Senin, 10 September 2007

Tramadol

Banyak obat-obat yang beredar di pasar Indonesia untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tersebut yang lazim kita sebut dengan analgesik. Obat analgesik beragam macamnya diantaranya obat analgesik narkotik (opioid) dan obat analgesik non narkotik (non-opioid). Obat analgesik narkotik contohnya morphin sedangkan contoh obat analgesik non-narkotik adalah parasetamol, aspirin, dan masih banyak yang lain. Dalam penggunaan obat analgesik narkotik harus mempertimbangkan banyak hal, karena obat analgesik narkotik memiliki banyak efek samping yang tidak diinginkan, misalnya depresi pernafasan, dan adiksi (ketagihan). Akan tetapi obat analgesik golongan narkotik memiliki kemampuan analgesik yang cukup kuat untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri derajat sedang keatas.


Dalam hal ini perkembangan dalam bidang farmasi terutama untuk mendapatkan obat analgesik yang ideal masih terus berlanjut, dikatakan ideal apabila mempunyai efek samping yang sedikit, dalam jumlah dosis yang sedikit mempunyai kemampuan analgesik yang cukup kuat, dan aman serta harganya murah.
Salah satu analgesik yang banyak beredar dan dipergunakan untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri derajat sedang keatas adalah tramadol. Tramadol merupakan obat analgesik yang bekerja secara sentral, bersifat agonis opioid (memiliki sifat seperti opium / morfin), dapat diberikan peroral ; parenteral ; intravena ; intramuskular, dalam beberapa penelitian menunjukkan efek samping yang ditimbulkan oleh karena pemberian tramadol secara bolus intravena diantaranya adalah mual, muntah, pusing, gatal, sesak nafas, mulut kering, dan berkeringat selain itu tramadol menunjukkan penggunaannya lebih aman bila dibandingkan dengan obat analgesik jenis morphin yang lain (1).
A. Obat Analgesik
Obat analgesik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Obat analgesik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi (sehingga mempengaruhi persepsi nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga nilai ambang nyeri naik) atau mengubah persepsi modalitas nyeri. Pada dasarnya obat analgesik dapat digolongkan kedalam analgetik golongan narkotik dan analgesik golongan non-narkotik. Narkotik adalah bahan atau zat yang punya efek mirip morfin yang menimbulkan efek narkosis (keadaan seperti tidur). Analgesik opiat adalah obat yang mempunyai efek analgesik kuat tetapi tidak menimbulkan efek narkosis dan addiksi sebagaimana morfin, maka nama analgesik narkotik kurang tepat. (2)
Analgesik opiat meliputi obat analgesik yang berasl dari opium, senyawa semisintetik mirip morfin, dan senyawa sintetik dengan efek mirip morfin.(3) Morfin diperoleh dari pemurnian opium (candu) yaitu getah kering yang diperoleh dari kulit buah muda tanaman Papaver somniferum. Selain morfin (9-17%), dari getah opium juga dapta diperoleh kodein (0,3-4%), tebain (0,2%), papaverin (1%), dan noskapin (2-8%). Morfin merupakan analgetika kuat yang bekerja secara sentral (diotak) dengan meninggikan nilai ambang nyeri, mempengaruhi emosi (sehingga dapat merubah respon pada nyeri) dan menimbulkan keadaan seperti tidur (sehingga tidak mudah terangsang nyeri).(2)
Morfin sangat efektif untuk nyeri tumpul dan kontinyu (visceral) atau nyeri lambat pada kerusakan jaringan. Morfin dan obat analgesik opiat lainnya mengaktivasi reseptor- (mu),  (kappa),  (sigma),  (delta),  (epsilon). Reseptor- bertanggung jawab atas timbulnya efek analgesik, euforia, dan depresi respirasi; reseptor- untuk efek analgesik, sedasi dan miosis; reseptor- untuk efek psikotomimetik, disforia, halusinogenik, stimulasi jantung, miosis, dan depresi respirasi. Efek apa saja yang dimediasi oleh reseptor  dan  sampai sekarang belum jelas, secara fisiologis reseptor itu diaktivasi oleh senyawa peptida yang salah satunya dikenal sebagai endorfin (endogenous morfin). (2)
Terhadap reseptor opiat, analgetika opiat dapat merupakan agonis penuh (morfin, kodein, hidrokodon, oksikodon, hidromorfon, oksimorfon, petidin, levorfanol dan metadon) atau agonis parsial (pentazosin dan butorfanol) atau antagonis (nalokson). Oleh karena selektivitas tiap obat analgesik opiat ini pada reseptor opiat tidak sama, maka efek yang timbul pada pemberiannya juga tidak sama antara satu obat dengan obat lainnya. Selain menimbulkan analgesia, efek morfin pada otak juga menimbulkan perasaan mengambang atau melayang, euforia dan sedasi, pada saluran cerna morfin mengurangi peristaltik, sekresi lambung, empedu dan pankreas berakibat konstipasi dan anoreksia, pada saluran kemih tonus otot sfingter kandung kemih meningkat sehingga berakibat sukar kencing, pada pembuluh darah kulit muka, leher dan dada bagian atas morfin menimbulkan vasodilatasi sehingga daerah itu terasa hangat. Pada dosis besar morfin menyebabkan miosis dan pada akhirnya pupil menjadi makin kecil (pin-point pupil), selain itu juga menyebabkan muntah, menekan batuk dan penafasan. Addiksi (ketagihan) dan toleransi (kepekaan tubuh menurun) pada morfin terjadi karena
 Telah timbul habituasi (perubahan psikis-emosional demikian rupa sehingga secara kejiwaan penderita tergantung pada obat ini)
 Telah terjadi ketergantungan fisik sebagai akibat dari perubahan fisiologis (faali) tubuh telah berubah sedemikian rupa sehingga tidak berfungsi normal jika tidak ada opiat didalam tubuh
 Telah terjadi toleransi sehingga untuk menimbulkan efek yang sama diperlukan dosis yang lebih tinggi
Ketiga hal ini yang mendorong seseorang untuk selalu menggunakan dan menjadi ketagihan (addict) pada obat ini. Jika seorang pecandu morfin tiba-tiba berhenti menggunakan obat ini, maka pada saat dimana seharusnya menerima morfin akan timbul gejala putus obat seperti merasa sakit, gelisah, dan iritabel, kemudian tertidur, sewaktu bangun penderita dapat sangat gelisah tremor, irritabel, mengeluh seolah mau mati, midriasis, demam, dan nafas cepat. Kadang-kadang gejala ini lebih hebat disertai muntah, kolik, dan diarea, denyut jantung dan tekanan darah naik, merasa panas atau dingin yang disertai hiperhidrosis. Keracunan obat analgetika opiat dapat terjadi pada penyalahgunaan atau kecanduan, kelebihan dosis pada terapi, atau kecelakaan salah minum. Kematian akibat keracunan dalam kaitannya dengan kecanduan tetap tinggi, terutama dikota-kota besar. (3)
Dalam kaitannya dengan kasus kecanduan dan ketergantungan pada morfin, nalokson merupakan antagonis kuat karena sangat efektif memblok reseptor opiat, dan pada dosis lebih dari 5 mg tidak mengakibatkan kematian. Gejala keracunan morfin yang menonjol adalah nafas menjadi lambat dan koma. Pada keracunan akut dosis toksis morfin, dan obat analgesik opiat menyebabkan kehilangan kesadaran, pupil sangat mengecil pin-point pupil (jika sudah terjadi anoksia maka terjadi dilatasi), nafas lambat dan dangkal, sianosis, nadi lemah, hipotensi, spasme saluran cerna, dapat juga timbul udema paru, spasme dan fasikulasi otot rangka. (3)
Kematian terjadi akibat kegagalan respirasi yang muncul dalam 2-4 jam sesudah penggunaan peroral atau subkutan dan beberapa menit pada penggunaan intravena., dapat juga timbul kejang. Pada keracunan kronis kadang masih ada pinpoint-pupil dan perubahan suasana hati dengan cepat, ketagihan terjadi terjadi sebagai akibat dari faktor psikis (ketakutan pada gejala putus obat yang tidak menyenangkan jika tidak menggunakan morfin lagi), sehingga terdorong untuk menggunakan lagi. Pada penghentian mendadak muncul gejala putus obat meliputi kekakuan rahang, lakrimasi, bulu tubuh meremang, gangguan pada saluran cerna (kram, muntah, diarea, konstipasi), berkeringat, menggigil, kecepatan respirasi naik, insomnia, tremor dan midriasis. (2)
Injeksi parenteral narkotik secara berkala untuk analgesik nyeri hebat telah digantikan, pada banyak jawatan dengan analgesia yang terkendali oleh pasien. Analgesia yang terkendali oleh pasien diberikan dengan infus intra vena yang terus menerus dengan larutan narkotik yang berkonsentrasi rendah (morfin dan meperidin) dengan pompa yang secara khusus dirancang untuk maksud itu, kalau analgesia tidak mencukupi pasien dapat memberikan sendiri secara berkala (misal setiap 10 sampai 15 menit) dosis kecil narkotik dari pompa infus analgesia yang terkendali oleh pasien. Dibandingkan dengan penggunaan injeksi narkotik berkala, analgesia yang terkendali oleh pasien memberikan analgesia yang lebih baik dengan tingkat depresi pernafasan lebih sedikit. Narkotik intraspinal (pemberian pada ruang epidural atau subarachnoid) menimbulkan analgesia nyeri hebat yang lebih baik dari analgesia pada analgesia yang terkendali oleh pasien. Morfin dengan dosis tunggal yang merupakan obat yang paling sering digunakan untuk tujuan ini memberikan efek analgesia 18-24 jam, efek sampingnya antara lain adalah pruritus, mual, muntah, retensi urine, dan (jarang) depresi pernafasan yang terjadi dalam 10-18 jam setelah pemberian morfin. Depresi pernafasan dengan morfin intraspinal biasanya lebih sedikit dibandingkan dengan analgesia yang terkendali oleh pasien. Bila morfin intraspinal digunakan, ini diberikan dengan anestetik epidural (4,0 mg morfin) atu spinal (0,2 mg morfin) pada saat nyeri hebat. (4)
Analgesik opiat mengakibatkan depresi pernafasan dengan merosotnya kepekaan pusat pernafasan (respiratory centre) terhadap C02, yang menimbulkan berkurangnya tingkat pernafasan (respiratory rate) serta tidal volume dan dapat menimbulkan peningkatan alveolar CO2. Meski demikian, penurunan tingkat pernafasan dapat juga lebih disebabkan karena analgesia efektif daripada depresi pernafasan yang sebenarnya / true respiratory depression. (5).
Mekanisme kerja analgesic antipiretik anti-inflamasi non steroid secara umum adalah penghambatan biosintesis prostaglandin. Prostaglandin dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan atau inflamasi, enzim siklooksigenase dihambat sehingga sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu, khusus pada parasetamol hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila kadar peroksid (dihasilkan oleh leukosit) dilingkungan sekitarnya rendah seperti di hipotalamus, beberapa penelitian menunjukkan bahwa prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi dengan menimbulkan keadaan hiperalgesia kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamine merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata, dan bukan merupakan blockade langsung pada pusat nyeri. (3)


B. Tramadol
Dalam pekembangan untuk mendapatkan obat analgesik yang ideal; tramadol menjadi drug of choice sebagai anagesik; tramadol adalah campuran rasemik dari dua isomer, salah satu obat analgesik opiat (mirip morfin), termasuk golongan aminocyclohexanol, yang bekerja secara sentral pada penghambat pengambilan kembali noradrenergik dan serotonin neurotransmission, dapat diberikan peroral, parenteral, intravena, intramuskular (1), bereaksi menghambat nyeri pada reseptor  opiat, analog dengan kodein (6).


1. Sifat-sifat farmakodinamis.
Tramadol mempunyai 2 mekanisme yang berbeda pada manajemen nyeri yang keduanya bekerja secara sinergis yaitu : agonis opioid yang lemah dan penghambat pengambilan kembali monoamin neurotransmitter (7). Tramadol mempunyai bioavailabilitas 70% sampai 90% pada pemberian peroral, serta dengan pemberian dua kali sehari dapat mengendalikan nyeri secara efektif (8).
Tramadol mempunyai efek merugikan yang paling lazim dalam penggunaan pada waktu yang singkat dan biasanya hanya pada awal penggunaannya saja yaitu pusing, mual, sedasi, mulut kering, berkeringat dengan insidensi berkisar antara 2,5 sampai 6.5% Tidak dilaporkan adanya depresi pernafasan yang secara klinis relevan setelah dosis obat yang direkomendasikan. Depresi pernafasan telah ditunjukkan hanya pada beberapa pasien yang diberikan tramadol sebagai kombinasi dengan anestesi, sehingga membutuhkan naloxone pada sedikit pasien. Pada pemberian tramadol pada nyeri waktu proses kelahiran, tramadol intravena tidak menyebabkan depresi pernafasan pada neonatus. (1).

2. Sifat-sifat farmakokinetik.
Setelah pemakaian secara oral seperti dalam bentuk kapsul atau tablet, tramadol akan muncul di dalam plasma selama 15 sampai 45 menit, mempunyai onset setelah 1 jam yang mencapai konsentrasi plasma pada mean selama 2 jam. Absolute oral bioavailability tramadol kira-kira sebesar 68% setelah satu dosis dan kemudian meningkat menjadi 90 hingga 100% pada banyak pemakaian (multiple administration). Tramadol sangat mirip (high tissue affinity) dengan volume distribusi 306 dan 203L setelah secara berturut-turut dipakai secara oral dan secara intravena. (9)
Tramadol mengalami metabolisme hepatik, secara cepat dapat diserap pada traktus gastrointestinal, 20% mengalami first-pass metabolisme didalam hati dengan hampir 85% dosis oral yang dimetabolisir pada relawan muda yang sehat. Hanya 1 metabolit, O-demethyl tramadol, yang secara farmakologis aktif. Mean elimination half-life dari tramadol setelah pemakaian secara oral atau pemakaian secara intravena yakni 5 hingga 6 jam. Hampir 90% dari suatu dosis oral diekskresi melalui ginjal. Elimination half-life meningkat sekitar 2-kali lipat pada pasien yang mengalami gangguan fungsi hepatik atau renal. Pada co-administration (pemakaian bersama-sama) dengan carbamazepine untuk mempengaruhi ensim hepatik, elimination half-life dari tramadol merosot. (9)
Pada wanita hamil dan menyusui tramadol dapat melintasi plasenta dan tidak merugikan janin bila digunakan jauh sebelum partus, hanya 0,1% yang masuk dalam air susu ibu, meskipun demikian tramadol tidak dianjurkan selama masa kehamilan dan laktasi. Walau memiliki sifat adiksi ringan, namun dalam praktek ternyata resikonya praktis nihil, sehingga tidak termasuk dalam daftar narkotika di kebanyakan negara termasuk Indonesia. (9)

3. Efikasi terapi.
Sebuah studi melaporkan bahwa pada menejemen nyeri akibat melahirkan tramadol 100mg intramuskular sama efektifnya dengan 75mg pethidine intramuskular, 50mg tramadol tidak efektif untuk nyeri karena melahirkan, meskipun demikian keamanan penggunaan tramadol lebih aman dibanding dengan 75mg pethidine, lebih dari 2/3 pasien yang mendapatkan terapi tramadol tidak mendapatkan efek yang tidak diinginkan, sebaliknya lebih dari 1/3 pasien yang mendapatkan terapi pethidine mendapatkan efek yang tidak diinginkan. Tramadol dapat dikombinasikan dengan NSAIDs, karena mekanisme kerjanya tidak saling tumpang tindih, dosis yang dianjurkan untuk dewasa adalah 50-100 mg setiap 4-6 jam dan maksimal 400mg/hari, efek samping dapat dikurangi dengan pengurangan dosisnya serta dengan pemberian yang perlahan pada intravaskular atau intramuskular. (9)
Pada pasien dengan nyeri derajat sedang sampai berat pasca operasi tramadol yang diberikan intravena atau intramuskular mempunyai kemampuan sama dengan pethidine (meperidine), namun secara klinis dengan dosis yang sama tramadol lebih efektif sepuluh kali bila dibandingkan dengan pethidine, (10), 1-5% sama dengan nalbuphine, intravena tramadol 50-150 mg pada pasien dengan nyeri pasca operasi mempunyai potensi analgesik sama dengan morphine 5-15 mg, tetapi apabila tramadol diberikan pada epidural, 1-13% sama kemampuannya dengan morfin, dalam beberapa studi tramadol telah menunjukkan efikasinya pada waktu yang singkat pada nyeri kronis yang beragam macamnya. Dosis harian tramadol 250 mg sampai 600 mg yang diberikan secara oral ternyata merupakan analgesik efektif pada langkah ke dua menurut panduan World Health Organization untuk pengobatan pasien yang mengalami nyeri kanker. (9)


4. Dosis.
Tramadol tersedia untuk pemakaian oral, parenteral dan rectal. Dosis tramadol hendaknya dititrasi menurut intensitas rasa nyeri dan respon masing-masing pasien, dengan 50 sampai 100 mg 4 kali biasanya untuk memberikan penghilangan rasa nyeri yang memadai. Total dosis harian sebanyak 400mg biasanya cukup. Suntikan intravena harus diberikan secara perlahan-lahan guna mengurangi potensi kejadian yang merugikan, teruatama rasa mual. Berdasarkan data faramakokinetik, perlu hati-hati pada pasien dengan disfungi ginjal atau hepatik karena potensi tertundanya eliminasi dan akumulasi obat yang ada. Pada sejumlah pasien ini, interval dosis harus diperpanjang. Tramadol dapat digunakan pada anak-anak dengan dosis sebesar 1 hingga 2 mg/kg. (9)

5. Mekanisme Aksi.
Salah satu descending inhibitory pathway muncul pada bidang abu-abu periaqueductal synapses pada raphe magnus dan kemudian menonjol sampai ke spinal cord. Neurotransmitter yang dilepas oleh pathway yaitu serotonin (5-hydroxytryptamine; 5-HT). Major descending pathway muncul pada locus coeruleus pons. Neurotransmitter untuk pathway ini adalah noradrenaline (norepinephrine) dan agaknya hal ini menghambat respon nyeri pada spinal cord karena mekanisme -adrenergic. Bidang abu-abu periaqueductal, medullary raphe dan dorsal horn dari spinal cord semuanya mengandung suatu densitas yang tinggi peptide indogen opiat dan receptor opiat. Mekanisme yang digunakan oleh opioid analgesik menghambat persepsi nyeri yang terjadi, sebagian karena kegiatan descending serotonergic dan noradrenergic pathways (1).
Tramadol memiliki reseptor opoid yang sedikit dengan nilai konstan (Ki) pada rentang mikromolar dari 2,1 sampai 57,5 pmol/L, dan selektivitas kurang untuk binding site  atau k – atau binding site  (1) atau menunjukkan selektivitas reseptor µ- (1). Pada konsentrasi sampai 10 sampai 100 µmol/L, tramadol tidak mengikat 2-adrenoceptors atau reseptor 5-HT2. (1) Satu-satunya metabolit tramadol, O-demethyl tramadol (M1), memiliki 4 (1) sampai 200 kali lebih besar untuk reseptor µ-opioid dibandingkan tramadol: sejumlah penyimpangan ini mungkin dijelaskan oleh radioligand yang dipakai dalam penelitian binding. Meski demikian, metabolit ternyata tidak memberikan kontribusi pada efek analgesik dosis tunggal tramadol 100mg yang dipakai secara oral bagi 12 relawan. (1) Pemakaian quinidine secara oral 50mg 2 jam sebelum tramadol yang menghasilkan dua pertiga inhibisi (hambatan) formasi M 1 namun tidak menimbulkan efek terhadap analgesi tramadol, yang diukur dengan ambang nyeri subyektif dan obyektif. (1)
Efek analgesik tramadol pada tail-flick test yang dilakukan terhadap tikus besar atau tikus kecil telah seluruhnya diantagoniskan oleh opioid receptor antagonist naloxone, yang memperkuat aksi central site yang dimediasi oleh opioid receptor (1). Kendati demikian, berlawanan dengan morphin, pada sejumlah tes, seperti konstriksi mouse abdominal dan uji hot plate, atau vocalisation threshold (ambang vokalisasi) terhadap paw pressure test pada tikus normal dan tikus artritis, efek analgesik tramadol secara analgesik diantagoniskan oleh naloxone (1). Efek depresan tramadol terhadap aktivitas nociceptive yang terjadi pada ascending axons dari spinal cord tidak terhapus oleh aminophylline dan tidak seluruhnya diantagoniskan oleh naloxone (1). Pada manusia, naloxone sebesar 0,8mg hanya sebagian yang menghambat efek analgesik oral tramadol 100mg dalam penelitian double-blind, yang terkontrol plasebo pada 12 relawan sehat (1). Nyeri eksperimental dihasilkan oleh stimulasi elektris transcutaneous dari syaraf sural dan inhibisi maksimal yang signifikan (p = 0.02) sebesar 31% dari efek analgesik tramadol oleh naloxone diamati. Disimpulkan bahwa terjadi aksi tramadol terhadap opiate receptors selain µ opioid receptor, dan atau beberapa efek tramadol tidak dimediasi oleh reseptor opioid (1).
2-adrenoceptor blocker yohimbine dan serotonin antagonist ritanserin secara signifikan mengurangi aksi analgesik tramadol yang diberikan secara intrathecal pada uji rat tail-flick yang menunjukkan bahwa noradrenaline dan serotonin terlibat dalam efek analgesik tramadol (1). Pada ambang vokalisasi (vocalisation threshold) pada paw pressure test pada tikus artritis, efek analgesik tramadol secara signifikan turun (mean total berkurang 2-kali lipat) dengan 2-adrenoceptor antagonis yohimbine dan idazoxan dan hampir sepenuhnya terhapus ketika opioid antagonist naloxone diberikan pada saat yang sama, dan memberikan bukti lebih lanjut untuk suatu komponen non noradrenergic bagi efek anagesik tramadol (1). Dalam hal ini, yang menarik yakni bahwa telah ditunjukkan interaksi sinergistik antara 2-adrenoceptor agonist dan opioid (1).
Tramadol menghambat asupan serotonin pada purified rat frontal cortex synaptosomes dan mempengaruhi pelepasan neurotransmitter pada frontal cortal slice, bagian terakhir yang diblok dengan 6-nitroquipazine, suatu penghambat asupan serotonin selektif (1). Tramadol menghambat asupan synaptosomal noradrenaline dan serotonin in vitro dengan nilai Ki sebesar 0,8 dan 1,0 µmol/L, secara berturut-turut; nilai ini serupa dengan untuk mengikat tramadol pada reseptor µ-opioid (1). Pada uji yang sama, morphine, codeine dan dextropropoxyphene tidak aktif pada 10 µmol/L. Dengan konsentrasi mencapai 10 hingga 100 µmol/L, tramadol tidak menghambat asupan dopamine, adenosine, asam 5'-adenosinemonophosphateor -aminobutyri (1). Ketika 2 enantiomer tramadol diteliti sendiri-sendiri (-)tramadol ternyata kira-kira 5-kali lebih kuat untuk menghambat noradrenaline daripada asupan serotonin (IC50 1,6 µmol/L vs 8,6 µmol/L) dan sebalknya lah yang terjadi untuk (+)tramadol (1). Kedua enantiomer diberikan pada aksi analgesik tramadol dalam uji tail-flick pada tikus (1) dan uji electro-stimulation pada tikus (1).
Pada uji konstriksi abdominal pada tikus dan uji hot plate, namunn tidak pada uji tail flick, 2 enantiomers memiliki aksi sinergis untuk memproduksi analgesia (1). Efek 2 enantiomer tramadol terhadap neuron noradrenergik sentral dari locus coeruleus juga telah diteliti (1). Penurunan pengeluaran secara spontan potensi aksi sel-sel locus coeruleus yang dipengaruhi oleh (-)tramadol terhapus dengan hadirnya 2 receptor antagonist rauwolscine; meski demikian, yang mendapat pengaruh dari (+)tramadol hanya terhapus oleh kombinasi naloxone dan rauwolscine. Oleh sebab itu, tampak bahwa noradrenaline maupun serotonin memiliki peran langsung atau peran modulator pada analgesia tramadol, dan diperlukan sejumlah penelitian lebih lanjut guna secara lebih baik menentukan hal ini (1).

6. Penyerapan dan Distribusi.
Setelah pemakaian secara oral dosis tunggal tramadol sebanyak 100mg dalam kapsul atau tablet pada relawan muda yang sehat, konsentrasi plasma dapat dideteksi dalam waktu sekitar 15 sampai 45 minutes, dan mean puncak konsentrasi plasma obat (Cmax) sebesar 280 sampai 308 ug/L tercapai pada 1,6 hingga 2 jam paska dosis (tmax) (1) Mean bioavailabilitas tramadol oral setelah pemakaian dosis tunggal yaitu sebesar 68% (1), yang lebih tinggi dibandingkan morphine, pethidine dan pentazocine, yang semuanya ini cenderung memiliki bioavailabilias rendah dan variabel/berubah-ubah (1). Setelah beberapa pemakaian secara oral tramadol 100 mg 4 kali sehari selama 7 hari, Cmax 16% lebih tinggi dan di bawah kurva waktu konsentrasi plasma (AUC) 36%l ebih tinggi setelah satu dosis tunggal sebanyak 100mg, yang menunjukkan bahwa bioavailabilitas oral meningkat sekitar 90 hingga 100% terhadap beberapa kali pemakaian (multiple aplication) secara oral yang kemungkinan karena hepatik metabolisme jenuh first-pass (1). Mean bioavailabilitas mutlak setelah pemakaian intramuskuler yaitu sebesar 100% dan setelah pemakaian rektal sebesar 78% (1).
Tramadol terdistribusi dengan cepat setelah pemakaian intravena dengan distribusi waktu paruh (half-life) pada fase awal selama 6 menit setelah fase distribusi yang lebih lambat dengan waktu paruh selama 1,7 jam (1). Volumes distribusi (Vd) menyusul pemakaian secara oral dan intravena pada relawan muda yang sehat sebesar 306 dan 203L, secara berturut-turut, yang menunjukkan bahwa tramadol memiliki high tissue afinitas jaringan yang tinggi (1). Pengikatan protein plasma sebanyak 20%. Tramadol memasuki plasenta dengan konsentrasi serum pada umbilical vein (pusar) yang menjadi 80% pada maternal vein (1).

7. Metabolisme dan Pengurangan (Eliminasi).
Pada hakikatnya, tramadol dimetabolisasi oleh liver dan diekskesi melalui ginjal. Elimination halflife (t1/2) tramadol pada relawan muda yang sehat menyusul dosis tunggal intravena atau oral selama 5,1 sampai 5,9 jam (1).
Tramadol mengalami biotransformasi dalam liver karena dua main metabolic pathway untuk membentuk senyawa N- dan O-demethylated (reaksi fase I) (1). Metabolit O-demethylated mengalami konjugasi lebih lanjut (reaksi fase II). Lima metabolit yang muncul dari reaksi fase I dan enam dari reaksi fase II telah diketahui; metabolit pokok yakni O-demethyl tramadol dan konjugat-nya, di-NO-demethyl tramadol dan konjugat-nya serta mono-N-demethyl tramadol (1). O-demethyl tramadol metabolite (M1) tampaknya memiliki aktivitas analegesik pada tikus besar dan tikus kecil sebagaimana yang diukur pada respon tail flick (1) dengan 2 sampai 4 kali potensi tramadol dalam pengujian ini. Pada penelitian receptor binding, M I memiliki 4 kali (1) sampai 200 kali afinitas yang lebih besar bagi µ-opioid receptor dibandingkan senyawa induk (parent compound). Tidak ada 10 metabolit lainnya yang secara farmakologis aktif. Elimination half-lives metabolite tidak berbeda dengan elimination half-lives metabolite tramadol, yang menurunkan kemungkinan terakumulasiya metabolit setelah beberapa pemakaian (1). Elimination half-life dari metabolite aktif (M1) pada relawan muda yang sehat selama 6,7 jam (1). Pada penelitian yang sama, AUC untuk Ml adalah sekitar 4 kali dibandingkan yang AUC senyawa induk. Kendati demikian, metabolit M1 tidak memiliki kontribusi pada efek analgesik tramadol pada relawan sehat.
Setelah pemakaian secara oral tramadol 14C pada manusia, sekitar 90% tramadol dieksresi melalui ginjal dengan 10% yang muncul pada feses (1). Ekskresi tramadol yang tidak berubah pada relawan sehat yakni sebesar 16% setelah pemakaian intravena dan sebesar 13% setelah pemakaian secara oral (1), yang menunjukkan bahwa sekitar 85% dosis mengalami metabolisasi. Ekskresi ginjal secara kumulatif M1 pada relawan sehat yang muda sekitar 7,5%. Total clearance tramadol sebesar 28,0 dan 42, 6 L/jam menyusul pemakaian secara intravena dan oral, secara beturut-turut (1).Hanya 0,1% dosis tramadol didapati terekskresi pada ASI wanita, suatu jumlah yang tidak mungkin menghasilkan efek signifikan pada bayi (1).


2 komentar:

  1. saya sudahh ketergantungan dan saya mauu berhentii gimanaaa caranyaa, tolong di bantuu,,

    BalasHapus
  2. bantu saya gan untuk berhenti dari obat ini :(

    BalasHapus