This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 26 Mei 2012

Aplikasi Kedokteran Untuk Smartphone dan Tablet


Tidak sengaja pagi ini ngisi survei di medscape.com, ternyata mereka punya aplikasi untuk smartphone dan tablet. Aplikasinya ini bisa untuk iPhone, Android, Blackberry, iPad, Kindle Fire.
Silahkan langsung kunjungi ke http://www.medscape.com/public/mobileapp
Aplikasi yang disediakannya gratis,kita bebas untuk mendownload dan memakainya

Kamis, 24 Mei 2012

Pemberian H2-Blocker Terkait dengan Risiko Infeksi pada BBLSR

Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) dengan tukak lambung dan GERD (gastroesophageal reflux disease) akan mengalami peningkatan risiko kematian enam kali lebih tinggi bila diberikan terapi ranitidine. Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh dr. Gianluca Terrin dan kolega dari Department of Women's Health and Territorial Medicine, University La Sapienza, Roma, Italia. Hasil penelitian ini juga telah dipublikasikan dalam jurnal ternama, Pediatrics.
 
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa obat penghambat sekresi asam lambung dapat meningkatkan risiko infeksi, baik pada pasien dewasa, maupun pada pasien anak-anak. Ada juga beberapa bukti yang memperlihatkan peningkatan risiko infeksi dan NEC (necrotizing enterocolitis) pada neonatus yang diberikan obat-obat golongan histamine-2 receptor (H2-R) blockers dan PPI (proton pump inhibitors).

Penggunaan ranitidine pada bayi prematur tidak direkomendasikan oleh FDA. Namun, menurut para ahli dalam penelitian ini, ranitidine semakin sering diberikan sebagai indikasi off-label pada populasi ini. “Asam lambung,” ujar dr. Terrin, “bermanfaat membunuh kuman, dan bila sekresi asam lambung dihambat dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi.” Pemberian ranitidine sebaiknya diberikan dengan perhatian pada prematur karena risiko infeksi berat seperti necrotizing enterocolitis dan berakibat fatal.

Sebuah penelitian dilakukan oleh dr. Terrin dan kolega untuk mengetahui efek pemberian ranitidine terhadap risiko terjadinya infeksi pada BBLSR. Penelitian multisenter prospektif yang dilakukan ini merupakan penelitian pertama yang meneliti efek pemberian ranitidine pada bayi-bayi dengan BBLSR. Penelitian melibatkan 274 bayi dengan berat badan berkisar antara 401-1500 gram, atau dengan usia gestasional antara 24 hingga 32 tahun. Pasien yang dilibatkan adalah pasien-pasien dari 4 NICU (Neonatal Intensive Care Units) di Italia. Dari semua bayi, 42 bayi menerima ranitidine untuk mencegah penyakit lambung yang disebabkan karena stres. Sedangkan 49 bayi lainnya juga menerima ranitidine karena diperkirakan menderita GERD. Jumlah bayi yang tidak menerima terapi ranitidine adalah 183 bayi. Analisa multivarian memperlihatkan bahwa pemberian ranitidine oleh dokter tidak terpengaruh oleh umur kehamilan, berat badan, jenis kelamin, Apgar score, Critical Risk Index for Babies score, akses vaskuler sentral, maupun ventilasi mekanik.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada kelompok bayi preamtur yang diterapi dengan ranitidine mengalami infeksi lebih banyak secara bermakna dibandingkan dengan kelompok bayi yang tidak diterapi dengan ranitidine (p <0,001). Selain itu, data-data menunjukkan bahwa jumlah kejadian NEC lebih banyak pada bayi yang diterapi dengan ranitidine dibandingkan dengan yang tidak (9,8% vs 1,6%, p=0,003). Bayi yang diterapi dengan ranitidine menjalani rawat inap lebih lama dibandingkan dengan yang tidak (rerata 52 hari vs 36 hari, p=0,001). Sebanyak 9,9% bayi dari kelompok ranitidine meninggal, dibandingkan dengan 1,6% dari kelompok yang tidak diterapi dengan ranitidine (p=0,003). Lama pemberian ranitidine tidak memengaruhi risiko terjadinya infeksi. Jumlah bayi yang mengalami necrotizing enterocolitis, menjalani rawat inap lebih lama, serta yang meninggal lebih banyak secara bermakna pada kelompok bayi yang diberikan terapi ranitidine.

Para ahli menyimpulkan bahwa ranitidine perlu dipertimbangkan secara hati-hati pemberiannya pada BBLSR berkenaan dengan adanya risiko infeksi dan kematian. Para ahli juga menyarankan penelitian lanjutan untuk mengetahui mengapa pemberian ranitidine pada BBLSR dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Peningkatan risiko ini diperkirakan terjadi karena perubahan suasana lambung oleh ranitidine yang mendukung pertumbuhan pakteri patogen, seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae, penekanan sistem imun, pembentukan sitokin inflamatorik, dan gangguan keseimbangan Th1-Th2. (YYA)


Referensi:
  1. Martinsen TC, Bergh K, Waldum HL. Gastric juice: a barrier against infectious diseases. Basic Clin Pharmacol Toxicol. 2005;96(2):94–102.
  2. Dial MS. Proton pump inhibitor use and enteric infections. Am J Gastroenterol. 2009;104(Suppl 2):S10–S6.
  3. Terrin G, Passariello A, De Curtis M, Manguso F, Salvia G, Lega L, et al. Ranitidine is Associated With Infections, Necrotizing Enterocolitis, and Fatal Outcome in Newborns. Pediatrics 2012;129:1–6.
Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1575/Pemberian-H2-Blocker-Terkait-dengan-Risiko-Infeksi-pada-BBLSR.aspx

Kopi Mengurangi Risiko Terjadinya Perlemakan Hati Non-Alkoholik (NAFLD)

Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), merupakan menifestasi sindrom metabolik pada organ hati, dan hal ini merupakan salah satu penyebab utama pada penyakit hati. Studi terbaru menunjukkan bahwa konsumsi kopi (kafein), dapat menurunkan risiko terjadinya NAFLD (perlemakan hati non-alkoholik), hal ini merupakan kesimpulan dari suatu penelitian yang dilakukan oleh Dr. Birerdinc yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Alimentary Pharmacology & Therapeutics bulan November 2011. Dalam studi tersebut, peneliti menilai kebiasaan konsumsi terhadap kejadian perlemakan hati non-alkoholik.

Penelitian tersebut melibatkan data yang diambil dari the National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES 2001-2008, sedangkan komponen makanan yang dikonsumsi berdasarkan dari kuesioner asupan harian yang mengandung daftar sebanyak 62 komponen nutrisi. Regresi logistik digunakan unutk prediktor independen perlemakan hari diantara komponen nutrisi.

Dari sebanyak 62 daftar makanan yang dikonsumsi dengan menggunakan univariat analisis menunjukkan bahwa secara bermakna sebanyak 38% pasien kontrol adri kelompok yan gmengkonsumsi kafein  terjadi perlemakan hati. Dan berdasarkan dari analisis multivariat  dari demografi, parameter klinis, dan komponen nutrisi menunjukkan bahwa NAFLD lebih rendah pada ras Afro-Amerika, jenis kelamin laki-laki, konsumsi kafein, dan konsumsi air putih, namun tinggi pada subyek dengan obesitas (BMI > 30).

Dari hasil studi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa intake kafein merupakan faktor independen yang akan menurunkan risiko NAFLD dan hal ini menunjukkan adanya efek proteksi dari kafein. Namun untuk diperlukan studi lebih lanjut untuk mengetahui atau memperjelas mekanisme kafein dalam melindungi terhadap kejadian NAFLD tersebut.


Referensi: Birerdinc A, Stepanova M, Pawloski L, Younossi ZM; Caffeine is protective in patients with non-alcoholic fatty liver disease  Alimentary Pharmacology & Therapeutics (Nov 2011)

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1578/Konsumsi-Kopi-Mengurangi-Risiko-Terjadinya-Perlemakan-Hati-Non-Alkoholik-NAFLD.aspx

Gabapentin Gastroretensif Bermanfaat untuk Neuropati Diabetikum

Gabapentin sediaan baru memberikan kentungan untuk penanganan nyeri neuropati pada pasien diabetes. Studi tentang gabapentin gastroretensif ini dilakukan oleh Dr. Sandercock dankolega dan telah dipublikasikan secara online dalam jurnal Diabetes Research and Clinical Practice bulan April 2012.
Dalam penelitian ini dilakukan dengan disain acak, tersamar ganda, berkontrol plasebo yang dilakukan pada 147 pasien dengan tujuan untuk menentukan efikasi dan keamanan dari penggunaan gabapentin yang diformulasi gastrorentetive (G-GR) dalam tatalaksana neuropati perifer diabetikum yang sangat nyeri.
Pasien diabetes dengan gejala nyeri yang simetris pada anggota gerak ujung selama 1 hingga 5 tahun dan skor rerata nyeri harian (average daily pain, ADP) awal sebesar >4 menerima pengobatan dengan G-GR 3000 mg, sebagai dosis harian tunggal malam hari (G-GR-QD) atau dosis terbagi (G-GR-DD 1200 mg siang hari/1800 mg malam hari), atau plasebo selama 4 minggu. G-GR dititrasi dari 300 mg hingga 3000 mg/hari selama 2 minggu. Diikuti dengan 2 minggu tambahan dengan dosis 3000 mg/hari. Patokan efikasi meliputi perubahan skor ADP dan rerata skor interferensi tidur harian (sleep interference score, SIS) dari nilai awal hingga minggu ke-4.

Penurunan skor ADP yang secara bermakna lebih besar terlihat pada kelompok yang diberikan G-GR-QD dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo (-2,50 vs -1,30; p =0,002). Penurunan skor ADP sebesar >50% tercapai pada 34,8% pasien di kelompok G-GR-QD dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo yang sebesar 7,8% (p =0,001). Hasil serupa juga terlihat pada perubahan dari SIS. Insiden pusing dan mengantuk, yang umumnya berkaitan dengan penggunaan gabapentin, rendah.

Berdasarkan data-data di atas peneliti menyimpulkan bahwa G-GR sekali sehari efektif dan ditoleransi dengan baik untuk pengobatan nyeri yang ditimbulkan dari neuropati perifer diabetikum. (SFN)
Referensi:
Sandercock D, Cramer M, Biton V, Cowles VE. A gastroretentive gabapentin formulation for the treatment of painful diabetic peripheral neuropathy: efficacy and tolerability in a double-blind, randomized, controlled clinical trial. [internet]. Diabetes Res Clin Pract. 2012 Apr 10.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1579/GabapentinGastroretensif-Bermanfaat-untuk-Neuropati-Diabetikum.aspx

Senin, 21 Mei 2012

Fluoroquinolone untuk Meningitis Tuberkulosa

Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahap pertama adalah ketika basil Mycobacterium tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk lesi metastatik kaseosa foci subependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran rich foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarachnoid dan mengakibatkan meningitis.

Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan menimbulkan gejala sisa yang permanen; oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia, dan demam.

Terapi antibiotik yaitu isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan streptomycin. Terapi antituberkulosis yang dikombinasikan dengan steroid dapat memperbaiki outcome. Fluoroquinolone dipertimbangkan sebagai terapi MDR tuberkulosis tetapi peranannya dalam meningitis tuberkulosa belum diketahui.


Methylprednisolone dapat Meringankan Renal Scarring akibat Pielonefritis Akut

Uji klinis terbaru menunjukkan bahwa terapi pendamping methylprednisolone oral dapat menurunkan kejadian dan/atau keparahan renal scarring pada pielonefritis anak. Renal scarring setelah pielonefritis akut dikaitkan dengan kondisi patologis yang berkepanjangan, sebagaimana diungkapkan oleh dr. Ya-Yun Huang dkk. dari Department of Pediatrics, National Cheng Kung University Medical College and Hospital di Tainan, Taiwan. Pencegahan scarring setelah pielonefritis akut tidak hanya bergantung pada diagnosis awal dan perawatan segera untuk eradikasi bakteri, tetapi juga pada cara mengatasi respons inflamasi yang destruktif.

Tujuan studi ini adalah untuk meneliti apakah pemberian glukokortikoid dapat
mencegah pembentukan renal scarring setelah episode pertama pielonefritis akut pada pasien anak (<16 tahun) yang berisiko tinggi mengalami renal scarring. Kriteria inklusinya adalah volume inflamasi sedikitnya 4,6 mL pada technetium-99m–labeled dimercaptosuccinic acid scan (DMSA) atau temuan
ultrosonografi (USG) yang abnormal.

Delapan puluh empat subjek secara acak menerima antibiotik plus methylprednisolone sodium phosphate (1,6 mg/kg/hari; n=19) atau antibiotik plus plasebo (n=65) setiap 6 jam selama 3 hari. Endpoint primernya adalah renal scarring yang terlihat pada pemeriksaan 6 bulan kemudian.
Pada awal studi, kedua kelompok memiliki karakteristik, parameter inflamasi akut, dan temuan DMSA yang mirip. Enam bulan kemudian, 33,3% anak yang diberi methyl­ prednisolone memperlihatkan renal scarring pada pemeriksaan DMSA, sedangkan pada kelompok kontrol, 60% menunjukkan renal scarring pada pemeriksaan DMSA (p<0,05), dengan nilai median volume defek kortikal berturut-turut 0,0 mL (0-4,5 mL) dan 1,5 mL (0-14,8 mL) (p <0,01). Dibandingkan dengan kelompok kontrol, demam pasien di kelompok methylprednisolone turun lebih cepat.

Studi ini memiliki keterbatasan, seperti lokasi uji klinis (sebuah pusat rujukan tersier), desain skala kecil, jumlah pasien yang sedikit di beberapa analisis sub-grup, dan inkonsistensi metode yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi renal scarring. Terlepas dari keterbatasan studi ini, hasil penelitian ini cukup menjanjikan; tetap diperlukan studi tambahan dengan populasi lebih besar untuk memvalidasi efek serta menentukan dosis optimum glukokortikoid dan kelompok umur pasien yang kemungkinan besar akan beroleh manfaat dari pemberian glukokortikoid.

Terapi pendamping methylprednisolone oral dengan pemberian antibiotik yang
kuat dapat menjadi terapi yang potensial mencegah atau mengurangi kerusakan jaringan permanen pada pasien pielonefritis akut. (AGN)
 
REFERENSI
1.     Huang YY, Chen MJ, Chiu NT, Chou HH, Lin KY, Chiou YY. Adjunctive Oral Methylprednisolone in Pediatric Acute Pyelonephritis Alleviates Renal Scarring. Pediatrics 2011;128:e 496-504
2.     Barclay L. Steroids May Alleviate Acute Pyelonephritis in Children.  Medscape Medical News. Available from: http://www.medscape.com/ viewarticle/748377
3.     Wennerström M, Hansson S, Jodal U, Stokland E. Primary and acquired renal scarring in boys and girls with urinary tract infection. J Pediatr. 2000;136(1):30-4.


Sumber: http://www.kalbemedical.org/Portals/6/15_190Berita%20Terkini-Methylprednisolone%20dapat%20meringankan%20renal%20scarring%20akibat%20pielonefritis%20akut.pdf








Asam Folat Memperbaiki Gangguan Bahasa Pada Anak

Suplementasi asam folat prenatal menurunkan risiko terjadinya defek selubung saraf yang dikenal sebagai NTD (neural tube defect) serta memberikan beberapa efek menguntungkan lainnya dalam aspek neurodevelopment pada bayi dan anak.

Dalam suatu penelitian di Norwegia, diperoleh hasil bahwa pemberian asam folat pada ibu hamil ternyata dapat menurunkan risiko gangguan berbahasa yang berat pada anak di usia 3 tahun. Temuan ini dipublikasikan dalam JAMA Oktober 2011. Penelitian itu bertujuan memeriksa hubungan antara suplementasi asam folat pada ibu sebelum kelahiran dengan risiko gangguan berbahasa, dalam konteks keterlambatan berbahasa yang berat pada anak usia 3 tahun.

Penelitian prospektif observasional yang diberi nama Norwegian Mother and Child Cohort Study ini melibatkan sejumlah wanita yang hamil antara tahun 1999 hingga Desember 2008. Para peneliti menggunakan data anak-anak yang lahir sebelum tahun 2008, yang diberikan oleh ibunya melalui isian kuesioner yang dikembalikan sebelum tanggal 16 Juni 2010. Para ibu diberi suplemen asam folat dalam interval 4-8 minggu setelah konsepsi. Risiko relatif diperkirakan dengan mengestimasi odds ratio (OR) dengan 95% CI pada analisis regresi logistik. Outcome primernya adalah kompetensi bahasa anak pada usia 3 tahun yang diukur melalui laporan ibu dengan menggunakan skala 6-point ordinal la­nguage grammar. Anak usia 3 tahun dengan bahasa ekspresif minimal (hanya 1 kata atau ucapan yang tidak dipahami) dianggap mempunyai gangguan (keterlambatan) berbahasa yang berat.

Dari 38.954 anak yang diikutkan, 204 (0,5%) di antaranya mengalami keterlam-
batan berbahasa yang berat. Anak dari ibu yang tidak mendapat suplemen asam folat dengan pajanan interval spesifik dimasukkan dalam kelompok kontrol (n  =  9.052 [24%]), di kelompok ini keterlambatan berbahasa berat ditemukan pada 81 anak (0,9%). Adjusted OR untuk 3 pola pajanan dalam suplemen diet ibu adalah (1) suplemen lain selain asam folat (n = 2.480 [6,6%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 22 anak (0,9%); OR, 1,04; 95% CI, 0,62-1,74; (2) asam folat saja (n = 7.127 [18,9%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 28 anak (0,4%); OR, 0,55; 95% CI, 0,35-0,86; (3) kombinasi asam folat dengan suplemen lain (n  =  19.005 [50.5%]),dengan keterlambatan berbahasa berat Dari 38.954 anak yang diikutkan, 204 (0,5%) di antaranya mengalami keterlambatan berbahasa yang berat. Anak dari ibu yang tidak mendapat suplemen asam folat dengan pajanan interval spesifik dimasuk kan dalam kelompok kontrol (n  =  9.052 [24%]), di kelompok ini keterlambatan
berbahasa berat ditemukan pada 81 anak (0,9%). Adjusted OR untuk 3 pola pa
janan dalam suplemen diet ibu adalah (1)suplemen lain selain asam folat (n = 2.480 [6,6%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 22 anak (0,9%); OR, 1,04; 95% CI, 0,62-1,74; (2) asam folat saja (n = 7.127 [18,9%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 28 anak (0,4%); OR, 0,55; 95% CI, 0,35-0,86; (3) kombinasi asam folat dengan suplemen lain (n  =  19.005 [50.5%]), dengan keterlambatan berbahasa berat pada 73 anak (0,4%); OR, 0,55; 95% CI, 0,39-0,78.Simpulannya, suplementasi asam folat pada masa-masa awal kehamilan terkait dengan penurunan risiko keterlambatan berbahasa yang berat pada anak di usia 3 tahun. 

Referensi
Roth C, Magnus P, Schjolberg, Stoltenberg C, Suren P, McKeague IW, et al. Folic Acid Supplements in Pregnancy and Severe Language Delay in Children. JAMA 2011;306(14):1566-73.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/Portals/6/13_190Berita%20Terkini-Asam%20folat%20memperbaiki%20gangguan%20bahasa%20pada%20anak.pdf
pada 73 anak (0,4%); OR, 0,55; 95% CI,
0,39-0,78.