Luka bakar derajat berat masih menjadi permasalahan utama di seluruh dunia. Adapun kabar baik dari data luka bakar secara keseluruhan, yaitu mayoritas kasus luka bakar adalah ringan dan dapat diobati dengan perawatan rawat jalan dan hanya sekitar 10% yang membutuhkan perawatan inap, dan hanya sejumlah kecil yang membutuhkan perawatan intensif di ICU (intensive care unit). Selain daripada itu, perkembangan perawatan luka juga telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam 3 dekade terakhir yang dapat menurunkan mortalitas.
Luka bakar mayor, yang mempengaruhi lebih dari 20% TBSA (total burn surface area), dengan atau tanpa gangguan pernapasan, merupakan kondisi yang spesific jika dibandingkan dengan kondisi di unit intensive care secara umum. Pasien penyakit kritis luka bakar memiliki gejala seperti stres oksidatif yang tinggi, respons inflamasi yang besar, hipermetabolik dan respons katabolik yang lama dan berkepanjangan, yang dimana tanda-tanda tersebut berkorelasi dengan tingkat keparahan dari luka bakar pasien tersebut.
Terapi nutrisi merupakan bagian dari terapi luka bakar, dimulai sejak dini dari permulaan resusitasi. The American Burn Association (ABA) telah mengeluarkan tatalaksana terapi pada pasien luka bakar, yang dimana termasuk di dalamnya tatalaksana terapi nutrisi.
Jalur pemberian nutrisi
Saluran gastrointestinal (GI) umumnya berisiko pada fase awal resusitasi luka bakar oleh karena stres mayor yang disebabkan oleh luka bakar tersebut dan juga terapi yang dilakukan untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu, syok hipovolemik dapat terjadi oleh karena kebocoran kapiler yang besar. Pemberian cairan kristaloid diberikan dalam waktu 24-48 jam pertama setelah kejadian untuk mempertahankan tekanan darah. Permeabilitas usus juga meningkat secara bermakna setelah kejadian jika dibandingkan dengan kondisi di ICU lainnya. Oleh karena itu pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah kejadian) dapat memberikan manfaat secara klinis dan biologis, seperti menurunkan kadar hormon stres dari respons hiperkatabolik yang dapat berdampak kepada peningkatan produksi immunoglobulin (Ig), penurunan stres ulcer, dan juga menurunkan risiko malnutrisi dan kekurangan energi (enegy deficit).
Pemberian nutrisi enteral bisa diberikan melalui PEG (percutaneous endoscopic gastrostomy). Untuk pemilihan formula nutrisi enteral, umumnya tidak berbeda dengan nutrisi enteral pada pasien penyakit kritis umum di ICU, yang dimana lebih dipilih formula yang bersifat polimerik, tinggi energi, dan tinggi nitrogen (protein). Kandungan serat (fiber) sangat diperlukan sejak awal karena pasien luka bayar mayor memiliki risiko terjadinya konstipasi oleh karena pergerakan cairan dan efek dari obat sedatif dosis tinggi, dan juga opioid yang digunakan sebagai analgesia.
Nutrisi parenteral (PN) digunakan sebagai alternatif dan diindikasikan ketika nutrisi enteral gagal atau dikontraindikasikan. PN memerlukan pemantauan kadar glukosa yang lebih ketat dan juga kebutuhan kalori pasien untuk mencegah overfeeding.
Kebutuhan energi
Pasien dengan luka bakar derajat berat akan menimbulkan respons hipermetabolik yang panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari luka bakar tersebut, yang dimana respons hipermetabolik ini disebabkan oleh respons stres endokrin dan respons inflamasi (mediator multipel). Kebutuhan energi pascaluka bakar mayor meningkat secara bermakna jika dibandingkan dengan kebutuhan energi basal/dasar (REE – resting enegy expenditure), akan tetapi peningkatan terjadi berdampak terhadap waktu (peningkatan secara perlahan) dan juga proposional dengan TBSA.
Pada tahun 70an, dimana pengetahuan dasar tentang burn care baru saja dibuat, kondisi kehilangan berat badan pada pasien luka bakar mayor menyebabkan pemberian kalori 5000 kkal/hari adalah normal sehingga menyebabkan kejadian overfeeding yang sangat berlebihan. Beberapa penelitian menyebutkan peningkatan REE yang bermakna umumnya terjadi pada 1 minggu pertama pascakejadian, kemudian secara perlahan akan menurun.
Perhitungan nutrisi pada pasien ICU secara umum berdasarkan berat badan dengan formula 25-30 kkal/kgbb/hari menyebabkan underfeeding pada pasien luka bakar mayor. Perhitungan dengan penambahan stres faktor berdasarkan formula Harris & Benedict sering kali salah dan tidak tepat, sehingga menyebabkan overfeeding. Overfeeding dapat menimbulkan morbiditas seperti infiltrasi perlemakan hati dan peningkatan risiko infeksi. Oleh karena itu, indirect calorimetry merupakan gold standard untuk menentukan kebutuhan energi pada pasien , baik dewasa dan anak, luka bakar.
Pasien dengan luka bakar mayor memiliki sensitivitas yang lebih terhadap overfeeding jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kritis lainnya. Oleh karena itu penggunaan larutan dextrose 5% pada minggu pertama untuk mengkoreksi hipernatremi dan/atau agen sedasi propofol larut lemak perlu dimasukkan ke dalam perhitungan total energi yang digolongkan sebagai sumber karbohidrat dan lemak dari sumber non-nutritional.
Protein dan asam amino spesifik
Kebutuhan protein umum pada pasien dengan luka bakar mayor berkisar antara 1,5-2 g/kgbb/hari. Asupan protein >2,2 g/kgbb/hari tidak memiliki efek yang menguntungkan terhadap sintesis protein total. Asupan protein 3 g/kgbb/hari yang pernah dilaporkan pada anak tidak memiliki keuntungan yang bermakna.
Glutamine merupakan jenis asam amino yang menjadi berguna pada kasus pasien dengan luka bakar karena merupakan substrat yang dipilih oleh limfosit dan enterosit. Terdapat beberapa studi kecil yang sudah menunjukkan manfaat dari penggunaan glutamine pada pasien dengan luka bakar, akan tetapi jalur pemberian, durasi pemberian, dan dosis yang tepat masih sangat beragam dan belum dapat ditentukan dengan jelas. Sebuah penelitian besar yang pada saat ini sedang berjalan di Amerika seharusnya sudah dapat memberikan hasil yang lebih baik. Pada saat ini, dosis glutamine yang direkomendasikan adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10. Pada sebuah studi, pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada pasien anak dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.
Ornithine alpha-ketoglutarate merupakan prekursor dari glutamine, sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif, akan tetapi pada saat ini hanya tersedia di Perancis dalam bentuk sediaan enteral. Pemberian pada fase akut menunjukkan dapat mempercepat penyembuhan luka. Pemberian dengan dosis 30 g per hari yang dibagi menjadi 2-3 pemberian dibuktikan efisien untuk memperbaiki keseimbangan nitrogen. Pada saat ini belum ditemukan penelitian yang merekomendasikan suplementasi arginine pada pasien dengan luka bakar.
Karbohidrat dan kontrol glikemik
Penelitian terkait kebutuhan karbohidrat pada pasien dengan luka bakar mayor sampai saat ini masih sangat terbatas. Beberapa penelitian yang memiliki tingkat kepercayaan yang cukup baik memberikan rekomendasi pemberian karbohidrat sebesar 55-60% dari total kebutuhan energi tanpa melebihi 5 mg/kgbb/menit baik pasien dewasa atau pun pasien anak, atau sama dengan 7 g/kgbb/hari pada pasien dewasa.
Terkait kontrol glikemik dan terapi insulin intensif, perlu diperhatikan pada pasien dengan luka bakar mayor karena pemberian terapi insulin intensif memiliki risiko terjadinya hipoglikemi yang dimana sepertinya kejadian hipoglikemi ini meningkat pada pasien dengan luka bakar mayor. Peningkatan hipoglikemi pada pasien dengan luka bakar mayor disebabkan oleh peningkatan REE pasien dan juga asupan nutrisi yang tidak teratur (diberikan dengan durasi yang singkat dan tidak teratur) oleh karena pasien menjalani intervensi yang dilakukan dibawah anestesi, sehingga pemberian nutrisi enteral harus dihentikan.
Kontrol glikemik yang baik adalah mentargetkan berkisar 5-8 mmol/L dimana telah ditunjukkan memiliki manfaat secara klinis studi yang dilakukan pada pasien dengan luka bakar. Beberapa manfaat klinis yang ditunjukkan meliputi, penerimaan graft yang lebih baik, komplikasi infeksi yang lebih minimal, dan penurunan mortalitas. Rekomendasi khusus untuk kontrol glikemik pada pasien luka bakar belum ditentukan dengan jelas, oleh karena itu umumnya klinisi mengacu pada tatalaksana pasien ICU secara umum, yaitu menargetkan kadar glukosa 6-8 mmol/L (100-150 mg/dL).
Metformin yang dapat menurunkan kadar gula darah melalui beberapa mekanisme dapat digunakan sebagai alternatif dari insulin, akan tetapi risiko asidosis laktat perlu diperhitungkan. Selain daripada itu, penggunaan Exenatide, golongan obat incretin baru yang menghibisi sekresi glukagon, dapat menurunkan kebutuhan insulin eksogen seperti yang ditunjukkan pada studi awal pada pasien anak dengan luka bakar.
Lemak
Jumlah lemak yang sedikit diperlukan untuk mencegah terjadinya defisiensi asam lemak esensial, akan tetapi hanya beberapa studi yang tersedia yang menunjukkan kebutuhan lemak pada pasien luka bakar. Dari 2 studi yang tersedia ditunjukkan pemberian lemak mencapai 35% dari total kebutuhan energi memiliki dampak negatif terhadap lama rawat di RS (LOS – length of hospital stay) dan risiko infeksi jika dibandingkan dengan hanya 15% dari total kebutuhan. Dengan sediaan komersial saat ini yang memiliki kandungan lemak berkisar 30-52% dari total kebutuhan energi, pembatasan asupan lemak ini membutuhan prosedur compounding di rumah sakit. Selain daripada itu, perlu juga dimasukkan dalam perhitungan untuk asupan lemak yang berasal dari sumber non-nutritional seperti agen sedatif larut lemak propofol yang dapat berkontribusi mencapai 15-30 g/hari pada pasien dewasa. Kebutuhan akan omega-3, mono- dan polyunsaturated fatty acid masih dalam dalam penelitian yang sedang berjalan.
Kebutuhan mikronutrien
Pasien dengan luka bakar mayor memiliki kebutuhan mikronutrien yang meningkat, seperti trace element dan vitamin, oleh karena respons hipermetabolik, kebutuhan untuk penyembuhan luka dan kehilangan melalui membran kulit, khususnya pada pasien luka bakar dengan luka terbuka (open wound). Stres oksidatif yang sangat tinggi, bersamaan dengan respons inflamasi menghasilkan peningkatan kebutuhan aktivitas dari antioksidan endogen yang sangat bergantung terhadap kandungn mikronutrien di dalam tubuh. Kebutuhan dari mikronutrien yang tidak terpenuhi akan menunjukkan gejala klinis, khususnya pada bulan pertama seperti komplikasi infeksi dan juga penyembuhan luka yang terhambat.
Sediaan komersial dari nutrisi enteral atau multivitamin/trace element parenteral saat ini masih belum cukup untuk menutupi kebutuhan yang meningkat pada pasien dengan luka bakar mayor. Pengganti kehilangan dan peningkatan kebutuhan tidak bisa dipenuhi hanya dengan nutrisi enteral, oleh karena gangguan penyerapan dan juga kompetisi antara trace element.
Berdasarkan penelitian yang tersedia, dosis vitamin C dan E 1,5-3X dari AKG dapat meningkatkan penyembuhan luka pada pasien anak dan dewasa. Pada studi terbaru, pemberian dosis vitamin C tinggi (0,66 mg/kg/jam selama 24 jam) pada fase awal menunjukkan dapat menstabilkan endotel sehingga dapat menurunkan kebocoran kapiler dan kebutuhan cairan resusitasi sebesar 30%. Dosis vitamin D masih belum dapat ditentukan pada saat ini, akan tetapi dosis umum 400 IU/hari dari vitamin D2 tidak dapat memperbaiki densitas tulang.
Kandungan copper, selenium, dan zinc hilang dalam jumlah besar bersamaan dengan cairan eksudat, dan kehilangan dapat berlangsung lama jika luka belum tertutup. Durasi peningkatan kebutuhan trace element pengganti dibutuhkan sesuai dengan derajat dari luka bakar, seperti 7-8 hari untuk luka bakar 20-40% TBSA, 2 minggu untuk 40-60% TBSA, dan 30 hari untuk luka bakar >60% TBSA.
Pemberian trace element pengganti secara dini dikaitkan dengan penurunan peroksidasi lemak, perbaikan pertahanan antioksidan, perbaikan sistem imun, penurunan risiko komplikasi infeksi, percepatan penyembuhan luka, dan lama rawat ICU yang lebih singkat. Perlakuan yang sama juga dapat dilakukan pada pasien anak dengan memperhitungkan dosis trace element pengganti berdasarkan berat badan dan derajat keparahan luka bakar.
Kesimpulan: Pemberian nutrisi enteral dini, 12 jam pertama pascakejadian, merupakan bagian dari terapi resusistasi awal. Pemberian nutrisi yang spesifik dengan perhitungan kalori yang adekuat sangat diperlukan dari bagian tatalaksana luka bakar untuk memperbaiki outcome klinis dari pasien luka bakar mayor. (MAJ)
Referensi :
1.Rousseau AF, Losser MR, Ichai C, Berger MM. ESPEN endorsed recommendations: Nutritional therapy in major burns. Clin Nutr. 2013;32(4):497-502.
2.Singer P, Berger MM, Van den Berghe G, Biolo G, Calder P, Forbes A, et al. ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition: Intensive care. Clin Nutr. 2009;28(4):387-400.