This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 27 Agustus 2007

Gangguan Stress Pasca Trauma

Stress digambarkan sebagai suatu perasaan tegang secara emosional dan fisik. Stress adalah bagian dari kehidupan. Tidak ada kehidupan yang sama sekali terbebas dari stress, bahkan stress yang berlangsung lama dapat menyebabkan kematian. Manifestasi stress tidak sama pada semua orang, tergantung pada berbagai faktor sebagai potensi stress, maturitas kepribadian, tingkat pendidikan, kondisi fisik, tipe kepribadian sosial budaya dan lingkungan individu yang bersangkutan.

Salah satu dampak bencana yang memerlukan perhatian jangka panjang adalah post traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stress pascatrauma karena gangguan ini menunjukan angka yang cukup tinggi. Prevalensi stress pascatrauma sebanyak 30-70% dilaporkan dalam hasil studi investigasi pada bencana, kekerasan, dalam komunitas, dan populasi pengungsi dewan paska perang. PTSD dapat dialami oleh semua kelompok umur termasuk anak-anak. Adapun prevalensinya lebih sering terjadi pada wanita daripada pada pria.
Gangguan Stress Pascatraumatik adalah sebuah sindrom yang berkembang setelah seseorang melihat, terlibat/mengalami atau mendengar suatu stressor traumatik yang sangat hebat. Orang tersebut akan bereaksi terhadap pengalaman ini, bisa berupa ketakutan dan perasaan tidak berdaya, yang secara persisten dihindarinya dan mencoba menghindar dari mengingat kejadian tersebut.
Gangguan Stress Pascatraumatik, harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang akan traumatik bagi hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk trauma bencana alam, peperangan, penyerangan, pemerkosaan dan kecelakaan serius (sebagai contoh, kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stress emosional/trauma psikologik yang besar yang berada di luar batas-batas pengalaman manusia yang lazim.
Untuk membuat diagnosa Gangguan Stres Pascatrauma gejala-gejalanya harus berlangsung lebih dari 1 bulan setelah peristiwa itu terjadi dan harus secara jelas mempengaruhi bagian-bagian penting kehidupan seperti keluarga dan pekerjaan. Gejala-gejala lain berupa depresi, kecemasan, dan kesulitan kognitif seperti kemampuan konsentrasi yang rendah.
Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Contoh konkrit saat ini adalah bencana Tsunami di Aceh, gempa di yogyakarta dan jawa tengah dimana banyak terdapat kasus Gangguan Stres Pasca Trauma. Gangguan Stres Pasca Trauma termasuk dalam gangguan cemas. Gangguan cemas disebabkan oleh situasi atau obyek yang sebenarnya tidak membahayakan yang mengakibatkan situasi atau obyek tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam. Perasaan tersebut tidak berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain menganggap tidak berbahaya atau mengancam.
A. Definisi
Gangguan stress pascatrauma (PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.

B.Epidemiologi
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress pascatrauma sebesar 8% sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang pernah mengalami trauma sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi (10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada kelompok usia dewasa muda. Selain itu, wanita memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan yang lebih berat.
Beberapa faktor yang dapat berperan dalam timbulnya depresi, antara lain: (1) jenis kelamin, (2) dukungan keluarga yang kurang, dan (3) penggunaan alkohol dan zat addiktif lainnya. Seseorang yang memiliki faktor-faktor tersebut lebih berisiko untuk mengalami gangguan stress pascatrauma dengan gejala utamanya berupa depresi.
Gangguan stress pascatrauma memiliki komorbiditas tinggi dengan gangguan psikiatri lainnya. Dua pertiga kasus menunjukkan komorbiditas dengan lebih dari dua gangguan psikiatri lain. Gangguan yang yang paling sering timbul bersama-sama dengan gangguan stress pascatrauma ini adalah gangguan depresif, kecemasan, gangguan yang berkaitan dengan pengguanan zat, dan gangguan bipolar. Komorbiditas ini mengakibatkan seseorang lebih rentan terhadap gangguan stress pascatrauma

C. Etiologi
Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress pasca trauma. Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stress pascatrauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu :
1.Adanya trauma masa anak-anak
2.Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial
3.Sistem pendukung yang tidak adekuat
4.Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5.Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
6.Persepsi lokus kontrol eksternal
7.Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan

Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi penghentian perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa dewasa akan terjadi regresi emosional.

Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa orang yang terkena stress pascatraumatik tidak mampu memproses atau merasionalkan trauma yang mencetuskan gangguan.
Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami kembali stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti.
Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, melalui pembiasaan klasik dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengambangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan.
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.

Faktor Biologis
Teori biologis tentang gangguan stress pascatraumatik telah dikembangkan dari penelitian pra klinik dari model stress pada binatang dan dari pengukuran variabel biologis dari populasi klinis dengan gangguan stress pascatraumatik. Banyak sistem neurotransmitter telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamine, opiat endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus, hipofisis adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa system noradrenergik dan opiat endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal, adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress pascatrauamtik.
Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal (sebagai contohnya, fragmentasi tidur dan peningkatan latensi tidur).
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stress pascatraumatik adalah depresi, kecemasan dan gangguan kognitif. Di dalam DSM-IV, lama gejala minimal untuk gangguan stress pasca traumatik adalah 1 bulan.
DSM-IV memperkenalkan diagnostik baru, gangguan stress akut, bagi pasien dengan gejala yang terjadi dalam 4 minggu peristiwa traumatik dan pada mereka yang gejalanya berlangsung selama 2 hari sampai 4 minggu.

A.Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis utama pada gangguan stress pascatrauma adalah kembalinya pengalaman menyakitkan yang terus menerus dalam pikiran korban, pola penghindaran terutama terhadap hal-hal yang mengingatkan korban pada pengalaman traumatisnya, dan tumpulnya emosi. Keadaan-keadaan di atas mungkin segera setelah trauma, namun gejala lengkapnya baru timbul setelah beberapa waktu. Perasaan bersalah, penghindaran, dan rasa dipermalukan kadang-kadang dapat ditemukan dalam anamnesis psikiatri. Adanya penghindaran dan tumpulnya emosi merupakan hal yang penting dalam diagnosis menurut DSM-IV.
Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan, ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi dan berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin terdapat gejala yang lain.

B.Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik ditulis untuk memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R. Pertama DSM-IV-R menggambarkan stressor diluar rentang pengalaman manusia pada umumnya. Karena kriteria adalah tidak jelas dan tidak dapat dipercaya, DSM-IV memperjelas artinya (Kriteria A).
Dalam DSM-IV, criteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R, bahwa pasien secara menetap mengalami kembali peristiwa traumatik. Kriteria C dan D pada DSM IV tetap sama dengan DSM-III-R, mereka menyebutkan penghindaran persisten terhadap situasi tertentu dan peningkatan kesadaran pada pasien. DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman, menghindar dan kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari 1 bulan.

Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik
1.Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat :
a.Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri atau orang lain.
b.Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
2.Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut :
a.Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk angan pikiran atau persepsi.
b.Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
c.Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.
d.Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
e.Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
3.Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini :
1.Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.
2.Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma
3.Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
4.Perasaan terlepas atau asing dari orang lain
5.Rentang afek yang terbatas
6.Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
4.Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut :
1.Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
2.Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3.Sulit berkonsentrasi
4.Kewaspadaan berlebihan
5.Respon kejut yang berlebihan
5.Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
6.Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Sebutkan jika :
Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan
Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih
Sebutkan jika :
Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stress Akut
1.Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini ditemukan :
a.Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri atau orang lain.
b.Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
2.Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1.perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi
2.penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan tidak sadar)
3.derelisasi
4.depersonalisasi
5.amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma)
3.Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut: bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat kejadian traumatic
4.Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
5.Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik).
6.Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatic.
7.Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatic
8.Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.

Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik.
Sebagian karena publikasi yang luas dan telah diterima, istilah gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.

F. Perjalanan Penyakit dan Prognosa
Gangguan stress pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode stress. Kira-kira 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau menjadi buruk.
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi premorbide yang baik, dukungan sosial yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan.

G. Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.
Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik sampai efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus mempertimbangkan gangguan stress pasca traumatic pada pasien yang menderita gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, gangguan stress pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat.
Kemungkinan, anak kecil masih belum memiliki mekanisme untuk mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu mengadakan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma, terutama terjadi penurunan darah, penurunan penglihatan, palpitasi dan aritmia.
Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stress pascatraumatik.
Pada umumnya, pasien yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres Pascatrauma
Terdapat tiga pendekatan terapeutik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan kecemasan yaitu :
1.Manajemen krisis
2.Psikoterapi
3.Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :
1.Peredaan gejala
2.pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek
3.Suportif (dukungan)

Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan pengalaman ulang trauma.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah terapi perilaku, terapi kognitif dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan seringkali merugikan kepatuhan. Ahli terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatic, mendorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber stress. Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika dilakukan. Dukungan dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatic dan merencanakan pemulihan di masa depan.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatic melalui teknik pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap. Seperti pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua adalah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi stress. Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan stress adalah efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih lama.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga telah dilaporkan efektif pada kasus gangguan stress pascatraumatik. Keuntungan terapi kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga seringkali membantu mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejl ayagn mengalami eksaserbasi. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.




Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal daripada penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari yang selamat. Fluvoxamine tampaknya lebih efektif.
Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis sampai 400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan.
Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepin dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dpat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
4. Obat-obat lainnya
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas noradrenergik, telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka.
Selain itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfa-agonis Guanfacine pada wanita muda.
Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk kasus gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis 60 mg/hari atau lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal. Sebagai tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan berguna untuk melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma.
Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan stress pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled studies dengan opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma. Ada beberapa laporan mengenai kegunaan Thymoleptics-lithium Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress pascatrauma.

DAFTAR PUSTAKA

1.Andreasen. N.C and Black. D.W, 2001, “Introductory Textbook of Psychiatry. 3rd ed, British Libarry, USA: 335-342.
2.Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM IV Edition, American Psychiatric Press, Washington, 1994
3.Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian Ariesta,Jakarta, 2003
4.Kaplan, Sadock : Synopsis of Psychiatry, 7th Edition, William & Wilkins, Baltimore, 1993
5.Soewadi : Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1990

Minggu, 26 Agustus 2007

Patogenesis dan Penatalaksanaan Sindrom Nephrotik

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas(1-3). Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu(1,2). Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T(4

Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif(2,5,6). Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif(1,2). Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik)(1). Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1(2,3,6,7). Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun(8). Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus(2,3).
Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien SN(1).
Proteinuri
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular)(1). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin(2).
Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus(9). Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier(3). Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity(10).
Hipoalbuminemi
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal(2). Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun(1,10).
Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah)(1,2). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik(1,3,10).
Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel(1).
Edema
Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori underfill)(1,3). Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP)(11). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang(12). Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan ANP(3).
Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis(12).
Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI)(2,3,10,13,14).
Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus(2,3,7) Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis(2).
DIAGNOSIS
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium berupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemi (<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas.2,11 Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal(2,11).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit(1,7). Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid(16,17). Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap(16). Schieppati dan kawak(18) menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi(17) Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu(7) namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan(7,9). Hopper(19) menggunakan dosis 100 mg per 48 jam. Jika tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya. Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4 minggu(7).
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan resisten(1,15). Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental(20). Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus(6).
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu, atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3x50mg(3,21,22). Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size selective barrier glomerulus(23). Efek antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat dihentikan)(23,24). Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal(25). Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja(26,27). Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin.
Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%(21,22). Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi trombosit(2). Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien(20). Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit(28).
Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb./hari selama 8 minggu(6,16,18) Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan(6). Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama 8 minggu(6). Efek samping klorambusil adalah azoospermia dan agranulositosis(6).
Ponticelli dan kawan-kawan(29) menemukan bahwa pada nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal dan dapat mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4 tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling. Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalah siklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan ( maksimal 6 bulan)(20) levamisol suatu obat cacing, dapat digunakan untuk terapi SN nefropati lesi minimal pada anak-anak dengan dosis 2,5mg/kg bb. tiap 2 hari sekurang-kurangnya 112 hari. Efek samping yang jarang terjadi adalah netropeni, trombositopeni dan skin rash(6)
Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kg/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan)(6,20). Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang gagal dengan kombinasi terapi lain(20). Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis(6,28).
Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5 mg/kg/hari selama 12 bulan(6). Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat imunospresan, saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru yaitu mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek menghambat proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi dari sel B dan ekspresi molekul adesi, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah(30). Penelitian Choi dkk.(30) pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x 0,5-1 gram.
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat(10). Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgbb./hari(2,3). Giordano dkk (31) memberikan diet protein 0,6 g/kgbb./hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton)(2,3).
Pada pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini(32). Pada pasien demikian dapat diberikan infus salt-poor human albumin(1,12). Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium(12). Namun demikian infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema paru pada pasien hipervolemi(3).
Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dini(14,33). Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal(20,34). Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol(24). Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut(28). Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil(14,33). Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN(15).
Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus(1,20). Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir(35). Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau keduanya(3). Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT) yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali normal(36).
Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak, herpes(3).
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya(1) Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.
Dantal dkk.(37) menemukan pada pasien glomerulo-sklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN sekunder karena diabetes melitus.37,38 Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus(38,39).
KEPUSTAKAAN
1. Sukandar E, Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam : Soeparman, Soekaton U, Waspadji S et al (eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282-305.
2. Burgess DN, Bakris GL. Renal and electrolyte disorders. In : Stein JH (ed). Internal Medicine. Diagnosis and Therapy. Norwalk : Appleton and Lange; 1993. p. 134-6.
3. Orth SR, Ritz E. The nephrotic syndrome. N Engl J Med 1998; 338: 1202-10.
4. Oda K, Arai T, Nagase M. Increased serum and urinary neopterin in nephrotic syndrome indicate cell-mediated immune dysfunction. Am J Kidney Dis 1999; 34: 611-7.
5. Couser WG. Glomerulonephritis. Lancet 1999; 353: 1509-14.
6. Neuhaus TJ, Barratt TM. Minimal change disease. In : Massry SG, Glassock RJ (eds). Textbook of Nephrology. 3rd ed. Vol 1. Baltimore : Williams and Wilkins; 1995. p. 710-18.
7. Brady HR, O`Meara YM, Brenner BM. The major glomerulopathies. In : Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ et al (eds). Harrison`s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Vol 2. New York : McGraw Hill Company; 1998. p. 1536-44.
8. Ritz E. Pathogenesis of `idiophatic` nephrotic syndrome. N Engl J Med 1991; 330: 61-2.
9. Thomson NM. Managing the patient with proteinuria. Current Therapeutics September 1996: 17-23.
10. Kaysen GA. Nephrotic syndrome. In : Glassock RJ (ed). Current Therapy in Nephrology and Hypertension.. St. Louis : Mosby Year Book; 1992. p. 238-45.
11. Carome MA, Moore J. Nephrotic syndrome in adults. A diagnostic and management challenge. Post Graduate Medicine August 1992; 92: 209-20.
12. Bichet DG, Schrier RW. Cardiac failure, liver disease and nephrotic syndrome. In : Schrier RW, Gottschalk CW (Eds). Diseases of the Kidney. 5th ed. Vol III. Boston : Little, Brown and Co. 1993. p. 2475-81.
13. Song KS, Won DJ, Lee AN, Kim CH, Kim JS. A case of nephrotic syndrome associated with protein S deficiency and cerebral thrombosis. J Korean Med Science 1994; 9: 347-50.
14. Kim HJ, Park CH, Kang CM, Park HC. Arterial thrombosis associated with nephrotic syndrome. J Korean Med Science 1993; 8: 230-4.
15. Massry SG, Kaysen GA, Vaziri ND, Schrier RW, Glassock RJ, Gines P. The Nephrotic syndrome. In : Massry SG, Glassock RJ (eds). Textbook of Nephrology. 3rd ed. Vol 1. Baltimore : Williams and Wilkins; 1995. p. 684-98.
16. Mason PD, Pusey CD. Glomerulonephritis : diagnosis and treatment. BMJ 1994; 309: 1557-63.
17. Levey AS, Lau J, Pauker SG, Kassirer JP. Idiopathic nephrotic syndrome. Ann Intern Med 1987; 107: 697-713.
18. Schieppati A, Mosconi L, Perna A et al. Prognosis of untreated patients with idiopathic membranous nephropathy. N Engl J Med 1993; 329: 85-9.
19. Hopper J. Prednisone in the treatment of idiopathic membranous nephropathy. N Engl J Med 1989; 321: 260.
20. Kuhn K, Wohrle AH, Vorderbrugge AL, Felten H. Treatment of severe nephrotic syndrome. Kidney Int 1998; 53 (suppl. 64) : 50-3
21. Meyrier AY. Focal segmental glomerulosclerosis. In : Massry SG, Glassock RJ (eds). Textbook of Nephrology. 3rd ed. Vol 1. Baltimore : Williams and Wilkins; 1995. p. 719-26.
22. Belgiojoso GB, Ferrario F. Membranous glomerulopathy. In : Massry SG, Glassock RJ (Eds). Textbook of Nephrology. 3rd ed. Vol 1. Baltimore : Williams and Wilkins; 1995. p. 726-34.
23. Ruggenenti P, Mosconi L, Vendramin G et al. ACE inhibition improves glomerular size selectivity in patients with idiopathic membranous nephropathy and persistent nephrotic syndrome. Am J Kidney Dis 2000; 35: 381-91.
24. Wilmer WA, Hebert LA, Lewis JE et al. Remission of nephrotic syndrome in type 1 diabetes: long term follow up of patients in the captopril study. Am J Kidney Dis 1999; 34: 308-14
25. Rice EK, Tesch GH, Cao Z, Cooper ME, et al. Induction of MIF synthesis and secretion by tubular epithelial cells : a novel action of angiotensin II. Kidney Int 2003; 63: 1265-75.
26. Pisoni R, Ruggenenti P, Sangalli F, et al. Effect of high dose ramipril with or without indomethacin on glomerular selectivity. Kidney Int 2002; 62: 1010-19.
27. Ferrari P, Marti HP, Paester M, Frey FJ. Additive antiproteinuric effect of combined ACE inhibition and angiotensin II receptor blockade. J Hypertension 2002; 20: 125-30.
28. Ponticelli C, Passerini P. Treatment of the nephrotic syndrome associated with primary glomerulonephritis. Kidney Int 1994; 46: 594-604.
29. Ponticelli C, Zucchelli P, Passerini P, Cesana B. Methylprednisolone plus chlorambucil as compared with methylprednisolone alone for the treatment of idiopathic membranous nephropathy. N Engl J Med 1992; 327: 599-603.
30. Choi MJ, Eustace JA, Gimenez LF, et al. Mycophenolate mofetil treatment for primary glomerular diseases. Kidney Int 2002; 61 (3): 1098-114.
31. Giordano M, De Feo P, Lucidi P, et al. Effects of dietary protein restriction on fibrinogen and albumin metabolism in nephritic patients. Kidney Int 2001; 60 (1): 235-42.
32. Agarwal R, Gorski JC, Sundblad K, Brater DC. Urinary protein binding does not affect response to furosemide in patients with nephrotic syndrome. J Am Soc Nephrol 2000; 11: 1100-5.
33. Groggel GC, Cheung AK, Benigni KE, Wilson DE. Treatment of nephrotic hyperlipoproteinemia with gemfibrozil. Kidney Int 1989; 36: 266-271
34. Tune BM, Mendoza SA. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome : regimens and outcomes in children and adults. J Am Soc Nephrol 1997; 8: 824-32.
35. Hayslett JP. Role of platelets in glomerulonephritis. N Engl J Med 1984; 310; 1457-8.
36. Maxwell P. Anticoagulant therapy. Medicine 1995 : 531-33.
37. Dantal J, Bigot E, Bogers W et al. Effect of plasma protein adsorption on protein excretion in kidney-transplant recipients with recurrent nephrotic syndrome. N Engl J Med 1994; 330; 7-14.
38. Savin VJ, Sharma R, Sharma M et al. Circulating factor associated with increased glomerular permeability to albumin in recurrent focal segmental glomerulosclerosis. N Engl J Med 1996; 334: 878-83.
39. Esnault VLM, Besnier D, Testa A et al. Effect of protein A immunoadsorption in nephrotic syndrome of various etiologies. J Am Soc Nephrol 1999; 10: 2014-7.


Sabtu, 25 Agustus 2007

Pemeriksaan USG

Hamil merupakan peristiwa besar dalam kehidupan seorang wanita. Karena itu, bisa dipahami bila ia berusaha merawat dan menjaga kehamilannya sebaik mungkin. Mulai dari mengkonsumsi makanan bergizi, beristirahat yang cukup, rutin periksa ke bidan atau dokter, termasuk melakukan pemeriksaan dengan alat canggih bernama ultrasonografi (USG).

Apa itu pemeriksaan dengan USG? Ini adalah salah satu cara pemeriksaan organ tubuh dengan gelombang suara berfrekwensi tinggi. Gelombang suara ini kemudian diarahkan ke dalam tubuh dengan alat ultrasonografi.Pada dasarnya, prinsip USG itu sama dengan teknologi deteksi kapal selam yang pakai sonar.
Sebenarnya, asalkan dapat memantulkan gelombang suara frekwensi tinggi, setiap organ dalam tubuh dapat diperiksa dengan USG. Misalnya jantung, hati, kantung empedu, pankreas, ginjal, kandung kemih, dan rahim. Namun bagaimanapun juga, tetap ada organ tertentu yang berisi rongga udara sehingga kurang mampu memantulkan gelombang suara berfrekwensi tinggi. Organ yang dimaksud misalnya paru, lambung, dan usus. Organ-organ inilah yang tak dapat diperiksa dengan USG.

USG dapat mendeteksi berbagai kelainan, seperti pembengkakan atau penyusutan organ secara detail. Mulai dari tumor berdiameter 5 mm, batu pada kandung empedu ataupun ginjal, bahkan sampai nanah pada organ dalam tubuh. Tak hanya itu, USG juga ampuh untuk mendeteksi adanya cairan atau perdarahan ataupun kebocoran dalam organ dalam tubuh. Dalam perkembangan teknologi terakhir, USG bahkan digunakan sebagai tuntunan dalam melakukan biopsi (pengambilan jaringan) di dalam organ tubuh kita.

Salah satu fungsi pemeriksaan dengan ultrasonography (USG) adalah untuk melihat kehamilan. Pemeriksaan kehamilan dengan USG sendiri dibagi dalam 3 tahapan. Pada pemeriksaan trimester pertama, diperiksa kemungkinan adanya ancaman keguguran. "Ancamannya macam-macam, antara lain kehamilan tidak berkembang, kehamilan di luar kandungan, kehamilan dengan mola (hamil anggur), perdarahan di balik calon ari-ari, dan sebagainya.
Bagi ibu hamil, USG biasanya digunakan untuk menetapkan umur kehamilan, letak ari-ari, dan jenis kelamin janin. USG juga biasa digunakan untuk mendeteksi kelainan dalam kandungan seperti kista indung telur, ataupun tumor. Karena itu, sebaiknya pemeriksaan dengan USG dilakukan oleh para ibu hamil paling sedikit dua kali sepanjang masa kehamilan. Ini karena, dengan USG, dapat dipantau keadaan bayi, seperti gerakan janin.

Pada trimester pertama, pemeriksaan USG juga akan membantu memastikan ada-tidaknya detak jantung janin. "Kita juga bisa lihat kelainan lain, misalnya bayi kembar. Kembar pun bisa dibagi-bagi, apakah kembar dengan sekat atau kembar siam. Jadi, kita bisa ambil tindakan sejak dini." Juga, deteksi adanya kelainan bentuk kepala. "Ada lho, janin yang tulang kepalanya tidak terbentuk."

Pada trimester pertama juga dapat diketahui ketebalan tengkuk (nuchal translucency) untuk mendeteksi down sindrom. "Jika ketebalan tengkuk rata-rata pada kehamilan 14 minggu di atas 2,5 ­ 3 mm, kita harus melakukan pemeriksaan kromosom dengan amniosintesis."

Pada trimester kedua, USG akan membantu melihat bentuk jantung dan sistem saraf pusat (SSP). "Ada enggak kelainan di otak, kelainan hidrosephalus, kelainan katarak pada bola mata, kelainan rongga jantung seperti jantung bocor, dan sebagainya." Skrining pada jantung dikenal sebagai pemeriksaan 4 chamber view (pandangan 4 ruangan).

Pada pemeriksaan trimester kedua ini juga bisa dilihat ada-tidaknya kelainan tulang belakang, meliputi celah pada tulang belakang (spina bifida). "Awal trimester kedua juga bisa menentukan adanya bibir sumbing," lanjut Okky.

Pada trimester ketiga, kita bisa melihat kelainan janin yang berhubungan dengan persalinan. "Misalnya, apakah tali pusat menempel pada plasenta dengan baik. Juga kelainan lain, seperti ari-ari di bawah atau janin terlilit tali pusat, dan sebagainya."
Yang jelas, USG merupakan alat dasar seorang dokter kandungan, sama halnya stetoskop bagi dokter umum. "Paling tidak, dengan USG akan ketahuan, apakah janin yang di kandung kembar, janin hidup atau enggak."

Gerakan ini berupa gerakan menggeliat, dan ini akan mulai terlihat sejak usia kehamilan 8-10 minggu. Sedangkan gerakan tangan dimulai pada usia kehamilan 14-16 minggu yang akan dirasakan si ibu pada usia kehamilan 20 minggu. Pada usia kehamilan 20 minggu, USG juga dapat memantau berbagai gerakan janin seperti memegang, mengepal, membuka tangan, mengunyah, mengisap jempol, ataupun menoleh. Sementara pada usia kehamilan 26 minggu, USG dapat memantau gerakan bernafas, dan pada usia kehamilan 35 minggu, janin sudah bisa merespon terhadap cahaya.

Tanpa efek samping
Namun, tak sedikit ibu yang cemas menjalani pemeriksaan dengan USG. Ada kabar burung yang menyebutkan, USG bisa menyebabkan keguguran. ''Padahal pemeriksaan USG tidak terbukti dapat meningkatkan risiko keguguran,'' kata Nurwansyah.

Sebaliknya, pemeriksaan dengan USG justru dapat memberikan sejumlah manfaat, antara lain mendeteksi kelainan anatomis pada organ dengan cepat dan akurat. Hal inilah yang memungkinkan dokter untuk merencanakan pemeriksaan lanjutan yang lebih terarah, sehingga diagnosis yang pasti dapat dilakukan lebih dini. Dengan begitu, ketika ada pasien mengalami suatu masalah atau kelainan, bisa dilakukan perawatan lebih dini. Masa penyembuhan pun menjadi lebih cepat.

Berbeda dengan pemeriksaan rontgen yang menggunakan sinar tembus dan dapat menimbulkan kelainan pada jaringan tubuh karena radiasinya, pemeriksaan USG tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi ibu dan janin. Penelitian yang dilakukan para peneliti dari King Edward Memorial Hospital, Australia, menunjukkan, USG tidak akan mempengaruhi tumbuh kembang fisik dan otak bayi saat mereka memasuki usia balita. Penelitian ini sendiri telah dilakukan sejak 10 tahun yang lalu, dan melibatkan 2.700 anak balita beserta ibunya.

Patut pula dicatat, pemeriksaan dengan USG juga tidak menimbulkan rasa sakit bagi pasien dan tidak memerlukan persiapan khusus. Namun, khusus untuk pemeriksaan kantung empedu, memang perlu puasa sekurangnya delapan jam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, Pemeriksaan dengan USG, Amankah?, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=181606&kat_id=123&kat_id1=&kat_id2=
2. Anonim, "MENGINTIP" JABANG BAYI LEWAT USG 4 D, http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=7127

Kamis, 23 Agustus 2007

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik1. Karekteristik dari SNM adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom1 dan perubahan kesadaran2 Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal2 .

Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan antipsikotik, khususnya neuroleptik. Di Cina pada suatu RCT didapatkan insidensi SNM mencapai 0,12 % pada pasien dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian retrospektif di India menunjukkan insidensi 0,14%1. Sedangkan di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada 0,2% - 1,9% pasien3.
Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan SNM, semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom ini. Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine (Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obat-obat non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga, obat-obat tersebut adalah metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin), and lithium4.
Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian5. Kematian yang disebabkan oleh SNM mencapai 21%3.
A. Definisi
DSM IV mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan pengobatan neureptik6.
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena dimensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson7.
Sindrom ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh8.


B. Etiologi
1.Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM sering pada pasien dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine1.
2.Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi), antipsikosik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik injeksi long acting1.
3.Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptic yang tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium, dan juga terapi kejang listrik1.

C. Faktor Resiko
1.Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi1.
2.Faktor genetik. Terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM dapat terjadi pada kembar identik1.
3.Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren. Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode SNM dan penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya hanya 30%1.
4.Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak teratur1 .
5.Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi1

D. Patofisiologi
Sesuai dengan istilahnya, SNM berkaitan dengan pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothamalmus, sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis SNM3.
Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya peningkatan set point sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan ketidak stabilan otonom1. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran3 perubahan status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan mesokortikal9.



E. Gambaran Klinis
Sindrom neuroleptik maligna merupakan reaksi idiosinkratik yang tidak tergantung pada kadar awali obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada dosis tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal), biasanya berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian obat neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan)7. Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas dari ringan sampai dengan berat9. Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil..
Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat mencerminkan agitasi psikomotorik1.
Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran1.

F. Pemeriksaan Laboratorium
Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan:
1.Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/ L Pengingkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk SNM3.
2.Peningkatan Aminotransferases (aspartate aminotransferase [AST], alanine aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH )1
3.Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x 103/ mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat. Konsentrasi serum besi dapat menurun1.

G. Diagnosis
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria10.
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan ketidak stabilan otonom10 .




Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders).
Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2
Kriteria A
1.Rigiditas otot
2.Demam

Kriteria B
1.Diaphoresis
2.Disfagia
3.Tremor
4.Inkontinensia
5.Perubahan kesadaran
6.Mutisme
7.Takikardi
8.Tekanan darah meningkat atau labil
9.Leukositosis
10.Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot


Kriteria C
Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)

Kriteria D
Tidak ada gangguan mental
Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi dari demam harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk membedakan SNM dengan encephalitis virus atau encephalomyelitis post infeksi10.
SNM harus dibedakan dari sindrom yang disebabkan oleh pengobatan lain seperti sindrom serotonin dan hipertermi maligna10.
H. Diagnosis Banding
1.Heat stroke
Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan hipotensi.
2.Letal kataton
Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik dapat memperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal kataton sulit, meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien tidak meminum neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada prodormal sedangkan SNM dimulai dengan rigiditas1
3.Sindrom serotonin
Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan menggali riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak adanya rigiditas berat.


I. Penatalaksanaan
1. Terapi suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2 minggu. SNM yang dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan1
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan memelihara fungsi organ yaitu:
Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri1.
Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik1.
Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik1
Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis cairan serebrospinal, kultur urin dan darah9.
2. Terapi farmakologik
Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti bromocriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati SNM berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Beberapa ahli melaporkan bahwa agonis dopamin, clantralene maupun kombinasi keduanya dapat mengurangi mortalitas atau memperpendek durasi sakit. Peneliti lain melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-obat tersebut3.
Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa kasus. Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan SNM dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari3

J. Komplikasi
Komplikasi dari sindroma neuroleptik maligna banyak. Komplikasi yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menuerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot9.
Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular coagulation, seizure, infark miocardial9.
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti pskotik di hentikan1




K. Prognosis
1.Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat otot yang menjadi rhabdomyuolisis1.
2.Pasien dengan riwayat SNM dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi berhubungan dengan jeda waktu antara SNM dan dimulainya kembali pengobatan antipsikotik1.

L. Pencegahan
Pencegahan merupakan bagian penting dalam memanage kondisi heterogen ini. Dosis terendah neuroleptik dianjukan, dengan memonitor onset efek samping ekstra piramida Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek samping ekstra piramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih lanjut SNM dan komplikasinya6.
DAFTAR PUSTAKA

1.Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome, http://www.emedicine.com
2.Khan,
3.Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant Syndrome, Hospital Physician.
4.Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome, http://www.emedicine.com
5.Ong
6.Kaplan
7.Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment, Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine.
8.Answer.com
9.Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review, http:://www.turner-white.com
10.Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics August 2004 Volume 59, Number 8

Neuritis Retrobulbar

Neuritis optikus merupakan salah satu penyebab umum kehilangan penglihatan unilateral pada orang dewasa1. Berdasarkan kategori klinik dan pemeriksaan opthalmoskopis terbagi menjadi papilitis dan neuritis retrobulbar. Papilitis adalah inflamasi yang mengenai serabut retina nervus optikus yang masuk pada papil nervus optikus di dalam bola mata, dengan pemeriksaan opthalmoskopis di diskus optikus akan tampak kelainannya sedangkan pada neuritis retrobulbar inflamasinya mengenai nervus yang terletak di belakang bola mata2 dan terletak jauh dari diskus optikus sehingga perubahan-perubahan dini di diskus optikus tidak tampak dengan pemeriksaan opthamoskopis, ketajaman penglihatan dapat menurun3.

Pada berbagai kelompok populasi diseluruh dunia, neuritis retrobulbar berkaitan dengan sklerosis multipel pada 13-85% pasien. Persentase perkembangan menjadi sklerosis multipel setelah suatu episode neuritis optikus cenderung lebih tinggi seiring dengan peningkatan lamanya tindak lanjut pasien3. Sehingga diperlukan tindak lanjut pasien berupa diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat.
A. Definisi
Neuritis retrobulbar adalah salah satu bentuk neuritis optikus dimana inflamasi mengenai nervus yang terletak di belakang mata. Daerah inflamasi terletak di antara belakang mata dan otak4.

B. Etiologi
1. Inflamasi lokal2
a. Uveitis dan retinitis
b. Oftalmia simpatika
c. Meningitis
d. Penyakit sinus dan infeksi orbita
2. Inflamasi general2
a. Infeksi syaraf pusat
Multipel sklerosis
Diberbagai kelompok populasi diseluruh dunia, neuritis retrobulbar berkaitan dengan sklerosis multipel pada 13-85% pasien3. Data dari “Mayo clinic” pada tahun 1933 didapatkan dari 255 kasus sebanyak 155 disebabkan oleh sklerosis multipel2.
Acute disseminated encephalomyelitis
Neuromyelitis optic (Devic disease)
Merupakan suatu proses demielinisasi yang mengenai nervus optikus. Penyakit ini sering salah didiagnosa dengan sklerosis multipel tetapi dapat dibedakan berdasarkan derajat keparahan, lokasinya (mengenai nervus optikus, medulla spinalis) dan analisis cairan serebro spinal (polymorphonuclear pleocytosis dan ketiadaan oligoclonal banding)7.
Encephalitis periaxial diffusa of Schilder
Herpes zoster
Encephalitis epidemic, poliomyelitis, inokulasi rabies
b. Syphilis
c. Tuberkulosis
3. Leber’s disease
Merupakan suatu penyakit herediter pada laki-laki muda, manifestasinya sebagai perubahan mendadak pada penglihatan sentral, pertama kali mengenai satu mata dan selanjutnya kedua mata. Karakteristiknya terdapat skotoma sentral dengan dence central nucleus. Pada beberapa kasus inflamasi mengenai nervus di dalam bola mata sehingga menyebabkan papilitis ringan. Pada kasus yang lain mengenai nervus di belakang mata2.
4. Toksin endogen
a. Penyakit infeksi akut, seperti influenza, malaria, measles, mumps, pneumonia
b. Fokus septik pada gigi, tonsil, infeksi fokal
c. Penyakit metabolik: diabetes, anemia, kehamilan, avitaminosis
5. Intoksikasi racun eksogen seperti tobacco,etil alcohol, metil alkohol.
C. Patogenesis
Nervus optikus mengandung serabut-serabut syaraf yang mengantarkan informasi visual dari sel-sel nervus retina ke dalam sel-sel nervus di otak5. Retina mengandung sel fotoreseptor, merupakan suatu sel yang diaktivasi oleh cahaya dan menghubungkan ke sel-sel retina lain disebut sel ganglion. Kemudian mengirimkan sinyal proyeksi yang disebut akson ke dalam otak. Melalui rute ini, nervus optikus mengirimkan impuls visual ke otak6. Sehingga ketika nervus tersebut inflamasi, sinyal visual yang dihantarkan ke otak menjadi terganggu dan pandangan menjadi lemah4.
D. Faktor Resiko
Faktor resiko neuritis optikus termasuk:
1.Usia
Neuritis optikus sering mengenai dewasa muda usia 20 sampai 40 tahun; usia rata-rata terkena sekitar 30 tahun. Usia lebih tua atau anak-anak dapat terkena juga tetapi frekuensinya lebih sedikit5.
2.Jenis kelamin
Wanita lebih mudah terkena neuritis optikus dua kali daripada laki-laki5.
3.Ras
Neuritis optikus lebih sering terjadi pada orang kulit putih daripada ras yang lain5.

E. Epidemiologi
Insidensi neuritis optikus dalam populasi per tahun diperkirakan 5 per 100.000 sedangkan prevalensinya 115 per 100.000. Sebagian besar mengenai usia 20 sampai dengan 40 tahun. Wanita lebih umum terkena daripada pria. Berdasarkan data The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) 77% adalah wanita, 85% kulit putih dan usia rata-rata 32 ± 7 tahun. Sebagian besar kasus patogenesisnya disebabkan inflamasi demielinisasi dengan atau tanpa sklerosis multipel. Pada sebagian besar kasus neuritis optikus monosimptomatik merupakan manifestasi awal sklerosis multipel8.

F. Gejala Klinis
Keluhan utama pada neuritis optikus adalah sama, apakah nervus yang terkena terletak intra okular (papilitis) ataupun ekstra okular (neuritis retrobulbar)2.
1. Hilangnya penglihatan
Kehilangan penglihatan pada pasien dengan neuritis optikus umumnya terjadi tiba-tiba selama beberapa jam sampai beberapa hari. Progresi menjadi periodenya lama dapat terjadi tetapi mungkin terdapat faktor yang mendasarinya. Kehilangan penglihatan umumnya monokuler meskipun dapat juga mengenai kedua mata terutama pada anak-anak8.

2. Nyeri di sekitar mata
Nyeri ringan di dalam atau sekitar mata terdapat pada lebih 90% pasien. Nyeri tersebut dapat terjadi sebelumnya atau bersama-sama dengan hilangnya penglihatan, umumnya di cetuskan oleh pergerakan mata dan terjadi hanya beberapa hari8. Bola mata bila digerakkan akan terasa berat di bagian belakang bola mata, rasa sakit akan bertambah bila bola mata ditekan dan di sertai sakit kepala2.

G. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala klinis.
1. Anamnesis
Pasien umumnya wanita usia 20-40 tahun dengan keluhan gangguan penglihatan mendadak pada salah satu mata. Terdapat rasa nyeri yang memburuk dengan gerakan mata dan riwayat serangan sebelumnya9. Gangguan penglihatan ini dapat berkembang secara progresif beberapa jam sampai berhari-hari10. Dapat terdapat patch abu-abu pada pusat penglihatan. Pada kasus yang berat dapat terjadi kehilangan penglihatan sepenuhnya pada mata yang terkena11.
Serangannya mengenai unilateral pada 90% kasus meskipun terdapat resiko mata lainnya dapat terkena kemudian dan serangan kambuhan pada satu atau dua mata dapat menyebabkan kehilangan penglihatan permanen11.
2. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda disfungsi nervus optikus. Derajat hilangnya penglihatan bervariasi dari ringan sampai dengan berat. Penglihatan warna dan sensitifitas kontras berkurang pada hampir semua kasus8. Ketika melihat warna merah dengan mata yang sakit dapat terlihat memudar (desaturasi)9.
Terdapat juga defek pupil afferent pada hampir semua kasus neuritis optikus unilateral8.
Ketajaman penglihatan berkisar dari 20/20 sampai dengan persepsi terhadap cahaya9. Pada saat serangan akut, pemeriksaan medan penglihatan dapat menunjukkan skotoma sentral. Besar dari defek ini berkurang pada proses penyembuhan, sering meninggalkan defek residu di antara bintik buta dan area sentral11.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan lapang pandang ditemukan skotoma sentral8 dan parasentral relatif dan atau absolut 14.
3. Pemeriksaan Penunjang
Neuritis retrobulbar adalah suatu neuritis optikus yang terjadi cukup jauh di belakang diskus optikus sehingga perubahan-perubahan dini di diskus optikus tidak tampak dengan oftalmoskop; namun ketajaman penglihatan sangat menurun3.
Pada neuritis retrobulbar, diskus optikus dapat tetap tampak normal selama 4-6 minggu12. Walaupun pada permulaan tidak terlihat kelainan fundus, lama kelamaan akan terlihat kekaburan batas papil syaraf optik dan degenerasi syaraf optik akibat degenerasi serabut syaraf, disertai atrofi descenden (secondary optic atrophy ) akan terlihat papil pucat dengan batas yang tegas8.
Tes diagnostik seperti MRI, analisis cairan serebrospinal dan serologi, umumnya dipakai dengan alasan sebagai berikut8:
1.Untuk menentukan penyebabnya apakah suatu proses inflamasi atau non inflamasi, nonidiopathi, dan infeksi.
2.Untuk menentukan prognosisnya, apakah akan berkembang secara klinis menjadi multipel sklerosis.

a. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI penting untuk memutuskan apakah daerah di otak telah terjadi kerusakan myelin, yang mengindikasikan resiko tinggi berkembangnya sklerosis multipel. MRI juga dapat membantu menyingkirkan kemungkinan tumor atau kondisi lain5. Pada pasien yang dicurigai menderita neuritis optikus, pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium sebaiknya dilakukan dengan tujuan untuk konfirmasi diagnosis dan menilai lesi white matter. MRI dilakukan dalam dua minggu setelah gejala timbul. Pada pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium menunjukkan peningkatan dan pelebaran nervus optikus. Lebih penting lagi, MRI dipakai dengan tujuan untuk memutuskan apakah terdapat lesi ke arah sklerosis multipel. Ciri-ciri resiko tinggi mengarah ke sklerosis multipel adalah terdapat lesi white matter dengan diameter 3 atau lebih, bulat, lokasinya di area periventrikular dan menyebar ke ruangan ventrikular8.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Protein ologinal banding pada cairan serebrospinal merupakan penentu sklerosis multipel. Terutama dilakukan terhadap pasien-pasien dengan pemeriksaan MRI normal8.
c. Test Visually Evoked Potentials
Test Visually evoked potentials adalah suatu test yang merekam sistem visual, auditorius dan sensoris yang dapat mengidentifikasi lesi subklinis. Test Visually evoked potentials menstimulasi retina dengan pola papan catur13, dapat mendeteksi konduksi sinyal elektrik yang lambat sebagai hasil dari kerusakan daerah nervus5.
d.Pemeriksaan darah
Pemeriksaan tes darah NMO-IgG untuk memeriksa antibodi neuromyelitis optica. Pasien dengan neuritis optikus berat sebaiknya menjalani pemeriksaan ini untuk mendeteksi apakah berkembang menjadi neuromyelitis optica. Pemeriksaan tingkat sedimen eritrosit (erythrocyte sedimentation rate (ESR)) dipakai untuk mendeteksi inflamasi pada tubuh, tes ini dapat menentukan apakah neuritis optikus disebabkan oleh inflamasi arteri kranialis5.

H. Diagnosis Banding
1. Papilitis
Papilitis adalah inflamasi yang mengenai nervus optikus di dalam bola mata, merupakan salah satu tipe neuritis optikus yang sering terjadi pada anak-anak, memiliki gejala yang sama dengan neuritis retrobulbar tetapi pada pemeriksaan dengan opthalmoskopis dapat ditemukan pembengkakan pada diskus optikus13, hiperemi, tepi kabur dan semua pembuluh darah dilatasi2.
2. Compressive optic neuropathy
Terdapat kehilangan penglihatan akut. Pola kehilangan lapang pandang menunjukkan penyebabnya non inflamasi, misalnya ditemukan kehilangan penglihatan pada mata lainnya. CT Scan atau MRI dapat mengidentifikasi lesi kompresif pada orbita dan khiasma14. Pada Compressive optic neuropathy tidak terdapat pemulihan penglihatan15.
2. Nonarteritic anterior ischemic optic neuropathy
Terdapatnya nyeri terutama pada pergerakan mata (meskipun tidak mutlak) secara klinis dapat membedakan neuritis optikus dengan nonarteritic anterior ischemic optic neuropathy8.
1.Syndrom viral dan post viral
Parainfectious optic neuritis umumnya mengikuti onset infeksi virus selama 1-3 minggu, tetapi dapat juga sebagai phenomena post vaksinasi. Umumnya mengenai anak-anak daripada dewasa dan terjadi karena proses imunologi yang menghasilkan demielinisasi nervus optikus. Post viral atau parainfeksius neuritis optikus dapat terjadi unilateral tetapi sering bilateral. Diskus optikus dapat normal atau terjadi pembengkakan8.

I. Penatalaksanaan
1. Terapi jangka pendek
The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) telah meneliti secara komprehensif tentang penatalaksanaan neuritis optikus dengan menggunakan steroid8.
Dalam penelitiannya ONTT melibatkan sebanyak 457 pasien, usia 18-46 tahun dengan neuritis optikus akut unilateral. Data follow up didapatkan dari kohort ONTT (Longitudinal Optic Neuritis Study [LONS]) menghasilkan informasi yang penting tentang gejala klinis, penglihatan jangka panjang, penglihatan yang berkaitan dengan kualitas hidup dan peranan MRI otak dalam memutuskan resiko berkembang menjadi CDMS (Clinically definite Multiple Sclerosis) 8.
Pasien yang terlibat pada penelitian ini diacak menjadi 3 kelompok perlakuan terapi, yaitu8:
a.Mendapatkan terapi prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari) selama 14 hari dengan 4 hari taper ( 20 mg hari 1, 10 mg hari ke 2 dan 4) (kelompok terapi oral).
b.Mendapatkan terapi dengan metilprednisolon sodium suksinat IV 250 mg tiap 6 jam selama 3 hari, diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg BB/ hari) selama 11 hari dengan 4 hari taper (kelompok terapi dengan metilprednisolon IV).
c.Mendapatkan terapi dengan placebo selama 14 hari.
Dalam penelitian ini yang dinilai terutama tajam penglihatan dan sensitifitas terhadap kontras sedangkan berkembangnya menjadi CDMS adalah hal kedua yang dinilai. MRI otak dan orbita dengan menggunakan gadolinium telah dilakukan untuk semua pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah8:
a.Terapi dengan menggunakan metil prednisolon IV mempercepat pulihnya penglihatan tetapi tidak untuk jangka panjang setelah 6 bulan sampai dengan 5 tahun bila dibandingkan dengan terapi menggunakan placebo atau prednison oral, keuntungan terapi dengan menggunakan metil prednisolon IV ini baik dalam 15 hari pertama saja.
b.Pasien yang mendapatkan terapi dengan menggunakan prednison oral saja didapatkan terjadi resiko rekurensi neuritis optiknya (30% setelah 2 tahun dibandingkan dengan kelompok placebo 16% dan kelompok yang mendapatkan steroid IV 13%) sampai dengan follow up 5 tahun.
c.Pasien dengan monosymptomatik yang mendapatkan terapi dengan menggunakan metilprednisolon intra vena didapatkan penurunan tingkat perkembangan ke arah CDMS selama 2 tahun pertama follow up, tetapi tidak bermanfaat setelah 2 tahun karena persentase perkembangan menjadi CDMS hampir sama dengan kelompok prednison oral dan placebo.
2. Terapi jangka panjang
Diantara pasien dengan resiko tinggi berkembang menjadi CDMS yang ditetapkan dengan kriteria MRI oleh ONTT (dua atau lebih lesi white matter), telah dilakukan penelitian 383 pasien oleh (the Controlled High-Risk Avonex MS Prevention Study [CHAMPS]) menunjukkan terapi dengan interferon ß-1a pada pasien acute monosymptomatic demyelinating optic neuritis berkurang secara signifikan dalam 3 tahun dibandingkan dengan kelompok placebo, juga terdapat pengurangan tingkat lesi baru pada MRI otak. Hasil yang sama juga didapatkan pada pasien dengan neuritis optikus. Semua pasien kelompok terapi dengan interferon ß-1a dan kelompok placebo juga mendapatkan terapi dengan metil prednisolon IV selama 3 hari diikuti dengan prednison oral selama 11 hari sesuai dengan protokol ONTT. Meskipun terapi dengan interferon ß-1a pada pasien neuritis optikus dan pada pasien yang beresiko menurut pemeriksaan MRI manfaat jangka panjangnya tidak diketahui, tetapi hasil dari CHAMPS memberikan suatu terapi awal yang rasional. Ini didukung oleh hasil penelitian dari Early Treatment of Multiple Sclerosis Study [ETOMS]) yang menghasilkan selama 2 tahun follow up terjadi penurunan yang signifikan jumlah pasien yang berkembang menjadi CDMS dengan terapi awal interferon ß-1a (34%) bila dibandingkan dengan kelompok placebo (45%)8.
Pada model eksperimen sklerosis multipel, terapi dengan immunoglobulin intravena telah ditunjukkan terjadi remielinisasi pada sistem syaraf sentral. Penelitian lain (1992) menyarankan bahwa terapi dengan immunoglobulin bermanfaat pada pasien neuritis optikus dengan penurunan penglihatan yang jelas. Akan tetapi dalam penelitian terbaru tentang immunoglobulin intravena dengan placebo pada 55 pasien sklerosis multipel dengan kehilangan penglihatan tetap (20/ 40 atau lebih rendah) yang disertai neuritis optikus tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan terhadap tajam penglihatan8.
Jika pada pemeriksaan dengan MRI ditemukan lesi white matter dua atau lebih (diameter 3 atau lebih) diterapi berdasarkan rekomendasi dari ONTT, CHAMPS, dan ETOMS, yaitu8:
1.Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama 3 hari) diikuti dengan prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari selama 11 hari kemudian 4 hari taper).
2.Interferon ß-1a (30 Avonex μg intramuskular satu kali seminggu).
Pada pasien monosymptomatik dengan lesi white matter pada MRI kurang dari 2, dan yang telah didiagnosis CDMS, diberikan terapi metilprednisolon (diikuti prednison oral) dapat dipertimbangkan untuk memulihkan penglihatan, tetapi ini tidak memperbaiki untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian dari ONTT, penggunaan prednison oral saja (sebelumnya tidak diterapi dengan metilprednisolon IV ) dapat meningkatkan resiko rekurensi8.

J. Prognosis
Prognosis dari penglihatan baik. Sebagian besar pasien sembuh sempurna atau mendekati sempurna setelah 6-12 minggu11, sebanyak 95% pasien pulih penglihatannya menjadi visus 20/ 40 atau lebih baik16. Begitu proses pemulihan dimulai, sebagian besar pasien mencapai perbaikan maksimal dalam 1-2 bulan, meskipun pemulihan dalam 1 tahun juga memungkinan. Derajat keparahan kehilangan penglihatan awal menjadi penentu terhadap prognosis penglihatan. Meskipun penglihatan dapat pulih menjadi 20/20 atau bahkan lebih baik, banyak pasien dengan acute demyelinating optic neuritis berlanjut menjadi kelainan pada penglihatan yang mempengaruhi fungsi harian dan kualitas hidupnya. Kelainan tajam penglihatan (15-30%), sensitivitas kontras (63-100%), penglihatan warna (33-100%), lapang pandang (62-100%), stereopsis (89%), terang gelap (89–100%), reaksi pupil afferent (55–92%), diskus optikus (60–80%), dan visual-evoked potential (63–100%). Rekurensi dapat terjadi pada mata yang lain, kira-kira 30% dari partisipan ONNT terdapat episode ke 2 pada mata yang lain dalam 5 tahun8

DAFTAR PUSTAKA

1.Kelly, A., G., Mathew, J., Cooper, P., Macdermott, “Evaluation of the Management of Optic neuritis: audit on the neurological and ophthalmological practice in the north west of England”, dalam J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry, Hal 119-121, http://jnnp.bmj.com/cgi/content/full/72/1/119, 2002.
2.Adler, F., H.. “The Optic Nerve”. dalam Gifford’s Textbook of Opthalmology Sixth edition, Hal 365-371, Penerbit W. B Saunders Company, London, 1960.
3.Chavis, S., P., Hoyt, W., F., “Neuro-Oftalmologi”, dalam Oftalmology Umum Edisi 14, Hal 272-313, Penerbit Widya Medika, Jakarta, 2000.
4.Anonim, “Retrobulbar Neuritis“ dalam “https: //sidb1p:9047/ IH/ihtIH?st=8320&r=WSIHW000&d=dmtCGIStubCONTENT.
5.Anonim, “Optic Neuritis”, dalam http://www.mayoclinic.com/health/optic-neuritis/DS00882/METHOD=displayFull, 2007.
6.Anonim, “Optic Neuritis”, dalam http: //www.uic.edu/com/eye/PatientCare/NeuroOphService.shtml. Optic Neuritis, 1988.
7.Kang, P., “Optic Neuritis”, dalam http:// emedicine.com/Radio/HeadNeck/OpticNeuritis, 2006.
8.Balcer, L., R., Beck, R., W., “Inflamatory Optic Neuropathies and Neuroretinitis”, dalam Opthalmology second edition, Hal 1263-1267, Penerbit Mosby, St Louis, 2003.
9.Khaw, R., T., Shah, P., Elkington, A., R., “Acute Visual Disturbance”, dalam ABC of Eyes Fourth Edition, Hal 33-39, Penerbit BMJ Publishing Group, London, 2004.
10.Bradford, C., A., “Acute Visual Loss”, dalam Basic Opthalmology Eight Edition, Hal 39-40, Penerbit American Academy Of Ophthalmology Association, San Fransisco, 2004.
11.Galloway, N., R., Browning, A., C., “Neuro-ophthalmology”, dalam Common Eye Diseases and Their Management Third Edition, Hal 179-188, Penerbit Springer-Verlag, London, 2006.
12.Langstan, D., P, “Neuroophthalmology: Visual Fields, Optic Nerve, And Pupil”, dalam Manual of Ocular Diagnosis and Therapy 5th edition, Hal 434-450, Penerbit Lippincott, Williams & Wilkins, Boston, 2002.
13.Kansku, J., J., “Neuro Ophthalmology”, dalam Clinical Opthalmology A Systematic Approach Third Edition, Hal 458-460, Penerbit Butterworth Heinnmann, London, 1997.
14.Lerman, S., “The Optic Nerve”, dalam Basic Opthalmology, Hal 430-431, Penerbit McGraw Hill Company, New York, 1970.
15.Meadows, S., P., “Lesions of The Optic Nerve”, dalam Medical Opthalmology., Hal 165-170, Penerbit Chapman and Hall, London, 1976.
16.Lin, M., C., Bee, Y., S., Sheu, S., J., “A Suprasellar Meningioma Simulating Atypical Retrobulbar Optic Neuritis”, dalam J. Chin Med Assoc, Hal 689-692, 2003.

Kolesteatoma

Kolesteatoma adalah deskumulasi non neoplasma sel epitel kulit pada cavum timpani, mastoid2 atau apex petrosus. Meskipun kolesteatoma bukan lesi neoplasma tetapi dapat berbahaya pada penderita1.

Istilah kolesteatoma diperkenalkan pertama kali oleh Johanes Muller pada tahun 1838 untuk menjelaskan kolesteatoma sebagai dikira sebagai neoplasma lemak di antara sel-sel polihedral1.
Kolesteatoma telah dikenal sebagai lesi bersifat desktruksif pada kranium yang dapat mengerosi dan menghancurkan struktur penting pada tulang temporal. Sehingga berpotensi menyebabkan komplikasi pada sistem syaraf pusat3.
Insidensi kolesteatoma tidak diketahui dengan pasti, tetapi keadaan ini merupakan alasan untuk dilakukan bedah telinga. Kematian karena komplikasi intrakranial kini tidak umum terjadi disebabkan deteksi dini, intervensi pembedahan dan terapi suportif antibiotik. Kolestatoma masih penyebab umum tuli konduksi sedang dan permanen pada anak-anak dan dewasa3.
A. Definisi
Kolesteatom adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin)4. Deskuamasi tersebut dapat berasal dari kanalis auditoris externus atau membrana timpani. Apabila terbentuk terus dapat menumpuk sehingga menyebabkan kolesteatom bertambah besar4. Kolesteatoma dapat terjadi di kavum timpani dan atau mastoid5.

B. Etiologi
Kolesteatoma biasanya terjadi karena tuba eustachian yang tidak berfungsi dengan baik karena terdapatnya infeksi pada telinga tengah. Tuba eustachian membawa udara dari nasofaring ke telinga tengah untuk menyamakan tekanan telinga tengah dengan udara luar6. Normalnya tuba ini kolaps pada keadaan istirahat, ketika menelan atau menguap, otot yang mengelilingi tuba tersebut kontraksi sehingga menyebabkan tuba tersebut membuka dan udara masuk ke telinga tengah7. Saat tuba eustachian tidak berfungsi dengan baik udara pada telinga tengah diserap oleh tubuh dan menyebabkan di telinga tengah sebagian terjadi hampa udara 6. Keadaan ini menyebabkan pars plasida di atas colum maleus membentuk kantong retraksi, migrasi epitel membran timpani melalui kantong yang mengalami retraksi ini sehingga terjadi akumulasi keratin8. Kantong tersebut menjadi kolesteatoma. Kolestoma kongenital dapat terjadi ditelinga tengan dan tempat lain misal pada tulang tengkorak yang berdekatan dengan kolesteatomanya 6.
Perforasi telinga tengah yang disebabkan oleh infeksi kronik atau trauma langsung dapat menjadi kolesteatoma. Kulit pada permukaan membran timpani dapat tumbuh melalui perforasi tersebut dan masuk ke dalam telinga tengah7.
Beberapa pasien dilahirkan dengan sisa kulit yang terperangkap di telinga tengah (kolesteatoma kongenital) atau apex petrosis7.

C. Patogenesis
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara lain adalah: teori invaginasi, teori imigrasi, teori metaplasi dan teori implantasi. Teori tersebut akan lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964) yang mengatakan; kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah atau menurut pemahaman Djaafar (2001) kolesteatoma dapat terjadi karena adanya epitel kulit yang terperangkap. Sebagaimana diketahui bahwa seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamosus epithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka/ terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah Cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma 4 .


1. Teori invaginasi
Kolesteatoma timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membrana timpani pars plasida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba 4.
2. Teori imigrasi
Kolesteatoma terbentuk akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membrana timpani ke telinga tengah4. Migrasi ini berperan penting dalam akumulasi debris keratin dan sel skuamosa dalam retraksi kantong dan perluasan kulit ke dalam telinga tengah melalui perforasi membran timpani.
3. Teori metaplasi
Terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama4 .
4. Teori implantasi
Pada teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi akibat adanya implantasi epitel kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah waktu operasi, setelah blust injury, pemasangan ventilasi tube atau setelah miringotomi 4
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman, yang paling sering adalah Pseudomonas aerogenusa. Pembesaran kolesteatom menjadi lebih cepat apabila sudah disertai infeksi, kolesteatom ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang diperhebat dengan adanya pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirinitis, meningitis dan abses otak 4 .
D. Klasifikasi
Kolesteatoma dapat dibagi menjadi dua jenis:
1.Kolesteatom kongenital, yang terbentuk pada masa embrionik dan ditemukan pada telinga dengan membrana timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi. Lokasi kolesteatoma biasanya di kavum timpani, daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontin angle 4 .
2.Kolesteatoma akuisital yang terbentuk setelah anak lahir
a. Kolestetoma akuisital primer
kolestetoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrana timpani. kolestetoma timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membrana timpani pars plasida karena adanya tekanan negatif ditelinga tengah akibat gangguan tuba (teori invaginasi) 4 .
b. Kolestetoma akuisital sekunder
kolestetoma terbentuk setelah adanya perforasi membrana timpani. kolestetoma terbentuk akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membrana timpani ke telinga tengah (teori immigrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (teori metaplasia) 4 .




E. Gejala Klinis
1. Nyeri
Pasien mengeluh nyeri tumpul dan otore intermitten akibat erosi tulang dan infeksi sekuder9. Perasaan sakit dibelakang atau didalam telinga dapat dirasakan terutama pada malam hari sehingga dapat menyebabkan tidak nyaman pada pasien6.
2. Pendengaran berkurang
Kolesteatoma dapat tetap asimtomatik dan mencapai ukuran yang cukup besar sebelum terinfeksi atau menimbulkan gangguan pendengaran, dengan akibatnya hilangnya tulang mastoid, osikula, dan pembungkus tulang saraf fasialis10.
3. Perasaan penuh
Kantong kolesteatoma dapat membesar sehingga dapat menyebabkan perasaan penuh atau tekanan dalam telinga, bersamaan dengan kehilangan pendengaran 6.
4. Pusing
Perasaan pusing atau kelemahan otot dapat terjadi di salah satu sisi wajah (sisi telinga yang terinfeksi) 6.

F. Histologis
Kolesteatoma secara histologis adalah kista sel-sel keratinisasi skuamosa benigna yang disusun atas tiga komponen, yaitu kistik, matriks dan perimatrik. Kistik tersusun atas sel skuamosa keratinisasi anukleat berdiferesiansi penuh. Matriks terdiri atas epitel skuamosa keratinisasi seperti susunan kista. Perimatrik atau lamina propria merupakan bagian kolesteatoma yang terdiri atas sel-sel granulasi yang mengandung kristal kolesterol. Lapisan perimatriks merupakan lapisan yang bersentuhan dengan tulang. Jaringan granulasi memproduksi enzim proteolitik yang dapat menyebabkan desktruksi terhadap tulang.1.

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat keluhan pada telinga sebelumnya harus di selidiki untuk memperoleh gejala awal kolesteatoma. Gejala yang sering dikeluhkan adalah otore, otalgia, obstruksi nasal, tinitus dan vertigo. Riwayat penyakit dahulu menderita penyakit pada telinga tengah seperti otitis media dan atau perforasi membrana timpani harus ditanyakan, kehilangan pendengaran unilateral progresif dengan otore yang berbau busuk1, riwayat operasi sebelumnya8.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri atas pemeriksaan kepala dan leher, dengan perhatian terutama pada pemeriksaan telinga. Penilaian umum untuk menghindari terlewatnya penilaian demam, perubahan status mental dan penilaian lainnya yang dapat memberikan petunjuk kearah komplikasi5.
Otomikroskopi merupakan alat pada pemeriksaan fisik untuk mengetahui dengan pasti kolesteatoma. Diperlukan aural toiletisasi untuk menghilangkan otore, debris atau lapisan kulit sehingga visualisasi dapat lebih jelas. Membran timpani harus diperiksa dengan teliti. Retraksi sering terdapat pada attic atau membran timpani kuadran posterosuperior5.
Akumulasi debris skuamosa dapat dijumpai pada kantongnya. Terdapat juga perforasi membrana timpani, pemeriksaan mukosa telinga tengah untuk menilai ada atau tidaknya udema, dan jaringan granulasi5.
Tes Rinne dan Weber dengan menggunakan garputala 512 Hz didapatkan hasil tuli konduksi, sebaiknya dibandingkan dengan pemeriksaan audiometri5.
3.Audiometri
Audiometri nada murni dengan konduksi udara dan tulang, ambang penerimaan pembicaraan dan pengenalan kata umumnya dipakai untuk menetapkan tuli konduksi pada telinga yang sakit. Derajat tuli konduksi bervariasi tergantung beratnya penyakit5. Tuli konduksi sedang > 40dB menyatakan terjadinya diskontinuitas ossikula, biasanya karena erosi posesus longus incus atau capitulum stapes8.
4.Timpanometri, dapat menurun pada penderita dengan perforasi membran timpani8.
5.Radiologi
Pemeriksaan radiologi preoperasi dengan CT scan tulang temporal tanpa kontras dalam potongan axial dan koronal8 dapat memperlihatkan anatomi, keluasan penyakit dan skrening komplikasi asimptomatik8. CT scan tidak essensial untuk penilaian preoperasi, dikerjakan pada kasus revisi pembedahan sebelumnya, otitis media supuratif kronik, kecurigaan abnormalitas kongenital atau kasus kolesteatoma dengan tuli sensorunerual, gejala vestibular atau komplikasi lainnya1.
Kolesteatoma kongenital di diagnosa pada anak usia pre sekolah, dapat timbul pada telinga tengah atau dalam membrana timpani. Kolesteatoma kongenital yang melibatkan telinga tengah diidentifikasi sebagai massa putih atau seperti mutiara yang letaknya medial terhadap kuadran anteo superior dari membran timpani intak.5, pars placida dan pars tensanya normal, tidak ada riwayat otore atau perforasi sebelumnya, tidak ada riwayat prosedur otologi8.
Kolesteatoma akuisital umumnya didiagnosa pada anak dengan usia lebih tua dan dewasa dengan riwayat adanya penyakit telinga tengah. Kolesteatoma sering ditemukan pada membrana timpani kuadran postero superior dengan membran timpaninya retraksi dan atau perforasi. Pengurangan pendengaran terjadi seiring meluasnya penyakit5.

H. Penatalaksanaan
1. Terapi awal
Terapi awal terdiri atas pembersihan telinga, antibiotika dan tetes telinga. Terapi bertujuan untuk menghentikan drainase pada telinga dengan mengendalikan infeksi 6. Pada kantong dengan retraksi yang awal dapat dipasang timpanostomi8.
2. Terapi pembedahan
Kolestoma merupakan penyakit bedah. Tujuan utama pembedahan adalah menghilangkan kolesteatoma secara total. Tujuan kedua adanya mengembalikan atau memelihara fungsi pendengaran. Tujuan ketiga adalah memeliharan sebisa mungkin penampilan anatomi normal. Prosedur pembedahan diterapkan pada individu dengan tanda-tanda patologis. Keluasan penyakit akan menentukan keluasan pendekatan pembedahan1.
Kolesteatoma besar atau yang mengalami komplikasi memerlukan terapi pembedahan untuk mencegah komplikasi yang lebih serius. Tes pendengaran dan keseimbangan, rontgen mastoid dan CT scan mastoid diperlukan. Tes tersebut dilakukan dengan maksud untuk menentukan tingkat pendengaran dan keluasan desktruksi yang disebabkan oleh kolesteatomanya sendiri 6.
Sebagaimana prosedur pembedahan lainnya, konseling preoperatif dianjurkan. Konseling meliputi penjelasan tujuan pembedahan, resiko pembedahan (paralisis fasial, vertigo, tinnitus, kehilangan pendengaran), memerlukan follow up lebih lanjut dan aural toilet 1.
Prosedur pembedahan meliputi:
a. Canal Wall Down Procedure (CWD)
b. Canal Wall Up Procedure (CWU)
c. Trancanal Anterior Atticotomi
d. Bondy Modified Radical Procedure
Berbagai macam faktor turut menentukan operasi yang terbaik untuk pasien. Canal-wall-down prosedur memiliki probabilitas yang tinggi membersihkan permanen kolesteatomanya. Canal-wall-up procedure memiliki keuntungan yaitu mempertahankan penampilan normal, tetapi resiko tinggi terjadinya rekurensi dan persisten kolestatoma. Resiko rekurensi cukup tinggi sehingga ahli bedah disarankan melakukan tympanomastoidectomi setelah 6 bulan sampai 1 tahun setelah operasi pertama3.
3. Follow up
Tiap pasien dimonitor selama beberapa tahun. Rekurensi dapat terjadi setelah pembedahan awal. Follow up meliputi evaluasi setengah tahunan atau tahunan, bahkan pada pasien yang asimptomatik3.
Pasien yang telah menjalani canal-wall-down prosedure memerlukan follow up tiap 3 bulan untuk pembersihan saluran telinga. Pasien yang menjalani canal- wall-up prosedur umumnya memerlukan operasi tahap kedua selelah 6-9 bulan dari operasi pertama. Follow up dilakukan 6 bulan sampai dengan 1 tahun untuk mencegah terjadinya kolesteatoma persisten atau rekurensi3.

I. Komplikasi
1. Tuli konduksi
Tuli konduksi merupakan komplikasi yang sering terjadi karena terjadi erosi rangkaian tulang pendengaran. Erosi prosesus lentikular dan atau super struktur stapes dapat menyebabkan tuli konduksi sampai dengan 50dB. Kehilangan pendengaran bervariasi sesuai dengan perkembangan myringostapediopexy atau transmisi suara melalui kantong kolesteatoma ke stapes atau footplate. Rangkaian tulang-tulang pendengaran selalu intak1.
2. Tuli sensorineural
Terdapatnya tuli sensorineural menandakan terdapatnya keterlibatan labyrinth1.
3. Kehilangan pendengaran total
Setelah operasi sebanyak 3% telinga yang dioperasi mengalami kerusakan permanen karena penyakitnya sendiri aau komplikasi proses penyembuhan. Pasien harus diberikan penjelasan tentang kemungkinan kehilangan pendengaran total 1.
4. Paralisis fasialis
Paralisis fasialis disebabkan karena hancurnya tulang diatas nervus fasialis 7. Paralisis dapat berkembang secara akut mengikuti infeksinya atau lambat dari penyebaran kronik kolesteatomanya. Pemeriksaan CT tulang temporal diperlukan untuk membantu keterlibatannya. Tempat umum yang terjadi adalah gangglin genikulatum pada epitimpanicum anterior1.
5. Fistula labyrinthin
Fistula labyrinthin terjadi pada 10% pasien dengan infeksi kronik dengan kolesteatoma. Fistula dicurigai pada pasien dengan gangguan tuli sensorineural yang sudah berjalan lama dan atau vertigo yang diinduksi dengan suara atau perubahan tekanan pada telinga tengah1.
6. Intrakranial
Komplikasi intrakranial seperti abses periosteal, trombosis sinus lateral dan abses intrakranial terjadi pada 1% penderita kolesteatoma. Komplikasi intra kranial ditandai dengan gejala otore maladorous supuratif, biasanaya dengan nyeri kepala kronik, nyeri dan atau demam1.

DAFTAR PUSTAKA

1.Underbrink, M., 2002, Cholesteatoma, UTMB, Dept. of Otolaryngology, http://www.rcsullivan.com/www/ears.htm.
2.Ajalloueyan, M., 2006, Surgery in Cholesteatoma: Ten years Follow-up, IJMS Vol 31, No 1, March 2006.
3.Roland, P. S., 2006, Middle Ear, Cholesteatoma, http://www.emedicine.com
4.Djaafar, Z. A., 2001, Kelainan Telinga Tengah dalam buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
5.Kennedy, K., 1999, Cholesteatoma: Pathogenesis and Surgical Management, http://www.otohns.net/default.asp?id=14160.
6.Anonim, 2006, Cholesteatoma, American Academy of Otolaryngology, http://www.entnet.org/index2.cfm.
7.Anonim, 2002, Cholesteatoma, http://www.earsite.com/tumors/procedure_one.html.
8.Hauptman, G., Makishma, T, 2006, Cholesteatoma, Department of Otolaringology, University of Texas Medical Branch.
9.Boies, L. R., 1997, Penyakit Telinga Luar dalam buku Boies Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta.
10.Paparella, M. M., Adams, G. L., Levine, S., 1997, Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid alam buku Boies Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta.