Apendiks disebut juga umbai cacing, istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (De Jong, 2004)
Apendik adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Apendik terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Apendik tidak diketahui fungsinya, sehingga operasi pengangkatan apendik tidak menyebabkan gangguan fungsi pencernaan.
Sekitar 7 % orang-orang di Negara barat mengalami apendisitis pada suatu waktu ketika mereka hidup dan sekitar 250.000 apendiktomi pada akut apendisitis dilakukan untuk tiap-tiap tahun di Amerika. Insidensinya telah menurun secara stabil selama kurun waktu 25 tahun terakhir, hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pegunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Namun insidensi di negara-negara berkembang yang pada kurun waktu sebelumnya sangat sedikit angka insidensinya tapi sekarang sudah mulai naik sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perubahan gaya hidup manusianya (Santacroce, 2005).
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi (De Jong, 2004)
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan inta sekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apensitis akut.
Pada bayi apendik berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memeungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens, gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendistis bermula di sekitar umbilikus.
Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.
Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoapendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka apendik tidak terbungkus oleh tunika serosa.
Mukosa apendik terdiri atas sel-sel dari gastrointestinal endokrin system. Sekresi dari mukosa ini adalah serotonin dan terkenal dengan nama sel argentaffin. Tumor ganas paling sering muncul pada apendik dan tumbuh dari sel ini.
Patofisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindungterhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (De Jong, 2004).
Apendistis dapat di mulai dari obstruksi lumen oleh sumbatan feses atau fekalit. Hal ini sejalan dengan penelitian epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan kurangnya diet makanan berserat.
Pada stadium awal apendisitis, pada mukosa apendik terjadi peradangan. Peradangan ini secara cepat meluas melaluli submukosa menembus tunika muskularis dan tunika serosa. Eksudat fibropurulen yang dihasilkan oleh tunika permukaan serosa dan meluas ke permukaan peritonium, seperti di dinding abdomen yang menyebabkan peritonitis lokal.
Setelah stadium akut ini muncul mukosa glandular yang nekrosis muncul pada lumen, dan muncul pula menjadi infeksi/pus. Pada akhirnya, end arteri yang menyuplai apendiks akan terjadi trombosis dan apendiks yang tersumbat itu dapat menjadi nekrosis atau gangrenosa. Hal ini biasa muncul pada bagian distal dan apendiks mulai menjadi hancur atau pecah. Perforasi kemudian muncul sejalan dengan kontaminasi feses dan menyebar kedalam cavum peritoneum. Jika perforasi terbungkus oleh omentum atau perlengketan usus halus maka dapat muncul abses lokal. Jika tidak tertutup maka akan terjadi peritonitis yang menyebar keseluruh cavum peritoneum.
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendik dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaraingan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. (De Jong, 2004)
Apendik yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kana bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.
Manifestasi Klinis
Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah ke titik McBurney, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada konstipasi yang diberikan obat pencahar akan berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.
Bila apendiks retrosekal retoperitoneal, karena letaknya letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif, dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda rovsing, psoas, dan obturator positif, akan semakin menyakinkan diagnosis klinis apendisitis (Mansjoer, 2000)
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bias melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi. Sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi (De Jong, 2004)
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut yang gejalanya sering samara-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
Pemeriksaan
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 0C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 10C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler.
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan. Bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritonium parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolatero-dorsal oleh uterus, keluhan nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan bergesr ke kanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda dengan pada orang hamil karena itu perlu dibedakan apakah kelhan nyeri bersal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari apendiks.
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewktu dilakukan colok dubur.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kakan atau fleksi aktif sendi panggul kakan, kemudian paha kakan ditahan. Bila apendik yang meradang menempel di m.psoas mayor, tindakan tersbut akan menimbulkan nyeri.
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika. (De Jong, 2004)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboraturium akan didapatkan pada pemeriksaan jumlah leukosit, akan terjadi leukositosis ringan (10.000-20.000/ml) dengan peningkatan jumlah netrofil. Pemeriksaan urin juga diperlukan untuk membedakannya dengan kelainan pada ginjal dan saluran kemih.
Pada kasus akut tidak diperbolehkan melakukan barium enema, sedangkan pada apendisitis kronis tindakan ini dibenarkan. Pemeriksaan USG dilakukan bila telah terjadi infiltrat apendikularis.
Saat ini banyak di diskusikan mengenai pemeriksaan imaging menggunakan CT scan. Pada literature disebutkan bahwa keakuratan pemeriksaan CT scan mencapai 98%. Namun pemeriksaan ini sangat mahal sehingga pemeriksaan ini baik dilakukan pada kasus yang sulit. (Santacroce, 2005)
Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.
Gastroenteritis akut adalah kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada kelainan ini muntah dan diare lebih sering. Demam dan lekosit akan meningkat jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah-pindah. Hiperperistaltik merupakan gejala yang khas. Gastroenteritis biasanya berlangsung akut, suatu observasi berkala akan dapat menegakkan diagnosis.
Adenitis mesenterikum juga dapat menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan apendisitis. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak, biasanya didahului infeksi saluran nafas. Lokasi nyeri diperut kanan tidak konstan dan menetap, jarang terjadi true muscle guarding (De Jong, 2004).
Divertikulitis meckeli juga menunjukkan gejala yang hampir sama. Lokasi nyeri mungkin lebih ke medial, tetapi ini bukan kriteria diagnosis yang dapat dipercaya. Karena kedua kelainan ini membutuhkan tindakan operasi, maka perbedaannya bukanlah hal penting.
Enteritis regional, amubiasis, ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter, pada perempuan adalah (PID / pelvic inflamantory disease) salpingitis akut, kehamilan ektopik terganggu, dan kista ovarium terpuntir juga sering dikacaukan dengan apendisitis. Peneumonia lobus kanan bawah kadang-kadang juga behubungan dengan nyeri di kuadran kanan bawah (Santacroce, 2005)
Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis akut masih mungkin salah sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologi yang lain.
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut bila diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam.
Foto barium kurang dapat dipercaya, penggunaan foto barium sangat berbahaya, kita tidak dapat memperediksi apakah apendisits itu perforasi atau tidak, jika penggunaan foto barium pada saat perforasi makan akan berbahaya yang menyebabkan terjadinya peritonitis. Ultrasonografi bisa meningkatkan akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan, CT scan dapat pula dilakukan (De Jong, 2004).
Tata Laksana
Sebelum operasi perlu dilakukan observasi dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis sering kali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis lekosit) diulang secara periodik. Foto abdomen dan thorak tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendiktomi.
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotika, keculai pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun cara laparoskopi. Bila apendiktomi terbuka, incisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakuakn operasi atau tidak.
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupaun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus sering disebut sebagai massa periapendikuler atau infiltrat.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadaran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas.
Sedangkan menurut mualai terjadinya komplikasi, komplikasi apendistis dapat dibagi menjadi tiga yaitu komplikasi segera, intermediate, komplikasi lanjut.
Komplikasi segera diantaranya adalah perdarahan, trombosis, peritonitis, perlengketan, dilatsi lambung akut.
Komplikasi intermediate salah satu contohnya adalah abses di daerah pelvinal, prerectal, perimetritis, subfrenik, dapat pula terjadi pyelopielitis, hemofilia, tromboflebitis femoralis, emboli pulmo, fistel luka operasi.
Untuk komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah hernia incisional, perlengketan usus atau streng ileus (Mansjoer, 2000)
Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Letak Apendik bermacam-macam sehingga manifestasi klinis nya berbeda-beda tergantung dari letak apendik itu sendiri.
Banyak pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pemeriksaan memerlukan kejelian dan ketelitian agar diagnosis dapat akurat, oleh karena itu pemeriksaan penunjang sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang saat ini banyak di bicarak adalah penggunaan CT Scan sebagai alat Bantu karena keakuratannaya mendekati 100 %.
Penatalaksanaan apendisitis yang paling utama adalah apendiktomi. Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendiktomi.
REFERENSI
Anonim, 2005. The Merck Manual section 3 chapter 25 Acute abdomen and Surgical Gastroenterology. http://www.merck.com/pubs/append.htm.
De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 639-48
Santacroce, Luigi. 2005. Appendicitis. http://www.emedicinen.com.
Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku Media Aesculapius. Jakarta. Hal 307-13
Marijata. 2006. Pengantar Dasar Bedah Klinis. Unit Pelayanan Kampus. FK UGM. Jogjakarta hal :273-81
0 komentar:
Posting Komentar