This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 18 Juli 2008

TUBERKULOSIS MILIER

Beberapa bulan setelah terbentuknya komplek primer, basil tuberkulosis menyebar ke seluruh tubuh. Penyebaran ini jarang menyebabkan sakit.
Pada Tuberkulosis Milier sebagai perkembangan penyakit, terjadi penyebaran hematogen ke seluruh tubuh. Penyebaran ini menyebabkan orang menjadi sakit. Umumnya Tuberkulosis Milier terjadi dalam waktu 1 tahun setelah infeksi primer.
Tuberkulosis Milier adalah suatu bentuk Tuberkulosa paru dengan terbentuknya granuloma. Granuloma yang merupakan perkembangan penyakit dengan ukuran kurang lebih sama kelihatan seperti biji ‘milet’ (sejenis gandum), berdiameter 1-2 mm.
Tuberkulosis jenis ini bisa terjadi pada semua golongan umur, namun sebagian besar penderita berumur kurang dari 5 tahun.

PATOGENESIS

Pada anak dan orang dewasa, Tuberkulosis Milier terjadi bila fokus di paru pecah dan masuk ke dalam arteri atau vena sehingga terjadi bakterimia. Kuman penyebab penyakit kronis seperti tuberkulosa ini sering menyebabkan berbagai macam reaksi imunologi, yang akibatnya bisa lebih parah dari pada akibat erosif kuman. Dalam hal tuberkulosis terbentuk granuloma-granuloma yang berbatas tegas oleh sifat kronis penyakit tuberkulosis dan reaksi imunologik penderita.
Apabila bakteri pirogen memasuki pembuluh darah, artinya terjadi septisemia. Maka reaksi antara septisemia dan reaksi imunologik ini menentukan apakah nantinya tanda dan gejala penyakit akan menjadi ringan atau berat. Begitu pula dengan prognosisnya baik atau buruk, serta apakah penyebaran basil tuberkulosis terkendali atau tidak.

GAMBARAN KLINIS

Gejala TBC Milier timbul perlahan-lahan dan sifatnya tidak spesifik. Gejala bisa berupa : febris, letargi, keringat malam, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun. Febris yang bersifat turun naik sampai 40 C dan berlangsung lama adalah gejala yang paling sering dijumpai.
Di negara berkembang TBC milier harus dicurigai, bila setelah menderita campak, batuk rejan atau infeksi interkuren lainnya, anak sakit-sakitan dan berat badanya menurun. Walaupun terdapat febris, penderita TBC Milier biasanya tidak tampak sakit berat. Batuk biasanya tidak ada atau ringan saja. Sesak nafas dan sianosis mungkin dijumpai pada kasus yang berat.
Pada pemeriksaan paru sering tidak didapatkan kelainan. Krepitasi mungkin terdengar bila anak disuruh bernafas dalam. Limpa biasanya membesar, sedang hepar tidak selalu. Pemeriksaan funduskopi mata sering menunjukkan gejala patognomonik pada sebagian besar kasus, yaitu ditemukannya tuberkel koroid. Dan pada sebagian penderita bisa ditemukan tanda-tanda meningitis.




PEMERIKSAAN DARAH

Tidak ada perubahan hematologi yang spesifik pada TBC Milier. Laju enap darah tidak informatif. Anemia biasanya ringan, namun pada kasus lama dan berat mungkin dijumpai anemia berat. Sering ditemui lekopeni, kadang-kadang lekositosis dan monositosis.
Dalam pemeriksaan sumsum tulang didapatkan tuberkel-tuberkel dan gambaran darah tepi dapat menyerupai leukemia berupa leukositosis dan lekosit-lekosit muda, anemia leukoeritroblastik berupa lekosit muda dan normoblas.
Kadang-kadang terdapat gambaran hematologik anemia aplastik berupa pansitopenia.

TES TUBERKULIN (MANTOUX)

Hasil tes tuberkulin biasanya positif kuat. Pada sebagian penderita mungkin positif lemah bahkan negatif. Tetapi bila diulang satu bulan kemudian setelah mendapatkan pengobatan, praktis semua berubah menjadi positif.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran patologik pada pemeriksaan radiologi tidak selalu dijumpai pada kasus TBC Milier. Oleh karenanya gambaran radiologi normal belum pasti menyingkirkan diagnosa TBC Milier. Gambaran normal radiologi mungkin disebabkan oleh :

- fokus di paru memecah ke cabang vena, yang menyebabkan tidak terjadinya infiltrat di paru.
- ukuran infiltrat yang sangat kecil.
- atau karena pemeriksaan dilakukan pada fase dini dari penyakit.

Dalam hal demikian sebaiknya pemeriksaan diulang setelah 1-4 minggu.

Gambaran klasik Rongent foto dari TBC Milier adalah gambaran badai salju. Infiltrat-infiltrat yang halus berukuran beberapa mm, tersebar di kedua lapangan pandang paru. Namun perlu diketahui bahwa gambaran badai salju juga bisa ditemukan pada kasus lain seperti : fungosis paru, sarkoidosis, hemosiderosis, dan histositosis X. Gambaran radiologik juga bisa berupa lesi paru yang lebih besar, yaitu berupa infiltrat lober atau linfadenopati hilus.
Disamping itu dapat ditemukan pula efusi pleura, penebalan pleura dan kavitasi. Pada anak biasanya didapat gambaran campuran.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SPESIFIK

Dari uraian di atas terlukis sulitnya menegakkan diagnosa TBC Milier, dan lebih sulit lagi bila anak sudah mendapatkan vaksinasi BCG, karena:
- Vaksinasi BCG merubah reaksi imunologi penderita.
- Vaksinasi BCG mengurangi nilai diagnosa tes tuberkulin.




Pemeriksaan diagnostik spesifik berupa :

1. Pemeriksaan BTA sputum
Hanya 75 % kasus TBC Milier positif dalam pemeriksaan BTA sputum.

2. Pemeriksaan bilasan lambung
Karena sulitnya mendapatkan sputum pada bayi dan anak, maka bisa dilakukan pemeriksaan bilasan lambung. Dalam hal ini ternyata hanya ditemukan 34,8 – 56 % yang positif.

3. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
TBC Milier sering disertai Meningitis yang kadang-kadang asimtomatik, oleh karenanya perlu dipertimbangkan punksi lumbal untuk memeriksa cairan cerebrospinal.
Gambaran yang didapat adalah : pleiositosis, kadar glukosa rendah dan atau kadar protein yang tinggi. Hasil biakan positif hanya didapat pada 18,2 % kasus.

4. Pemeriksaan biopsi
Angka positif tergantung dari jaringan yang didapat. Hanya 60 % kasus positif dari pemeriksaan kelenjar limfa dengan granuloma yang mengeju dan yang tidak mengeju.

DIAGNOSA

Diagnosa ditegakkan bila memenuhi kriteri minimal :
1. Anamnesa : ada riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa dan aktif.
2. Mantoux test positif.
3. Ditemukan TBC extra paru.

PENGOBATAN

Mengacu kepada ketentuan WHO, pengobatan TBC Milier pada prinsipnya sama dengan pengobatan TBC pada umumnya, yaitu perpaduan dari beberapa jenis antituberkulosa baik yang bakteriostatik maupun bakterisid, yaitu :

1. Isoniasid (H)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan. Dosis harian : 5 mg/kg BB, dosis intermiten 3 x / minggu : 10 mg/kg BB.

2. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang tidak bisa dibunuh oleh Isoniasid. Dosis harian dan dosis intermiten sama, yaitu : 10 mg/kg BB.

3. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian : 25 mg/kg BB, dosis intermiten 35 mg/kg BB.

4. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis harian dan intermiten sama, yaitu : 15 mg/kg BB.

5. Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, dosis harian : 15 mg/kg BB, dosis intermiten : 30 mg/kg BB.


Pengobatan dibagi dalam 2 tahap yaitu :

1. Tahap Intensif :
Pada tahap ini kombinasi obat diberikan setiap hari selama 60 - 90 hari minum obat.

2. Tahap Lanjutan:
Jenis obat yang diberikan pada tahap ini lebih sedikit, tetapi dengan jangka waktu yang lebih lama, yaitu selama 4 - 5 bulan dengan 54 - 66 hari minum obat (3x/minggu)

Paduan Obat yang ada di Indonesia adalah :

1. Katagori I

- Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat sbb : Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
- Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan sbb: Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).

Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru TBC Paru BTA positif
b. Penderita TBC Paru BTA negatif, Rontgen positif sakit berat.
c. Penderita TBC ekstra paru berat.

2. Katagori II

- Tahap Intensif, selama 90 hari, terdiri dari :
• 60 hari dengan paduan obat : Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) serta suntikan Streptomisin (S)
• 30 hari dengan paduan seperti di atas minus suntikan Streptomisin (S).
- Tahap Lanjutan, selama 66 hari minum obat dalam 5 bulan (3x/minggu), dengan paduan : Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Etambutol (E).

Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita kambuh (relaps).
b. Penderita gagal dengan pengobatan sebelumnya (failure).
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

3. Katagori III

- Tahap Intensif, 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat sbb : Isoniazid (H), Rifampisin (R), dan Pirasinamid (Z)
- Tahap Lanjutan, 54 hari minum obat dalam 4 bulan (3x/minggu) dengan perpaduan obat sbb : Isoniazid (H) dan Rifampisin (R).

Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru TBC Paru BTA negatif, rontgen positif sakit ringan.
b. Penderita TBC ekstra paru ringan.

4. Obat Sisipan

Obat ini diberikan kepada penderita yang mendapat pengobatan Katagori I atau Katagori II, dimana pada akhir pengobatan fase intensif hasil pemeriksaan BTA masih positif.
Obat fase sisipan diberikan setiap hari selama 30 hari dengan perpaduan obat : Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
TBC Milier bersama dengan :

- TBC dengan Meningitis,
- TBC Pleuritis Eksudatif,
- TBC Parikarditis Konstriktif,

direkomendasikan untuk mendapat pengobatan dengan :

1. Katagori I dan
2. Kortikosteroid, dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.


PROGNOSA

Prognosa kesembuhan TBC Milier, setelah ditemukannya obat anti TBC mengalami perbaikan yang signifikan, kecuali bila ada komplikasi meningitis, serta keterlambatan dan tidak teratur dalam berobat.


DAFTAR RUJUKAN

1. Bottiger LE, Nordenstam, I.E Wester, P.O. : Disseminated Tuberculosis as a Cause of Obscure Origin. Lancet, 1 : 19, 1962.
2. Chapman, C.B. and Whorton, C.M. : Acute Generalized Milliary Tuberculosis Adult. A Clinicopathological Study Based on Sixty Three Cases Diagnosed at Autopsy. New Engl.J.Med, 235 : 239, 1946.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke 8, 2002.
4. Gelb,a.F. Leffler, C. Brewin, A. Mascatello, V. and Lyons, H.A. : Consumption Coagulopathi in Milliary Tuberculosis. Ann. Intern.Med. 71 : 775, 1969.
5. Munt, P.W. : Milliary Tuberculosis in the Chemotherapy Era : With a Clinical Review in 69 American Adult. Medicine, 51 : 139, 1972.


TERJADINYA BATU SALURAN KENCING

Batu saluran kencing merupakan penyakit yang sering terjadi, yang menimbulkan rasa sakit hebat dan dapat berakibat kegagalan fungsi ginjal apabila tidak mendapat penanganan secara cepat dan tuntas.
Di Amerika Serikat insiden batu saluran kencing sekitar 36 setiap 100.000 penduduk pertahun. Di Indonesia batu saluran kencing merupakan penyakit penyebab gagal ginjal nomer 2 bersama sama infeksi saluran kencing.
Patogenesis batu saluran kencing masih belum jelas, banyak faktor yang berperan , namun penelitian terhadap batu ini tidak banyak dilakukan oleh para ahli.
Pada awalnya ahli bedah berpendapat tindakan bedah sudah memecahkan masalah, tetapi pada akhirnya tindakan bedah yang diikuti dengan penanganan secara konservatif hasilnya lebih memuaskan.
Untuk penanganan batu saluran kencing secara konservatif harus diketahui patogenesis, jenis batu dan ketepatan diagnosa. Analisa laboratorium diperlukan untuk mengetahui jenis, sifat dan komposisi batu.


II. PATOGENESIS

Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti terjadinya batu saluran kencing. Diduga akibat interaksi antara faktor genetik dengan beberapa faktor biologik, serta faktor lain.
Faktor genetik yang diduga berpengaruh adalah :
- septiuria,
- hiperkalsiuria primer,
- dan hiperoksaliuria primer.
Adapun faktor biologiknya adalah :
- supersaturasi urin,
- kekurangan faktor proteksi,
- perubahan pH urin
- nucleasi serta faktor yang dapat melekatkan kristal tubulus renalis.
Sedangkan faktor lain yang menunjang terjadinya batu adalah :
- jenis kelamin : pria : wanita = 3:1
- ras : lebih sering ditemukan di Asia dan Afrika,
- faktor keturunan
- kebiasaan minum: banyak minum meningkatkan diuresis mencegah terjadinya batu
- mobilitas: orang yang banyak bergerak mempunyai resiko lebih kecil dibanding orang yang kurang bergerak (banyak duduk)
- sosial ekonomi: batu saluran kencing bagian atas lebih banyak diderita oleh masyarakat dengan sosial ekonomi tinggi (lebih banyak mengkonsumsi protein hewani dan karbohidrat), dan sebaliknya penderita dari tingkat sosial ekonomi rendah (vegetarian) lebih banyak menderita batu saluran kencing bagian bawah.
- Geografis : penduduk di daerah dengan suhu panas (tropika) diduga kuat mempunyai resiko lebih tinggi, karena produksi keringat yang lebih banyak sehingga mengurangi produksi urin.
- Infeksi: belum jelas apakah infeksi menyebabkan terjadinya batu atau sebaliknya.

Supersaturasi merupakan penyebab terpenting dalam proses terjadinya batu saluran kencing. Supersaturasi adalah terdapatnya bahan tertentu di dalam urin yang melebihi batas kemampuan cairan urin untuk melarutkannya.
Bahan-bahan tersebut adalah garam-garam dari oksalat, asam urat, sistein dan xantin. Garam tersebut apabila dalam konsentrasi yang tinggi disertai dengan pengurangan volume urin akan mengakibatkan terjadinya kristalisasi.

Faktor biologis lain yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya batu saluran kencing adalah :

1. Faktor Proteksi :

Di dalam urin normal terdapat faktor proteksi seperti : magnesium, sitrat, pirofosfat dan berbagai protein enzim seperti glikopeptida zinc, ribonuceleid acid dan khondroitin sulfat, neprocalcim A, uropontin dan glicosanminoglycan.
Ketiga yang terakhir merupakan proteksi batu kalsium. Bahan ini dapat menghambat pembentukan batu dengan berbagai cara, seperti: memecah kristal yang sudah terbentuk, membungkus kristal sehimgga tidak melekat dan memebuat garam-garam urin guna menghambat pembentukan kristal.
Pada orang yang cenderung menderita batu saluran kencing, kadar zat proteksi di atas rendah, sementara infeksi akan mengurangi kadar dan aktivitas bahan proteksi dalam urin.


2. PH Urin :

PH urin dalam sehari kadarnya bervariasi, tetapi pH rata-rata batas toleransi adalah antara 5,6 – 6,5. Perubahan pH urin ke arah lebih asam atau lebih basa akan mendorong terbentuknya kristal garam.
Urin dengan pH asam memudahkan terbentuknya batu asam urat, sedangkan urin dengan pH basa akan memudahkan terbentuknya batu kalsium dan batu struvit.

3. Nucleasi

Adanya partikel debris, ireguler di dinding saluran kencing. Kristal yang terbentuk dapat merupakan inti kristal untuk terbentuknya batu.
Debris sendiri terjadi karena adanya benda asing, stagnasi aliran urin, obstruksi, kelainan congenital ginjal (ginjal kistik, divertikel kolitis, medulla sponge kidney) dan infeksi.




Beberapa Sifat Batu Saluran Kencing :


1. Batu Kalsium

Penyebab adanya batu kalsium tidak diketahui dengan pasti, sehingga adanya batu ini di saluran kencing disebut Nephrolithiasis Idiopatic.
Diduga terjadinya batu ini karena adanya ketidakseimbangan antara faktor pemicu dan penghambat pembentuk batu berupa hiperkalsiuri, hiperkalsemi, hiperoksaloria dan rendahnya kadar sitrat.
Faktor genetik diperkirakan berperan kurang lebih 45 % dari batu kalsium ini.

Patogenesis terjadinya hiperkalsiuri:

a. Absorbsi kalsium yang berlebih di dalam intestinum, didukung faktor genetik (diduga ada defek gen yang mengetur regulasi kalsitriol, hormon yang berperan dalam meningkatkan absorbsi kalsium).
b. Kelebihan klorid (ion negatif) : Kalsium dalah ion positif yang mampu bergabung satu dengan yang lain, artinya kelebihan klorid akan setara dengan kelebihan kalsium.
c. Kebocoran kalsium pada ginjal (renal kalsium leak) merupakan kegagalan filtrasi kalsium pada glomerulus sehingga terjad hiperkalsiuri.
d. Kelebihan Sodium : Absorbsi kalsium di tubuli ginjal diikuti absorbsi sodium dan air. Kadar sodium pada urin yang tinggi akan menunjukkan kadar kalsium yang tinggi pula.
Adanya defek system tubuli ginjal mengakibatkan ketidak seimbangan anatara sodium dan fosfat yang menyebabkan peningkatan kadar kalsium dalam urin.
Asupan garam yang berlebihan juga mengakibatkan hal yang sama.
e. Beberapa jenis kanker dan sarcoidosis dapat mengakibatkan hiperkalsiuri.
f. Beberapa obat (hormone tyroid, diuretica) dapat menimbulkan hiperkalsiuri.

Patogenesis terjadinya hiperkalsemi:

Terjadi bila ada pemecahan di dalam tulang yang mengakibatkan lepasnya ion kalsium ke dalam darah, hal ini terjadi pada keadaan :
a. Hiperparatiroidisme, + 5 % kasus batu kalsium.
b. Renal tubuler asidosis, hal ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa, keadaan ini tidak hanya mengakibatkan kadar kalsium di dalam darah meningkat, tetapi juga dapat mengurangi kadar sitrat dalam urin.

Patogenesis terjadinya hiperoksaloria:

Oksalat biasanya disebut sebagai asam oksalat yang berkombinasi dengan kalsium membentuk batu kalsium oksalat, yang merupakan batu komposisi terbanyak.
Hiperoksaloria terjadi pada 30% batu kalsium, dan merupakan penyebab tersering dibanding dngan hiperkalsiuri. Namun demikian banyak batu oksalat tidak selalu mengeluarkan oksalat lebih banyak di urin dibanding pada orang normal.
Tubuh manusia tidak dapat memetabolisme oksalat, olah karenanya ekskresi melalui ginjal merupakan satu cara untuk mengeliminasi. Apa bila terjadi gagal ginjal maka akan terjadi deposit oksalat pada organ tubuh, seperti: system konduksi jantung, parenchim ginjal, ruang sendi, dinding pembuluh darah, tulang dsb. Pada hiperoksaloria dapat berakibat batu kalsium oksalat berulang dan gagal ginjal.

Patogenesis rendahnya kadar sitrat (Hipositraturia) :

Walaupun penyebab rendahnya kadar sitrat belum diketahui dengan pasti, beberapa factor diduga sebagai pencetusnya yaitu : Renal tubulus asidosis, defisiensi potassium, atau magnesium, ISK dan diare kronik.

Beberapa ahli membedakan Batu Kalsium menjadi :

1. Primer / Idiopatik (80-90% kasus) disebabkan beberapa kelainan metabolisme berupa : hiperabsorbsi, atau penurunan reabsorbsi di ginjal.
2. Sekunder, dimungkinkan akibat hiperparatiroid, hiperoksaloria primer, asidosis renal tubuler. metabolisme berupa : hiperabsorbsi, penurunan reabsorbsi di ginjal.

2. Batu Asam Urat

Terjadi karena konsentrasi kristal asam urat yang sangat tinggi di urin, alaupun tanpa hiperurikemi dan tanpa hiperurikosuri.
Kristal tersebut berasal dari purin, sebuah hasil akhir metabolisme protein.
Pembentukan batu tidak selalu berhubungan dengan keasaman urin, walaupun pada sebagian besar batu asam urat terjadi pada keasaman urin persisten (80-90%), tetapi dapat pula terjadi pada urin normal atau basa.

Beberapa factor yang berperan dalam terjadinya hiperurikosuri adalah :
a. factor genetic
b. diet tinggi protein hewani
c. penyakit Gout
d. obat-obatan: khemoterapi, diuretic, salisilat
e. keracunan logam timbal
f. penyakit darah (leukemia, mieloma multiple, limfoma)
g. diare kronik.

Hiperurikosuri juga memegang peranan dalam pembentukan dalam pembentukan batu kalsium oksalat, dalam hal ini urat berperan sebagai inti (nidus) dari batu, kemudian diselaputi oleh kristal oksalat.

3. Batu Infeksi

Terjadi akibat infeksi saluran kencing oleh kuman Proteus dan beberapa strain E.Coli yang dapat merubah urea menjadi amonia dan CO2.
Batu infeksi mengandung magnesium ammonium fosfat dengan kombinasi yang bervariasi dengan kalsium fosfat.
Batu jenis ini di ginjal biasanya tumbuh menjadi besar yang memenuhi pelvis ginjal (stag horn calculi) yang lama kelamaan bisa merusak ginjal.



Faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya batu infeksi adalah :
a. pH urin yang tinggi (alkalis)
b. konsentrasi ammonium yang tinggi
c. kenaikan jumlah nucleoprotein akibat proses peradangan
d. penurunan jumlah sitrat dan pirofosfat akibat degenerasi kuman.

Batu jenis ini biasanya didapatkan pada penderita yang sebelumnya mengalami penyempitan akibat kelainan congenital, prostate hipertrofi dan penyempitan ureter.

III. GEJALA KLINIK

1. Anamnesa

Abdominal pain atau nyeri perut, spesikasi keluhan berdasarkan letak batu.

LOKASI BATU KELUHAN
GINJAL Nyeri pinggang ringan, hematuria
URETER PROXIMAL Colic ginjal, nyeri pinggang, nyeri abdomen atas
URETER TENGAH Colic ginjal, nyeri pinggang, nyeri abdomen depan
URETER DISTAL Colic ginjal, nyeri pinggang, nyeri abdomen depan, disuria, urinaria frekwency

2. Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri ketuk pinggang atas.
b. Pada hidronephrosis atau ginjal polikistik, teraba masa kistik
c. Pada obstruksi saluran kemih bawah teraba kandung kemih
d. Obstruksi akut sering menyebabkan kenaikan tekanan darah (karena gangguan ekskresi Natrium, retensi air dan aktivitas sistem renin angiotensin).
e. Hipotensi dapat terjadi pada keadaan obstruksi partial dengan poliuri.

3. Laboratorium

a. Analisa:
- hematuria
- piuria
- bakteriuri
- deposit kristal
- proteinuria ringan

b. Pemeriksaan Darah :
- polisitemia
- ureum creatinin meningkat
- asidosis hipocloramik






IV. DIAGNOSA

1. Keluhan / Gejala

Nyeri abdominal / colic pinggang menyebar ke daerah selangka dan gonad, mual, muntah atau tak bergejala.

2. Laboratorium :
a. Urin lengkap : hematuria, piuria, kristaluria
b. Darah lengkap : polisitemia, kenaikan ureum – creatinin
c. Analisa batu : batu jenis kalsium, kalsium oksalat, asam urat, sistein, xantin atau batu infeksi.

3. Pemeriksaan Penunjang :
a. USG : untuk batu kecil sulit dilihat, begitu pula bila produksi urin berkurang sulit untuk melihat adanya sumbatan.
b. Rongent foto polos abdomen : terutama untuk batu radio opak (dapat dilihat ukuran, bentuk dan lokasinya)
c. IVP (Pyelografi intravena) : tidak dianjurkan pada ginjal yang sudah mengalami penurunan fungsi.
d. CT Scan tanpa kontras dan MRI : cepat, akurat, dapat mengenali semua tipe batu di berbagai lokasi, jenis batu dengan densitasnya, dan dapat menyingkirkan nyeri abdomen yang bukan batu saluran kencing seperti : aneurisma aorta, cholelithiasis.

V. DIAGNOSA BANDING

Beberapa Faktor penyebab nyeri/colic abdomen adalah :

1. Faktor Intrinsik

a. Intraluminal berupa :
- deposit kristal intra tubuler (obat-obatan, asam jengkol)
- bekuan darah karena trauma ginjal, jaringan nekrose (papila, kista atau tumor ginjal)

b. Intramural berupa :
- fungsional: disfungsi ureteropelvik, vesico-uretero junction.
- Autonom : tumor, granuloma, infeksi.

2. Faktor Ekstrinsik

a. Berasal dari organ reproduksi
- carcinoma cervik, kehamilan extrauteri, myoma, prolap uteri, endometriosis, infeksi, kista ovarii, abses
- prostat hipertrofi, carcinoma prostate

b. Berasal dari Vaskular
- aneurisma aorta / arteri iliaca
- arteri aberan pada ureteropelvik

c. Berasal dari gastrointestinal
- pembesaran kelenjar limfe
- fibrosis oleh karena obat (beta bloker)
- tumor, hematom.


VI. PENDEKATAN DIAGNOSA

VII. PENGELOLAAN

Pengelolaan setelah terdeteksi batu dengan melalui 2 cara :

1. Mengeluarkan batu

a. Tindakan : Bedah, Litotripsi, ESWL.
Indikasi batu harus dikeluarkan dengan tindakan, bila:
- Sumbatan total / subtotal lebih dari 6 minggu tanpa ada penurunan
- Infeksi di atas batu
- Ukuran batu > 0,5 cm dan tidak ada penurunan
- Nyeri hebat yang tidak teratasi dengan analgetik kuat
- Sumbatan satu ginjal yang menyebabkan uremia
- Gagal Ginjal Kronis.

b. Konservatif
Dikerjakan bila tidak memenuhi kriteria tindakan.

2. Mencegah kekambuhan.





DAFTAR PUSTAKA

1. Andersen, D.A. 1962. The nutritional significance of primary bladder stones. Br J.Urol. 34 : 160-177.
2. Aronson, M.D., Rose B.D. 2003. Diagnosis and Acute Management of Suspect Nephrolithiasis. Uptodate. 12.1.
3. Budi Raharjo dan Suwito, A. 1986. Batu Saluran Kencing di Rumah Sakit Dr.Kariadi Semarang. Simposium Batu Kandung Kencing di Semarang, 11 Agustus, pp 38-51.
4. Pyrah, L.N., 1979. Renal Calculus, 1 st ed. Springer, New York.
5. Reilly, R.F. 2000. The Patient with Renal Stones in Schrier, R.W., (eds). Manual of Nephrology. 5 th ed., Lippincolt, William and Willkins, Philadelphia, pp : 81-90.
6. Sja’bani, M.2001. Pencegahan Kekambuhan Batu Ginjal Kalsium Idiopatik dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah ke III Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta; hal 46-64.


PENATALAKSANAAN KRISIS HIPERTENSI

Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu waktu bisa jatuh kedalam keadaan gawat darurat. Diperkirakan sekitar 1-8% penderita hipertensi berlanjut menjadi “Krisis Hipertensi”, dan banyak terjadi pada usia sekitar 30-70 tahun. Tetapi krisis hipertensi jarang ditemukan pada penderita dengan tekanan darah normal tanpa penyebab sebelumnya.
Pengobatan yang baik dan teratur dapat mencegah insiden krisis hipertensi menjadi kurang dari 1 %.

Krisis Hipertensi adalah keadaan yang sangat berbahaya, karena terjadi kenaikan tekanan darah yang tinggi dan cepat dalam waktu singkat. Biasanya tekanan diastolik lebih atau sama dengan 130 mmHg dan menetap lebih dari 6 jam, disertai dengan gangguan fungsi jantung, ginjal dan otak serta retinopati tingkat III – IV menurut Keith-Wagner (KW).

Beberapa keadaan yang termasuk keadaan darurat hipertensi atau krisis hipertensi akut adalah :

1. Ensefalopati Hipertensi.
2. Hipertensi Maligna.
3. Hipertensi dengan komplikasi :
a. Gagal jantung kiri akut
b. Perdarahan intra kranial
c. Perdarahan pasca operasi
d. Aortic dessection.
4. Eklamsia.
5. Feokromositoma.


PATOGENESIS

Bentuk manapun dari hipertensi yang menetap, baik primer maupun sekunder, dapat dengan mendadak mengalami percepatan kenaikan dengan tekanan diastolik meningkat cepat sampai di atas 130 mmHg dan menetap lebih dari 6 jam.
Hal ini dapat menyebabkan nekrosis arterial yang lama dan tersebar luas, serta hiperplasi intima arterial interlobuler nefron-nefron. Perubahan patologis jelas terjadi terutama pada retina, otak dan ginjal.

Pada retina akan timbul perubahan eksudat, perdarahan dan udem papil. Gejala retinopati dapat mendahului penemuan klinis kelainan ginjal dan merupakan gejala paling terpercaya dari hipertensi maligna.

Otak mempunyai suatu mekanisme otoregulasi terhadap kenaikan ataupun penurunan tekanan darah. Batas perubahan pada orang normal adalah sekitar 60-160 mmHg. Apabila tekanan darah melampaui tonus pembuluh darah sehingga tidak mampu lagi menahan kenaikan tekanan darah maka akan terjadi udem otak. Tekanan diastolik yang sangat tinggi memungkinkan pecahnya pembuluh darah otak yang dapat mengakibatkan kerusakan otak yang irreversible.

Pada jantung kenaikan tekanan darah yang cepat dan tinggi akan menyebabkan kenaikan after load, sehingga terjadi payah jantung. Sedangkan pada hipertensi kronis hal ini akan terjadi lebih lambat karena ada mekanisme adaptasi.

Penderita feokromositoma dengan krisis hipertensi akan terjadi pengeluaran norefinefrin yang menetap atau berkala.


PENGELOLAAN

Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan pemantauan yang ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari keadaan yang merugikan atau munculnya masalah baru.

Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat bekerja cepat, mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan darah dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang tidak tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal.

1. Diazoxide

Adalah derivat benzotiadiazin, obat ini menurunkan tekanan darah secara kuat dan cepat dengan mempengaruhi secara langsung pada otot polos arterial, sehingga terjadi penurunan tekanan perifer tanpa mengurangi curah jantung atau aliran darah ke ginjal. Tetapi menurut beberapa penulis, diazoxide juga menaikkan isi sekuncup, isi semenit dan denyut jantung permenit, sehingga tidak dianjurkan pada krisis hipertensi yang disertai aorta diseksi atau kelainan coroner.
Efek samping dari diazoxide adalah : hipoglikemi, hiperurikemi dan dapat menembus plasenta sehingga mempengaruhi metabolisme janin sehingga tidak direkomendasikan untuk krisis hipertensi pada kasus eklamsia.
Diazoxide diberikan dengan intravena 75-300 mg selama 10-30 detik, penurunan tekanan darah akan tampak dalam waktu 1-2 menit, pengaruh puncak dicapai antara 2-3 menit, dan bertahan 4-12 jam.
Untuk penderita dengan perdaraham otak, dianjurkan pemberian intra vena sebesar 500-1.000 mg. Pemberian dapat diulang setiap 10-15 menit sampai didapat tekanan diastolik 100-105 mmHg.



2. Sodium Nitropusid

Sodium nitropusid merupakan vasodilator pada arteri dan vena. Obat ini dapat menurunkan isi sekuncup dan isi semenit jantung. Untuk menghindari hipotensi, pengawasan ketat harus dilakukan pada pemberian obat ini.
Dosis : 0,3-0,6 ug/kgBB/menit, dinaikkan pelan-pelan sampai tercapai penurunan tekanan darah yang cukup.
Penurunan tekanan darah terjadi dalam beberapa detik dan puncak tercapai dalam 1-2 menit, hanya berlangsung 3-5 menit.
Efek samping : takikardi dan sakit kepala.

3. Trimetapan (Artonad)

Merupakan penghambat ganglion, bekerja dengan cara menurunkan isi sekuncup jantung dan isi semenit jantung. Obat ini baik digunakan pada kasus krisis hipertensi dengan payah jantung atau diseksi aorta anerisma
Dosis : 500 mg/500 cc Dextrosa 5% dengan kecepatan 0,25 mg%/menit, kemudian dinaikkan perlahan sampai dicapai penurunan tekanan yang dikehendaki, yaitu tekanan diastolik 110 mmHg dalam waktu 1 jam. Jangka waktu kerja 5-15 menit. Infus diberikan dengan posisi duduk, untuk menghindari efek hipotensi yang berlebihan.

4. Hidralazin (Apresolin)

Obat ini bekerja langsung pada otot polos arterial dan menimbulkan vasodilatasi perifer, tanpa menurunkan aliran darah ke ginjal. Tetapi hidralazin menaikkan denyut jantung permenit, isi sekuncup dan isi semenit jantung.
Hidralazin direkomendasikan untuk diberikan pada toksemia gravidarum dan krisis hipertensi dengan ensefalopati
Dosis : 5-20 mg diberikan intramuskular setiap 2-4 jam, atau ecara intra vena (1 ampul dari 20 mg/ml dilarutkan dalam 300 cc NaCl 0,9%) dengan kecepatan 10-60 tetes/menit. Penurunan tekanan darah terjadi dalam 10-20 menit, berlangsung sampai 1 jam. Apabila selama 30 menit tidak berhasil, dapat diulang tiap 3-6 jam.

5. Klonidin (Catapres)

Merupakan derivat imidazolin, yang merangsang reseptor alfa adrenergik pada batang otak, mengakibatkan penurunan discharge symphatis, sehingga menurunkan tekanan vaskular sistemik, juga menekan pengeluaran renin oleh ginjal.
Klonidin diberikan intravena 1 ampul (150 ug) diencerkan dalam 10 ml NaCl 0,9% dalam waktu 10 menit. Efek penurunan tekanan terjadi dalam waktu 5-10 menit. Pemberian intramuskular, 1-2 ampul dan dulang dalam 3-4 jam, terjadi penurunan tekanan dalam waktu 10-15 menit. Pemberian IM dinilai lebih aman dan terkontrol, tetapi kurang dalam kekuatan dan kecepatan dibanding dengan Diazoxide, Sodium Nitroprusid dan Trimetapan.
Efek samping yang muncul biasanya adalah mulut kering dan kantuk yang hebat.
Obat ini direkomendasikan dipakai untuk krisis hipertensi dengan eklamsia dan aorta anerisma.

6. Kaptopril (Kapoten)

Obat ini cukup memberikan harapan karena menaikkan kecepatan filtrasi glomeruli dengan menhambat pembentukan vaso konstriktor yang sangat kuat (angiotensin II) dan juga menghambat perusakan vasodilator yang kuat (bradikinin).
Dosis awal 12,5 mg, dinaikkan pelan-pelan sampai dosis optimal. Diuretik dapat memberikan efek potensiasi.

7. Pentolamin dan Penoxi Benzamin

Kedua obat merupakan penghambat alfa adrenergik, diberikan terutama untuk feokromositoma atau karena hambatan MAO (mono amino oksidase).
Dosis : 5-15 mg IV, akan menurunkan tekanan darah dalam 10-15 menit.

8. Antagonis Kalsium (Nifedipin)

Antagonis kalsium (Nifedipin, Diltiazem dan Verapamil) bekerja dengan menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel dan merupakan vaso dilatator kuat yang mempunyai daya aksi jangka panjang.
Nifedipin mempunyai harapan dalam pengobatan darurat dengan cara menurunkan tahanan perifer dengan melemaskan otot polos pembuluh darah, tidak menimbulkan depresi pada miokard dan tidak mempunyai sifat antiaritmia.
Dosis : 1-2 tablet (10-20mg) dosis tunggal. Pemberian sublingual dapat memberikan efek yang lebih cepat, yaitu beraksi dalam 3 menit setelah pemberian. Apabila penderita tidak sadar dapat diberikan lewat pipa lambung.


PENGOBATAN KHUSUS KRISIS HIPERTENSI

1. Ensefalopati Hipertensi

Pada Ensefalofati hipertensi biasanya ada keluhan serebral. Bisa terjadi dari hipertensi esensial atau hipertensi maligna, feokromositoma dan eklamsia. Biasanya tekanan darah naik dengan cepat, dengan keluhan : nyeri kepala, mual-muntah, bingung dan gejala saraf fokal (nistagmus, gangguan penglihatan, babinsky positif, reflek asimetris, dan parese terbatas) melanjut menjadi stupor, koma, kejang-kejang dan akhirnya meninggal.
Obat yang dianjurkan : Natrium Nitroprusid, Diazoxide dan Trimetapan.

2. Gagal Jantung Kiri Akut

Biasanya terjadi pada penderita hipertensi sedang atau berat, sebagai akibat dari bertambahnya beban pada ventrikel kiri. Udem paru akut akan membaik bila tensi telah terkontrol.
Obat pilihan : Trimetapan dan Natrium nitroprusid. Pemberian Diuretik IV akan mempercepat perbaikan.




3. Feokromositoma

Katekolamin dalam jumlah berlebihan yang dikeluarkan oleh tumor akan berakibat kenaikan tekanan darah. Gejala biasanya timbul mendadak : nyeri kepala, palpitasi, keringat banyak dan tremor.
Obat pilihan : Pentolamin 5-10 mg IV.

4. Deseksi Aorta Anerisma Akut

Awalnya terjadi robekan tunika intima, sehingga timbul hematom yang meluas. Bila terjadi ruptur maka akan terjadi kematian. Gejala yang timbul biasanya adalah nyeri dada tidaj khas yang menjalar ke punggung perut dan anggota bawah. Auskultasi : didapatkan bising kelainan katup aorta atau cabangnya dan perbedaan tekanan darah pada kedua lengan.
Pengobatan dengan pembedahan, dimana sebelumnya tekanan darah diturunkan terlebih dulu dengan obat pilihan : Trimetapan atau Sodium Nitroprusid.

5. Toksemia Gravidarum

Gejala yang muncul adalah kejang-kejang dan kebingungan.
Obat pilihan : Hidralazin kemudian dilanjutkan dengan klonidin.

6. Perdarahan Intrakranial

Pengobatan hipertensi pada kasus ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena penurunan tekanan yang cepat dapat menghilangkan spasme pembuluh darah disekitar tempat perdarahan, yang justru akan menambah perdarahan.
Penurunan tekanan darah dilakukan sebanyak 10-15 % atau diastolik dipertahankan sekitar 110-120 mmHg
Obat pilihan : Trimetapan atau Hidralazin.


KESIMPULAN

1. Krisis hipertensi adalah keadaan darurat yang mengancam jiwa penderita yang memerlukan penanganan intensif di Rumah Sakit dengan pengawasan yang ketat.
2. Obat parenteral merupakan pilihan utama karena bisa bereaksi cepat dan aman.
3. Ketepatan diagnosa akan mempengaruhi pilihan obat guna keberhasilan terapi dalam menurunkan tekanan darah dan komplikasi yang ditimbulkan.











DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurrahman, N : Pemakaian Beta Blocker dalam Kardiologi, Akta Medica Indonesiana XI, 1980.
2. Laragh,J.H., Buhler,F.R., Seldin,D.W. : Frontiers in Hypertension Research, Springer-Verlag-New York-Heidelberg-Berlin, 1980.
3. Littler,W.A. : The Use of Beta Blockade, Acta Medica Indonesiana XI, 1980.
4. Sutoro,D., Raharjo,B., Parsudi, I., Darmojo, B., : Penanganan Keadaan Darurat Hipertensi dengan Klonidin, KOPAPDI VI, Jakarta, 1984.
5. Soelaiman, B. : Keadaan Darurat pada Hipertensi, KOPAPDI VI, Jakarta, 1984.
6. Sya’bani, Sucitro : Tatalakasana Penanganan Krisis Hipertensi, Naskah Simposium Hipertensi, 1982.
7. William, G. : Hypertensiv Vascular Disease in Principle of Internal Medicine, 10 th edition.


PENATALAKSANAAN KERACUNAN

Keracunan dalah masuknya zat yang berlaku sebagai racun, yang memberikan gejala sesuai dengan macam, dosis dan cara pemberiannya.

Seseorang dicurigai menderita keracunan, bila :
1. Sakit mendadak.
2. Gejala tak sesuai dengan keadaan patologik tertentu.
3. Gejala berkembang dengan cepat karena dosis besar.
4. Anamnese menunjukkan kearah keracunan, terutama kasus percobaan bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan.
5. Keracunan kronis dicurigai bila digunakannya obat dalam waktu lama atau lingkungan pekerjaan yang berhubungan dengan zat kimia.

GEJALA UMUM KERACUNAN

1. Hipersalivasi (air ludah berlebihan)
2. Gangguan gastrointestinal : mual-muntah
3. Mata : miosis

PENATALAKSANAAN

1. Mencegah / menghentikan penyerapan racun

a. Racun melalui mulut (ditelan / tertelan)
1. Encerkan racun yang ada di lambung dengan : air, susu, telor mentah atau norit).
2. Kosongkan lambung (efektif bila racun tertelan sebelum 4 jam) dengan cara :

- Dimuntahkan :
Bisa dilakukan dengan cara mekanik (menekan reflek muntah di tenggorokan), atau pemberian air garam atau sirup ipekak.
Kontraindikasi : cara ini tidak boleh dilakukan pada keracunan zat korosif (asam/basa kuat, minyak tanah, bensin), kesadaran menurun dan penderita kejang.

- Bilas lambung :
• Pasien telungkup, kepala dan bahu lebih rendah.
• Pasang NGT dan bilas dengan : air, larutan norit, Natrium bicarbonat 5 %, atau asam asetat 5 %.
• Pembilasan sampai 20 X, rata-rata volume 250 cc.
Kontraindikasi : keracunan zat korosif & kejang.

- Bilas Usus Besar : bilas dengan pencahar, klisma (air sabun atau gliserin).

b. Racun melalui melalui kulit atau mata

- Pakaian yang terkena racun dilepas
- Cuci / bilas bagian yang terkena dengan air dan sabun atau zat penetralisir (asam cuka / bicnat encer).
- Hati-hati : penolong jangan sampai terkontaminasi.

c. Racun melalui inhalasi
- Pindahkan penderita ke tempat aman dengan udara yang segar.
- Pernafasan buatan penting untuk mengeluarkan udara beracun yang terhisap, jangan menggunakan metode mouth to mouth.

d. Racun melalui suntikan
- Pasang torniquet proximal tempat suntikan, jaga agar denyut arteri bagian distal masih teraba dan lepas tiap 15 menit selama 1 menit
- Beri epinefrin 1/1000 dosis : 0,3-0,4 mg subkutan/im.
- Beri kompres dingin di tempat suntikan

2. Mengeluarkan racun yang telah diserap
Dilakukan dengan cara :
- Diuretic : lasix, manitol
- Dialisa
- Transfusi exchange

3. Pengobatan simptomatis / mengatasi gejala
- Gangguan sistem pernafasan dan sirkulasi : RJP
- Gangguan sistem susunan saraf pusat :
• Kejang : beri diazepam atau fenobarbital
• Odem otak : beri manitol atau dexametason.

4. Pengobatan spesifik dan antidotum

a. Keracunan Asam / Basa Kuat (Asam Klorida, Asam Sulfat, Asam Cuka Pekat, Natrium Hidroksida, Kalium Hidroksida).

- Dapat mengenai kulit, mata atau ditelan.
- Gejala : nyeri perut, muntah dan diare.
- Tindakan :
• Keracunan pada kulit dan mata :
- irigasi dengan air mengalir
- beri antibiotik dan antiinflamasi.
• Keracunan ditelan / tertelan :
- asam kuat dinetralisir dengan antasida
- basa kuat dinetralisir dengan sari buah atau cuka
- jangan bilas lambung atau tindakan emesis
- beri antibiotik dan antiinflamasi.


b. Keracunan Alkohol / Minuman Keras

- Gejala : emosi labil, kulit memerah, muntah, depresi pernafasan, stupor sampai koma.
- Tindakan :
• Bilas lambung dengan air
• Beri kopi pahit
• Infus glukosa : mencegah hipoglikemia.

c. Keracunan Arsenikum

- Gejala : mulut kering, kulit merah, rasa tercekik, sakit menelan, kolik usus, muntah, diare, perdarahan, oliguri, syok.
- Tindakan :
• Bilas lambung dengan Natrium karbonat/sorbitol
• Atasi syok dan gangguan elektrolit
• Beri BAL (4-5 Kg/BB) setiap 4 jam selama 24 jam pertama. Hari kedua sampai ketiga setiap 6 jam (dosis sama). Hari keempat s/d ke sepuluh dosis diturunkan.

d. Keracunan Tempe Bongkrek

- Gejala : mengantuk, nyeri perut, berkeringat, dyspneu, spasme otot, vertigo sampai koma.
- Tindakan : terapi simptomatik.

e. Keracunan Makanan Kaleng (Botulisme)

- Gejala : gangguan penglihatan, reflek pupil (-), disartri, disfagi, kelemahan otot lurik, tidak ada gangguan pencernaan dan kesadaran.
- Tindakan :
• Bilas lambung dengan norit
• Beri ATS 10.000 unit.
• Ber Fenobarbital 3 x 30-60 mg / oral.

f. Keracunan Ikan

- Gejala : panas sekitar mulut, rasa tebal pada anggota badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, nyeri sendi, pruritus, demam, paralisa otot pernafasan.
- Tindakan : Emesis, bilas lambung dan beri pencahar.

g. Keracunan Jamur

- Gejala : air mata, ludah dan keringat berlebihan, mata miosis, muntah, diare, nyeri perut, kejang, dehidrasi, syok sampai koma.
- Tindakan :
• Emesis, bilas lambung dan beri pencahar.
• Injeksi Sulfas Atropin 1 mg / 1-2 jam
• Infus Glukosa.
h. Keracunan Jengkol

- Gejala : kolik ureter, hematuria, oliguria – anuria, muncul gejala Uremia.
- Tindakan :
• Infus Natrium bikarbonat
• Natrium bicarbonat tablet : 4 x 2 gr/hari

i. Keracunan Singkong

- Gejala : Mual, nyeri kepala, mengantuk, hipotensi, takikardi, dispneu, kejang, koma (cepat meninggal dalam waktu 1-15 menit).
- Tindakan :
• Beri 10 cc Na Nitrit 5 % iv dalam 3 menit
• Beri 50 cc Na Thiosulfat 25 % iv dalam 10 menit.

j. Keracunan Marihuana / Ganja

- Gejala : halusinasi, mulut kering, mata midriasis
- Tindakan : simptomatik, biasanya sadar setelah dalam 24 jam pertama.

k. Keracunan Formalin

- Gejala :
• Inhalasi : iritasi mata, hidung dan saluran nafas, spasme laring, gejala bronchitis dan pneumonia.
• Kulit : iritasi, nekrosis, dermatitis.
• Ditelan/tertelan : nyeri perut, mual, muntah, hematemesis, hematuria, syok, koma, gagal nafas.
- Tindakan : bilas lambung dengan larutan amonia 0,2 %, kemudian diberi minum norit / air susu

l. Keracunan Barbiturat

- Gejala : mengantuk, hiporefleksi, bula, hipotensi, delirium, depresi pernafasan, syok sampai koma.
- Tindakan :
• Jangan lakukan emesis atau bilas lambung
• Bila sadar beri kopi pahit secukupnya
• Bila depresi pernafasan, beri amphetamin 4-10 mg intra muskular.

m. Keracunan Amfetamin

- Gejala : mulut kering, hiperaktif, anoreksia, takikardi, aritmia, psikosis, kegagalan pernafasan dan sirkulasi.
- Tindakan :
• Bilas lambung
• Klorpromazin 0,5-1 mg/kg BB, dapat diulang tiap 30 menit
• Kurangi rangsangan luar (sinar, bunyi)
n. Keracunan Aminopirin (Antalgin)

- Gejala : gelisah, kelainan kulit, laborat : agranolositosis
- Tindakan :
• Beri antihistamin im/iv
• Beri epinefrin 1 %o 0,3 cc sub kutan.

o. Keracunan Digitalis (Digoxin)

- Gejala : anoreksia, mual, diare, nadi lambat, aritmia dan hipotensi
- Tindakan :
• Propranolol
• KCl iv

p. Keracunan Insektisida Gol.Organofosfat (Diazinon, Malathion)

- Gejala : mual, muntah, nyeri perut, hipersalivasi, nyeri kepala, mata miosis, kekacauan mental, bronchokonstriksi, hipotensi, depresi pernafasan dan kejang.
- Tindakan :
• Atropin 2 mg tiap 15 menit sampai pupil melebar
• Jangan diberi morfin dan aminophilin.

q. Keracunan Insektisida Gol.(Endrin, DDT)

- Gejala : muntah, parestesi, tremor, kejang, edem paru, vebrilasi s/d kegagalan ventrikel, koma
- Tindakan :
• Jangan gunakan epinefrin
• Bilas lambung hati-hati
• Beri pencahar
• Beri Kalsium glukonat 10 % 10 cc iv pelan-pelan.

r. Keracunan Senyawa Hidrokarbon (Minyak Tanah, Bensin)

- Gejala :
• Inhalasi : nyeri kepala, mual, lemah, dispneu, depresi pernafasan
• Ditelan/tertelan : muntah, diare, sangat berbahaya bila terjadi aspirasi (masuk paru)
- Tindakan :
• Jangan lakukan emesis
• Bilas lambung hati-hati
• Beri pencahar
• Depresi pernafasan : Kafein 200-500 mg im
• Pengawasan : kemungkinan edem paru.

s. Keracunan Karbon Mono-oksida (CO)

- Gejala : kulit dan mukosa tampak merah terang, nyeri dan pusing kepala, dispneu, pupil midriasis, kejang, depresi pernafasan sampai koma.
- Tindakan :
• Pasang O2 bertekanan
• Jangan gunakan stimulan
• Pengawasan : kemungkinan edem otak

t. Keracunan Narkotika (Heroin, Morfin, Kodein)

- Gejala : mual, muntah, pusing, klulit dingin, pupil miosis, pernafasan dangkal sampai koma.
- Tindakan :
• Jangan lakukan emesis
• Beri Nalokson 0,4 mg iv tiap 5 menit (atau Nalorpin 0,1 mg/Kg BB.
Obat terpilih Nalokson (dosis maximal 10 mg), karena tidak mendepresi pernafasan, memperbaiki kesadaran, hanya punya efek samping emetik.
Karenanya pada penderita koma tindakan preventif untuk aspirasi harus disiapkan.



KEPUSTAKAAN

1. Halim Mubin A. : Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam : Diagnosa dabn Terapi, EGC, Jakarta 2001 : 98-115.
2. Panitia Pelantikan Dokter FK-UGM : Penatalaksanaan Medik, Senat Mahasiswa Fak.Kedokteran UGM, Yogyakarta 1987 : 18-22.
3. Purnawan J., Atiek S.S., Husna A. : Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta 1982: 185-198.


PENATALAKSANAAN HIPERTENSI ESENSIAL

Sampai saat ini hipertensi masih merupakan masalah yang cukup penting dalam pelayanan kesehatan primer, khususnya di Puskesmas, karena prevalensinya yang tinggi, dan akibat jangka panjang yang ditimbulkan. Hipertensi esensial, meliputi 90 % dari seluruh penderita hipertensi, dan 10 % sisanya adalah hipertensi renal atau hipertensi sekunder.
Beberapa hal yang mempengaruhi peningkatan angka prevalensi sangat berhubungan dengan perilaku atau gaya hidup yang berubah dengan cepat, seperti :

– Pola makan, adalah dimaklumi saat ini ada pergeseran pola makan dari vegetarian ke arah konsumsi makanan cepat saji dengan kadar lemak yang tinggi.
– Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol, semakin banyaknya perokok di usia muda karena gencarnya iklan rokok di media masa.
– Kemudahan transportasi, mendorong orang untuk malas bergerak secara fisik akan menambah timbunan cadangan makanan dalam bentuk lemak sehingga timbul obesitas, yang merupakan faktor resiko dari hipertensi.

Hingga kini belum ada definisi yang tepat mengenai hipertensi, oleh karena tidak terdapat batasan jenis yang membedakan antara hipertensi dengan normotensi.
Telah dibuktikan, bahwa peningkatan tekanan darah akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, sehingga secara teoritis hipertensi didefinisikan sebagai suatu tingkat tekanan darah, dimana komplikasi yang mungkin timbul menjadi nyata.

Batasan hipertensi menurut WHO, tanpa memandang usia dan jenis kelamin adalah :

– Tekanan darah < 140/90 mmHg, disebut Normotensi.
– Tekanan darah > 160/95 mmHg, dinyatakan Hipertensi pasti.
– Tekanan darah 140/90 mmHg sampai 160/95 mmHg disebut Hipertensi perbatasan.

Batasan dengan mempertimbangkan usia dan jenis kelamin diajukan oleh Kaplan, sbb :

– Pria usia < 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah pada waktu berbaring diatas atau sama dengan 130/90 mmHg.
– Pria usia > 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah pada waktu berbaring diatas 145/95 mmHg.
– Pada wanita, tekanan darah di atas atau sama dengan 160/95 mmHg, dinyatakan kepentingan pengobatan.

Dengan memperhatikan tekanan sistolik, WHO membagi hipertensi menjadi :

– Apabila tekanan sistolik 180 mmHg dan tekanan diastolik antara 95-104 mmHg, disebut Golongan Rendah
– Apabila tekanan sistolik 180 mmHg dan tekanan diastolik diatas 105 mmHg, disebut Golongan Tinggi.

Walaupun masih banyak perdebatan klasifikasi hipertensi dengan dasar tekanan diastolik ternyata lebih banyak digunakan, yaitu :

– Hipertensi Ringan : bila tekanan diastolik antara 90 – 110 mmHg
– Hipertensi Sedang : bila tekanan diastolik antara 110 -130 mmHg
– Hipertensi Berat : bila tekanan diastolik diatas 130 mmHg

PENEGAKAN DIAGNOSA

Penegakan diagnosa hipertensi esensial sebagaimana lazimnya penegakan diagnosa panyakit lain, dimulai dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Hal ini penting dilakukan, untuk menyingkirkan diagnosa hipertensi akibat renal atau hipertensi sekunder.

1. ANAMNESA

– 70-80% kasus hipertensi esensial didapat riwayat hipertensi dalam keluarga.
– Sebagian besar hipertensi esensial timbul pada usia 25-45 tahun, dan hanya 20% timbul di bawah 20 tahun atau di atas 50 tahun.
– Gejala klinik yang mungkin timbul akibat hipertensi adalah sakit kepala, rasa tidak nyaman di tengkuk (kenceng), sukar tidur, epistaksis, disines atau migren, sampai keluhan mudah marah.
– Hasil penyelidikan gejala klinik hipertensi di Paris adalah sbb : gejala sakit kepala menduduki urutan pertama (40,5%), disusul palpitasi (28,5%), nokturi (20,4%), disiness (20,8%) dan tinitus (13,8%).
– Gejala lain yang dikeluhkan mungkin akibat dari komplikasi yang timbul, seperti gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gejala gagal jantung, dan gejala gangguan fungsi ginjal. Tidak jarang hal ini menjadi penyebab utama penderita untuk datang periksa ke dokter.
– Hal lain yang perlu ditanyakan kepada penderita guna kepentingan terapi adalah :
• Bila sebelumnya telah diketahui menderita hipertensi : informasi pengobatan sebelumnya meliputi jenis obat, dosis, efektifitas, dan efek samping yang mungkin timbul.
• Penyakit yang sedang atau pernah diderita seperti diabetes militus, penyakit ginjal, dan penyakit jantung serta penyakit kelenjar tiroid.
• Kemungkinan penderita sedang mengkonsumsi obat karena penyakit lain, yang mungkin menimbulkan efek samping kenaikan tekanan darah, seperti golongan steroid, golongan penghambat monoamin oksidase dan golongan simpatomimetik.
• Kebiasaan makan penderita (terutama asupan garam), minuman alkohol dan konsumsi rokok.
• Faktor stres psikis.
• Pada wanita perlu ditanyakan tentang riwayat kehamilan dan persalinan (pre-eklamsi dan eklamsi), serta pemakaian alat kontrasepsi.




2. PEMERIKSAAN FISIK

– Peninggian tekanan darah sering merupakan satu-satunya tanda klinik hipertensi esensial, sehingga diperlukan hasil pengukuran darah yang akurat.
– Beberapa faktor akan mempengaruhi hasil pengukuran, seperti faktor pasien, faktor alat dan tempat pengukuran harus mendapat perhatian.
– Pengukuran ideal dilakukan dengan cara :
• Pengukuran dilakukan setelah penderita berbaring selama 5 menit.
• Pengukuran dilakukan sebanyak 3-4 kali dengan interval 5-10 menit.
• Tensi dipompa sampai di atas tekanan sistolik, kemudian dibuka perlahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per-denyut jantung.
• Tekanan sistolik dicatat saat terdengar bunyi pertama (Korotkoff I) dan tekanan diastolik dicatat pada saat pertama bunyi tidak terdengar lagi (Korotkoff V).
– Pemeriksaan terhadap kemungkinan komplikasi sebaiknya dilakukan, agar bisa dilakukan tindakan atau terapi sedini mungkin.
– Walaupun masih banyak perdebatan klasifikasi hipertensi dengan dasar tekanan diastolik paling mudah diterapkan dalam pelayanan kesehatan primer khususnya di Puskesmas, yaitu :

• Hipertensi Ringan : bila tekanan diastolik antara 90 – 110 mmHg
• Hipertensi Sedang : bila tekanan diastolik antara 110 -130 mmHg
• Hipertensi Berat : bila tekanan diastolik diatas 130 mmHg

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI ESENSIAL

Telah dibuktikan oleh para peneliti, bahwa dengan mengendalikan tekanan darah maka angka morbiditas dan angka mortalitas dapat diturunkan. Oleh karena itu walaupun seorang dokter belum menemukan etiologi dari hipertensi yang didapat pada penderita, pengobatan sudah boleh dilaksanakan.
Yang menjadi masalah adalah saat yang tepat untuk memulai pengobatan. Hal ini penting karena pada kenyataannya, pengobatan hipertensi adalah pengobatan seumur hidup.

PRINSIP PENATALAKSANAAN

1. Menurunkan tekanan darah sampai normal, atau sampai level paling rendah yang masih dapat ditoleransi penderita.
2. Meningkatkan kemungkinan kwalitas dan harapan hidup penderita.
3. Mencegah komplikasi yang mungkin timbul dan menormalkan kembali seoptimal mungkin komplikasi yang sudah terjadi.

A. PENATALAKSANAAN UMUM

Adalah usaha untuk mengurangi faktor resiko terjadinya peningkatan tekanan darah. Penatalaksanaan umum adalah penatalakasanaan tanpa obat-obatan, yang menurut beberapa ahli sama pentingnya dengan penatalaksanaan farmakologik, bahkan mempunyai beberapa keuntungan, terutama pada pengobatan hipertensi ringan.
Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah :





1. Diet rendah garam : dengan mengurangi konsumsi garam dari 10 gram/hari menjadi 5 gram/hari. Disamping bermanfaat menurunkan tekanan darah, diet rendah garam juga berfungsi untuk mengurangi resiko hipokalemi yang timbul pada pengobatan dengan diuretik.
2. Diet rendah lemak telah terbukti pula bisa menurunkan tekanan darah.
3. Berhenti merokok dan berhenti mengkonsumsi alkohol telah dibuktikan dalam banyak penelitian bisa menurunkan tekanan darah.
4. Menurunkan berat badan : setiap penurunan 1 kg berat badan akan menurunkan tekanan darah sekitar 1,5 – 2,5 mmHg.
5. Olah raga teratur : berguna untuk membakar timbunan lemak dan menurunkan berat badan, menurunkan tekanan perifer dan menimbulkan perasaan santai, yang kesemuanya berakibat kepada penurunan tekanan darah.
6. Relaksasi dan rekreasi serta cukup istirahat sangat berguna untuk mengurangi atau menghilangkan stres, yang pada gilirannya bisa menurunkan tekanan darah.
7. Walaupun masih banyak diteliti konsumsi seledri, pace, ketimun, belimbung wuluh dan bawang putih ternyata banyak membantu dalam usaha menurunkan tekanan darah.

B. MEDIKAMENTOSA

OBAT HIPERTENSI YANG TERSEDIA DI PUSKESMAS

Penatalakasanaan hipertensi dengan obat-obatan di Puskesmas disesuaikan dengan ketersediaan obat yang ada di Puskesmas pula, yaitu :

1. Golongan Diuretik

a. Hidroklorotiasid 25 mg(HCT)

– Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang.
– Dosis : 1-2 X 25-50 mg.
– Efek samping : hipokalemi, hiponatremi, hiperurikalemi, hiperkolesterolemi, hiperglikemi, kelemahan atau kram otot, muntah dan disines.
– Kontra indikasi : DM, Gout Artritis, riwayat alergi (Sindrom Steven Johnson).
– Catatan :
• terapi hipertensi pada usia lanjut dengan HCT lebih banyak efek sampingnya dari pada efektifitasnya.
• Untuk menghindari efek hipokalemi maka diberikan asupan Kalium 1 X 500 mg, atau memperbanyak makan pisang.

b. Furosemid 40 mg

– Indikasi : hipertensi ringan sampai berat.
– Dosis : 1-2 X 40-80 mg.
– Efek samping : sama dengan HCT.
– Kontra indikasi : DM, gout artritis, riwayat alergi (Sindrom Steven Johnson).

2. Golongan Inhibitor Simpatik (Beta Blocker)

 Propranolol 40 mg
– Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang.
– Dosis : 3 X 40-160 mg.
– Efek samping : depresi, insomnia, mimpi buruk, pusing, mual, diare, obstipasi, bronkospasme, kram otot dan bradikardi serta gagal jantung.
– Kontra indikasi : DM, gagal jantung, asma, depresi.

3. Golongan Blok Ganglion

a. Klonidin 0,15 mg
– Indikasi : hipertensi sedang sampai berat.
– Dosis : 2-3 X 0,15-1,2 mg
– Efek samping : mulut kering, kelelahan, mengantuk, bradikardi, impotensi, gangguan hati dan depresi.
– Kontra indikasi : hepatitis akut, sirosis hepatis, depresi.

b. Reserpin 0,25 mg dan 0,1 mg.
– Indikasi : hipertensi sedang sampai berat.
– Dosis : 1-2 X 0,1-0,25 mg
– Efek samping : bradikardi, eksaserbasi asma, diare, penambahan berat badan mimpi buruk, depresi.
– Kontra indikasi : asma, depresi.

4. Golongan Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE I)

 Kaptopril 25 mg
– Indikasi : hipertensi ringan sampai berat
– Dosis : dosis awal 2-3 X 12,5-25 mg, bila setelah 1-2 minggu belum ada respon dosis dinaikkan 2-3 X 50 mg.
Kaptopril harus diberikan 1 jam sebelum makan.
– Efek samping : pruritus, retensi kalium ringan, proteinuri, gagal ginjal, neutropeni dan agranulositosis, mual dan muntah, gangguan pengecap, parestesia, bronkospame, limfadenopati dan batuk-batuk.
– Kontra indikasi : asma

5. Golongan Antagonis Kalsium

a. Diltiazem 30 mg
– Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang.
– Dosis : 3-4 X 30 mg.
– Efek samping : Bradikardi, dizziness, sakit kepala, mual, muntah, diare, konstipasi, udem ekstremitas bawah, shoulder and elbow pain.
– Kontra indikasi : Sick sinus Syndrome, AV Block.

b. Nifedipin 10 mg
– Indikasi : hipertensi ringan sampai berat.
– Dosis : 3 X 10-20 mg
– Efek samping : sama dengan diltiasem.
– Kontra indikasi : sama dengan diltiasem.

SENI TERAPI

1. Hipertensi Ringan (diastol 90 - 110 mmHg)
– Pilihan obat pertama : diuretik atau beta blocker
– Obat tambahan : Diuretik + Beta blocker

2. Hipertensi sedang (diastol : 110-130 mmHg)
– Pilihan obat pertama : Diuretik + Beta blocker
– Obat tambahan : Klonidin

3. Hipertensi Berat (diastol > 130 mmHg)
– Pilihan obat pertama : Klonidin + Diuretik.
– Obat tambahan : Beta Blocker

TAPERING OFF DAN DOSIS PEMELIHARAAN

Adalah penghentian terapi hipertensi dengan mengurangi dosis secara perlahan. Hal ini ditujukan untuk menghindari efek “rebound fenomena”, yaitu peningkatan kembali tekanan darah setelah penghentian terapi obat-obatan secara mendadak.
Penurunan dosis disesuaikan dengan penurunan tekanan darah.

PENUTUP

Dengan segala keterbatasan yang ada seorang dokter di Puskesmas dituntut untuk memberikan pelayanan seoptimal mungkin kepada penderita hipertensi.
Hal ini bisa dilaksanakan dengan pendekatan sebagai berikut :

1. Penegakan diagnosa yang akurat, terutama untuk menyingkirkan diagnosa hipertensi sekunder dan penggolongan derajat hipertensi.
2. Walaupun efektifitas pengobatan bersifat individual, pilihan terapi sebaiknya tetap dimulai dengan cara yang sudah disepakati para ahli.
3. Edukasi atau pendidikan kesehatan mutlak harus diberikan kepada penderita, meliputi :
– Kondisi yang memacu peningkatan tekanan darah.
– Kondisi yang membantu menurunkan tekanan darah.
– Ketaatan minum obat dan kontrol teratur.
– Komplikasi yang mungkin timbul.













KEPUSTAKAAN

1. Darmodjo R.B. : Data Epidemiologi Hipertensi di Indonesia, Majalah Dokter Keluarga, Vol 6/6, Mei 1987 : 366-372.
2. Manuputty J. : Penatalaksanaan Kehamilan dengan Hipertensi, Majalah Dokter Keluarga, Vol 6/5, April 1987 : 269-277.
3. Panitia Pelantikan Dokter FK-UGM : Penatalaksanaan Medik, Senat Mahasiswa Fak.Kedokteran UGM, Yogyakarta 1987 : 78-83.
4. Purnawan J., Atiek S.S., Husna A. : Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta 1982: 87-94.
5. Roesma J., Sidabutar R.P. : Gagal Ginjal sebagai Akibat Hipertensi, Majalah Dokter keluarga, Vol 6/6, Mei 1987 : 335-339.
6. Sidabutar R.P., dan Wiguno P. : Hipertensi Esensial dan Penanggulangannya, Majalah Dokter Keluarga Vol 6/7, Juni 1987 : 402-414.
7. Sidabutar R.P., dan Lumenta N.A. : Berbagai Kecenderungan Dalam Penanggulangan Hipertensi, Majalah Dokter Keluarga, Vol 6/1, Desember 1986 : 20-23.
8. Sukaman : Kelainan Jantung pada Hipertensi, Majalah Dokter Keluarga, Vol 6/8, Juli 1987 : 469-471.
9. Zakifman J. : Penatalaksanaan Krisis Hipertensi, Majalah Dokter Keluarga, Vol 6/1, Desember 1986 : 5-8.


PENATALAKSANAAN ASMA BRONKIAL

Puskesmas sebagai tempat pengobatan yang paling dekat dengan masyarakat, keberadaannya dirasakan semakin penting. Hal ini akan terus berlangsung sampai pada saatnya Pemerintah secara umum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Harga yang murah dan prosedur pelayanan yang sederhana mungkin menjadi faktor penyebab kedekatan masyarakat terhadap Puskesmas dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

Asma adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin dalam waktu dekat akan terbebas dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila karena pekerjaan dan lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita harus selalu berhadapan dengan faktor alergen yang menjadi penyebab serangan. Biaya pengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa diatasi oleh penderita atau keluarganya, tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan waktu lebih lama, sering menjadi problem tersendiri.

Oleh karenanya Puskesmas sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita (kurang/tidak mampu) dalam menolong penderita asma harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan.
Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan asma.

DIAGNOSA ASMA BRONKIAL

Asma adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan meningkatnya respon dari saluran trakeo-bronkial terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa penyempitan jalan nafas yang luas, dan beratnya serangan dapat berubah-ubah yang bersifat refersibel, baik secara spontan maupun dengan pengobatan. (American Thoracic Society).
Penyempitan jalan nafas yang terjadi akibat infeksi (misalnya bronchitis akut atau kronis), emfisema, atau karena penyakit kardiovaskular tidak termasuk asma.

Patogenesis penyempitan jalan nafas pada serangan asma disebabkan oleh :

1. Gangguan Imunologis (Faktor Ekstrinsik) :

Pada sebagian orang bila kontak dengan zat tertentu akan terjadi reaksi imunologi yang berlebihan, yang sering disebut sebagai reaksi alergi atau reaksi atopik, dengan salah satu akibatnya adalah penyempitan saluran nafas. Dalam hal ini sering didapat riwayat keluarga yang positip menderita penyakit yang serupa atau penyakit alergi lainnya, seperti rinitis alergika atau eksim (dermatitis atopik).

Berdasarkan cara masuknya, bahan yang menyebabkan alergi (alergen) dibagi menjadi :

a. Inhalan : masuk ke tubuh melalui saluran nafas, seperti : debu rumah, serpihan kulit binatang (anjing, kucing, kuda), dan spora jamur.
b. Ingestan : masuk ke tubuh melalui saluran pencernaan, seperti : susu, telur, ikan, obat-obatan dll.
c. Kontaktan : masuk ke tubuh melalui kontak dengan kulit, seperti : obat salep kulit, berbagai logam dalam bentuk perhiasan.

2. Gangguan keseimbangan sistem saraf otonom (Faktor Intrinsik) :

Terjadi karena peningkatan reaksi parasimpatis akibat reseptor kolinergik yang sensitif sehingga sedikit rangsangan sudah bisa menimbulkan konstriksi bronkus melalui refleks vagus.
Rangsangan dapat berupa : udara dingin, asap rokok, partikel dalam udara, gerakan respirasi yang kuat (pada waktu tertawa atau olah raga) atau emosi jiwa.

Apapun penyebabnya akibat yang ditimbulkan oleh serangan asma adalah sama yaitu konstriksi bronkus, edema mukosa bronkus dan produksi mukus yang berlebihan dan bersifat kental, yang kesemuanya menyebabkan penyempitan saluran nafas.

Hiperaktivitas Bronkus.

Dewasa ini hiperaktivasi bronkus yang berhubungan erat dengan inflamasi dianggap memegang peranan lebih penting dalam serangan asma dibanding dengan reaksi alergi. Manifestasi klinik sangat jelas dilihat dengan begitu mudahnya timbul serangan asma bila dirangsang, baik fisik, metabolik, kimia dan lain-lain.
Hiperaktivitas bronkus bersifat menetap dan sangat variabel pada masing-masing penderita. Derajat hiperaktivitas bronkus diukur dari :

- Tingkat keparahan serangan asma.
- Lama serangan asma.
- Kecepatan perbaikan.


Variasi diurnal.

Adalah merupakan gambaran klinis asma yang sangat penting dalam penegakan diagnosa, yaitu adanya serangan pada malam hari menjelang subuh dan membaik sepanjang siang hari.
Pada kasus lain mungkin didapat riwayat penderita terbangun di malam hari akibat batuk yang disertai sesak nafas dan mengi, atau penderita dengan batuk-batuk yang persisten atau berulang dan memburuk pada malam hari.


Diagnosa Asma Bronkial ditegakkan dengan :

1. Anamnesa :
- Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.
- Semua keluhan biasanya bersifat variasi diurnal.
- Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.










2. Pemeriksaan Fisik :
- Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi duduk.
- Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi.
- Paru :
• Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah.
• Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.
- Pada serangan berat :
• tampak sianosis
• N > 120 X/menit
• “Silent Chest” : suara mengi melemah

Status Asmatikus

Adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan.
Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam.

Gambaran klinis Status Asmatikus :

- Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
- Sesak nafas, bicara terputus-putus.
- Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat.
- Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma.

TATALAKSANA

A. PENDIDIKAN / EDUKASI KEPADA PENDERITA DAN KELUARGA

Pengobatan yang efektif hanya mungkin berhasil dengan penatalaksanaan yang komprehensif, dimana melibatkan kemampuan diagnostik dan terapi dari seorang dokter Puskesmas di satu pihak dan adanya pengertian serta kerjasama penderita dan keluarganya di pihak lain. Pendidikan kepada penderita dan keluarganya adalah menjadi tanggung jawab dokter Puskesmas, sehingga dicapai hasil pengobatan yang memuaskan bagi semua pihak.

Beberapa hal yang perlu diketahui dan dikerjakan oleh penderita dan keluarganya adalah :

1. Memahami sifat-sifat dari penyakit asma :
- Bahwa penyakit asma tidak bisa sembuh secara sempurna.
- Bahwa penyakit asma bisa disembuhkan tetapi pada suatu saat oleh karena faktor tertentu bisa kambuh lagi.
- Bahwa kekambuhan penyakit asma minimal bisa dijarangkan dengan pengobatan jangka panjang secara teratur.




2. Memahami faktor yang menyebabkan serangan atau memperberat serangan, seperti :

- Inhalan : debu rumah, bulu atau serpihan kulit binatang anjing, kucing, kuda dan spora jamur.
- Ingestan : susu, telor, ikan, kacang-kacangan, dan obat-obatan tertentu.
- Kontaktan : zalf kulit, logam perhiasan.
- Keadaan udara : polusi, perubahan hawa mendadak, dan hawa yang lembab.
- Infeksi saluran pernafasan.
- Pemakaian narkoba atau napza serta merokok.
- Stres psikis termasuk emosi yang berlebihan.
- Stres fisik atau kelelahan.

3. Memahami faktor-faktor yang dapat mempercepat kesembuhan, membantu perbaikan dan mengurangi serangan :

- Menghindari makanan yang diketahui menjadi penyebab serangan (bersifat individual).
- Menghindari minum es atau makanan yang dicampur dengan es.
- Berhenti merokok dan penggunakan narkoba atau napza.
- Menghindari kontak dengan hewan diketahui menjadi penyebab serangan.
- Berusaha menghindari polusi udara (memakai masker), udara dingin dan lembab.
- Berusaha menghindari kelelahan fisik dan psikis.
- Segera berobat bila sakit panas (infeksi), apalagi bila disertai dengan batuk dan pilek.
- Minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter, baik obat simptomatis maupun obat profilaksis.
- Pada waktu serangan berusaha untuk makan cukup kalori dan banyak minum air hangat guna membantu pengenceran dahak.
- Manipulasi lingkungan : memakai kasur dan bantal dari busa, bertempat di lingkungan dengan temperatur hangat.

4. Memahami kegunaan dan cara kerja dan cara pemakaian obat – obatan yang diberikan oleh dokter :

- Bronkodilator : untuk mengatasi spasme bronkus.
- Steroid : untuk menghilangkan atau mengurangi peradangan.
- Ekspektoran : untuk mengencerkan dan mengeluarkan dahak.
- Antibiotika : untuk mengatasi infeksi, bila serangan asma dipicu adanya infeksi saluran nafas.

5. Mampu menilai kemajuan dan kemunduran dari penyakit dan hasil pengobatan.

6. Mengetahui kapan “self treatment” atau pengobatan mandiri harus diakhiri dan segera mencari pertolongan dokter.












Penderita dan keluarganya juga harus mengetahui beberapa pandangan yang salah tentang asma, seperti :


1. Bahwa asma semata-mata timbul karena alergi, kecemasan atau stres, padahal keadaan bronkus yang hiperaktif merupakan faktor utama.
2. Tidak ada sesak bukan berarti tidak ada serangan.
3. Baru berobat atau minum obat bila sesak nafas saja dan segera berhenti minum obat bila sesak nafas berkurang atau hilang.

B. PENGOBATAN

1. PENGOBATAN SIMPTOMATIK

Tujuan Pengobatan Simpatomimetik adalah :

a. Mengatasi serangan asma dengan segera.
b. Mempertahankan dilatasi bronkus seoptimal mungkin.
c. Mencegah serangan berikutnya.

Obat pilihan untuk pengobatan simpatomimetik di Puskesmas adalah :

a. Bronkodilator golongan simpatomimetik (beta adrenergik / agonis beta)

– Adrenalin (Epinefrin) injeksi.
Obat ini tersedia di Puskesmas dalam kemasan ampul 2 cc
Dosis dewasa : 0,2-0,5 cc dalam larutan 1 : 1.000 injeksi subcutan.
Dosis bayi dan anak : 0,01 cc/kg BB, dosis maksimal 0,25 cc.
Bila belum ada perbaikan, bisa diulangi sampai 3 X tiap15-30 menit.

– Efedrin
Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 25 mg.
Aktif dan efektif diberikan peroral.
Dosis :

– Salbutamol
Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet kemasan 2 mg dan 4 mg.
Bersama Terbutalin (tidak tersedia di Puskesmas) Salbutamol merupakan bronkodilator yang sangat poten bekerja cepat dengan efek samping minimal.
Dosis : 3-4 X 0,05-0,1 mg/kg BB

b. Bronkodilator golongan teofilin

– Teofilin
Obat ini tidak tersedia di Puskesmas.
Dosis : 16-20 mg/kg BB/hari oral atau IV.

– Aminofilin
Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 200 mg dan injeksi 240 mg/ampul.
Dosis intravena : 5-6 mg/kg BB diberikan pelan-pelan. Dapat diulang 6-8 jam kemudian , bila tidak ada perbaikan.
Dosis : 3-4 X 3-5 mg/kg BB
c. Kortikosteroid

Obat ini tersedia di Puskesmas tetapi sebaiknya hanya dipakai dalam keadaan :

– Pengobatan dengan bronkodilator baik pada asma akut maupun kronis tidak memberikan hasil yang memuaskan.
– Keadaan asma yang membahayakan jiwa penderita (contoh : status asmatikus)

Dalam pemakaian jangka pendek (2-5 hari) kortikosteroid dapat diberikan dalam dosis besar baik oral maupun parenteral, tanpa perlu tapering off.
Obat pilihan :

– Hidrocortison
Dosis : 4 X 4-5 mg/kg BB
– Dexamethason
Dosis :


d. Ekspektoran

Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran pernafasan menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus diencerkan dan dikeluarkan.
Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin, sedian yang ada di Puskesmas adalah :

– Obat Batuk Hitam (OBH)
– Obat Batuk Putih (OBP)
– Glicseril guaiakolat (GG)

e. Antibiotik

Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
Antibiotika yang efektif untuk saluran pernafasan dan ada di Puskesmas adalah :

2. PENGOBATAN PROFILAKSIS

Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling rasional, karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme.
Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan cara kerja obat sebagai berikut :

a. Menghambat pelepasan mediator.
b. Menekan hiperaktivitas bronkus.

Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :

a. Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b. Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c. Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d. Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan dan meringankan beratnya serangan.

Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :

a. Steroid dalam bentuk aerosol.
b. Disodium Cromolyn.
c. Ketotifen.
d. Tranilast.

Sangat disayangkan hingga saat ini obat-obatan tersebut belum tersedia di Puskesmas, sehingga untuk memenuhi terapi tersebut dokter Puskesmas harus memberikan resep luar (ke Apotik), di mana hal ini akan menjadi problem tersendiri bagi penderita dari keluarga miskin.

3. TATALAKSANA KASUS DI PUSKESMAS :

Dengan segala keterbatasan yang ada dokter Puskesmas harus bisa memberikan pertolongan kepada penderita serangan asma. Penegakkan diagnosa yang tepat dengan tindakan yang benar, cepat dan akurat akan sangat menolong penderita.

a. TATALAKSANA ASMA AKUT INTERMITEN

1. Aminofilin : 3 X 3-5 mg/kg BB atau
2. Salbutamol : 3 X
3. Bila ada batuk berikan ekspectoran
4. Bila ada tanda infeksi (demam) berikan antibiotika

b. TATALAKSANA ASMA BERAT DAN STATUS ASMATIKUS

1. Adrenalin 0,3 mg-0,5 mg SK, dapat diulang 15-30 menit kemudian, atau
Aminofilin bolus 5-6 mg/kg BB IV pelan-pelan.
Catatan : pemberian Adrenalin pada orang tua harus hati-hati, dan tidak boleh diberikan pada penderita hipertensi dan pnyakit jantung.
2. Dexametason 5 mg IV.
3. Bila ada berikan Oksigen : 2-4 lt/menit.
4. Bila tidak ada respon dianggap sebagai Status Asmatikus :
– Pasang infus Glukosa 5% atau NaCl 0,9% : 2-3 lt/24 jam.
– Rujuk segera ke Rumah Sakit.




KOMPLIKASI

Komplikasi terjadi akibat :
1. Keterlambatan penanganan.
2. Penanganan yang tidak adekuat.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :

1. Akut :
- Dehidrasi
- Gagal nafas
- Infeksi saluran nafas

2. Kronis :
- Kor-pulmonale
- PPO kronis
- Pneumotorak.

PROGNOSIS
- Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik.
- Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa.
- Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai.



KEPUSTAKAAN
1. Halim Mubin A. : Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam : Diagnosis dan Terapi, EGC, Jakarta 2001, 471-474.
2. Kusnan B.U. : Patogenesis dan Patofisiologi Asma Bronkial, Buku Makalah Simposium Terapi Mutakhir Asma Bronkial, PDPI Cab.Jateng, 1991 : 9-16.
3. Mangunnegoro H. : Gambaran Klinik dan Terapi Rasional pada Asma Bronkial, Majalah Dokter Keluarga, Vol 4/10, Sept 1985 : 495-200.
4. Purnawan J., Atiek S.S., Husna A. : Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta 1982, 208-211.
5. Subroto H., Suradi : Penatalaksanaan Status Asmatikus, Buku Makalah Simposium Terapi Mutakhir Asma Bronkial, PDPI Cab.Jateng, 1991 : 39-45.
6. Soeria S. : Pengelolaan Asma Bronkial Dalam Praktek, Majalah Dokter Keluarga, V0l 4/8, Juli 1985 : 386-390.
7. Sundaru H., Bratawijaya K.G. : Asma Bronkiale : Gambaran Klinis dan Terapi Mutakhir, Majalah Dokter Keluarga, V0l 6/1, Desember 1986 : 9-19.


Kamis, 17 Juli 2008

PEMERIKSAAN JANTUNG

Inspeksi
Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam posisi sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada stenosis mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita.
Memperhatikan bentuk prekordial apakah normal, mengalami depresi atau ada penonjolan asimetris yang disebabkan pembesaran jantung sejak kecil. Hipertropi dan dilatasi ventrikel kiri dan kanan dapat terjadi akibat kelainan kongenital.

Garis anatomis pada permukaan badan yang penting dalam melakukan pemeriksaan dada adalah:
 Garis tengah sternal (mid sternal line/MSL)
 Garis tengah klavikula (mid clavicular line/MCL)
 Garis anterior aksilar (anterior axillary line/AAL)
 Garis parasternal kiri dan kanan (para sternal line/PSL)
Mencari pungtum maksimum, Inspirasi dalam dapat mengakibatkan paru-paru menutupi jantung, sehingga pungtum maksimimnya menghilang, suatu variasi yang khususnya ditemukan pada penderita emfisema paru. Oleh kerena itu menghilangnya pungtum maksimum pada inspirasi tidak berarti bahwa jantung tidak bergerak bebas.
Pembesaran ventrikel kiri akan menggeser pungtum maksimum kearah kiri, sehingga akan berada diluar garis midklavikula dan kebawah. Efusi pleura kanan akan memindahkan pungtum maksimum ke aksila kiri sedangkan efusi pleura kiri akan menggeser kekanan. Perlekatan pleura, tumor mediastinum, atelektasis dan pneumotoraks akan menyebabkan terjadi pemindahan yang sama.
Kecepatan denyut jantung juga diperhatikan, meningkat pada berbagai keadaan seperti hipertiroidisme, anemia, demam.

Palpasi

Pada palpasi jantung, telapak tangan diletakkan diatas prekordium dan dilakukan perabaan diatas iktus kordis (apical impulse)
Lokasi point of masksimal impulse , normal terletak pada ruang sela iga (RSI) V kira-kira 1 jari medial dari garis midklavikular (medial dari apeks anatomis). Pada bentuk dada yang panjang dan gepeng, iktus kordis terdapat pada RSI VI medial dari garis midklavikular, sedang pada bentuk dada yang lebih pendek lebar, letak iktus kordis agak ke lateral. Pada keadaan normal lebar iktus kordis yang teraba adalah 1-2 cm2
Bila kekuatan volum dan kualitas jantung meningkat maka terjadi systolic lift, systolic heaving, dan dalam keadaan ini daerah iktus kordis akan teraba lebih melebar.
Getaranan bising yang ditimbulkan dapat teraba misalnya pada Duktus Arteriosis Persisten (DAP) kecil berupa getaran bising di sela iga kiri sternum.

Pulsasi ventrikel kiri
Pulsasi apeks dapat direkam dengan apikokardiograf. Pulsasi apeks yang melebar teraba seperti menggelombang (apical heaving). Apical heaving tanpa perubahan tempat ke lateral, terjadi misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meningkat akibat stenosis aorta. Apical heaving yang disertai peranjakan tempat ke lateral bawah, terjadi misalnya pada beban diastolik ventrikel kiri yang meningkat akibat insufisiensi katub aorta. Pembesaran ventrikel kiri dapat menyebabkan iktus kordis beranjak ke lateral bawah. Pulsasi apeks kembar terdapat pada aneurisme apikal atau pada kardiomiopati hipertrofi obstruktif.


Pulsasi ventrikel kanan
Area dibawah iga ke III/IV medial dari impuls apikal dekat garis sternal kiri, normal tidak ada pulsasi. Bila ada pulsasi pada area ini, kemungkinan disebabkan oleh kelebihan beban sistolik ventrikel kanan, misalnya pada stenosis pulmonal atau hipertensi pulmonal. Pulsasi yang kuat di daerah epigastrium dibawah prosesus sifoideus menunjukkan kemungkinan adanya hipertropi dan dilatasi ventrikel kanan. Pulsasi abnormal diatas iga ke III kanan menunjukkan kemungkinan adanya aneurisma aorta asendens. Pulsasi sistolik pada interkostal II sebelah kiri pada batas sternum menunjukkan adanya dilatasi arteri pulmonal.

Getar jantung ( Cardiac Trill)
Getar jantung ialah terabanya getaran yang diakibatkan oleh desir aliran darah. Bising jantung adalah desiaran yang terdengar karena aliran darah. Getar jantung di daerah prekordial adalah getaran atau vibrasi yang teraba di daerah prekordial. Getar sistolik (systolic thrill) timbul pada fase sistolik dan teraba bertepatan dengan terabanya impuls apikal. Getar diastolic (diastolic thrill) timbul pada fase diastolik dan teraba sesudah impuls apikal.
Getar sistolik yang panjang pada area mitral yang melebar ke lateral menunjukkan insufisiensi katup mitral. Getar sistolik yang pendek dengan lokasi di daerh mitral dan bersambung kearah aorta menunjukkan adanya stenosis katup aorta. Getar diastolik yang pendek di daerah apeks menunjukkan adanya stenosis mitral. Getar sistolik yang panjang pada area trikuspid menunjukkan adanya insufisiensi tricuspid. Getar sistolik pada area aorta pada lokasi didaerah cekungan suprasternal dan daerah karotis menunjukkan adanya stenosis katup aorta, sedangkan getar diastolik di daerah tersebut menunjukkan adanya insufisiensi aorta yang berat, biasanya getar tersebut lebih keras teraba pada waktu ekspirasi. Getar sistolik pada area pulmonal menunjukkan adanya stenosis katup pulmonal.
Pada gagal jantung kanan getar sistolik pada spatium interkostal ke 3 atau ke 4 linea para sternalis kiri.
Perkusi jantung
Cara perkusi
Batas atau tepi kiri pekak jantung yang normal terletak pada ruang interkostal III/IV pada garis parasternal kiri pekak jantung relatif dan pekak jantung absolut perlu dicari untuk menentukan gambaran besarnya jantung.
Pada kardiomegali, batas pekak jantung melebar kekiri dan ke kanan. Dilatasi ventrikel kiri menyebabkan apeks kordis bergeser ke lateral-bawah. Pinggang jantung merupakan batas pekak jantung pada RSI III pada garis parasternal kiri.
Kardiomegali dapat dijumpai pada atlit, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung koroner, infark miokard akut, perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, regurgitasi tricuspid, insufisiensi aorta, ventrikel septal defect sedang, tirotoksikosis, Hipertrofi atrium kiri menyebabkan pinggang jantung merata atau menonjol kearah lateral. Pada hipertrofi ventrikel kanan, batas pekak jantung melebar ke lateral kanan dan/atau ke kiri atas. Pada perikarditis pekat jantung absolut melebar ke kanan dan ke kiri. Pada emfisema paru, pekak jantung mengecil bahkan dapat menghilang pada emfisema paru yang berat, sehingga batas jantung dalam keadaan tersebut sukar ditentukan.

Auskultasi Jantung
Auskultasi ialah merupakan cara pemeriksaan dengan mendengar bunyi akibat vibrasi (getaran suara) yang ditimbulkan karena kejadian dan kegiatan jantung dan kejadian hemodemanik darah dalam jantung.
Alat yang digunakan ialah stetoskop yang terdiri atas earpiece, tubing dan chespiece.
Macam-macam ches piece yaitu bowel type dengan membran, digunakan terutama untuk mendengar bunyi dengan frekuensi nada yang tinggi; bel type, digunakan untuk mendengar bunyi-bunyi dengan frekuensi yang lebih rendah.


Beberapa aspek bunyi yang perlu diperhatikan :
a) Nada berhubungan dengan frekuensi tinggi rendahnya getaran.
b) Kerasnya (intensitas), berhubungan dengan ampitudo gelombang suara.
c) Kualitas bunyi dihubungkan dengan timbre yaitu jumlah nada dasar dengan bermacam-macam jenis vibrasi bunyi yang menjadi komponen-komponen bunyi yang terdengar.
Selain bunyi jantung pada auskultasi dapat juga terdengar bunyi akibat kejadian hemodemanik darah yang dikenal sebagai desiran atau bising jantung (cardiac murmur).

Bunyi jantung
Bunyi jantung utama: BJ, BJ II, BJ III, BJ IV
Bunyi jantung tambahan, dapat berupa bunyi detik ejeksi (ejection click) yaitu bunyi yang terdengar bila ejeksi ventrikel terjadi dengan kekuatan yang lebih besar misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meninggi. Bunyi detak pembukaan katub (opening snap) terdengar bila pembukaan katup mitral terjadi dengan kekuatan yang lebih besar dari normal dan terbukanya sedikit melambat dari biasa, misalnya pada stenosis mitral.

Bunyi jantung utama
Bunyi jantung I ditimbulkan karena kontraksi yang mendadak terjadi pada awal sistolik, meregangnya daun-daun katup mitral dan trikuspid yang mendadak akibat tekanan dalam ventrikel yang meningkat dengan cepat, meregangnya dengan tiba-tiba chordae tendinea yang memfiksasi daun-daun katup yang telah menutup dengan sempurna, dan getaran kolom darah dalam outflow track (jalur keluar) ventrikel kiri dan di dinding pangkal aorta dengan sejumlah darah yang ada didalamnya. Bunyi jantung I terdiri dari komponen mitral dan trikuspidal.


Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas BJ I yaitu:
 Kekuatan dan kecepatan kontraksi otot ventrikel, Makin kuat dan cepat makin keras bunyinya
 Posisi daun katup atrio-ventrikular pada saat sebelum kontraksi ventrikel. Makin dekat terhadap posisi tertutup makin kecil kesempatan akselerasi darah yang keluar dari ventrikel, dan makin pelan terdengarnya BJ I dan sebaliknya makin lebar terbukanya katup atrioventrikuler sebelum kontraksi, makin keras BJ I, karena akselerasi darah dan gerakan katup lebih cepat.
 Jarak jantung terhadap dinding dada. Pada pasien dengan dada kurus BJ lebih keras terdengar dibandingkan pasien gemuk dengan BJ yang terdengar lebih lemah. Demikian juga pada pasien emfisema pulmonum BJ terdengar lebih lemah.
Bunyi jantung I yang mengeras dapat terjadi pada stenosisis mitral,
BJ II ditimbulkan karena vibrasi akibat penutupan katup aorta (komponen aorta), penutupan katup pulmonal (komponen pulmonal), perlambatan aliran yang mendadak dari darah pada akhir ejaksi sistolik, dan benturan balik dari kolom darah pada pangkal aorta yang baru tertutup rapat.
Bunyi jantung II dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten besar, Tetralogi Fallot, stenosis pulmonalis,
Pada gagal jantung kanan suara jantung II pecah dengan lemahnya komponen pulmonal. Pada infark miokard akut bunyi jantung II pecah paradoksal, pada atrial septal depect bunyi jantung II terbelah.
BJ III terdengar karena pengisian ventrikel yang cepat (fase rapid filling). Vibrasi yang ditimbulkan adalah akibat percepatan aliran yang mendadak pada pengisisan ventrikel karena relaksasi aktif ventrikel kiri dan kanan dan segera disusul oleh perlambatan aliran pengisian
Bunyi jantung III dapat dijumpai pada syok kardiogenik, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi
Bunyi jantung IV dapat terdengar bila kontraksi atrium terjadi dengan kekuatan yang lebih besar, misalnya pada keadaan tekanan akhir diastole ventrikel yang meninggi sehingga memerlukan dorongan pengisian yang lebih keras dengan bantuan kontraksi atrium yang lebih kuat.
Bunyi jantung IV dapat dijumpai pada penyakit jantung hipertensif, hipertropi ventrikel kanan, kardiomiopati, angina pectoris, gagal jantung, hipertensi,
Irama derap dapat dijumpai pada penyakit jantung koroner, infark miokard akut, miokarditis, kor pulmonal, kardiomiopati dalatasi, gagal jantung, hipertensi, regurgitasi aorta.

Bunyi jantung tambahan
Bunyi detek ejeksi pada awal sistolik (early sisitolic click). Bunyi ejeksi adalah bunyi dengan nada tinggi yang terdengar karena detak. Hal ini disebabkan karena akselerasi aliran darh yang mendadak pada awal ejeksi ventrikel kiri dan berbarengan dengan terbukanya katup aorta yang terjadi lebih lambat.. keadaan inisering disebabkan karena stenosis aorta atau karena beban sistolik ventrikel kiri yang berlebihan dimana katup aorta terbuka lebih lambat.
Bunyi detak ejeksi pada pertengahan atau akhir sistolik (mid-late systolick klick) adalah bunyi dengan nada tinggi pada fase pertengahan atau akhir sistolik yang disebabkan karena daun-daun katup mitral dan chordae tendinea meregang lebih lambat dan lebih keras. Keadaan ini dapat terjadi pada prolaps katup mitral karena gangguan fungsi muskulus papilaris atau chordae tendinea.
Detak pembukaan katup (opening snap) adalah bunyi yang terdengar sesudah BJ II pada awal fase diastolik karena terbukanya katup mitral yang terlambat dengan kekuatan yang lebih besar yang disebabkan hambatan pada pembukaan katup mitral. Keadaan ini dapat terjadi pada stenosis katup mitral.
Pada stenosis trikuspid pembukaan katup didaera trikuspid.


Bunyi ekstra kardial
Gerakan perikard (pericardial friction rub) terdengar pada fase sistolik dan diastolik akibat gesekan perikardium viseral dan parietal. Bunyi ini dapat ditemukan pada perikarditis.

Bising (desir) jantung (cardiac murmure)
Bising jantung adalah bunyi desiran yang terdengar memanjang yang timbul akibat vibrasi aliran darah turbulen yang abnormal.
Evaluasi desir jantung dilihat dari:
1. Waktu terdengar: pada fase sistolik atau diastolik
Terlebih dahulu tentukan fase siklus jantung pada saat terdengar bising (sistolik atau diastolik) dengan patokan BJ I dan BJ II atau dengan palapasi denyut karotis yang teraba pada awal sistolik.
Bising diastolik dapat dijumpai pada stenosis mitral, regurgitasi aorta, insufisiensi aorta, gagal jantung kanan, stenosis tricuspid yang terdengar pada garis sternal kiri sampai xipoideus, endokarditis infektif, penyakit jantung anemis
Bising sistolik dapat dijumpai pada stenosis aorta, insufisiensi mitral, endokarditis infektif, angina pectoris, stenosis pulmonalis yang terdengar di garis sternal kiri bagian atas, tatralogi fallot,
Bising jantung sistolik terdengar pada fase sistolik, dibedakan:
 Bising jantung awal sistolik: Terdengar mulai pada saat sesudah BJ I dan menempati pase awal sistolik dan berakhir pada pertengahan pase sistilik
 Bising jantung pertengahan sistolik: Terdengar sesudah BJ I dan pada pertengahan fase sisitolik dan berakhir sebelum terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten (DAP) sedang,
 Bising jantung akhir sistolik: Terdengar pada fase akhir sistolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II
Bising ini dapat dijumpai pada sindrom marfan

 Bising jantung pan-sistolik: Mulai terdengar pada saat BJ I dan menempati seluruh fase sisitolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal defect , regurgitasi trikuspid

Bising jantung diastolik terdengar pada fase diastolik, dibedakam:
 Bising jantung awal: terdengar mulai saat BJ II menempati fase awal diastolik dan biasanya menghilang pada pertengahan diastolik.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect
 Bising jantung pertengahan: terdengar sesaat sesudah terdengar BJ II dan biasanya berakhir sebelum BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect, stenosis mitral, Duktus Arteriosus Persisten (DAP) yang berat
 Bising jantung akhir diastolik atau presistolik: terdengar pada fase akhir diastolik dan berakhir pada saat terdengar BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada stenosis mitral,
 Bising jantung bersambungan: mulai terdengar paada fase sistolik dan tanpa interupsi melampai BJ II terdengar kedalam fase diastolic
Bising ini dapat ditemukan pada patent dutus srteriosus

2.Intensitas bunyi:
intensitas bunyi yang ditimbulkan berbeda-beda dari yang ringan sanpai yang keras. Pada insufisiensi mitral intensitas bising sedang sampai tinggi. Pada gagal janntung kanan dapat terdengar bising Graham Steel yang merupakan bising yang terdengar dengan nada tinggi yang terjadi akibat hipertensi pulmonal.
Didasarkan pada tingkat kerasnya suara, dibedakan:




3.Tipe (konfigurasi): timbul karena penyempitan atau aliran balik, dibedakan:
 Bising tipe kresendo: mulai terdengar dari pelan kemudian mengeras
Bising kresendo diastolik dapat terdengar pada stenosis mitral
 Bising tipe dekresendo: bunyi dari keras kemudian menjadi pelan
 Bising tipe kresendo-dekresendo: bunyi pelan lalu keras lalu pelan kembali
 Bising tipe plateau: keras suara bising lebih menetap sepanjang pase sistolik, keras jarang berbunyi kasar
Bising ini dapat dijumpai pada insufisiensi mitral.

4.Lokasi dan penyebaran: daerah bising terdengar paling keras dan mungkin menyebar kearah tertentu
Pada stenosis aorta bising diastolik di sela iga 2 kiri atau kanan dapat menjalar ke leher atau aorta


Koma Hepatikum

Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa ; sedangkan dalam proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus. Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum (Akil., 1998).

Koma hepatikum dalam khasanah ilmu kedokteran disebut ensefalopita atau hepatic encephalopathy. Ada 2 jenis enselafalopati hepatik berdasarkan ada tidaknya edema otak, yaitu Portal Systemic Encephalopathy (PSE) dan Acute Liver Failure (Hardjosastro., 2002).
Ensefalopati Hepatik (EH) merupakan salah satu penyulit sirosis hepatis akibat pintasan partosismatik yang terjadi karena hipertensi portal. Ensefalopati portal sistemik kronik ini ditandai oleh kelainan psikiatrik dan neurologik yang dapat berkembang dari gangguan mental ringan sampai koma hepatic (Akil., 1998).
Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan elektro ensefalografi (Blei., 1999).
Enselafalopati Hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada penyakit hati. Definisi tersebut menyiratkn bahwa spektrum klinis (EH) sangat luas, karena di dalamnya juga termauk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium Ensefalopati Hepatik Subklinis (EHS) (Budihusodo., 2001).
Pasien sirosis hati yang telah dapat diatasi keadaan EH akutnya, berada dalam keadaan EH kronik, yang setiap saat dapat kembali mengalami episode akut apabila terdapat faktor seperti infeksi, pendarahan gastrointestinal dan asupan protein diet berlebihan (Budihusodo., 2001).
Pengobatan dini EH meliputi setiap upaya terapeutik yang dilakukan pada RHS ataupun pada EH kronik, untuk mencegah terjadinya serangan EH akut. Karena terjadinya episode EH akut biasanya didahului oleh keadaan dekompensasi (fungsi) hati, pengobatan ini juga dapat bermakna mempertahankan “keadaan kompensasi selama mungkin”. Dengan tercapainya kompensasi, berarti secara subjektif pasien memperoleh kualitas hidup yang lebih baik (sympton-free) (Budihusodo., 2001).
Beberapa sarjana menyebutkan ensefalopati hepatic dengan istilah koma hepatikum. Karena manifestasinya tidak selalu dalam bentuk koma, melainkan terdiri atas beberapa tingkat perubahan kesadaran maka untuk selanjutnya dipakai istilah ensefalopati hepatic.
Istilah lain adalah “Porto-System Enchephalopathy” (PSE), tidak banyak dipakai lagi oleh karena ternyata EH dapat terjadi tanpa kolateral porto-sistemik (Gitlin., 1996).
Meskipun patogenesis yang tepat tentang terjadinya EH belum diketahui sepenuhnya, namun hipotesa-hipotesa yang ada menekankan peranan dari sel-sel parenkim hati yang rusak dengan atau tanpa adanya by pass sehingga bahan-bahan yang diduga toksis terhadap otak tidak dapat dimetabolisir seperti : ammonia, merkaptan, dan lain-lain dapat menumpuk dan mencapai otak. Faktor lain adalah terjadinya perubahan pada neutransmitter, gangguan keseimbangan Asam Amino Aromatik (AAA) dan Asam Amino Rantai Cabang (AARC) yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Selain itu perlu disimak perubahan yang terjadi pada otak misalnya edema dan peningkatan tekanan intra kranial, serta perubahan-perubahan pada Astrosit terutama terjadi pada EH akut (Fulminant Hepatic Failure). Hal – hal tersebut perlu dicermati agar pengelolaan penderita-penderita EH lebih terarah dengan hasil optimal (Blei., 1999).
A. Definisi
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin., 2001).
Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Stein 2001).
Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).

B. Klasifikasi
Klasifikasi EH yang banyak dianut adalah :
1. Menurut cara terjadinya
a. EH tipe akut :
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati.
b. EH tipe kronik :
Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah EH yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-angsur makin berat.
2. Menurut faktor etiologinya
a. EH primer / Endogen
Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat.
b. EH Sekunder / Eksogen
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah:
1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah :
o Dehidrasi / hipovolemia
o Parasintesis abdomen
o Diuresis berlebihan
2. Pendarahan gastrointestinal
3. Operasi besar
4. Infeksi berat
5. Intake protein berlebihan
6. Konstipasi lama yang berlarut-larut
7. Obat – obat narkotik/ hipnotik
8. Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
9. Azotemia

C. Patogenesis
Belum ada patagonesis yang diterima untuk menjelaskan proses terjadinya EH. Beberapa hipotesis yang paling sering dijadikan acuan penatalaksanaan EH adalah (1) Hipotesis ammonia, (2) Hipotesis neurotoksi sinergis, (3) Hipotesis neurotransmitter palsu, (4) Hipotesis GABA / benzodiazepine (Budihusodo., 2002).
Sedangkan faktor-faktor yang sangat mungkin terlibat dalam terjadinya EH adalah :
1. Pengaruh neurotoksin endogen yang tidak cukup didetoksifisikasikan oleh hati sirotik.
2. Fungsi astroglia yang abnormal disertai gangguan sekunder fungsi neuron.
3. Kelainan permeablitas sawar darah-otak.
4. Perubahan neurotransmiter intraserebral beserta reseptornya.
Dalam arti yang sederhana, EH dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intosikiasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bilda terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (pataologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati (Price et al., 1995).
Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya EH tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati atau karena pirau (Price et al., 1995).
EH pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti : perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia (Abou-assi., 2001).
Hingga kini belum seluruhnya dapat dipahami patogenesis EH, namun pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penelitian terhadap penderita maupun dari binatang percobaan, telah mengungkapkan beberapa masalah penting tentang patogenesisnya. EH tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama (Blei., 1999).
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa E terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan tosik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier) pada penderita EH yang memudahkan masuknya bahan-bahan tosik tersebut ke dalam susunan saraf pusat.
Ketika pasien sirosis hati telah mengalami hipertensi portal, terbuka kemungkinan untuk terjadinya pintasan portosistemik, yang dapat berakibat masuknya neurotoksin yang berasal dari saluran cerna (merkaptan, amonia, mangan, dll) ke dalam sirkulasi sistemik. Pintasan portosistemik dapat juga terjadi akibat tindakan bedah anastomosis portokaval atau TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic stent shunt) yang dilakukan untuk mengatasi hipertensi portal. Neurotoksin yang dapat menembus sawar darah otak akan berakumulasi di otak dan menimbulkan gangguan pada metabolisme otak. Permeabilitas sawar darah - otak memang mengalami perubahan pada pasien sirosis hati dekompensasi, sehingga lebih mudah ditembus oleh metabolit seperti neurotoksin (Budihusodo., 2001).
Terdapat 5 proses yang terjadi di otak yang dianggap sebagai mekanisme terjadinya EH/koma hepatik, yaitu :
1. Peningkatan permeabilitas sawar otak (BBB).
2. Gangguan keseimbangan neurotransmitter
3. Perubahan (energi) metabolisme otak.
4. Gangguan fungsi membran neuron.
5. Peningkatan “endogenous Benzodiazepin“
Diduga toksin serebral berperan melalui satu atau lebih daripada mekanisme ini.
Patogenesis di atas merupakan konsep yang uniform, namun antara koma pada PSE dan FHF terdapat beberapa perbedaan-perbedaan. Misalnya pada PSE, toksin serebral tertimbun secara perlahan-lahan, apabila disertai faktor pencetus terjadinya koma. Sebaliknya pada EH/koma akibat FHF, karena proses begitu akut, maka faktor yang berperan adalah masuknya bahan toksis ke dalam otak secara tiba-tiba, menghilangnya bahan pelindung, perubahan permeablitas dan integrasi selular pembuluh darah otak serta edema serebral.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan :
1. Ammonia
Ammonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki. Zat ini berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung.
Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui.
 Penaruh langsung terhadap membran neuron
 Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
Peneliti lain mendapatkan bahwa kadar ammonia yang tinggi tidak seiring dengan beratnya kelainan rekaman EEG. Dilaporkan bahwa peran ammonia pada EH tidak berdiri sendiri. Tetapi bersama-sama zat lain seperti merkaptan dan asam lemak rantai pendek. Diduga kenaikan kadar ammonia pada EH hanya merupakan indikator non spesifik dari metabolisme otak yang terganggu (Blake A., 2003).
2. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan)
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap SSP. Metionin dalam usus mengalami metaolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersama-sama ammonia menyebabkan timbulnya koma (Blake A., 2003).
3. Gangguan keseimbangan asam amino
Asam Amino Aromatik ( AAA) meningkat pada EH karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan Asan Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik (Blake A., 2003)
AAA ini bersaing dengan AARC untuk melewati sawar otak, yang permeabilitasnya berubah pada EH. Termasuk AAA adalah metionin, fenilalanin, tirosin, sedangkan yang termasuk AARC adalah valin, leusin, dan isoleusin (Blake A., 2003)
4. Asam lemak rantai pendek
Pada EH terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab EH. Bahan-bahan ini bekerja dengan cara menekan sistem retikuler otak, menghemat detoksifikasi ammonia (Gitlin., 1996).
5. Neurotramsmitter palsu
Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. Neurotransmitter palsu merupakan inhibitor kompepetif dari true neurotrasmitter (dopamine dan norephinephrine) pada sinaps di ujung saraf, yang kadarnya menurun pada penderita PSE maupun FHF (Gitlin., 1996).
Penelitian menunjukkan bahwa GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut untuk keperluan (Gitlin., 1996).
6. Glukagon
Peningkatan AAA pada EH/ koma hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas Asam Amino Aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada penyakit hati terutama bila terdapat sirkulasi kolateral (Blake A., 2003).
7. Perubahan sawar darah otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permiabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli. Pada koma hepatikum khususnya FHF ditemukan kerusakan kapiler, rusaknya hubungan endotel, terjadi edema serebri sehingga bahan yang biasanya dikeluarkan dari otak akan masuk dengan mudah seperi fenilalanin dalam jumlah besar, sehingga kadar asam amino lainnnya meningkat di dalam otak (Gitlin., 1996).

D. Manifestasi klinik
Spektrum klinis EH sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga koma hepatik. Simpton yang acap kali dijumpai pada EH klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfasia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis EH biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif.
Manifestasi EH adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik EH sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis,serta kelainan EEG, manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium (Tabel.1). Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test). Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten (EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada EH klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati dengan hipertensi portal (Budihusodo., 2001).

E. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fisik dan laboratorium (Gitlin., 1996).
1. Anamnesis
→ Riwayat penyakit hati
→ Riwayat kemungkinan adanya faktor-faktor pencetus.
→ Adakah kelainan neuropsikiatri : perubahan tingkah laku, kepribadian, kecerdasan, kemampuan bicara dan sebagainya.
2. Pemeriksaan fisik
→ Tentukan tingkat kesadaran / tingkat ensefalopati.
→ Stigmata penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal).
→ Adanya kelainan neuroogik : inkoordinasi tremor, refleks patologi, kekakuan.
→ Kejang, disatria.
→ Gejala infeksi berat / septicemia.
→ Tanda-tanda dehidrasi.
→ Ada pendarahan gastrointestinal.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Hematologi
• Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit.
• Jika diperlukan : faal pembekuan darah.
b. Biokimia darah
• Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali.
• Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
• Kadar amonia darah.
• Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah.
c. Urin dan tinja rutin
4. Pemeriksaan lain (tidak rutin) (Stein., 2001).
a. EEG (Elektroensefaloram) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada sirosis.
b. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol).
c. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.



F. Pengelolaan
1. EH tipe akut
Pengelolaan baik tipe/endogen maupun tipe sekunder/eksogen, pada prinsipnya sama yaitu terdiri dari tindakan umum dan khusus. Bagi tipe sekunder/eksogen diperlukan pengelolaan faktor pencetusnya (Gitlin., 1996).
a. Tindakan umum
1. Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif nyang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley.
2. Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmunal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa.
3. Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental).
b. Tindakan khusus
1. Mengurangi pemasukan protein (Gitlin., 1996)
 Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
 Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/ hari).
2. Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism).
 Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan.
 Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari.
 Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4)
 Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV.
Rifaximin (derifat Rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif.
3. Obat-obatan lain
 Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC (Comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (Aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini.
 L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam.
 Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (Dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain : fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal.
 Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
 Obat-obatan dalam taraf eksperimental :
o Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis) dalam dosis 15 mg/hari dapat memberi perbaikan klinis, psikometrik dan EEG.
o Antagonis benzodiaepin reseptor (Flumazenil), memberi hasil memuaskan, terutama untuk stadium I-II.
4. Pengobatan radikal
Exchange tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion, transpalantasi hati (Gitlin., 1996).
c. Pengobatan radikal
1. Koreksi gangguan keseimbangan cairan, elekrtrolit, asam basa.
2. Penggulangan perdarahan saluran cerna
3. Atasi infeksi dengan antibiotika yang tepat dalam dosis adekuat.
4. Hentikan obat-obatan pencetus EH; obat-obatan hepatotoksik, diuretika atau yang menimbulkan konstipasi.
2. EH tipe Kronik
Prinsip-prinsip pengobatan EH tipe kronik (Blei., 1999).
a. Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg BB terutama protein nabati.
b. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10 cc/hari).
c. Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram / hari.
d. Bila timbul aksaserbasiakut, sama seperti EH tipe akut.
e. Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya.
f. Pembedahan elektif : colony by pasis, transplantasi hati, khususnya untuk EH kronik stadium III-IV.

G. Prognosis
Perbaikan atau kesembuhan sempurna dapat terjadi bila dilakukan pengeloaan yang cepat dan tepat. Prognosis penderita EH tergantung dari :
a. Penyakit hati yang mendasarinya.
b. Faktor-faktor pencetus
c. Usia, keadaan gizi.
d. Derajat kerusakan parenkim hati.
e. Kemampuan regenerasi hati.

DAFTAR PUSTAKA

Abou-Assi S, MD., 2001., Hepatic Encephalopathy., www.postgraduatemedicine.com.
Aklil H.A.M., 1998., Ilmu Penyakit Dalam ; Koma Hepatik., Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta.
Budihusodo U., 2001., Pengobatan Dini Ensefalopati Hepatikum., www.interna.or.id
Blake A jones, MD., 2003., Portal-Systemic Encephalopathy., www.e-medicine.com
Blei A.T., 1999., Oxford Textbook of Clinical Hepatology ; In Hepatic Encephalopathy., Oxford University Press., New York.
Corwin J.E., 2001., Buku Saku Patofisologi., EGC.
Gitlin N., 1996., Hepatology A Textbook of Liver Disease. In Hepatic Encephalopathy., B. Saunders Company. Philadelphia.
Hardjosastro D, Syam A.F., 2002., Nutrisi Pada Koma Hepatikum., www.interna.or.id
Haggerty M., 2002., Liver Encephalopathy., www.principalhealthnews.com.
Price A.S, Wilson M.L., 1995., Patofisiologi ; Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ; Hati Saluran Empedu, dan Pancreas., ECG.
Stein H.J., 2001., Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam., Ed lll., EGC.