubungan yang sama dengan menopause seperti istilah pubertas dengan menarke. Klimakterium merujuk pada waktu dalam kehidupan seorang wanita yang dikenal kaum awam sebagai “perubahan hidup”.

II.1. Definisi
Klimakterium adalah masa yang bermula dari tahap reproduksi sampai berakhir pada awal senium, yaitu pada wanita berumur 40 – 65 tahun. (1)
Masa klimakterium ditandai dengan berbagai macam keluhan endokrinologi dan vegetatif.
Keluhan tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya fungsi ovarium. Gejala dari menurunnya fungsi ovarium ini ditandai dengan hentinya menstruasi pada seorang wanita yang disebut menopause. (1, 2)
Waktu 4 – 5 tahun sebelum menopause disebut masa premenopause, sedangkan 3 – 5 tahun setelah menopause disebut masa pasca menopause. (1)

II.2. Etiologi
Sebelum seorang wanita tersebut menopause, maka akan terjadi beberapa perubahan pada ovariumnya seperti sklerosis pembuluh darah, berkurangnya jumlah folikel dan menurunnya sintesis steroid seks.
Penurunan fungsi dari ovarium tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan ovarium untuk menjawab rangsangan Gonadotropin, keadaan ini menyebabkan terganggunya interaksi hipotalasmus-hipofisis. Pertama-tama terjadi kegagalan fungsi korpus luteum, kemudian produksi steroid ovarium menurun sehingga reaksi umpan balik negatif terhadap hipotalasmus berkurang, keadaan ini dapat meningkatkan produksi FSH dan LH. (2)

II.3. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari defisiensi estrogen dapat berupa gangguan Neurovegetatif, gangguan psikis, gangguan somatik dan gangguan siklus haid.
Gangguan neurovegetatif yang disebut juga gangguan vasomotorik dapat muncul sebagai gejolak panas, keringat banyak, rasa kedinginan, sakit kepala, berdebar-debar, jari atrofi dan gangguan usus.
Gangguan psikis muncul dalam bentuk mudah tersinggung, depresi, kelelahan dan sulit tidur.
Gangguan somatik, selain amenorhea atau gangguan haid, inkontinensia urine, disuria, osteoporosis, artritis dan aterosklerosis. (3)

II.4. Diagnosis
Diagnosis sindroma klimakterium ditegakkan berdasarkan umur dan keluhan yang timbul.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan adanya peningkatan kadar FSH serum.
FSH biasanya meningkat 10 – 20 kali lebih banyak, sedangkan LH meningkat 5 – 6 kali lebih banyak.
Secara endokrinologia, masa klimakterium ditandai oleh menurunnya kadar estrogen dan meningkatnya pengeluaran Gonadotropin. (1, 2)

II.5. Penatalaksanaan
Pengobatan dasar dari sindroma klimakterium ini meliputi :
Psikoterapi
Sedativa – psikofarmaka
Balneoterapi (pengaturan diet)
Substitusi hormonal.
Atas dasar bahwa sindroma klimakterium terutama disebabkan oleh kekurangan hormon estrogen, maka pilihan utama untuk pengobatannya adalah pemberian substitusi estrogen dengan syarat wanita tersebut tidak menderita tumor yang bergantung pada estrogen (estrogen dependent) misalnya : adanya mioma uteri. (1, 2)



II.6. Cara pemberian estrogen
Pemberian substitusi estrogen bergantung pada keadaan estrogen penderita, untuk itu maka dibedakan dua kelompok (jenis) penderita klimakterium, yaitu :
a.Penderita yang masih haid, tetapi keluhan sudah ada atau penderita sudah tidak haid lagi dengan uterus utuh tetapi tidak responsif (pada setiap pemberian estrogen atau progesteron akan terjadi haid lagi).
b.Penderita yang sudah lama tidak haid lagi (menopause dan pasca menopause) dengan uterus utuh tetapi tidak responsif (diberi estrogen atau progesteron tetap tidak terjadi perdarahan) termasuk jika penderita dengan uterus yang telah diangkat. (1, 2, 3)
Pengobatan kelompok 1
Estrogen hari ke-5 – 25 siklus haid, progesteron hari ke- 26 – 30 siklus haid.
Pil Kb yang mengandung estrogen dan progesteron setelah beberpa bulan pengobatan, keluhan hilang dan haid kembali normal, pengobatan dihentikan, tetapi jika keadaan tersebut muncul kembali, maka pengobatan diteruskan lagi. (1, 2, 3)
Pengobatan kelompok 2
Cukup dengan pemberian estrogen dosis rendah selama 21 hari berturut-turut diikuti istirahat 7 hari. Selama istirahat tersebut diperhatikan keluhan hilang atau menetap, jika hilang pengobatan stop, tetapi jika masih pengobatan diteruskan. (4)
Mengingat estrogen juga mempengaruhi payudara (bila menjadi keganasan) maka dianjurkan pengobatannya dengan progesteron, Caranya :
Pemberian estrogen beberapa tahun ternyata menurunkan kejadian patah tulang (± 50 – 60 %) dan mencegah jantung koroner (40 – 50 %) atas dasar ini pemberian estrogen sejak awitan masa perimenopause, estrogen dapat diberikan 8 – 10 tahun, bahkan jangka pemberian bisa sampai 30 – 40 tahun. (1)


II.7. Kontra indikasi pemberian estrogen
Tromboemboli, pada penyakit hari, kolelitiasis
Gangguan sekresi bilirubin (Sind. Dubi Johson)
R. ikterus dalam kehamilan
Carcinoma endometrium, ca. camma, anemia berat
Varises berat
Penyakit ginjal. (1)
Syarat pemberian estrogen
Tekanan darah normal
Uji sitologi normal
Besar uterus normal
Tak ada varises extremitas bawah
Tidak terlalu gemuk
Kelenjar tiroid normal
Hb, kolesterol total, kalsium, fungsi hati normal. (1)
Pemberian estrogen harus dimulai dengan estrogen lemah, (estriol) dan dimulai dengan dosis rendah, sehingga untuk terapi jangka panjang tidak perlu digabung dengan endomentrium rendah, lain halnya dengan etinil estradiol atau estrogen terkonjugasi, pemberian perlu digabung dengan progesteron. (3)

DAFTAR PUSTAKA


1.Wiknjosastro, H, 1997, Wanita dalam Berbagai Masa Kehidupan, edisi ke-3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

2.Baziad, A, 1993, Endokrinologi Ginekologi, Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia, Jakarta.

3.Wiknjosastro, H, 1997, Endokrinologi Reproduksi Pada Wanita, edisi ke-3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

Ketuban Pecah Dini

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih kontroversial dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada, selalu berubah. KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan konservatif (1,2).

Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan, sehingga masa tunggu akan memanjang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup. (2,3,7)
Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal ada bisa menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk mempercepat persalinan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko terjadinya infeksi ; kedua, adalah kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering terjadi pada kehamilan kurang bulan. Masalah yang sering timbul pada bayi yang kurang bulan adalah gejala sesak nafas atau respiratory Distress Syndrom (RDS) yang disebabkan karena belum masaknya paru. (4)
Protokol pengelolaan yang optimal harus memprtimbangkan 2 hal tersebut di atas dan faktor-faktor lain seperti fasilitas serta kemampuan untuk merawat bayi yang kurang bulan. Meskipun tidak ada satu protokol pengelolaan yang dapat untuk semua kasus KPD, tetapi harus ada panduan pengelolaan yang strategis, yang dapat mengurangi mortalitas perinatal dan dapat menghilangkan komplikasi yang berat baik pada anak maupun pada ibu.
II.1. Definisi
Ada bermacam-macam batasan, teori dan definisi mengenai KPD. Beberapa penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban pecah spontan dan tidak diikuti tanda-tanda persalinan (1-10,15), ada teori yang menghitung beberapa jam sebelum inpartu, misalnya 1 jam (9,11,12) atau 6 jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan dalam ukuran pembukaan servik pada kala I, misalnya ketuban pecah sebelum pembukaan servik pada primigravida 3 cm dan pada multigravida kurang dari 5 cm. (10)

II.2. Insidensi
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 - 10 % dari semua kehamilan.(6) Hal yang menguntungan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 % (3), sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kekahiran prematur. (1)
KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang kurang bulan. Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan RDS. (4)

II.3. Etiologi
Walaupun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. (2,8,13) Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah:
Infeksi
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. (4-6,8,11,14)
Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage). (5,8,12,14)
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi.(4,5,14)
Kelainan letak,(12) misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
Keadaan sosial ekonomi (4,15)
Faktor lain
a.Faktor golonngan darah
Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit ketuban. (13)
b.Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu. (12)
c.Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum. (4,12,13,14.15)
d.Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C). (8,14)


II.4. Diagnosa
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkakn bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :
1.Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok.(1,3,9,15) Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut tersebut his belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2.Inspeksi (15)
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas.
3.Pemeriksaan dengan spekulum.
pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior. (1,3,8,9,13,16)
4.Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya diulakaukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
5.Pemeriksaan Penunjang
5.1. Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
5.1.a. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi birumenunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu.(1,7,8,913)
51.b. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis. (1,8,9)
5.2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion.(10,12)
Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana.
II.5. Komplikasi
infeksi intrauterin
Tali pusat menumbung
Prematuritas
Distosia (partus kering)

II.6. Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalan dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya.(4)
Penatalaksaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama masih beberapa masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin.(1,2)
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak diuketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten.(2,3,4,7)
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan dan ada tidaknmya tanda-tanda infeksi pada ibu.
II.6.1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)
Beberpa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya mempunyai hubunngan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya. (13)
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % krhamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah,(16,17) bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan,(1) dan bila gagal dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.(1,2)
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu samapai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.(10)
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria. (7,9)

II.6.2. penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)
Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi (2, 13
Penderita perlu dirawat di rumah sakit,(15) ditidurkan dalam posisi trendelenberg,(13, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga tujuan menunda proses persalinan. (1,15,12)
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada pnderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru,(5,7,8,9,15) jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlansung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulakan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-kompliksai yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi.(1,3,4)
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedan sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll. (11,17)
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan pengolahan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin.(3,9.10,11,17)
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari, pem,eriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam.(3,8)
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS.(8) The National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.(11)

DAFTAR PUSTAKA
1.Smith Joseph.F., Premature Rupture of Membranes, http://www.chclibrary.org/micromed/00061770.html, 2001.
2.Bruce Elizabeth, Premature Rupture of Membrane (PROM), http://www.compleatmother.com/prom.htm, 2002
3.Yancey Michael.K., Prelabor Rupture of Membrane at Term : Inducce or Wait?, medscape General Medicine 1 (1), 1999
4.Anonim, Premature Rupture of Membrane, http://www.medem.com/medlb/article_detaillb_for_printer.cfm?article_ID=zzzcoCHLUJC&sub_cat=2005, 2002.
5.Anonim, Premature Rupture of Membrane, http://www.mcevoy.demon.co.uk/medicine/ObsGyn/Obstetric/labour/PROM.html, 2002
6. Parry Samuel, Strauss Jerome.F, Premature Rupture of the Fetal Membrane dalam The New England Jurnal of medicine, Volume 338:663-670, March, 1998
7.Syaifuddin Abdul Bari, Ketuban Pecah Dini dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal, JNPKKD – POGI bekjerjasama dengan Yayasan Buku Pustaka Suwarno Prawihardjo, Jakarta, 2002, hal : 218 – 220.
8.Hacker Neville.F., Moor J.George, Ketuban Pecah Dini dalam Esensial Obstetri dan Ginekologi, edisi 2, Hipokrates, Jakarta, 2001, hal : 304 – 306
9.Ketuban Pecah Dini dalamBuku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo Bekerjasama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi – POGI, Jakarta, 2002, hal : M-112 – M-115.
10.Komite Medik RSUP DR.Sardjito, Ketuban Pecah Dini dalam Standar Pelayanan medis RSUP DR. Sardjito, Buku I, Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999, hal : 32 – 33.
11.Phupong Vorapong, Prelabour Rupture of Memnranes in Journal of Pediatric, Obstetric and Gynaecology, Nov/Dec, 2003, Hal : 25 – 31
12.Manuaba Ida Bagus Gde, Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan Obstetri Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 – 225.
13.Mokhtar Ristam, Ketuban Pecah Dini dalam Sinopsis Obsteri, Obstetri Fisologi Obstetri Patologi I, EGC, Jakarta, 1994, hal : 285 – 287.
14.Anonim, Premature Rupture of the Membrane,
, 2003

15.Anonim, High-Risk PregnencyPremature Rupture of Membranes (PROM) / Preterm Prematurure Rupture of Membrane,
http://www.musckid.com/health_library/hipregnant/prm.htm, 2001
16.Anonim, Premature Rupture of Membrane (PROM), http://www.womens-health.co.uk/prom.htm, 2002.
17.Anonim, Premature Rupture of the Membranes, http://www.netnurse.com/pregnency/edudocs/c_conn0200.cfm, 2002



Sabtu, 24 November 2007

Sarkoma Ewing

Pada tahun 1921, James Ewing menggambarkan suatu tumor tulang hemoragis-vaskuler yang tersusun dari sel bulat, kecil tanpa disertai pembentukan osteoid yang biasanya terjadi di bagian tengah tulang panjang atau tulang pipih. Tumor ini mulanya diperkirakan timbul dari sel endotelial, namun bukti yang diperoleh baru-baru ini menunjukan bahwa kemungkinan tumor ini berasal dari jaringan saraf primitif.(1)

Tumor ganas tulang yang tidak berasal dari system hematopoetik adalah osteosarkoma, kondrosarkoma, fibrosarkoma dan sarcoma Ewing. Sarkoma Ewing merupakan tumor ganas terbanyak kedua setelah osteosarkoma. Tumor ini tersusun atas sel bulat, lunak yang terjadi seringkali pada tiga dekade pertama dari kehidupan. Kebanyakan terletak pada tulang panjang, meskipun berbagai tulang lain dapat pula terlibat. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, prosedur pemeriksaan penunjang baik invasif maupun non invasif.(2)
Sarkoma Ewing ini sangatlah ganas dengan rendahnya tingkat kesembuhan walaupun dengan pembedahan ablatif baik disertai radiasi ataupun tidak. Namun demikian terapi radiasi pada daerah primer dan daerah metastase yang dikombinasi dengan kemoterapi menggunakan doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine dan dactynomycin dilaporkan dapat meningkatkan kelangsungan hidup penderita sekalipun dengan metastase. Memang terapi multimodalitas diyakini akan meningkatkan proporsi long-term disease-free survival dari kurang 15 % menjadi lebih dari 50 % pada 2 – 3 dekade belakangan ini.(2)
2.1. Definisi
Sarkoma Ewing merupakan tumor maligna yang tersusun atas sel bulat, kecil yang paling banyak terjadi pada tiga dekade pertama kehidupan.(2) Sarkoma Ewing merupakan tumor ganas primer yang paling sering mengenai tulang panjang, kebanyakan pada diafisis. tulang yang paling sering terkena adalah pelvis dan tulang iga.(3)
Sarcoma Ewing adalah neoplasma ganas yang tumbuh cepat dan berasal dari sel-sel primitive sumsum tulang pada dewasa muda.(4)

2.2. Insidensi
Tumor ini paling sering terlihat pada anak-anak dalam usia belasan dan paling sering adalah tulang-tulang panjang.(5)
Pada anak-anak, sarcoma Ewing merupakan tumor tulang primer yang paling umum setelah osteosarkoma. Setiap tahun tidak kurang dari 0,2 kasus per 100.000 anak-anak di diagnosis sebagai sarcoma ewing, dan diperkirakan terdapat 160 kasus baru yang terjadi pada tahun 1993. Di seluruh dunia, insidensinya bervariasi dari daerah dengan insidensi tinggi, misalnya Amerika Serikat dan Eropa ke daerah dengan insidensi rendah, misalnya Afrika dan Cina. Sarkoma Ewing sering juga terjadi pada dekade kedua kehidupan. Jarang terjadi pada umur 5 tahun dan sesudah 30 tahun. Insidensinya sama antara pria dan wanita. Biasanya sarcoma Ewing tidak berhubungan dengan sindroma congenital, tetapi banyak berhubungan dengan anomaly skeletal, misalnya : enchondroma, aneurisma kista tulang dan anomali urogenital, misal : hipospadia.(1)
Ada beberapa faktor resiko yang mempengaruhi insidensi sarcoma Ewing, yaitu :
1). Faktor usia. Insidensi sarkoma Ewing meningkat dengan cepat dari mendekati 0 pada umur 5 tahun dan mencapai puncaknya pada umur 10 -18 tahun. Sesudah umur 20 tahun insidensinya menurun kembali dan mendekati 0 pada umur 30 tahun.
2). Faktor jenis kelamin. Resiko pria sedikit lebih tinggi dibandingkan wanita, tetapi setelah umur 13 tahun insidensinya antara pria dan wanita hampir sama.
3). Faktor ras. Penyakit ini jarang didapatkan pada orang kulit hitam.
4). Faktor genetik, yang dikenal meliputi :
a). Riwayat keluarga. Faktor resiko pada garis keturunan pertama tidak meningkat. Tidak ada sindroma familia yang berhubungan dengan sarcoma Ewing.
b). Anomali genetik, terdapatnya anomali pada kromosom 22, translokasi atau hilangnya kromosom ini terdeteksi pada 85 % penderita sarcoma Ewing.
c). Riwayat penyakit tulang, anomali congenital tertentu dari skeletal, yaitu aneurisma kista tulang dan enchondroma meningkatkan resiko sarcoma Ewing, juga anomali genitourinary seperti hipospadia dan duplikasinya juga berhubungan dengan sarcoma Ewing.(1)

2.3. Patofisiologi dan Histologi
A. Patofisiologi
Menurut Ackerman’s (11) : tipe dari system gradasi yang biasa dipergunakan tampaknya kurang begitu penting dari pada protocol peta regional dan evaluasi histologis. Dengan mikroskop cahaya, sarcoma Ewing tampak sebagai massa difuse dari sel tumor yang homogen. Seringkali terdapat populasi bifasik dengan sel yang besar, terang dan kecil, gelap. Tanda vaskularisasi dan nekrosis koagulasi yang luas merupakan gambaran yang khas. Tumor akan menginfiltrasi tulang dan membuat destruksi kecil. Tepi tumor biasanya infiltratif dengan pola fili dan prosesus seperti jari yang kompak disertai adanya sel basofil yang biasanya berhubungan erat dengan survival penderita yang buruk.(12)
Gambar 1 : Gambaran mikroskop elektron, sarcoma Ewing, sel tumor tidak berdiferensiasi dengan fokus kecil multiple dari glikogen sitoplasma, dihubungkan oleh 2 sel rudimenter.










Sumber : Ackerman’s, : 1989, Surgical Pathology, Eighth Edition.(13)

Menurut WHO (14) : sarcoma Ewing merupakan tumor maligna dengan gambaran histologis agak uniform terdiri atas sel kecil padat, kaya akan glikogen dengan nukleus bulat tanpa nukleoli yang prominen atau outline sitoplasma yang jelas. Jaringan tumor secara tipikal terbagi atas pita – pita ireguler atau lobulus oleh septum fibrosa, tapi tanpa hubungan interseluler serabut retikulin yang merupakan gambaran limfoma maligna. Mitosis jarang didapatkan, namun perdarahan dan area nekrosi sering terjadi.
Gambar 2 : sarcoma Ewing pada tulang femur bagian atas pada pria usia 5 tahun.














Sumber : WHO, 1993, Histological Typing of Bone Tumours.(14)

B. Histologi
Diagnosis adalah satu dari perkecualian neoplasma sel bulat kecil yang lain (small cell osteosarcoma, rhabdomyosarcoma, neuroblastoma dan limfoma) harus disingkirkan. Vaskularitas yang terhambat, nekrosis dan populasi bifasik dari sel besar dan sel kecil gelap sangat khas pada sarcoma Ewing ini.(1)

2.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sarkoma Ewing dapat berupama manifestasi local maupun sistemik. Manifestasi lokal meliputi : nyeri dan bengkak pada daerah femur atau pelvis, meskipun tulang lain dapat juga terlibat. Masa tulang dan jaringan lunak didaerah sekitar tumor sering dan bisa teraba fluktuasi dan terlihat eritema yang berasal dari perdarahan dalam tumor. Manifestasi sistemik biasanya meliputi : lesu, lemah serta berat badan menurun dan demam kadang terjadi serta dapat ditemukan adanya masa paru yang merupakan metastase. Durasi dari munculnya gejala bisa diukur dalam minggu atau bulan dan seringkali memanjang pada pasien yang mempunyai lesi primer pada aksis tulang.(1)
Tanda dan gejala yang khas adalah : nyeri,benjolan nyeri tekan,demam (38-40 oC), dan leukositosis (20.000 sampai 40.000 leukosit/mm3).(5)

2.5. Diagnosis
Riwayat panyakit dan pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan pada semua pasien yang dicurigai sebagai sarcoma Ewing. Perhatian khusus harus ditempatkan pada hal-hal berikut ini :(7) Keadaan umum dan status gizi penderita. Pemeriksaan Nodus limfatikus, meliputi : jumlah, konsistensi, nyeri tekan dan distribusinya baik pada daerah servikal, supraklavikula, axilla serta inguinal harus dicatat.Pada pemeriksaan dada, mungkin didapatkan bukti adanya efusi pleura dan metastase paru, misal penurunan atau hilangnya suara napas, adanya bising gesek pleura pada pemeriksaan paru-paru. Pemeriksaan perut, adanya hepato-splenomegali, asites dan semua massa abdomen harus digambarkan dengan jelas. Pemeriksaan daerah pelvis, bisa dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya massa, atau daerah yang nyeri bila ditekan. Pemeriksaan ekstremitas, meliputi pemeriksaan skeletal termasuk test ruang gerak sangat diperlukan. Pemeriksaan system saraf menyeluruh harus dicatat dengan baik.
Diagnosis yang dipermasalahkan : klinisnya hal tersebut sangat penting secepatnya untuk mengeluarkan tulang yang terinfeksi. Pada biopsy tingkat esensialnya untuk mengenal keganasan sekitar sel tumor, kejelasan dari osteosarcoma. Sekitar sel tumor yang lain bias menyerupai Ewings yaitu sel reticulum sarcoma dan neuroblastoma metastatik.(6)

2.7. Pemeriksaan Penunjang
Test dan prosedur diagnostik berikut ini harus dilakukan pada semua pasien yang dicurigai sarcoma Ewing :
1). Pemeriksaan darah : a). Pemeriksaan darah rutin. b). Transaminase hati. c). Laktat dehidrogenase. Kenaikan kadar enzim ini berhubungan dengan adanya atau berkembangnya metastase.
2). Pemeriksaan radiologis : a). Foto rontgen. b). CT scan : Pada daerah yang dicurigai neoplasma (misal : pelvis, ekstremitas, kepala) dan penting untuk mencatat besar dan lokasi massa dan hubunganya dengan struktur sekitarnya dan adanya metastase pulmoner. Bila ada gejala neorologis, CT scan kepala juga sebaiknya dilakukan.
3). Pemeriksaan invasif : a). Biopsi dan aspirasi sumsum tulang. Aspirasi dan biopsi sample sumsum tulang pada jarak tertentu dari tumor dilakukan untuk menyingkirkan adanya metastase. b). Biopsi. Biopsi insisi atau dengan jarum pada massa tumor sangat penting untuk mendiagnosis Ewing’s Sarkoma. Jika terdapat komponen jaringan lunak, biopsi pada daerah ini biasanya lebih dimungkinkan.(3)

2.7. Radiologi Diagnostik
Gambaran radiologist sarcoma Ewing : tampak lesi destruktif yang bersifat infiltratif yang berawal di medulla ; pada foto terlihat sebagai daerah - daerah radiolusen. Tumor cepat merusak korteks dan tampak reaksi periosteal. Kadang – kadang reaksi periostealnya tampak sebagai garis – garis yang berlapis – lapis menyerupai kulit bawang dan dikenal sebagai onion peel appearance. Gambaran ini pernah dianggap patognomonis untuk tuimor ini, tetapi biasa dijumpai pada lesi tulang lain.(3)

Gambar 3 : Sarkoma Ewing pada bagian distal femur, yang menunjukan gambaran onion peel appearance.













Sumber : Dahlin, 1985 Ewing’s Tumor, Rontgen Signs in
Diagnostic Imaging, second edition.(3)




2.8. Stadium Tumor
Hingga sekarang ini belum didapatkan keseragaman dalam penerapan system staging untuk sarcoma Ewing. Sistem yang berdasar pada konsep TNM dianggap lebih sesuai untuk penyakit dari pada system yang berdasar pada perluasan penyakit sesudah prosedur pembedahan, oleh karena itu maka pendekatan kkontrol local pada tumor ini jarang dengan pembedahan. Pengalaman menunjukan bahwa besar lesi sarcoma Ewing mempunyai prognosis yang cukup penting. Delapan puluh tujuh persen pasien dengan tumor (T) pada tulang tetap hidup dalam lima tahun dibandingkan dengan 20 % pada pasien dengan komponen ekstraossea. Nodus limfatikus (N) jarang terlibat. Adanya penyakit metastase (M) akan menurunkan survival secara nyata. Keterlibatan tulang atau sumsum tulang lebih sering didapat dari pada hanya metastase tumor ke paru – paru.(1)
Sarkoma Ewing adalah suatu sel tumor bulat tak terdiferensiasi yang tidak memiliki pertanda morfologis. Sarkoma Ewing ini didiagnosis setelah mengeksklusi tumor sel bulat, kecil dan biru yang lain yang meliputi sarcoma tulang primer, sarcoma tulang primitive, rabdomiosarkoma, limfoma, neuroblastoma dan neuroepitelioma perifer.(1)
Lokasi tempat paling umum dari sarcoma Ewing adalah pelvis (21%), femur (21%), fibula (12%), tibia (11%), humerus (11%), costa (7%), vertebra (5%), scapula (4%), tulang kepala (3%) dan tempat lain (<2%).(10)

2.9. Penyebaran metastase
Cara penyebarannya dapat secara :
­ Langsung. Sarkoma Ewing dapat secara langsung menyebar ke struktur dan jaringan lunak sekitar.
­ Metastase limfatik. Kadang – kadang, sarcoma Ewing bisa metastase ke limfonodi regional.
­ Metastase hematogen. Sarkoma Ewing khas menyebar melalui saluran vaskuler pada tempat yang lebih luas pada 50 % pasien.
Atas dasar inilah maka sarkoma Ewing dapat disebut sebagai penyakit sistemik.(15)

Tempat penyebaran
Tempat yang umum terlibat dengan sarcoma Ewing meliputi paru – paru, tulang (termasuk sumsum tulang) dan system saraf pusat (1 – 5 %). Mulligan (16) : pernah melapokan adanya metastase sarcoma Ewing pada pankreas.

2.10. Penatalaksanaan
Semua pasien dengan sarcoma Ewing, meskipun sudah mengalami metastase harus diobati dengan sebaik – baiknya. Untuk kebehsilan pengobatan diperlukan kerja sama yang erat diantara ahli bedah, kemoterapist dan radiotherapist untuk memastikan pendekatan yang efektif guna mengendalikan lesi primer dan penyebaran tumor. Protokol pengobatan sarcoma Ewing sekarang ini sering kali dimulai dengan 3 hingga 5 siklus kemoterapi sebelum radiasi. Pemberian radioterapi awal dipertimbangkan pada pasien dengan kompresi vertebra dan obtruksi jalan napas yang disebabkan oleh tumor. Pemakaian doxorubicine (adriamycine) dan dactinomycine yang umumnya dipakai sebagai agen kemoterapi pada sarcoma Ewing, berinteraksi dengan radiasi, dan potensial menimbulkan toksisitas lokal dan memerlukan penghentian terapi, dengan konsekuensi negative untuk control lokal. Problem ini dapat dikurangi dengan melambatkan radiasi untuk beberapa hari sesudah pemberian obat dan direncanakan pengobatan radiasi secara hati – hati.(1)
Dengan terapi pembedahan saja, long-term survival rate pasien pada kebanyakan seri awal adalah kurang dari 10 %. Kegagalan umumnya disebabkan oleh adanya metastase jauh.(1)
A. Pada sarcoma Ewing primer.
Pembedahan dilakukan atas dasar :
(a). Indikasi.
Kemajuan terapi radiasi guna mengontrol sarcoma Ewing menurunkan peran terapi pembedahan dalam pengobatan sarcoma Ewing. Pada masa kini terapi reseksi bedah (biasanya dilakukan setelah kemoterapi adjuvant preoperatif) dianjurkan pada lesi pelvis dan tumor yang dapat menyebar ke jaringan tulang, misalnya : fibula, costa dan tulang tarsal. Selanjutnya amputasi diperlukan untuk fraktur patologis dan tumor infragenikulatum primer yang tidak dapat ditangani secara lokal dengan terapi radiasi.
(b). Pendekatan
Pendekatan bedah sangat bervariasi tergantung pada besar, lokasi dan penyebaran tumor.
(c). Prosedur
1). Biopsi
Teknik untuk menjalankan biopsi pada tumor tulang adalah identik dengan osteosarkoma.

2). Reseksi radikal
Jika terapi bedah diindikasikan, pengangkatan tumor dengan menyertai tepi jaringan normal harus dilakukan, kecuali jika terdapat defisit fungsional berlebihan. Sebagai contoh, amputasi primer dengan:
Terapi radasi adjuvant
a). Radioterapi preoperatif
Karena tingginya tingkat control local dengan radiasi (sendiri dan dengan kemoterapi), terapi ini tidak digunakan secara luas.
b). Terapi radiasi post operatif
Setelah reseksi bedah yang sesuai untuk Ewing’s sarcoma, penanganan dapat dilanjutkan dengan terapi radiasi, hanya jika tetap ada sisa mikroskopik yang besar dan bermakna.(2)
Penyebaran local dan metastase sarcoma Ewing. Terapi radiasi sering digunakan untuk pengobatan metastase, khususnya setelah kemoterapi sistemik. Radiasi paru bilateral profilaksis telah dicoba, tetapi kurang berhasil bila dibandingkan dengan kemoterapi sistemik dalam mencegah metastase pulmoner tumor.(18)
Morbiditas dan mortalitas
Komplikasi setelah terapi radiasi umumnya terjadi dan bervariasi dengan letak tumor primer. Jika dosis tidak lebih dari 5000 cGy, komplikasi defisit fungsional berat dan malignansi sekunder yang terjadi kurang dari 18 % pasien.(9)
Banyak jenis sitostatika yang amat efektif untuk sarcoma Ewing misalnya : vincristine, adriamycine, cyclophosphamide, isofosfamide, etoposid dan actinomycine D. Sebelum digunakannya kemoterapi adjuvant, long-term survival pasien sarcoma Ewing tidaklah banyak. Pada seri penelitian pre-kemoterapi, dari 374 pasien yang diterapi bedah dan radisi, hanya 36 (9,6 %) yang survive untuk waktu lima tahun.(1)
Sarkoma Ewing primer
Sekarang ini, kemoterapi diberikan 3 – 5 siklus sebelum pengobatan radiasi dan pembedahan pada tumor primer. Ini memberikan respon penilaian yang akurat pada kemoterapi.(2)
B. Kemoterapi adjuvant
Kemoterapi adjuvant terdiri dari :
1). Kemoterapi preoperatif
Kemoterapi inisial (3 – 5 siklus) sekarang merupakan standart pada pasien dengan indikasi pembedahan.
2). Kemoterapi postoperatif
Kemoterapi tambahan dapat dikombinasikan dengan terapi radiasi jika reseksi komplit tidak bisa dilakukan.(1)
Penyebaran lokal dan metastase sarkoma Ewing. Dengan agen tunggal, sejumlah agen kemoterapi berikut ini efektif untuk sarkoma Ewing dan menghasilkan tingkat respon yang menyeluruh: Cyclophosamide (50%), doxorubicine (40%), dan actinomycin-D, car Mustine, etoposide, Fluorouracil dan ifosfamide.(19)
Dipikirkan juga kemungkinan adanya immunoterapi pada sarkoma Ewing. Pemikiran ini didasarkan pada adanya laporan metastase sarkoma Ewing yang menghilang pada pasien yang kebetulan mengalami infeksi pada daerah metastase tadi. Diduga hal ini terjadi karena aktivitas anti tumor pada pasien sehubungan dengan infeksi bakterial.
Resiko rekurensi
Meskipun kebanyakan manisfestasi rekurensi adalah diantara 2-3 tahun, pasien bisa berlanjut relaps selama 15 tahun setelah pengobatan.(2)
Tiga tahun survival
Survival keseluruhan pada semua pasien tergantung pada ada tidaknya metastase dan tempat tumor primernya.(2)
Tempat Tumor
Keseluruhan, lebih dari dari 60% pasien bertahan untuk 3 tahun. Tumor yang terletak di tengkorak dan vertebra, terdapat lebih dari 95%, tibia dan fibula , 60-70%. Pasien berprognosis buruk apabila mempunyai tumor pada bagian atas dan posterior kosta serta daerah sekitarnya. Ukuran tumor, ada tidaknya efusi pleura, tipe pembedahan dan respon kemoterapi bukan merupakan faktor prognostik yang bermakna. Kebanyakn kasus yang terlokalisir dapat dikontrol dengan terapi kombinasi, tetapi kasus tumor pada daerah kosta ini tetap buruk .(9) Femur dan humerus, 50 %. Sarkoma Ewing pada femur mempunyai prognosis buruk, karena radiasi saja untuk terapi lokal menimbulkan komplikasi dan kekambukan lokal yang tinggi. Strategi pengobatan lokal sarkoma Ewing meliputi pembedahan dan radio terapi adjuvant.(21) Tumor yang terletak di pelvis, jumlahnya kurang dari 40 %. Namuan demikian pernah dilaporkan oleh Yang dan Eilber,(22) : Bahwa pembedahan, kemoterapi dan radioterapi sangatlah berguna untuk pasien dengan sarkoma Ewing pelvis selama tumor tersebut terbatas pada pelvis saja.
Tumor metastase
Keseluruhan kelangsungan hidup penderita tumor yang metastase kurang dari 40 %.(1)
2.11. Faktor prognostik buruk
Pada tidak adanya metastase di lain tempat gambaran patologis berikut ini biasanya akan mempunyai prognosis buruk :
1). Tumor yang terletak pada bagian proksimal dari tulang.
2). Tumor besar (> 8 cm) dan terletek pada ekstrimitas. Ini mengurangi survival bebas penyakit 5 tahun dari 72 % menjadi 22 % dan menaikkan rekurensi lokal dari 10 % menjadi 30 %. Lesi pelvis yang lebih besar dari pada 5 cm akan menurunkan tingkat kontrol lokal dari 92 % menjadi 83 %.
3). Ekstensi ekstraosea menurunkan survival dari 87 % menjadi 20 %.
4). Serum laktat dehidrogenase yang miningkat.
5). Tumor yang responnya buruk terhadap kemoterapi inisial.(2)
Prognosis pasien yang hanya mendapatkan radioterapi lebih buruk dari pada menjalani pembedahan dengan/tanpa radioterapi. Sedangkan adanya fraktur patologis tidak mempengaruhi prognosis sarkoma Ewing.(19)
Panduan umum
Pasien dengan sarkoma Ewing seharusnya diikuti setiap 3 bulan selama 3 tahun, kemudian setiap 6 bulan selama 2 tahun berikutnya, kemudian setiap tahun diperiksa adanya kemungkinan rekurensi.(1)
Panduan khusus yang bisa dipakai adalah evaluasi rutin(8) :
Setiap kunjungan klinik dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
1). Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Riwayat penyakit harus diperoleh. Pemeriksaan fisik menyeluruh haruslah dilakukan selama kunjungan pasien.
2). Pemeriksaan darah :
a). Pemeriksaan darah rutin.
b). Transminase serum hepar.
c). Alkali fosfatase.
d). Laktat dehidrogenase.
3). Foto rontgen.
BAB III
KESIMPULAN

Sarkoma Ewing merupakan tumor ganas tulang primer yang paling banyak kedua pada anak – anak dan dewasa muda. Pengobatan secara multidisipliner telah dibuat lebih dari 25 tahun belakangan ini. Kemopterapi agresif telah meningkatkan 5-years survival rates dari 10 % menjadi 70 %.
Peran pembedahan dan radioterapi guna kontrol lokal tumor juga makin bertambah penting. Sebenarnyalah walaupun sarkoma Ewing merupakan suatu bentuk penyakit kanker yang amat agresif tetapi masih dapat disembuhkan (curable) apabila diagnosis ditegakkan pada stadium awal dan ditangani dengan benar.




















DAFTAR PUSTAKA


1.DeVita, VT., Hellman S. Rosenberg, Rosenberg, SA. 1995.Cancer Principles and Practice of Oncology 3rd Ed, JB Lippincont Company, Philadelphia pp. 325-35.

2.Huvos AG, 1996, Bone Tumors, Diagnosis, Treatment and Prognosis, WB. Saunders Company, Philadelphia pp. 124 – 36.

3.Ekayuda, L, 1992, Tumor Tulang dan Lesi yang menyerupai Tumor Tulang, dalam : Sjahriar Rasad (ed), Radiologi Diagnostic, sub bagian radiodiagnostik. Bagian radiologi FK Universitas Indonesia RSCM Jakarta hal. 231 – 42.

4.R. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1997, Tumor Ewing, dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah, Cetakan Pertama, EGC, Jakarta, hal. 1270-1271.

5.Anderson. S, Mc Carty Wilson, L., 1995, Tumor Sistem Muskoluskeletal, dalam : Patofisiologi (Proses-proses Penyakit), Edisi keempat, EGC, Jakarta, hal. 1214.

6.Apley Graham A., Solomon L., Mankin H.J., 1993, Ewing’s Sarcoma, dalam Apley’s System of Ortopaedics and fractures, seven edition, Butterworth Heinemann, British, London, pp. 182.

7.McIntosh, JK, and Cameron, RB., 1996, dalam Caneron RB., Practical Oncology, Prentice-Hall International Inc., Los Angeles pp. 32 – 41.

8.Dahlin, 1985, Ewing’s Tumor (Endothelioma), Rontgen Signs in Diagnostic Imaging, Isadore Meschan : 306 – 309.

9.Schlott, T., 1997, Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction for detecting Ewing’s Sarcoma in Archival Fine Needle Aspiration Biopsies, Acta – Cytol. : 41 (3) : 795 – 801.

10.Ozaki, T., Lindner, N, Hoffman, C., 1995, Ewing’s sarcoma of the ribs. A report from the cooperative Ewing’s sarcoma study, Eur-J-Cancer, Dec ; 31A (13-14) : 2284-8.

11.Ackerman’s. M., 1997, Tumor necrosis and prognosis in Erwing’s sarcoma Acm Orthop Scand-Suppl : 273:130-2

12.Krane, SM., AND Schiller. AL., 1996, Hyperostosis, neoplasme, and orther disorder of bone, Harrison’s Principles of Internal Medicine 13 Ed., McGraw-Hill, Inc., New York, pp. 1962-4.

13.Ackerman’s, 1989, Surgical Pathologty, Eight Edition, WB Saunders Company, Philadelphia, pp. 1962-4.

14.WHO, 1993, Histological Typing of Bone Tumours, second Edition, pp 22-23.

15.Christie, DR, 1997, Diagnosis Difficulties in Extraosseus Ewing’s sarcfoma : a proposal for diagnostic criteria, Austrlia-Radiol. ; 41 (1) 22-8.

16.Mulligan, ME, 1997, Pancreatic metastasis from Ewing’s sarcoma, Clin. Imaging, : 21 (1) : 23-6.

17.Lanzkowsky, P., 1989,Manual of Pediatric Hematology and Oncolog, Churchill Livingstone, New York, pp. 13-37.

18.Bonek, TW; Marcus, RB; Mendelhall, NP; Scarborough, MT, Graham-Pole, J; 1996, Local control and functional after twice-daily radioteraphy for Ewing’s sarcomaof the extremities, Int-J-Radiat-Oncol-Biol-Phys. 1996 Jul 1; 35(4)687-92.

19.Ozaki, T., 1997, Ewing’s sarcoma of femur, Acta-Orthop-Scand: 68(1)20-4.

20.Mori, Y., 1997, Dissappearance of Ewing’s sarcoma following bacterial infection : a case report, Anticancer-Res,: 17(2B)1391-7.

21.Terek, RM., Brien, EW., Marcove, RC., 1996, Treatment of Femoral Ewing’s Sarcoma, Cancer, Jul 1 : 78(1); 70-8.

22.Yang, RS., JJ., and Eilber, PR.,1995, Surgical indication for Ewing’s Sarcoma of the pelvis, Cancer, Oct 15 : 76 (8) ; 1388-97.