Rabu, 12 September 2007

Limfadenitis Tuberkulosis

Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh. Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman – kuman / bakteri – bakteri yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel – sel tumor ganas ( kanker ) (1). Disamping itu bertugas pula untuk membentuk sel – sel limfosit darah tepi.


Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah besar di Indonesia. Prevalensinya
mencapai 0,29% dan merupakan penyebab kematian nomor 3. (2). Indonesia merupakan
penyumbang kasus TB nomor 3 terbesar di dunia. Di perkirakan, masalah TB yang
belum juga berakhir ini terjadi karena basil tuberkulosis resisten yang telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Mungkin pula karena adanya infeksi ganda spesies basil mikobakteria, misalnya infeksi basil M. atipik bersama-sama dengan M. tuberkulosis terjadi pada satu penderita TB. Atau, bahkan infeksi ganda antara satu spesies M. atipik dengan spesies M. atipik lainnya pada satu penderita TB.
Tuberkulosis dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam kepustakaan Sanskrit kuno. Nama “tuberculosis” berasal dari kata tuberculum yang berarti benjolan kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini.
Hippocrates (460-377 SM) telah menuliskan gejala klinik penyakit ini dan menyebutkan sebagai fisis. Ia mengenal bentuk akut dan bentuk kronik. Selama bertahun-tahun bentuk tbc kronik dianggap sebagai penyakit turunan, berbeda halnya dengan bentuk akut pada anak. Baru pada 1891 Laennce mengemukakan bahwa kedua bentuk tersebut merupakan penyakit yang sama dengan gambaran klinik yang berbeda, padahal Koch sudah pada tahun 1882 menemukan basil tuberkulosis sebagai penyebab penyakit ini. Kejadian penyakit tuberkulosis menurun sejak tahun 1900, bersamaan dengan membaiknya perumahan, gizi dan tingkat hidup masyarakat dan semakin turun sejak ditemukannya antituberkulosis. Berbeda dengan epidemi tuberkulosis masa lalu, saat ini terjadi epidemi tuberkulosis pada penyandang infeksi HIV. Sekitar 40% penyandang HIV positif di dunia menderita tuberkulosis.(3). Kuman penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauy oleh cairan asam sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya dipergunakan untuk menampakkan basil ini.

A.DEFINISI
Akibat terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer, keadaan ini dinamakan limfadenitis.(1).

B.ANATOMI SISTEM LIMFATIK
Jalinan pembuluh limfe terdiri dari tiga ruangan utama. Kapiler limfe merupakan tempat absorpsi limfe seluruh tubuh. Kapiler-kapiler ini bermuara kedalam pembuluh pengumpul yang melewati ekstremitas dan rongga tubuh, yang kemudian bermuara kedalam sistem vena melalui duktus torasikus. Pembuluh pengumpul secara periodik diselingi oleh kelenjar limfe, yang menyaring limfe dan terutama melakukan fungsi imunologi.
Kapiler limfe serupa dengan kapiler darah, kecuali bahwa membran basalis tidak begitu tegas. Telah diketahui adanya celah besar antara sel endotel pembuluh limfe yang berdekatan, sehingga partikel sebesar eritrosit dan limfosit bisa berjalan melaluinya. Jaringan tertentu tampaknya tidak mempunyai pembuluh limfe.Keseluruhan epidermis, sistem saraf pusat, selubung mata dan otot, kartilago dan tendon tidak mempunyai pembuluh limfe. Dermis kaya akan pembuluh limfe yang mudah dikenal dengan penyuntikan intradermis zat warna tertentu. Pembuluh tanpa katup ini berhubungan dengan pembuluh pengumpul pada sambungan dermis-subkutis. Pembulu limfe superfisialis ekstremitas terdiri dari beberapa saluran berkatup yang terutama melewati sisi medial ekstremitas ke arah lipat paha atau aksila, dimana saluran ini berakhir dlam satu kelenjar limfe atau lebih. Pembuluh ini mempertahankan kaliber yang seragam waktu naik dan sering berhubungan satu sama lain melalui cabang yang menyilang. Sistem pembuluh limfe profunda yang terpisah juga terdapat pada ekstremitas. Jalinan ini mengikuti dengan dengan rapat jalur vaskular utama profunda terhadap fasia otot. Pada individu normal, ada sedikit (jika ada) hubungan antara dua sistem.
Pembuluh limfe mempunyai struktur yang serupa dengan pembuluh darah dengan adventisia berbatas tegas, suatu media yang mengandung sel otot polos dan suatu intima. Pembuluh ini juga dipersarafi dan, telah diamati adanya spasme maupun kontraksi alamiah berirama.
Kelenjar limfe secara periodik diselingi di seluruh perjalanan saluran limfe pengumpul. Masing-masing kelenjar limfe bisa mempunyai beberapa saluran limfe eferen yang masuk melalui kapsul. Kemudian limfe memasuki sinus, membasai daerah korteks dan medula, dan keluar melalui saluran eferen tunggal. Daerah korteks terutama mengandung limfosit, yang tersusun dalam folikel yang dipisahkan oleh perluasan trabekular kapsula ini. Di dalam folikek terdapat sentrum germinativum diskrit. Medula bisa mengandung makrofag dan sel plasma maupun limfosit, dan sel-sel ini dianggap dalam keseimbangan dinamik di dalam kelenjar limfe. Tiap kelenjar limfe juga mempunyai supali saraf dan vaskular yang terpisah, dan sekarang sudah diketahui bahwa interaksi pembuluh limfe-vaskular bisa timbul di dalam kelenjar limfe.
Saluran limfe ekstremitas bawah dan visera bersatu untuk membentuk sisterna kili dekat aorta di dalam abdomen atas. Struktur terakhir ini berjalan melalui diafragma untuk menjadi duktus torasikus. Di dalam dada, duktus ini menerima pembulu limfe visera totem vena melalui persatuan dengan vena subklavia sisnistra. Uktus limfatikus dekstra yang terpsah, memberikan drainase untuk ekstremitas kanan atas dan leher serta memasuki vena sublavia dekstra.

C. FISIOLOGI SISTEM LIMFATIK
Sirkulasi limfe merupakan proses yang rumit dan sulit dipahami. Satu fungsi utama sistem limfe adalah untuk berpartisipasi dalam pertukaran kontinyu cairan interstial merupakan filtrat plasma yang memnyilang dinding kapiler dan kecepatan pembentukannya tergantung pada perbedaan tekanan di antara membran ini. Pappenhimer dan soto-rivera mendukung konsep bahwa pori-pori kapiler adalah kecil dan hanya permeabel sebagian bagi molekul besar seperti protein plasma. Molekul besar ini yang tertangkap di dalam kapiler menimbulkan efek osmotik yang cenderung menjaga volume cairan di dalam ruang kapiler. Sehingga pertukaran cairan antara kapiler dan ruang interstiasial tergantung pada empat faktor : tekanan hidrostatik di dalam kapiler dan di dalam ruang interstiasial serta tekanan osmotik di dalam dua ruangan ini. Tekanan onkotik plasma normal sekitar 25 mmHg, sementara tekanan onkotik cairan interstisial hanya kira-kira 1 mmHg. Tekanan hidrostatik pada ujung arteiola kapiler diperkirakan 37 mmHg. Dan pada ujung vena 17 mmHg. Tekanan Hidrostatik cairan interstisial bervariasi dalam jaringan yang berbeda sebesar –2mmHg dalam jaringan subkutis dan +6 mmHg di dalam ginjal. Ada aliran bersih cairan keluar dari kapiler ke dalam ruang interstisial pada ujung arteriola yang bertekanan tinggi dari suatu kapile, dan aliran bersih ke dalam pada ujung venula ( gambar 1 ). Normalnya aliran keluar bersih melebihi aliran masuk bersih dan cairan tambahan ini kembali ke sirkulasi melalui pembuluh limfe. Aliran limfe noramal 2 samapi 4 liter perhari. Kecepatan aliran sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor lokal dan sistemik, yang mencakup konsentrasi protein dalam plasma dan cairan interstisial, hubungan tekanan arteri dan vena lokal, serta ukuran pori dan keutuhan kapiler.
Tenaga pendorong limfe juga merupakan proses yang rumit. Saat istirahat, kontraksi intrinsik yang berirama dari dinding duktus pengumpul dianggap mendorong limfe ke arah duktus torasikus dalam bentuk peristeltik. Kontraksi otot rangka aktif , menekan saluran limfe dan karena adanya katup yang kompeten dalam saluran limf, maka limfe di dorong ke arah kepala. Peningkatan tekan intra-abdomen akibat batuk atau mengejan, juga menekan pembulu limfe, mempercepat aliran limfe ke atas. Perubahan fasik dalam tekanan intratoraks yang berhubungan dengan pernafasn, membentuk mekanisme pompa lain untuk mendoong limfe melalui mediastitinum. Aliran darah yang
cepat dalam vena subklavia bisa menimbulkan efek siphon pada duktus torasikus.












ARTERIOL VENULA









Tekanan Onkotik Plsma = 25 mmHg
Tekanan Onkotik interstial = 1 mmHg
Gambar 1. Aliran cairan yang melintasi kapiler, tergantung pada perbedaan bersih tekanan hidrostatik dan onkotik, Tekanan ini positif dekat ujung arteriola yang meyebabkan aliran keluar cairan dan negatif dekat ujung venula, tempat kebanyakan cairan kembali ke lumen kapiler.

Fungsi kedua dari sitem limfe adalah untuk mengembalikan makromolukel dari ruang interstisial ke sistem vaskular. Molekul yang besar ini tidak mudah di reabsorpsi dalam kapiler vaskular, karena ukuran pori yang kecil dalam setruktur terakhir. Tetapi celah anatara sel endotel pembuluh limfe terminal sebenarnya mudah menerima molekul besar ini. Diperkirakan bahwa 50 samapi 80 persen protein intravaskular total bersirkulasi dengan cara ini tiap 24 jam. Konsentrasi protein limfe terutama tergantung atas jaringan yang di drainase. Pada pembuluh limfe ekstrimitas, konsentrasi protein bisa serendah0,5 gm per 100 ml, sementara limfe hati bisa mengandung 6 gm per 100ml. Limfe yang mengalir dari usus setelah makan akan berwarna opalesen, karena adanya kandungan lemak dalam bentuk kilomikron.
Fungsi tambahan sistem limfe yang mempunyai dampak bedah, meliputi fungsi filtrasi dan perlindungan imunologi. Bakteri, benda asing dan sel ganas yang dikenal, dikumpulkan oleh sistem limfe dan diangkut ke kelenjar limfe regional, dimana konsentrasi makrofag, sel plasma dan limfosit dapat berinteraksi dengannya, melalui respon kekebalan.
Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial ke dalam saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawah ke sentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kearah vena. Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan peradangan akut, lapisan sel pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama seperti yang terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak bahan interstisial yang masuk ke dalam pembuluh limfe. Pembuluh limfe agaknya dipertahankan dalam posisi terbuka karena jaringan membengkak akibat sistem serabut jaringan ikat tertambat pada dinding pembuluh dinding limfe. Bagaimanapun juga, selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ke tempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebarn sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju ke dalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah.
Karena alasan ini, orang harus selalu waspada akan kemungkinan terserangnya sistem limfatik pada peradangan oleh sebab apapun. Bila pembuluh limfe terkena radang disebut limfangitis. Jika kelenjar limfe terkena radang di sebut limfadenitis. Limfadenitis regional sering ditemukan menyertai peradangan. Satu contoh yang terkenal adalah pembesaran kelenjar limfe servikal, yang nyeri, terlihat pada tonsilitis. Istilah yang lebih umum adalah limfadenopati digunakan untuk menggambarkan setiap kelainan kelenjar limfe. Dalam praktek, istilah itu tidak saja menyatakan adanya limfadenitis, tetapi pada setiap pembesaran kelenjar limfe kebanyakan reaksi-reaksi kelenjar limfe disertai oleh pembesaran.

D. PEMBESARAN KELENJAR GETAH BENING
Kelainan yang dapat dijumpai pada kelenjar getah bening berupa pembesaran kelenjar itu dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti:
1. Infeksi:
Akut
Kronis : Nonspesifik dan Spesifik

2. Neoplasma :
Primer
Sekunder
Berikut ini akan diuraikan aspek klinis dari kelainan pembesaran kelenjar getah bening tersebut.

I.a. Pembesaran kelenjar getah bening akibat infeksi akut..
Peradangan kelenjar getah bening ini menyebabkan hiperplasia kelenjar tersebut hingga secara klinis teraba membesar. Pembesaran / peradangan ini ditentukan pula oleh derajat virulensi kuman hingga dapat berupa abses supuratif.
Secara klinis akan ditemukan :
1.Lesi Primer sumber infeksi.
2.Pembesaran kelenjar getah bening regioner, yang disertai tanda – tanda umum peradangan berupa dolor, robor, kolor, tumor dan funsio laesa.
Misalnya :
Ada sakit gigi atau karies dentis atau infeksi stomatitis sering diikuti pembesaran kelenjar getah bening submandibuler ( limfadenitis submandibuler )
Ada plgmon atau infeksi di telapak tangan akan menimbulkan limfadenitis daerah aksila dari tangan tersebut yang nyeri dan mengganggu gerakan tangan.
Paronichya di ibu jari kaki atau infeksi di kaki bagian bawah menyebabkan adanya limfadenitis dan inguinal, yang sering membuat rasa nyeri untuk berjalan.
Apabila lesi infeksi primer sudah diobati, maka limfadenitis akuta inipun akan sembuh secara berangsur.
Dapat terjadi karena virulensi kuman yang hebat, di samping tanda infeksi sistematis ( sepsis ) dapat pula dijumpai kelenjar getah bening yang sudah berubah menjadi abses. Untuk abses ini perlu dilakukan terapi abses berupa insisi

1.b. Limfadenitis Kronis
Disebabkan oleh infeksi kronis. Infeksi kronis nonspesifik misalnya pada keadaan seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher ( limfadenitis ). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri.
Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat berkonglomerasi satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunakseperti abses tetapi tidak nyeri seperti abses banal. Apabila Abses ini pecah ke kulit, lukanya sukar sembuh oleh karena keluar secret terus menerus sehingga seperti fistula.
Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat terjadi sedemikian rupa, besar dan konglomerasi sehingga leher penderita itu disebut seperti bull neck.
Pada keadaan seperti ini kadang – kadang sukar dibedakan dengan limfoma malignum.
Limfadenitis tuberkulosa diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi, terutama yang tidak disertai oleh tuberkulosa paru.
Pada gambaran histopologi yang spesifik adalah perkijuan dan sel datia Langhan ‘s.

2.Neoplasma
a. Primer
Limfoma malignum ( Hodgkin dan Non Hodgkin )
Penyakit ini merupakan neoplasma ganas primer pada kelenjar getah bening/system limfatis, dan ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening yang terkena.
Dapat dibedakan limfoma malignum Hodgkin dan Non Hodgkin limfoma
Secara epidemiologis apabila dilihat dari distribusi umur, maka penyaklit Hodgkin ditemukan pada dua puncak golongan umur, yaitu pada usia 20 – 40 tahun dan sesudah 50 tahun. Sedangkan limfoma Non Hodgkin pada umumnya pada usia tua dengan puncak diatas 60 tahun.

Gejala klinis.
1.Pembengkakan kelenjar getah bening leher, kelenjar tidak sakit, multiple, bebas atas konglomerasi satu sama lain.
Pada non Hodgkin limfoma, dapat tumbuh pada kelompok kelenjar getah bening lain (G. 1 ) misalnya pada traktus digestivus atau pada organ – organ parenkhima.
2.Demam tipe pel Ebstein.
3.Gatal – gatal.
4.Keringat malam.
5.Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 6 bulan terakhir tanpa diketahui sebabnya.
6.Kurang nafsu makan.
7.Daya kerja menurun drastis
8.Kadang-kadang disertai sesak nafas.
9.Nyeri setelah mendapat intake alkohol ( 15-20 %)
10.Pola perluasan Hodgkin sistematis secara sntripetal, dan relatif lebih lambat dan Non Hodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat bermetasis ketempat yang jauh.


Diagnosis
Ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis.
Pada Morbus Hodgkin di samping sel-sel limfosit, ditemukan granulosit, sel plasma, histiosit dan sel Reed Sternberg merupakan patognomonis untuk golongan ini.
Secara histopatologik limfoma Non Hodgkin menurut Rappaport (1966 ) dibagi atas :
1.Limfosit, diferensiasi baik.
2.Limfosit, diferensiasi buruk
3.Stern cell ( termasuk limfoma burkitt )
4.Limfositik histiositik
5.Mixed cell
1s/d 5 dapat ditemukan dalam bentuk noduler atau difus.
Pembagian histologik limfoma Hodgkin sebagai berikut :
Limfositik predominant
Mixed cell
Limphositic depletion
Nodular sclerotic

Stadium
Penentuan stadium penting sekali untuk menentukan jenis pengobatan, prognosis dan evaluasi hasil pengobatan.
Untuk itu perlu dilakukan :
1.Anamnesisi yang lengkap dari riwayat penyakit dan keluhan-keluhan penderita.
2.Pemeriksaan fisik yang teliti meliputi group kelenjar getah bening di permukaan seperti leher, aksila, inguinal dan lain-lain termasuk waldeyerring. Periksaan hati dan limpa.
Pemeriksaan penunjang :
Laoratorium darah tepi lengkap, faal hati lengkap
Imaging
Foto toraks
USG abdomen
CT jika perlu.
Biopsi sumsung tulang
Beberapa pemerikasaan atas indikasi seperti :
Biopsi hati
Laparotomi / splenektomi
Bone survey
Kavografi
Mediastinoskopi
Tomografi
Dengan kemajuan teknik imaging sekarang ini seperti USG, CT atau MRI banyak hal-hal yang bersifat invasif dapat digantikan seperti laprotomi untuk staging.
Stadium Klinik dibedakan :
Stadium I : Bila tumor terdapat pada satu kelompok kelenjar getah bening (I) atau pada satu organ ekstralimfatik selama masih soliter (IE).
Stadium II : Bila tumor didapat pada dua atau lebih grup kelenjar getah benig pada pihak yang sama dari diafragma (II) atau bila terdapat pada satu atau lebih kelompok klenjar getah bening disertai tumor soliter ekstralimfatik namun masih dalam satu pihak diafrgma ( IIE).
Stadium III : Bila terkena kelenjar getah bening pada dua pihak diafragma (III) dan apabila ada organ ekstralimfatik terkena, masih soliter (IIIE).
Stadium VI : Bila penyakit ditemukan difuse pada satu organ atau lebih dengan atau tanpa terserangnya kelenjar getah bening.

Pengobatan
I.Radiasi
Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
Untuk stadium IIIA/Bsecara total nodal radioterapi.
Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation.
Untuk stadium IV secara total body irradiation..

II.Khemoterapi untuk stadium III dan IV
Untuk stadium I dan II dapat pula diberi khemoterapi preradiasi atau pasca radiasi.
Khemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi :
COP untuk Limfoma Non Hodgkin
C : Cyclophosphamide 800 mg/m2 hari pertama.
O : Oncovin 1,4 mg/m2 i.v.hari pertama
P : Prednison 60 mg/m2 hari 1 s/d 7 lalu tapering off.

MOPP ( untuk limfoma Hodgkin)
M. : Nitrogen mustard 6 mg/m2 hari 1 dan 8
O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari1 dan 8
P : Prednison 60 mg/m2 hari 1 s/d 14
P : Procarbazin 100 mg/m2 hari 1 s/d 14
Peranan pembedaan pada penatalaksanaan limfoma malignum terutama hanya untuk diagnostik (biopsi) dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.



b. Neoplasma sekunder ( metastasis).
Metastasisi dari suatu proses keganasan secara limfogen pertama-tama akan mengenai kelenjar getah bening regioner sebelum samapai ke tempat-tempat lain yang lebih jauh. Dan keadaan ini akan menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening tersebut.
Kelenjar getah bening yang mengandung metastasis akan teraba lebih padat / keras, tidak nyeri, dapat digerakkan dan dapat multipel. Apabila sudah menembus kapsul maka akan lebih terfiksir pada jaringan lunak sekitar dan dapat terjadi konglomerasi satu sama lain. Kadang-kadang sukar dibedakan dengan limfadenitis tuberkulosa, secara klinis perabaan.
Pada suatu proses keganasan misalnya karsinoma mamma atau karsinoma rongga mulut / lidah atau yang lainnya, disamping memeriksa lesi primer untuk menentukan besar tumor (T), juga selalu diperiksa kelenjar getah bening regioner untuk melihat adakah pembesaran kelenjar getah bening tersebut ( N) yang merupakan metastasisi limfogen.
Sebaliknya apabila kita menemukan pembesaran kelenjar getah bening setelah infeksi disingkirkan maka pikirkan metastasisi pada kelenjar getah bening, dan cari tumor primernya atau limfoma.

Diseksi Radikal Leher
Definisi : tindakan pembedahan pada leher dengan mengangkat seluruh jaringan lunak satu sisi leher antara garis tengah di medial hingga metrapezius di lateral dan antara tepi bawah ramus mandibula di kanial hingga tepi atas klavikula di kaudal secara enbloc. Ini meliputi pengangkatan
Seluruh kelenjar getah bening dan jaringan lunak sekitarnya
m. Sternokleidomastoideus
v. jugularis interna dan eksterna
cabang saraf ramus kutaneus dan servikal assesrius
Saraf puntung yang tidak boleh dipotong :
Pleksus brakhialis
n. vagus
n. phrenikus
n. rekurens dan laringeus
operasi ini dipelopori oleh George Crile, 1906.
Indikasi Diseksi Leher Radikal (RND)
Adanya metastasis pada kelenjar getah bening leher yang terbukti secara histopatologis, belum terfiksir ke dasar atau a. karotis dan tidak ada metastasis jauh; pada tumor primer yang terkontrol . secara histopatologis; tumor primer tergolong pada well differentiated dan dapat diangkat sesuai prinsip onkologis.
Sebagai contoh :
Karsinoma tiroid yang bermetastasis pada kelenjar getah bening leher: dilakukan total tiroidektomi dan Diseksi Leher Radikal ( RND ).
Karsinoma Lidah bermetastasisi pada kelenjar getah bening leher dilakukan wide eksisi berupa hemiglosektomi atau glosektomi total dan diseksi leher radikal
Pada tumor-tumor primer yang tergolong poorly diffrentiated atau anaplastik dengan adanya metastasisi pada kelenjar getah bening leher; tidak dilakukan diseksi leher radikal akan tetapi dapat diberi radiasi. Tindakan operasi diseksi leher radikal pada keadaan ini tidak akan memperbaiki prognosis.
Dalam perkembangan berikutnya; dikenal istilah : modified Radical Neck Disection yaitu diseksi leher radikal, dimana m. sternokleidomastoideus, v. jugularis interna, n. servikalis assesorius tidak diangkat.
Dikerjakan pada keadaan tertentu meisalnya pada karsionoma tiroid jenis papiliferum yang bermetastasis ke kelenjar getah bening leher yang masih terbatas intra kapsuler.
Prophilctic Neck Dissection; yaitu RND yang dikerjakan tanpa adanya pembesaran kelenjar getah bening secara klinis. Ini misalnya pada karsinoma lidah ( kanker rongga mulut ); karena terbukti bahwa pada T1 yang secara klinis No: pada kenyataannya terbukti 20% kasusu kelenjar getah bening sudah mengandung metastasis.

E. MYCOBACTERIUM TUBERCULOSA
Ada dua macam mikrobakteria yang menyebabkan penyakit tuberkulosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, dan bila diminum dapat menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang menghirup bercak ini. Ini merupakan cara penularan terbanyak. Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan yang penyakitnya.
Pertama adalah fase tuberkulosis primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut efek pridi hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe halus. Afek primer dan limfedenitis regional ini disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis dan kalsifikasi (95% kasus).
Sekalipun demikian kompleks dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran miliar melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran miliar menyebabkan tuberkulosis di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberculosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan perjalanan tuberkulosis primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut dan basil menjadi “tidur” .
Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang tidur ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba Fallopi, otak, kelenjar limf hilus dan leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama bertahun-tahun, bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah besar, atau pada infeksi HIV.
Tuberkulosis fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan selanjutnya proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan broniektasi melalui erosi bronkus.
Frekuensi penyebaran ke ginjal adalah yang kedua setelah penyebaran ke paru. Kuman berhenti dan bersarang pada korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat langsung menyebabkan penyakit atau “tidur” selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal sama dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan nekrosis pengejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis.
Penyebaran ke kelenjar limf paling sering ke kelenjar limf halus, baik sebagai penyebaran langsung dari kompleks primer, ,maupun sebagai tuberkulosis pasca primer. Tuberkulosis kelenjar limf lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan tuberkulosis pasca primer.
Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti dan berkembangbiaknya kuman di tuba Fallopi yang sangat vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis).

Tbc umumnya ditularkan melalui percik ludah halus (droplets) di udara yang mengandung basil tbc vital.
Penyebaran ke tulang adalah ke daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan tuberkulosis tulang ekstra-artikuler. Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran ini menyebabkan tuberkulosis sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskuler.
Penyebaran ke otak dan mengingen juga melalui penyebaran hematogen setelah kompleks primer. Berbeda dengan penyebaran di atas, penyebaran ke perikardium terjadi oleh penjalaran melalui saluran limf atau kontak langsung dari pleura yang tembus ke perikardium.
Kekebalan terhadap tuberkulosis sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas rangsangan basil tuberkulosis dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil dengan cara lisis (bakteriolisis).
Tbc ekstrapulmonal dapat ditemukan di setiap organ
Diagnosis
Uji tuberkulin
Untuk menegakkan apakah seseorang terinfeksi kuman BTA dapat dilakukan pemeriksaan diagnosis dengan tuberkulin yang disuntikkan intrakutan menurut Mantoux. Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat terhadap kuman tuberkulosis. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman tuberkulosis, yang bila disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi tbc (baik yang aktif maupun yang “tidur”) akan menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi sel limfosit di daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm disebut negatif. Reaksi negatif palsu dapat terjadi pada pasien yang anergi.
Tempat predileksi ekstrapulmonal.
Lokalisasi organ
Bentuk klinik
Kelenjar limf
Limfadenitis leher
Limfadenitis inguinalis
Urogenital
Tbc ginjal
Epididimis
Salpingitis
Tulang
Gibus spondilitis
Fistel lipat paha
Sendi besar
Koksitis
Gonitis

Pemeriksaan patologi
Tuberkulum, biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di sekitar sekelompok basil tbc. Sebagian besar terdiri dari sel epiteloid yang berasal dari histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan disebut sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan lapisan luarnya terdiri dari sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran patologi khas tbc. Gambaran patologi jaringan hasil biopsi atau sisa jaringan debris pada dasarnya menunjukkan radang spesifik seperti ini pula.
Diagnosis dengan cara ini cukup tinggi keandalannya, meskipun tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang memberikan gambaran hampir sama.
Gejala dan tanda klinik juga khas. Kecuali tbc milier, penyakit tbc bersifat berkembang lambat tanpa tanda radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi tidak ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut “abses dingin”.
Radang tbc merupakan radang spesifik/khas.
Kadang radang disertai dengan pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis eksudativa, peritonitis eksudativa atau perikarditis eksudativa. Jika banyak terbentuk jaringan ikat, radangnya dinamai produktiva atau sika. Nekrosinya menghasilkan massa seperti salep atau keju sehingga disebut pengejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis kaseosa.
Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin sebab tidak ada demam umum maupun setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di kulit dari limfadentis tbc di leher, atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada vertebra torakal atau lumbal sering mengalirkan nanahnya ke luar melalui fasia otot psoas. Pada tempat jaringan nekrosis/keju yang telah keluar itu mungkin terjadi ruang yang disebut keverne seperti di paru atau diginjal.
Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bekteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan adanya tuberkulosis. Sediaan apus untuk identifikasi kuman BTA dapat dilakukan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen atau Kenyon-Gabet-Tan. Biakan kuman dilakukan dengan medium Lowenstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung dari letak penyakit.
Karena basil tbc sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam hingga delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmot dapat dipakai untuk biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu. Pembelahan sel menuntut 20-24 jam.
Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologis tuberkulosis sering dapat menegakkan diagnosis tuberkulosis, meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis.
Diagnosis terapi percobaan
Diagnosis dapat juga ditegakkan secara exjuvantibus* dengan terapi percobaan dengan menggunakan antituberkulosis.
Pada sebagian penderita tersangka tuberkulosis yang tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi maupun patologi, cara diagnosis ini dapat dilakukan. Efek antituberkulosis ini paling sedikit baru dapat dinantikan setelah tiga minggu.
Terapi
Terapi obat
Saat ini telah ditemukan banyak macam antituberkulosis yang mekanisme kerja dan efek sampingnya berbeda-beda. Umumnya antituberkulosis aktif terhadap kuman yang sedang giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif terhadap kuman yang membelah lambat. Selain itu obat-obat
Kemoterapeutik tbc.
Nama
Cara pemberian
Cara kerja
Efek samping
kontraindikasi
Etambutol
O
Bstat
Neurotoksik NII
Penyakit ginjal
Isoniazid
o/s
Bsid
Neurotoksik Hepatotoksik
Penyakit ginjal
Rifampisin
O
Bsid
Hapatotoksik
Penyakit hati
Pirazinamid
O
Bstat
Gastrointestinal
Penyakit ginjal
Streptomisin
S
Bsid
Neurotoksik N VIII
Penyakit ginjal
Sikloserin
O
Bstat
Neurotoksik
Penyakit ginjal
Kanamisin
S
Bstat
Neurotoksik
Penyakit ginjal
O = per os, s = suntikan,
Bstat = bakteriostatik, Bsid = bakteriosid

Ini tidak aktif dalam suasana asam sehingga kuman yang berada dalam sel makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh. Hanya pirazinamid yang aktif dalam suasana asam. Sementara itu kuman tuberkulosis mudah resisten terhadap obat-obat
ini. Oleh karena itu kemoterapi tuberkulosis selalu dalam kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud meningkatkan efek terapinya dan mengurangi kemungkinan timbulnya resistensi.
Untuk menyembuhkan tuberkulosis diperlukan pengobatan yang lama karena basil tbc tergolong kuman yang sukar dibasmi. Selain itu kuman yang semidormant, yaitu yang berada dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman tersebut telah keluar dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini kuman yang tidur tetap tidak dapat dijangkau.
Dikenal dua macam paduan terapi antituberkulosis yaitu paduan jangka panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama 6-9 bulan.
Penentuan lama pengobatan dan pemilihan paduan terapi ditentukan oleh beratnya penyakit, adanya kontraindikasi dan efek samping, serta adanya kuman.

Sebagian besar penderita tbc dapat ditolong dengan antituberkulosis
Efek samping yang penting diingat adalah kerusakan N.VIII oleh streptomisin, neuritis perifer oleh INH pada definisi vitamin B6, gangguan penglihatan oleh etambutol, dan hepatotoksitas INH dan rinfampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih berat bila kedua obat diberikan bersama-sama.



Terapi bedah

Pusat radang tuberkulosis terdiri dari pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa. Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat.

F. PERJALANAN KLINIK LIMFADENITIS TUBERCULOSA
Bakteria dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limf di leher, sering tanpa tanda tbc paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak, dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar didekatnya satu demi satu terkena radang yang khas dan dingin ini. Di samping itu, dapat terjadi juga perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan jebol, mengeluarkan bahan keperti keju. Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan menggangsir, disertai sekret yang jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi, demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma. Pengobatan dilakukan dengan tuberkulostatik.








5 komentar:

  1. apa bedanya limpadenitis akibat virus dan akibat kuman dan bagaimana penanganannya????

    BalasHapus
  2. Apa ada pengobatan lain selain dg OAT

    BalasHapus
  3. bagaimana dengan penyakit kgb kronis spesifik yang udah 2 kali pengobatan.prtama pengobatan brhenti,ke2 pengobatan smpai 1 tahun tp benjolan di leher msh ada.dn kt dokter dinyatakan sembuh bila membesar ikut pengobatan lg.jd bagaimana solusinya.dn apakah klu manusia yg slalu makan obat2an untuk kgb itu d efek samping nya.dn apakah klu sdh terapi obat tp ttp msh d benjolan,jd hrs bagaimana.........

    BalasHapus
  4. Saya menderita limfadenitis TBC. Pasca-biopsi di leher, daerah sekitar bahu saya masih terasa baal dan terasa tidak nyaman. Padahal biopsi sudah hampir 6 bulan. Apa yang menyebabkan hal tsb? Terapi apa yang harus saya jalani agar keadaan fisik saya kembali normal? Terima kasih.

    BalasHapus
  5. Terasa pegal, skit yak.. mau tidur rasanya ga bisa.

    BalasHapus