This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 24 Juni 2008

TRAUMA THORAX

Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.

II. DEFINISI.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.

III. ETIOLOGI.
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.

IV. ANATOMI.
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk.
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang ada.
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.


V. PATOFISIOLOGI.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).

VI. INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN.
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.


VII. KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX .
A. Trauma dinding thorax dan paru.
- Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 ).
- Flail Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
- Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
- Pneumotoraks dikibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul.Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.
- Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound ) Defek atau luka yang besar plada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa pnutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.
- Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosisi merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan keduanya. Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi plneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
- Hemothorax. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus dipertimbangkan.
- Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari adarah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong mesdiastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pmeberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang setinggi puting susu, anteriordari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga mamebutuhkan torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.
- Cedera trakea dan Bronkus. Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas. Empisema mediastinal dan servical dalam atau pneumothorax dengan kebocoran udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol endoskop ) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau pneumothorax.

B. TRAUMA JANTUNG DAN AORTA.
- Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik. Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisi, distensi vena leher tidak ditemukan bila keadaan penderita hipovlemia dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan lain. Pemerikksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi (lihat Bab 5, Trauma abdomen, V.F, Studi diagnostik spesifik pada trauma tumpul). Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adaah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha rsusitasi, merupakan indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.
- Kontusio Miocard . Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari ptekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan perubahan gelombang T – ST yang non spesifik atau disritmia. Adapun penatalaksanaan berupa suportif.
- Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dpat disebabkan adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.

DAFTAR PUSTAKA.

1. IKABI, ATLS, American College of Surgeon, edisi ke – 6, tahun 1997.
2. Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995.


Terapi Konservatif Chron Disease

Enteritis regional atau penyakit crohn merupakan suatu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang sering berulang. Secara klasik menyerang ileum terminal, walaupun setiap bagian saluran cerna dapat terkena. Penyakit ini biasanya timbul pada orang dewasa muda dan menyerang laki-laki dan perempuan dengan perbandingan yang kira-kira sama.

Etiologi penyakit crohn tidak diketahui. Walaupun tidak ditemukan adanya autoantibodi. Penyakit crohn diduga merupakan reaksi hipersensitivitas atau mungkin disebabkan oleh agen infektif yang belum diketahui.(1)
Meskipun penyakit crohn pada prinsipnya adalah penyakit pada saluran cerna, tapi dapat menyebabkan lesi di kulit, tulang, otot rangka, jaringan sinovial dan lain-lain, hal ini menjelaskan bahwa penyakit ini adalah penyakit sistemik juga terdapat banyak komplikasinya di luar usus, termasuk spondilitis ankilosa, eritema nodosum, mioperikarditis, perikolangitis, kolangitis sklerosa dan anemia hemolitik autoimun. Komplikasi-komplikasi ini timbul setelah terjadi peradangan usus dan cenderung menghilang dengan sembuhnya penyakit atau setelah dilakukan reseksi dari usus yang terganggu.(2)
Sampai saat ini glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk penyakit crohn (semua derajat). Pada umumnya pilihan jatuh pada prednison, metilprednisolon (keduanya bentuk oral) atau hidrokortison enema. Pada keadaan berat dapat diberikan secara parenteral. Dengan tujuan memperoleh konsentrasi steroid lokal di usus yang tinggi dengan efek sistemik (dan efek samping) yang rendah.(2)

A. Definisi
Penyakit crohn (enteritis regionalis, ileitis granulomatosa, ileokolitis) adalah peradangan menahun pada dinding usus.(2,5)
Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. kebanyakan terjadi pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus. (5,6)


B. Epidemiologi
Pada beberapa dekade yang lalu, penyakit crohn lebih sering ditemukan di negara barat dan negara berkembang. terjadi pada pria dan wanita, lebih sering pada bangsa Yahudi, dan cenderung terjadi pada keluarga yang juga memiliki riwayat kolitis ulserativa. Kebanyakan kasus muncul sebelum umur 30 tahun, paling sering dimulai antara usia 14-24 tahun.
Penyakit ini mempengaruhi daerah tertentu dari usus, kadang terdapat daerah normal diantara daerah yang terkena. Pada sekitar 35 % dari penderita penyakit crohn, hanya ileum yang terkena. pada sekitar 20%, hanya usus besar yang terkena. dan pada sekitar 45 %, ileum maupun usus besar terkena. (3,5)

C. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi (3,4)
Etiologi penyakit crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan perhatian pada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu :
1. Kelainan fungsi sistem pertahanan tubuh.
2. Infeksi.
3. Makanan.
Walaupun tidak ditemukan adanya autoantibodi, enteritis regional diduga merupakan reaksi hipersensitivitas atau mungkin disebabkan oleh agen infektif yang belum diketahui. Teori-teori ini dikemukakan karena adanya lesi-lesi granulomatosa yang mirip dengan lesi-lesi yang dtemukan pada jamur dan tuberkulosis paru. Terdapat beberapa persamaan yang menrik antara enteritis regional dan kolitis ulseratif. Keduanya adalah penyakit radang, walaupun lesinya berbeda. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi di luar saluran cerna yaitu uveitis, artritis dan lesi-lesi kulit yang identik.

Patogenesis (3,4)
Ileum terminal terserang pada sekitar 80% kasus enteritis regional. Pada sekitar 35% kasus lesi-lesi terjadi pada kolon. Esofagus dan lambung lebih jarang terserang. Dalam beberapa hal terjadi lesi “melompat” yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh daerah-daerah usus normal sepanjang beberapa inci atau kaki.
Lesi diduga mulai pada kelenjar limfe dekat usus halus yang akhirnya menyumbat aliran saluran limfe. Selubung submukosa usus jelas menebal akibat hiperplasia jaringan limfoid dan limfedema. Dengan berlanjutnya proses patogenik, segmen usus yang terserang menebal sedemikian rupa sehingga kaku seperti slang kebun, lumen usus menyempit, sehingga hanya sedikit dilewati barium, menimbulkan “string sign” yang terlihat pada radiogram. Seluruh dinding usus terserang. Mukosa seringkali meradang dan bertukak disertai eksudat yang putih abu-abu.

D. Gejala
Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah diare menahun, nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan atau rasa penuh pada perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan. (4,7)
Komplikasi yang sering terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus, saluran penghubung yang abnormal (fistula) dan kantong berisi nanah (abses). Fistula bisa menghubungkan dua bagian usus yang berbeda. fistula juga bisa menghubungkan usus dengan kandung kemih atau usus dengan permukaan kulit, terutama kulit di sekitar anus. Adanya lobang pada usus halus (perforasi usus halus) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika mengenai usus besar, sering terjadi perdarahan rektum. setelah beberapa tahun, resiko menderita kanker usus besar meningkat.
Sekitar sepertiga penderita penyakit crohn memiliki masalah di sekitar anus, terutama fistula dan lecet (fissura) pada lapisan selaput lendir anus. Penyalit crohn dihubungkan dengan kelainan tertentu pada bagian tubuh lainnya, seperti batu empedu, kelainan penyerapan zat gizi dan penumpukan amiloid (amiloidosis). (4,7)
Bila penyakit crohn menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita juga bisa mengalami : (3,5)
- Peradangan sendi (artritis)
- Peradangan bagian putih mata (episkleritis)
- Luka terbuka di mulut (stomatitis aftosa)
- Nodul kulit yang meradang pada tangan dan kaki (eritema nodosum) dan
- Luka biru-merah di kulit yang bernanah (pioderma gangrenosum).
Jika penyakit crohn tidak menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita masih bisa mengalami : (3,5)
- Peradangan pada tulang belakang (spondilitis ankilosa)
- Peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis)
- Peradangan di dalam mata (uveitis) dan
- Peradangan pada saluran empedu (kolangitis sklerosis primer).
Pada anak-anak, gejala-gejala saluran pencernaan seperti sakit perut dan diare sering bukan merupakan gejala utama dan bisa tidak muncul sama sekali. Gejala utamanya mungkin berupa peradangan sendi, demam, anemia atau pertumbuhan yang lambat.

Pola umum dari penyakit crohn (6,7)
Gejala-gejala penyakit crohn pada setiap penderitanya berbeda, tetapi ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu :
1. Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan
2. Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan nyeri hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-muntah
3. Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan kurang gizi dan kelemahan menahun
4. Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah (abses), yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri dan penurunan berat badan.

E. Diagnosa (1,5,6)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang terasa nyeri dan diare berulang, terutama pada penderita yang juga memiliki peradangan pada sendi, mata dan kulit.
Tidak ada pemeriksaan khusus untuk mendeteksi penyakit crohn, namun pemeriksaan darah bisa menunjukan adanya:
- Anemia
- Peningkatan abnormal dari jumlah sel darah putih
- Kadar albumin yang rendah
- Tanda-tanda peradangan lainnya.
Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit crohn pada usus besar.
Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) dan biopsi untuk memperkuat diagnosis. CT scan bisa memperlihatkan perubahan di dinding usus dan menemukan adanya abses, namun tidak digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan diagnostik awal.

F. Penatalaksanaan
Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis penyakit crohn belum jelas, maka pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi (kalau memang tidak dapat dihilangkan sama sekali).
Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi dalam bentuk bakteri intraluminal dan komponen diet sehari-hari yang dapat memutuskan proses inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola diet. Metronidazol cukup banyak diselidiki dan cukup bermanfaat pada penyakit crohn dalam menurunkan derajat aktivitas penyakitnya. Disamping beberapa konstituen diet yang harus dihindari karena mencetuskan serangan (seperti wheat, cereal yeast dan produk dan produk peternakan) terdapat konstituen yang bersifat anti oksidan yang dalam penelitian terbatas terlihat bermanfaat pada kasus penyakit crohn yaitu glutamin dan asam lemak rantai pendek. Mengingat penyakit ini bersifat kronik eksaserbasi, edukasi pada pasien dan keluarganya mempunyai peranan penting.(2,6,7)



Kortikosteroid (2,6,7)
Sampai saat ini glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk penyakit crohn (semua derajat). Pada umumnya pilihan jatuh pada prednison, metilprednisolon (keduanya bentuk oral) atau hidrokortison enema. Pada keadaan berat dapat diberikan secara parenteral. Dengan tujuan memperoleh konsentrasi steroid lokal di usus yang tinggi dengan efek sistemik (dan efek samping) yang rendah telah dicoba golongan glukokortikoid non sistemik untuk pengobatan penyakit crohn. Untuk penyakit crohn dipakai preparat oral lepas lambat. Termasuk golongan ini antara lain budesonid oral/enema. Dosis rata-rata yang banyak digunakan adalah setara prednison 40 – 50 mg per hari dan bila remisi telah tercapai dilakukan trappering dose dalam waktu 8 12 minggu.
Kortikosteroid (misalnya prednison) bisa menurunkan demam dan mengurangi diare, menyembuhkan sakit peru dan memperbaiki nafsu makan dan menimbulkan perasaan enak, tetapi penggunaan kortikosteroid jangka panjang memiliki efek samping yang serius, biasanya dosis tinggi dipakai untuk menyembuhkan peradangan berat dan gejalanya, kemudian dosisnya diturunkan dan obatnya dihentikan sesegera mungkin.



Metronidazol (1,2,6)
Pada penyakit crohn sering diberikan antibiotik berspektrum luas. Antibiotik metronidazol bisa membantu mengurangi gejala penyakit crohn, terutama jika mengenai usus besar atau menyebabkan terjadinya abses dan fistula sekitar anus. Penggunaan metronidazol jangka panjang dapat merusak saraf, menyebabkan perasaan tertusuk jarum pada lengan dan tungkai. Efek samping ini biasanya menghilang ketika obat dihentikan tapi penyakit crohn sering kambuh kembali setelah obat ini dihentikan.

Asam Aminosalisilat (2,6)
Pemakaian aminosalisilat telah lama mapan pada pengobatan penyakit crohn. Preparat sulfasalozin (ikatan ozo dari sulfapiridin dan aminosalisilat) di dalam usus akan dipecah menjadi sulfapirin dan saminosalicyclin acid (5-ASA). Telah diketahui bahwa yang bekerja sebagai antiinflamasi pada penyakit crohn adalah 5-ASA. Saat ini tersedia preparat 5-ASA murni, baik dalam bentuk lepas lambat pada pH > 5 (di Indonesia salofalk) maupun ikatan diazo. Baik sulfasalazin maupun 5-ASA mempunyai efektivitas yang relatif sama pada penyakit crohn, hanya dilaporkan efek samping pada 5-ASA lebih rendah. Hal ini disebabkan efek samping yang terjadi diakibatkan komponen sulfapiridin. Dosis oral rata-rata yang banyak digunakan adalah 2 – 4 gram perhari. Sulfasalazin dapat menekan peradangan ringan, terutama pada usus besar, tetapi sulfasalazin kurang efektif pada penyakit crohn yang kambuh secara tiba-tiba dan berat.

Imunosupresif (1,2,6)
Bila dengan 5-ASA dan glukokortikoid gagal dicapai remisi, alternatif lain adalah penggunaan obat imunosupresif seperti 6 merkaptopurin (1,5 mg/kgBB/hari/oral), azotioprin, siklosporin dan metotreksat.
Azatioprin dan merkaptopurin merubah kerja dari sisten kekebalan tubuh, efektif untuk penyakit crohn yang tidak memberikan respon terhadap obat-obatan lain dan terutama digunakan untuk mempertahakan waktu remisi (bebas gejala) yang panjang.
Obat ini mengubah keadaan penderita dan sering menyembuhkan fistula. Tetapi obat ini sering tidak memberikan keuntungan selama 3-6 bulan dan bisa menyebabkan efek samping yang serius. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan terjadinya alergi, peradangan pankreas (pankreatitis) dan penurunan jumlah sel darah putih.


Diet (2,6)
Formula diet yang ketat, dimana masing-masing komponen gizinya diukur dengan tepat, bisa memperbaiki penyumbatan usus atau fistula, minimal untuk waktu yang singkat dan juga dapat membantu pertumbuhan anak-anak. Diet ini bisa dicoba sebelum pembedahan atau bersamaan dengan pembedahan. Untuk mencegah iritasi anus, diberikan multiselulosa atau preparat psilium yang akan melunakan tinja.

Surgikal (2,4,6,7)
Indikasi intervensi surgikal biasanya bila terjadi komplikasi atau terapi konservatif gagal. Bila usus tersumbat atau bila abses atau fistula tidak menyembuh, mungkin dibutuhkan pembedahan. Pembedahan untuk mengangkat bagian usus yang terkena dapat meringankan gejala namun tidak menyembuhkan penyakitnya. peradangan cenderung kambuh di daerah sambungan usus yang tertinggal. Pada hampir 50% kasus, diperlukan pembedahan kedua. Karena itu, pembedahan dilakukan bila timbul komplikasi atau terjadi kegagalan terapi dengan obat.

G. Komplikasi (2)
Dalam perjalanan penyakit crohn dapat terjadi komplikasi sebagai berikut :
1. Perforasi usus.
2. Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis.
3. Perdarahan saluran cerna.
4. Degenerasi maligna (kanker)
Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada penyakit crohn lebih kurang 13% setelah 20 tahun menderita.

H. Prognosis (6)
Beberapa penderita sembuh total setelah suatu serangan yang mengenai usus halus. tetapi penyakit crohn biasanya muncul lagi dengan selang waktu tidak teratur sepanjang hidup penderita. Kekambuhan ini bisa bersifat ringan atau berat, bisa sebentar atau lama.
Mengapa gejalanya datang dan pergi dan apa yang memicu episode baru atau yang menentukan keganasannya tidak diketahui. Peradangan cenderung berulang pada daerah usus yang sama, namun bisa menyebar pada daerah lain setelah daerah yang pernah terkena diangkat melalui pembedahan.
Penyakit crohn biasanya tidak berakibat fatal. tetapi beberapa penderita meninggal karena kanker saluran pencernaan yang timbul pada penyakit crohn yang menahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bisono, Pusponegoro AD; Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. Dalam : Syamsuhidajat R, Jong WD ed Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997, hal 855-857.

2. Djojoningrat Dharmika; Inflamatory Bowel Disease, Suyono Slamet, Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2001 hal 231-235.

3. Martoprawiro Soekamto, Soeparman, Gunawan R; Traktus Gastrointestinalis, Dalam : Rabbins, Kumar ed Buku Ajar Patologi II, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995, hal 258-262.

4. Wilson Lorraine M, Lester Lula B, Usus Kecil. Dlaam Price Sylvia Wilson Lorraine M ed Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997, hal 399-401.

5. Saver E.W. Introduction. Naskah Burn Symposium and workshop, Jakarta : Sub Bagian Bedah Digesty. Bagian Ilmu Bedah, FKUI, 1997, hal 25-28.

6. Nadesul Handrawan, Gangguan Sistem Pencernaan (Penyakit Crohn), http://www.medicastore.com

7. Thomsen O, M.D, Corcot A, M.D. A Comparison of Budesonide and Mesalamine for Active Crohn’s Disease, http://www.medicastore.com


PENATALAKSANAAN BENJOLAN TUNGGAL PADA TIROID

I. PENDAHULUAN
A. Embriologi Kelenjar Thyroid
Kelenjar thyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan. Titik dari pembentukan kelenjar thyroid ini menjadi foramen sekum di pangkal lidah. Endoderm ini menurun di dalam leher sampai setinggi cincin trakhea kedua dan ketiga. Penurunan ini terjadi pada garis tengah. Saluran pada struktur ini menetap dan menjadi duktus thyroglossus yang bermula dari foramen sekum.(1) Pada umumnya duktus ini akan menghilang setelah dewasa tetapi pada beberapa keadaan masih menetap atau lebih sering menjadi lobus piramidalis kelenjar thyroid.(2)


B. Anatomi Kelenjar Thyroid
Kelenjar thyroid terletak di bawah leher terdiri atas dua lobus yang dihubungkan oleh ismus dan menutupi cincin trakhea 2 & 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fascia paratrakhea sehingga gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial. Pengaliran darah ke kelenjar berasal dari a. thyroidea superior (cabang a. carotis eksterna) dan a thyroidea inferior (cabang a. subclavia).
Setiap folikel thyroid diselubungi oleh jala-jala kapiler, jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikuler. (2)


C. Fisiologi Kelenjar Thyroid
Kelenjar thyroid menghasilkan hormon thyroid utama yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar thyroid. Yodida inorganik yang diserap oleh saluran cerna merupakan bahan baku hormon thyroid. Zat ini dipekatkan kadarnya 30-40 kali secara selektif di dalam kelenjar thyroid. Yodida inorganik mengalami oksidasi menjadi organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyotirosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 dan T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar thyroid. Sebagian kelenjar T4 dilepaskan ke dalam sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tiroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding pre-albumine, TBPA).
Sekresi homorn tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis. Kelenjar ini secara langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi, yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin (thyrotropin releasing hormone, TRH) dari hipotalamus. Hormon tiroid mempunyai pengaruh yang bermacam-macam terhadap jaringan tubuh yang berhubungan dnegan metabolisme sel.
Kelenjar thyroid juga mengeluarkan kalsitonin dari sel perifolikuler. Kalsitonin adalah polipeptida yang menurunkan kadar kalsium serum, mungkin melalui pengaruhnya terhadap tulang.

D. Latar Belakang
Tonjolan tunggal pada thyroid sering merupakan masalah yang dipertimbangkan dalam pengelolaannya. Masalah tersebut karena kemungkinan adanya neoplasma jinak maupun ganas pada tonjolan tulang.
Banyak variasi angka yang kemungkinan neoplasma pada tonjolan yang ditemukan pada thyroid. Yang jelas semakin baik seleksi diantara penderita, semakin besar persentase neoplasma ditemukan. Dengan penggunaan berbagai alat diagnostik yang beberapa tahun terakhir ini dipergunakan, penemuan neoplasma semakin intensif. Beberapa bantuan pemeriksaan yang dapat membantu diagnostik antara lain scanning thyroid dan tes uptake, ultrasonografi, biopsi jarum dan pemeriksaan lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Kelainan kelenjar thyroid yang berupa gangguan fungsi seperti thyrotoksikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tiroid noduler. Setiap pembesaran kelenjar thyroid disebut struma atau goiter, yang dapat dibagi atas lima kelompok (1) :
1. Struma akibat kekurangan yodium (endemic goiter, simple goiter, colloid goiter).
2. Struma difus dengan hipertiroidisme (penyakit Graves, penyakit Basedow).
3. Struma noduler (multiple colloid adenomatum goiter).
4. Struma akibat proses degenerasi atau peradangan.
5. Struma akibat pertumbuhan neoplasma.
Menurut Robbins yang menyatakan bahwa dari seluruh struma, sepertiganya adalah struma Basedow dan dari duapertiga lainnya, 80% adalah struma noduler, 10% adenoma dan hanya 4% karsinoma.
Yang dimaksud dengan tonjolan tunggal pada kelenjar thyroid adalah tonjolan yang secara klinik dengan pemeriksaan fisik manual hanya teraba tonjolan pada kelenjar thyroid. Kemajuan dalam klinik diagnostik dapat lebih relatif dalam menentukan keganasan maupun neoplasma jinak. Dokter umum sebagai penerima penderita untuk pertama kali dapat melakukan beberapa pemeriksaan dan memberikan pengobatan untuk kasus-kasus yang diperkirakan sembuh dengan pengobatan medikamentosa saja. (4)
Beberapa hal yang mencurigakan keganasan pada pemeriksaan klinik :
a. Tonjolan tunggal pada anak dibawah 12 tahun. Pada usia ini pada anak yang belum mencapai usia prepubertas sangat mencurigakan keganasan.
b. Tonjolan tunggal pada usia tua
Pada usia tua seharusnya kelenjar thyroid tidak membesar lagi, seharusnya sudah menetap atau mengecil. Pembesaran thyroid pada usia tua harus dicurigai keganasan.
c. Tonjolan tunggal pada laki-laki umumnya. Dibandingkan dengan wanita, pada laki-laki rangsangan pada metabolismenya relatif tetap, sehingga rangsangan pada tiroid juga relatif tetap. Tonjolan tunggal pada laki-laki harus ditanggapi lebih berhati-hati.
d. Tonjolan tiroid disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening leher, terutama pembesaran kelenjar getah bening rantai jugular.
e. Tonjolan tunggal tiroid dalam pembengkakan tulang-tulang pipih, terutama tulang tengkorak, sternum atau tulang panggul.
f. Penderita yang pernah mendapat radiasi di daerah leher dan kepala, kemungkinan terjadi setelah lebih kurang 20 tahun kemudian. Sekarang ini sudah jarang ditemukan.
g. Penderita dengan gangguan suara, tonjolan yang terfiksasi harus dicurigai akan keganasan.
Hal-hal yang mengarahkan pada kemungkinan kelainan non neoplasma :
a. Tonjolan tunggal pada thyroid pada masa child bearing age. Umumnya tonjolan timbul setelah melahirkan anak pertama dan jelas membesar setelah kelahiran anak-anak berikutnya. Di Jakarta hal ini sangat terkenal, bila ditanyakan lebih mendetail pada wanita yang bersangkutan sebab lehernya membesar, biasanya diterangkan oleh penderita karena salah mengejan sewaktu melahirkan. Buat seorang dokter keterangan ini cukup menerangkan bahwa hal ini disebabkan, kelainan metabolik selama tidak disertai tanda-tanda lain seperti diterangkan sebelumnya. Kasus ini merupakan bagian dokter umum untuk diobati dahulu.
b. Tonjolan tunggal pada tiroid dengan pembesaran difus pada kelenjar. Secara klinik dapat ditemukan kedua lobus membesar dan salah satu lobus mengandung nodul. Hal juga umumnya disebabkan kelainan metabolik karena rangsangan sentral pada tiroid sehingga terjadi pembesaran.
c. Tonjolan tunggal tiroid pada penderita yang berasal dari daerah endemik. Tonjolan ini mungkin sekali karena kelainan metabolik.
Pemeriksaan pembantu yang dapat membantu menyingkirkan keganasan pada tonjolan tunggal tiroid :
1. Scanning Tiroid
Pemeriksaan ini dapat dilakukan di beberapa kota besar. Hasil pemeriksan ini jangan dianggap oleh dokter sebagai “segalanya” untuk diagnostik kelainan tiroid.
Dasar pemeriksaan ini adalah persentase uptake daripada J131 yang diberikan dan distribusinya pada tiroid. Dari uptake ini diketahui fungsi tiroid apakah hiportiroid, eutiroid atau hipetiroid. Uptake normal dalam 24 jam adalah 15-40%. Dari distribusi jodium dapat diketahui sifat tonjolan tersebut tersebut dan membandingkannya dengan jaringan sekitar. Nodul yang mengadakan uptake lebih banyak dari daerah di sekitarnya disebut hot area dan nodul tersebut disebut hot nodule. Hot nodule jarang sekali disebabkan keganasan.(4) Sebaliknya cold nodule yaitu nodul yang mengadakan uptake lebih rendah dari sekitarnya tidak selalu disebabkan neoplasma, tetapi mesti dihubungkan dengan beberapa hal :
- Bentuk cold area
Bentuk cold area yang berupa moth eaten appearance mencurigakan keganasan.
- Hubungan cold area dengan daerah sekitarnya.
Cold area dengan distribusi jodium yang tidak merata lebih cenderung untuk kelainan metabolik, terutama bila lobus tiroid yang kontralateral untuk membesar.

- Hubungan cold area dengan unsur jenis kelamin
Cold area pada laki-laki usia tua dan anak-anak lebih menambah kecurigaan akan keganasan.
Hal-hal yang dapat menyebabkan cold area :
- Kista.
- Hematom.
- Struma adenomatosa.
- Perdarahan.
- Radang.
- Keganasan.
- Defek kongenital.

Hal-hal yang dpat menyebabkan hot area :
- Struma adenomatosa.
- Adenoma toksik.
- Radang.
- Keganasan.

2. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dapat membantu membedakan kelainan kistik atau solid pada tiroid. Kelainan solid lebih sering disebabkan keganasan dibanding dengan kelainan kistik. Tetapi kelainan kistikpun dapat disebabkan keganasan meskipun kemungkinannya lebih kecil.
3. Pemeriksaan radiologik di daerah leher
Karsinoma tiroid kadang-kadang disertai perkapuran. Ini sebagai tanda yang boleh dipegang.

4. Pemeriksaan fungsi tiroid
Banyak sekali pemeriksaan fungsi tiroid, baik yang mengukur fungsi tiroid langsung ataupun tidak langsung. Beberapa yang dapat dipakai :
a. Pemeriksaan basal metabolic rate (BMR)
Pemeriksaan ini dapat menentukan fungsi metabolisme apakah ada hubungannya dengan hipo, eutiroid atau hipertiroid. Untuk tonjolan tunggal manfaatnaya kurang, karena umumnya kasus-kasus ini eutiroid. Bila ada hipertiroid pada tonjolan tunggal tiroid, hal ini dapat disebabkan adenoma toksik atau nodul otonom, yang merupakan indikasi untuk operasi. (4)
b. Pemeriksaan T3 dan T4
Thyroxine dan triodothyronin adalah hormon yang dihasilkan tiroid dan berfungsi untuk metabolisme.
Peninggian kedua jenis hormon ini ataupun salah satunya dapat meningkatkan fungsi tiroid dan sebaliknya. Penggunaan pemeriksaan ini pada penatalaksanaan tonjolan tunggal pada tiroid manfaatnya lebih kurang seperti pada pemeriksaan BMR. Beberapa hal yang khusus berkenaan dengan kelainan T3 dan T4 tidak akan disinggung dalam makalah ini.
c. Pemeriksaan antibodi untuk penyakit-penyakit autoimun. Di bagian bedah belum pernah dikerjakan.
d. Pemeriksaan patologik pada bahan berasal dari biopsi jarum. Hal ini sudah dikerjakan di Bagian Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia / Rumah Sakit Ciptomangunkusumo; Bagian Bedah Tidak mengerjakan hal ini.
e. Pemeriksaan kadar TSH
Sintesis TSH dihipnotis dan sekresinya ke sirkulasi perifer berada di bawah kontrol positif hipotalamus-hipofisis intak, kadar TSH serum secara langusng menggambarkan kerja hormon tiroid pada sel-sel tirotrop hipofisis. Dengan asumsi kerja hormon tiroid pada sel-sel tirotrop sama dengan kerjanya pada sel-sel organ-organ lain, maka sebenarnya kadar TSH akan juga menggambarkan status tiroid secara keseluruhan. Selanjutnya bila terjadi kenaikan atau penurunan kadar hormon tiroid (terutama T4 bebas) sedikit saja, akan terjadi penglepasan TSH yang berbanding terbalik sekitar 10 kali. Fakta ini memperkuat pendapat bahwa TSH tidak selalu tepat menggambarkan status tiroid sesaat. Misalnya setelah pengobatan hipertiroidisme atau hipotiroidisme dan terjadi perubahan mendadak kadar hormon tiroid, maka diperlukan waktu berminggu-minggu agar keseimbangan T4 bebas dan TSH pulih kembali.(5)
Pada pemeriksaan di atas tidak mutlak harus dikerjakan; pemeriksaan dapat dipilih menurut kepentingannya dengan melihat keadaan klinik. (3)
Bila kelainan tonjolan tiroid ini bukan disebabkan neoplasma dapat diberi pengobatan sesuai dengan kausanya :
- Tiroiditis subakut/kronik, dapat diberikan kortikosteroid dan pemberian hormon tiroid.(4)
- Defisiensi Jodium :
Pemberian hormon tiroid. Pemberian jodium dianjurkan untuk terapi massal saja.
- Gangguan pembentukan hormon; pemberian hormon tiroid
Pemberian hormon tiroid biasanya dimulai dengan dosis kecil di pasaran tersedia tablet preparat tiroid kering; (100 mg) 3 x 12,5 mg, kemduain dinaikkan tiap minggu. Karena ada efek kumulatif, begitu mulai toksik, diturunkan lagi dengan maksud memberikan supresi optimal.
Pembedahan pada tonjolan tunggal tiroid
Bila tonjolan tunggal tiroid sudah diputuskan, dilakukan pembedahan yang pada prinsipnya melakukan pembuangan jaringan tiroid sesedikit-sedikitnya pada kelainan non neoplasma, dan secukupnya pada kelainan neoplasma. Untuk melaksanakan hal ini perlu dibantu dengan pemeriksaan potong beku, meskipun hal ini selalu tidak selalu dapat dilakukan karena kesulitan tehnik ataupun kesukaran diagnostik.
Secara haris besar dilakukan hal sebagai berikut :
Dilakukan lobektomi, subtotal paad tonjolan bersangkutan dan jaringan diperiksa dengan cara potong beku (frozen section). Bila hasilnya kelainan non neoplasma, luka operasi ditutup.
Kalau hasil pemeriksan potong beku suatu neoplasma jinak, minimal dilakukan lobektomi tiroid atau istmolobektomi. Bila hasil potong beku suatu karsinoma anaplastik dilakukan tiroidektomi total. Kelenjar getah bening leher yang menunjukkan metastasis karsinoma tiroid memerlukan diseksi leher untuk membersihkan leher dari metastasis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R. Jong WD. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. p. 925-952. EGC. Jakarta.

2. Moelianto, RD. 1987. Kelenjar Thyroid; Embriologi, Anatomi dan Faalnya, Ilmu Penyakit Dalam. p. 436-440. FK UI. Jakarta.

3. Nasan, IM. 1982. Tonjolan di Leher Ditinjau dari Segi Patologi Anatomik, Tumor Kepala dan Leher; Diagnosis dan Terapi. p. 7. FK UI. Jakarta.

4. Simandjuntak, T. Agusni., 1982. Pembedahan pada Tonjolan Tunggal Thyroid, Tumor Kepala dan Leher; Diagnosis dan Terapi. p. 123-129. FK UI. Jakarta.

5. Johan S. Masjhur. 1996. Uji Diagnostik Dalam Pengelolaan Kelainan Kelenjar Tiroid, Ilmu Penyakit Dalam. p. 737. FK UI. Jakarta.


Penanganan Peritonitis

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan, infeksi, obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. 1,2

Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. 3,4
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-kecilan. Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. 5
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 2

II.1. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut. 6,7
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis. 8
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri. 9
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. 9
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. 8
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum). 10,11

II.2. ANATOMI
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. 12
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium. 13
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu: 13
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium vebtrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkembangan dan pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus. 13
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jirat-jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar bagian usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal) berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale. 13
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei.. dengan demikian: 13
• Duodenum terletak retroperitoneal;
• Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium;
• Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
• Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon transversum;
• Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;
• Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium.
Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior.13
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum. 13
Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae. 13
Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus. 13

II.3. ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen. 6

II.4. PATOFISOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. 4
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 8
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. 14
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. 8
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 4

5. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 3, 5, 8,15
a. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Streptococus atau Pneumococus. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.

c. Peritonitis non bakterial akut
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
d. Peritonitis bakterial kronik (tuberkulosa)
Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru, intestinal atau tractus urinarius.

e. Peritonitis non bakterial kronik (granulomatosa)
Peritoneum dapat bereaksi terhadap penyebab tertentu melaluii pembentukkan granuloma, dan sering menimbulkan adhesi padat. Peritonitis granulomatosa kronik dapat terjadi karena talk (magnesium silicate) atau tepung yang terdapat disarung tangan dokter. Menyeka sarung tangan sebelum insisi, akan mengurangi masalah ini.

MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. 4
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. 4
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya. 4,11
DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
a. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial. 4, 5
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah. 5
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat. 5

c. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. 5
III.2. GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : (rasad)
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal. 7,15

7. TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. 4,16
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi. 8,17
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. 8,17
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. 17
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. 3,5
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi. 3,5
8. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll. 9

9. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : (chushieri)
a. Komplikasi dini
• Septikemia dan syok septik
• Syok hipovolemik
• Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem
• Abses residual intraperitoneal
• Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
• Adhesi
• Obstruksi intestinal rekuren


10. PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen. 4

DAFTAR PUSTAKA


1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
2. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
3. Way. L. W., 1998, Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment, 7th Ed., Maruzen, USA.

4. Wilson. L. M., Lester. L .B., 1995, Usus kecil dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
5. Schrock. T. R., 2000, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.

6. Kumpulan catatan kuliah, 1997, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yogyakarta.
7. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.
8. Schwartz. S. J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C., 2000, Peritonitis dan Abces Intraabdomen dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Ed.6, alih bahasa dr. Laniyati, EGC, Jakarta.

9. Dahlan. M., Jusi. D., Sjamsuhidajat. R., 2000, Gawat Abdomen dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
10. Putz.R., Pabst.R., 1997, Sobotta, Atlas Anatomi Manusia, EGC, Jakarta
11. Hoyt. D. B., Mackersie. R. C., 1988, Abdominal Injuries in Essential Surgical Practice, 2nd Ed, John Wright, Bristol.
12. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 696, EGC, Jakarta.
13. Anonim, 2002, Abdomen, Bagian Anatomi FK UGM, Yogyakarta
14. Darmawan. M., 1995, Peritonitis dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, FKUI, Jakarta


Invaginasi

Invaginasi merupakan suatu keadaan dimana bagian usus masuk ke bagian usus (www. Pediatric .com, 2003).
Invaginasi merupakan suatu kegawat daruratan medis. Jika tidak diatasi secepatnya. Bisa menyebabkan komplikasi yang berat seperti infeksi bahkan kematian (familydoctor.org, 1999)
Kebanyakan pasien bisa pulih jika dirawat sebelum 24 jam. Kematian dengan terapi sekitar 1-3 %. Jika tanpa terapi, 2-5 hari akan berakibat fatal (emedicine.com.inc, 2003).
Keluarga khususnya orang tua. Selaku pihak pertama yang mengetahui adanya kelainan pada anak dan tim medis serta paramedis, sebaiknya mengetahui lebih banyak tentang invaginasi dan gejala-gejala yang tampak, serta apa saja yang menyebabkan invaginasi. Sehingga baik orang tua maupun tim medis, paramedis, dapat menentukan tindakan yang harus diambil secara cepat dan tepat. Pengambilan tindakan yang cepat dan tepat dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan terapi dan mengurangi kemungkinan komplikasi dan efek fatal yang lain.


II.1. Definisi
Intususepsi atau invaginasi adalah suatu keadaan masuknya segmen usus ke segmen bagian distalnya yang umumnya akan berakhir dengan obstruksi usus strangulasi (Mansjoer. R. 2000)
Saat invaginasi terjadi, akan terbentuk obstruksi pada usus besar dimana dinding usus akan menekan bagian lainnya (kidshealth. org, 2001)

II.2. Insidensi
Intutusepsi kebanyakan terjadi pada bayi, dengan mayoritas kasus terjadi pada anak antara 5 bulan sampai 1 tahun.
Intususepsi terjadi pada 1-4 bayi dari 1000 bayi kelahiran hidup.
Intususepsi juga menyebabkan kegawat daruratan pada abdomen, kebanyakan terjadi pada anak usia dibawah 2 tahun. (kidshealth. org, 2001).
Intususepsi lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Mansjoer. R. 2000). Angka kejadian pada anak laki-laki 3 kali lebih besar bila dibandingkan anak perempuan (kidshealth. org, 2001). Seiring dengan pertambahan umur, perbedaan kelamin menjadi bermakna. Pada anak usia lebih dari 4 tahun, rasio insidensi anak laki-laki dengan anak perempuan adalah 8 : 1. (emedicine, 2001)

II.3. Etiologi
Penyebab pasti intususepsi belum diketahui. Ini mungkin berhubungan dengan infeksi pada anak, pengaruh dari pweubahan diet, pemberian makanan padat (www.gosh, 2002)
Infeksi virus pada anak-anak menyebebkan pembesaran kelenjar cerna, yang pada akhirnya menyebabkan intususepsi (www.pediatrik.com, 2003). Inveksi virus bisa menimbulkan perlawanan jaringan limphe terhadap infeksi sehingga mukosa usus tidak rata. Ini membuka peluang usus untuk memasuki bagian usus itu sendiri selama proses mencerna. (kidshealth.org, 2001).
Pemberian makanan selain susu ketika umur kurang dari 4 bulan akan berakibat buruk terhadap bayi, karena sistem pencernaan bayi pada usia ini belum tumbuh kembang sempurna. Pemberian makanan pada usia itu berpeluang terjadinya invaginasi usus halus. (groups.yahoo.com, 2003).
Pada bayi lebih dari 3 tahun, bisa disebabkan faktor mekanik, seperti :
- Meckel diverticulum
- Polip pada untestinum
- Lymposarcoma intestinum
- Trauma tumpul pada abdominal dengan hematom
- Hemangioma (emedicine.com, 2003).
Baru-baru ini diduga ada hubungan antara rotavirus dan intususepsi, walaupun laporan kasus terjadinya intususepsi selama bayi difaksin sangat kecil. (emedicine.com, 2003).
Rotavirus merupakan penyebab gastroenteritis berat pada bayi dan anak usia di bawah 5 tahun di USA. Selama 1 September 1998 sampai 7 Juli 1999, dilaporkan ke VAERS (Vaccine Adverse Event Reporting System) 15 kasus intususepsi pada bayi yang menerima vaksin Rotavirus.
Pada studi Prelisensi, 5 kasus intususepsi terjadi pada 10.054 penerima vaksin dan 1 kasus pada 4.633 kontrol. Secara statistik perbedaannya tidak signifikan. 3 dari 5 kasus pada anak dengan vaksinasi terjadi selama 6-7 hari setelah divaksinasi Rotavirus (www.cdc.gov, 1999)

II.4. Gejala Klinis
Gejala yang tampak adalah nyeri perut yang hebat, mendadak dan hilang timbul dalam waktu beberapa detik hingga menit dengan interval waktu 5-15 menit. Diluar serangan, anak tampak sehat. (www.pediatrik.com, 2003). Bayi dengan intususepsi akan mengalami nyeri abdomen yang sangat mendadak sehingga mereka menangis dengan sangat kesakitan dan keras. Bayi tersebut akan menarik lututnya ke dada. (kidshealth.org, 2001)
Anak sering muntah dan dalam feses sering ditemukan darah dan lendir. Secara bertahap anak akan pucat dan lemas, bisa menjadi dehidrasi, merasa demam, dan perut mengembung. (www.gosh, 2002).
Selain itu, ada gejala-gejala seperi anak menjadi cepat marah, nafas dangkal, mendengkur, konstipasi (kidshealth.org, 2001).

II.5. Diagnosis
Anamnesa dengan keluarga dapat diketahui gejala-gejala yang timbul dari riwayat pasien sebelum timbulnya gejala, misalnya sebelum sakit, anak ada riwayat dipijat, diberi makanan padat padahal umur anak dibawah 4 bulan. (kidshealth.org, 2001).
Pemeriksaan fisik, pada palipasi diperoleh abdomen yang mengencang, massa seperti sosis (kidshealth.org, 2001).
Pemeriksaan penunjang dilakukan X-ray abdomen untuk melihat obstruksi (kidshealth.org.2001).
Pemeriksaan ultrasound bisa melihat kondisi secara umum dengan menggunakan gelombang untuk melihat gambaran usus di layar monitor (www.gosh, 2002).

II.6. Penatalaksanaan
Pertama kali dibawa ke runak sakit, bayi kemungkinan mengalami dehidrasi dan memerlukan terapi cairan intravena secepatnya. NGT bisa digunakan pada bayi dengan perut yang kosong (www.gosh, 2002). Reduksi invaginasi dilakukan dengan barium enema yang menggunakan prinsip hidrostatik. Reduksi dengan barium enema hanya dilakukan bila tidak ada distensi yang hebat, tanda peritonitis, dan demam tinggi. Akan tampak gambaran cupping dan coiled spring yang menghilang bersamaan dengan terisinya ileum oleh barium. Reduksi dengan barium enema dikatakan berhasil bila barium cukup jauh mengisi ileum atau tampak jendela kolon. (Mansjoer. R, 2000).
Selain barium enema, terdapat metode udara enema, cara kerja kedua metode ini sama. (kidshealth,org, 2001)
Jika metode ini berhasil, bayi sudah bisa minum dan bisa pulang dalam beberapa hari (www.gosh, 2002).
Jika metode ini tidak berhasil perlu dilakukan operasi (www.gosh, 2001). Invaginasi cenderung menyumbat usus dan menghentikan aliran darah ke usus, sehingga perlu dilakukan pembedahan darurat (www.medicastore.com, 2003)
Kebanyakan anak yang dirawat sebelum dari 24 jam sembuh dari intususepsi tanpa komplikasi (kidshealth.org, 2001)
Dalam 48 jam setelah operasi anak akan dimonitor, anak akan menggunakan mesinuntuk memonitor temperatur, denyut jantung dan respirasi.
Setidaknya selama 48 jam pertama, anak tidak bisa makan atau minum agar ususnya istirahat. Anak akan mendapatkan terapi cairan untuk mencegah dehidrasi.
Anak juga akan mendapat NGT untuk mengambil cairan di dalam perut. Saat cairan dari NGT bersih dan jumlah cairan berkurang, anak bisa mulai makan sesuatu (www.gosh, 2002).

II.7. Komplikasi
Jika invaginasi terlambat atau tidak diterapi, bisa timbul beberapa komplikasi berat, seperti kematian jaringan usus, perforasi usus, infeksi dan kematian (kidshealth.org, 2001).

II.8. Diagnosis
Invaginasi dengan terapi sedini mungkin memiliki prognosis yang baik. Terdapat resiko untuk kambuh lagi (familidoctor.org, 2003)

II.9. Differensial Diagnosis
- Trauma Abdomen
- Appendisitis Akut
- Hernia
- Gastroenteritis
- Torsi testis
- Perlengketan jaringan
- Volvulus
- Meckel diverticulum
- Perdarahan G 1
- Proses-proses yang menumbuhkan nyeri abdomen (emedicine.com, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

(1) Anonim, 2003, Intutusepsi,
 http : // www.pediatrik.com / kanal tips / intususepsi.htm.
(2) American Academy Of Family Physician, 1999,
 http : // familydoctor.org / III-xml.
(3) –
 http : // www.emidicine.com
(4) Mansjoer.R, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Ed. III,
Cet 2, Media Aesculapius, Jakarta.
(5) –
 http : // kidshealth.org / parent / system / surgical / intususception.
(6) –
 http : www.gosh.nhs.uk / med / index.html
(7) –
 http : // groups.yahoo.com / group / halal-baik.enak / message
(8) –
 http : // www.cdc.gov / epo / mmwr / preview / mnwrhtml / mm 4827 al.htm.


Jumat, 13 Juni 2008

Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Mioma

Dari : Ifah
Email : if_be1@yahoo.co.id
Komentar : plis dunk up load gambaran makroskopis n mikroskopis mioma !

Inilah jawabannya ....

Gambaran makroskopis
Mioma uteri umumnya multipel, terpisah, bentuknya bisa spheris atau tidak teratur. Pseudokapsulnya umumnya berbatas jelas dengan jaringan myometrium yang disekitarnya. Mioma dapat dengan mudah dienukleasi dari jaringan miometrium disekitarnya. Pada pemeriksaan kasar potongan transversal, mioma buff-colored (warnanya seperti kulit kerbau), bulat, lembut dan biasanya berbatas tegas. Warnanya lebih muda daripada myometrium.
Inilah gambarnya secara makroskopis



Gambaran mikroskopis
Serabut-serabut otot polos menjadi bundel-bundel dalam berbagai ukuran dan arah (bentuk whorled). Sel-selnya berbentuk spindel, memiliki nukleus elongasi dan dalam ukuran yang seragam. Jumlah jaringan ikatnya bervariasi dan bercampur dengan bundel otot smooth. Mioma berbatas tegas dari jaringan sekitarnya dari otot-otot yang normal oleh pseudokapsul dari jaringan areolar dan mymetrium yang tertekan dan arteri kecil yang menyuplai tumor sedikit berliku-liku dibandingkan dengan arteri adjencent radial. Arteri menembus mioma secara acak pada permukaan dan berorientasi pada arah bundel otot sehingga membentuk pola yang tidak teratur. Satu atau dua pembuluh darah besar dapat ditemukan pada dasar atau pedikel. Pola vena tampak lebih jarang, tetapi kemungkinan artifaktual sebagai sulitnya menghitung sirkulasi vena pada kondisi artificial.

Sabtu, 07 Juni 2008

Batuk

Batuk mempengaruhi interaksi personal dan sosial, mengganggu tidur dan sering menyebabkan ketidak nyamanan pada tenggorakan dan dinding dada. Sebagian besar orang mencari pertolongan medis untuk batuk akur supaya mereda, sementara itu ada orang yang takur batuknya menjadi penyakit yang serius. Batuk terjadi sebagai akibat stimulasi mekanik atau kimia pada nervus afferent pada percabangan bronkus. Batuk efektif tergantung pada intaknya busur refleks afferent-efferent, ekspirasi yang adekuat dan kekuatan dinding otot dada dan normalnya produksi dan bersihan mukosiliar

Point penting
Umur
Durasi batuk
Dyspneu (saat istirahat atau aktivitas)
Gejala konstitusional
Riwayat merokok
Tanda vital (denyut jantung, respirasi, temperatur tubuh)
Pemeriksaan thorax
Radiologi thorax saat batuk yang tidak bisa dijelaskan terjadi lebih dari 3-6 minggu

Temuan Klinis
Gejala
Membedakan batuk akut (< 3 minggu) dan persisten (> 3 minggu) merupakah langkah awal dalam mengevaluasi. Pada individu dewasa yang sehat, sebagaian besar sindrom batuk diakibatkan oleh infeksi saluran respirasi oleh virus. Batuk post infeksi yang berlangsung 3 – 8 minggu di sebut sebagai batuk sub akut untuk membaedakan dari batuk akut dan kronik. Gejala klinik tambahan seperti demam, kongesti nasal dan radang tenggorokan dapat membantu dalam mendiagnosis. Dyspneu ( saat istirahat atau aktivitas) mencerminkan kondisi yang serius dan memerlukan evaluasi lebih lanjut termasuk penilaian oksigenasi (pulse oksimetri atau pengukuran gas darah arteri), aliran udara (peak flow atau spirometri) dan pneyakit parenkim paru ( radiologi thorax). Waktu dan karakter batuk tidak bermanfaat untuk menentukan penyebab batuk akut ataupun persisten, meskipun varian batuk asma sebaiknya dipertimbangkan pada orang dewasa dengan batuk nokturna prominent.
Penyebab tidak umum batuk akut dicurigai pada orang dengan penyakit jantung (gagal jantung kongestif) atau hay fever (rhinitis alergi) dan orang dengan faktor resiko lingkungan (misalnya petani).
Batuk yang disebabkan oleh infeksi saluran respirasi akut membaik dalam 3 minggu pada 90% pasien. Infeksi pertusis dicurigai pada orang dewasa yang sebelumnya di imunisasi dengan batuk persisten atau berat sekitar 2 – 3 minggu.
Saat tidak ditemukan terapi dengan obat ACE inhibitor, infeksi saluran respirasi akut dan radiologi thorax abnormal, sampai 90% kasus batuk persisten disebabkan oleh postnasal drip, asma atau gastroesophageal reflux disease (GERD). Riwayat kongesti nasal atau sinus, wheezing atau rasa terbakar pada jantung (heartburn) sebaiknya cepat dievaluasi dan terapi. Kondisi tersebut sering menyebabkan batuk persisten pada keadaan batuk tanpa gejala lain yang terlihat. Karsinoma bronkogenik dicurigai saat batuk disertai penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, demam dengan keringat malam terutama pada orang dengan riwayat merokok dan terpapar. Batuk persisten yang disertai sekresi mukus yang banyak dicurigai bronkitis kronik pada perokok atau bronkiektasis pada pasien dengan riwayat pneumonia rekurent atau terjadi komplikasi, radiologi thorax dapat membantu. Dyspneu pada istirahat atau aktifitas umumnya tidak terdapat pada pasien dengan batuk persisten. Dyspneu memerlukan penilaian lebih lanjut terhadap bukti lebih lanjut penyakit paru kronik atau gagal jantung kongestif.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat secara langsung sebagai alatg diagnostik untuk batuk akut dan persisten. Pneumonia dicurigai saat batuk akut disertai dengan tanda vital yang abnormal (takikardi, takipneu, demam) atau ditemukan konsolidasi ruang udara (ronki, penurunan suara nafas, fremitus, egophny). Meskipun sputum yang purulen berhubungan dengan infeksi bakteri pada pasien penyakit paru (misalnya Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), cystik fibrosis), pada pneumonia merupakan prediktor yang jelak pada pasien dewasa sehat. Terapi antibiotika pada orang dewasa dengan sputum yang purulen tidak menunjukan manfaat. Wheezing dan ronki sering ditemukan pada orang dewasa dengan bronkitis akut dan pada sebagian besar kasus tidak mencerminkan asma yang beronset pada dewasa.
Pemeriksaan fisik pada orang dewasa dengan batuk persisten kemungkinan dapat menunjukan bukti sinusitis kronik, syndrom post nasal drip atau asma. Tanda dada dan jantung dapat membedakan PPOK dan GJK (Gagal Jantung Kongestif). Pada pasien batuk yang disertai dyspneu, test match normal (mampu membedakan match 25 cm jauhnya) dan tinggi laringeal maksimum 4 cm (diukur dari sternal notch ke kartilago cricoid pada akhir ekspirasi) menurunkan kemungkinan PPOK. Sama juga, tekanan vena jugularis dan reflux hepatojugular negatif menurunkan kemungkinan GJK biventrikular.

Diagnosis Banding
Batuk akut
Batuk akut dapat merupakan tanda infeksi saluran respirasi akut, asma, rhinitis alergi dan gagal jantung kongestif.

Batuk persisten
Penyebab batuk persisten termasuk infeksi pertusis, syndrom post nasal drip (atau sundrom batuk jalan nafas atas), asma (termasuk batuk varian asma), GERD, bronkitis kronik, bronkiektasis, tuberkulosis atau infeksi kronik lainnya, penyakit paru interstitial dan karsinoma bronkogenik. Batuk persisten dapat juga psikogenik.

Pemeriksaan Diagnostik
Batuk akut
Radiolograpi thorax dipertimbangkan pada orang dewasa dengan batuk yang akut yang menunjukan tanda vital yang abnormal atau pada pemeriksaan thorax curiga pneumonia.

Batuk persisten
Radiography thorax indiksai jika telah disingkirkan kemungkinan pasien menjalani terapi dengan ACE inhibitor dan batuk post infeksi dengan anamnesis. Pemeriksaan terhadap infeksi pertusis dilakukan dengan menggunakan polymerase chain reaction pada swab nasopharingeal atau spesimen hidung. Saat radiologinya normal, pertimbangkan kemungkinan postnasal drip, asma dan GERD.Terdapatnya gejala-gejala umum tersebut sebaiknya dievaluasi lebih lanjut atau diberikan terapi empirik.
Akan tetapi, terapi empirik direkomendasikan untuk postnasal drip, asma atau GERD selama 2-4 minggu meskipun penyakit-penyakit tersebut yang bukan menyebabkan batuknya.Sekitar 25% kasus batuk persisten disebabkan berbagai macam penyebab. Spirometri dapat membatu obstruksi saluran nafas pada pasien dengan batuk persisten dan wheezing dan yang tidak respon terhadap pengobatan asma. Ketika terapi empirik untuk sindrom postnasal drip, asma dan GERD tidak membantu, evaluasi lebih lanjut diperlukan melalui pH manometri, endoskopi, barium swallow, CT scan sinus atau thorax.

Terapi
Batuk Akut
Dalam memberikan terapi batuk akut sebaiknya berdasarkan penyebab penyakitnya, batuknya sendiri dan faktor-faktor tambahan yang membuat batuk kambuh. Ketika diagnosa influenza ditegakkan, terapi dengan amantadine, rimantadine, oseltamivir atau zanamivir efektif ( 1 hari atau kurang) ketikda dimulai 30-48 jam dari onset penyakit. Pada infeksi Chlamydia atau Mycoplasma, antibiotik seperti ertiromisin, 250 mg oral 4 kali sehari selama 7 hari atau doksisiklin 100 mg oral 2 kali sehari selama 7 hari. Pada pasien dengan bronkitis akut, terapi dengan inhalasi beta 2 -agonis dapat mengurangi keparahan dan durasi batuk pada beberapa pasien. Bukti menunjukan pemberian dextromethorphan bermanfaat dalam meringankan batuk pada orang dewasa dengan infeksi saluran respirasi akut. Terapi postnasal drip (dengan antihistamin, dekongestan, atau kortikosteroid nasal) atau GERD (dengan H2 blocker atau proton-pump inhibittor) yang disertai dengan batuk akut dapat menolong. Terdapat bukti bahwa vitamin C dan echinacea tidak efektif dalam mengurangi keparahan batuk akut, tetapi terdapat bukti juga bahwa vitamin C (sedikitnya 1 gram sehari) bermanfaat dalam mencegah flu pada orang dengan stress fisik (misal: setelah marathon) atau malnutrisi.
Batuk Persisten
Saat dicurigai infeksi pertusis, terapi dengan antibiotika makrolid tepat untuk mengurangi penyebaran dan transmisi organisme. Jika infeksi pertusis berlangsung 7-10 hari, terapi antibiotika tidak mengurangi durasi batuk yang dapat berlangsung selama 6 bulan. Tidak ada bukti yang merekomendasikan berapa lama terapi batuk persisten dilanjutkan untuk postnasal drip, asma atau GERD. Gejala yang kambuh lagi memerlukan evaluasi lebih lanjut. Pasien dengan batuk persisten tanpa sebab yang jelas dikonsultasikan dengan otolaryngologist; terapinya dengan lidokain nebulasi.

DAFTAR PUSTAKA
Call SA et al. Does this patient have influenza? JAMA. 2005 Feb 23;293(8):987–97. [PMID: 15728170]

Haque RA et al. Chronic idiopathic cough: a discrete clinical entity? Chest. 2005 May;127(5):1710–3. [PMID: 15888850]

Hewlett EL et al. Clinical practice. Pertussis—not just for kids. N Engl J Med. 2005 Mar 24;352(12):1215–22. [PMID: 15788498]

Lin DA et al. Asthma or not? The value of flow volume loops in evaluating airflow obstruction. Allergy Asthma Proc. 2003 Mar–Apr;24(2):107–10. [PMID: 12776443]

Metlay JP et al. Testing strategies in the initial management of patients with community-acquired pneumonia. Ann Intern Med. 2003 Jan 21;138(2):109–18. [PMID: 12529093]

Pratter MR et al. An empiric integrative approach to the management of cough: ACCP evidence-based clinical practice guidelines. Chest. 2006 Jan;129(1 Suppl):222S–231S. [PMID: 16428715]

Schroeder K et al. Over-the-counter medications for acute cough in children and adults in ambulatory settings. Cochrane Database Syst Rev. 2004;(4):CD001831. [PMID: 15495019]

Wenzel RP et al. Acute bronchitis. N Engl J Med. 2006 Nov 16;355(20):2125–30. [PMID: 17108344]