This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 30 September 2013

Gabapentin Bermanfaat untuk Batuk Kronik Persisten

Batuk kronik adalah batuk yang didefinisikan sebagai batuk yang menetap lebih dari 2 bulan (8 minggu). Batuk ini merupakan suatu symptom yang kompleks, yang dapat ditangani oleh minimal 4 jenis spesialis yang berbeda, seperti spesialis pulmunologi, alergi dan imunologi, digestive health and THT. Melihat hal ini, tentu saja batuk yang lama dan persisten ini tentunya akan sangat menganggu kehidupan pasien sehari-hari. Baik itu kehidupan kerja, sosial dan bermasyarakatnya.

Ada beberapa teori yang diduga dapat menyebabkan terjadinya batuk yang berkepanjangan ini, salah satu diantaranya adalah adanya teori yang mengatakan bahwa batuk kronik ini dipicu karena adanya neuropati laringeal. Salah satu karakteristik yang penting dari neuralgia adalah adanya kemunculan dari fenomena penyebab atau penurunan ambang batas dari provokasi. Banyak yang menspekulasikan bahwa manifestasi dari neuralgia pada saraf laringeal atas adalah adalah munculnya sensasi yang mendadak dan berlebihan, yang walaupun tidak menyakitkan dapat menyebabkan munculnya batuk atau keinginan untuk batuk yang tidak terkendali. Salah satu pengobatan yang dapat digunakan, terutama untuk mengatasi batuk kronik terkait masalah neuropati adalah obat agonis dari GABA (gamma amino butyric acid).

Akhir-akhir ini telah dilakukan suatu penelitian yang mencoba meneliti keefektifitasan dari gabapentin dalam terapi batuk kronik yang persisten, Seperti yang telah diketahui sebelumnya, gabapentin adalah kelompok obat antikonvulsan yang bekerja pada subunit alfa-2 delta dari kanal kalsium. Obat ini akhir-akhir ini sering digunakan untuk mengatasi nyeri neuropati.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Ryan dan kawan-kawan. Penelitian ini dilakukan dengan desain acak, tersamar ganda dengan control plasebo. Penelitian ini melibatkan 62 pasien rawat jalan di Australia. Dimana pasein tersut dipilih dari pasien dengan batuk krinik yang persisten (> 8 minggu), tanpa adanya penyakit pernafasan yang aktif atau infeksi pernafasan. Penelitian dilakukan selama 10 minggu. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, 32 orang mendapatkan gabapentin dengan dosis toleransi maksimal hingga 1800 mg, sedangkan sisanya mendapat plasebo. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa gabapentin secara signifikan dapat memperbaiki batuk dan kualitas hidup yang spesifik yang dipengaruhi oleh batuk tersebut bila dibandingkan dengan plasebo (p=0,004). Sedangkan efek samping yang paling sering timbul pada kelompok gabapentin adalah nausea dan lelah pada 3,1 % pasien.

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa pengobatan batuk kronik persisten dengan gabapentin terbukti efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Hasil yang positif dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa sensitisasi reflek sentral adalah mekanisme yang relevan untuk batuk kronik yang persisten. (YJF)

Referensi:
1.Pacheco A, Cobeta I, Wagner C. Refractory chronic cough: new perspectives in diagnosis and treatment. Arch Bronconeumol. 2013 Apr;49(4):151-7. doi: 
10.1016/j.arbres.2012.09.009. Epub 2012 Nov 17.
2.Wiffen PJ, McQuay HJ, Edwards JE, Moore RA. Gabapentin for acute and chronic pain. Cochrane Database Syst Rev. 2005 Jul 20;(3):CD005452.
3.Ryan NM, Birring SS, Gibson PG. Gabapentin for refractory chronic cough: a randomised, double-blind, placebo-controlled trial. Lancet. 2012 Nov 3;380(9853):1583-9. doi: 10.1016/S0140-6736(12)60776-4. Epub 2012 Aug 28.

Minggu, 08 September 2013

Download Blanko Sertifikat CME CDK

Silahkan download bagi yang butuh, anda tinggal ngisi dengan nama dokter dan NPA beserta judul artikel CDK yang ada CME nya

Sabtu, 24 Agustus 2013

Olah Raga Rekreasional Jangka Panjang Menurunkan Risiko Kanker Endometrium

Aktivtitas fisik termasuk olah raga yang bersifat rekreasional akan menurunkan risiko kanker endometrium pada wanita khususnya dengan kegemukan atau obes. Hal ini merupakan kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh Dr. C M Dieli-Conwright dari Division of Cancer Etiology, Department of Population Sciences, Beckman Research Institute of City of Hope, California, USA dan kolega yang telah dipublkasikan secara online dalam British Journal of Cancer bulan Juli 2013 ini.

Dalam studi tersebut, peneliti melibatkan sebanyak 93.888 guru-guru di California yang memenuhi syarat. Sebanyak 976 terdiagnosis kanker endometrium dalam kurun waktu 1995–1996 and 2007. Metode Cox proportional hazards regression digunakan untuk memperkirakan risikorelatif (RRS) dan 95%CI hubungan antara kanker endometrium (kurun waktu 54 tahun maupun 3 bulan sebelum bergabung dalam studi kohort) dengan aktivtias fisik rekreasional jangka panjang, ataupun secara keseluruhan serta berdasarkan "body size".

Peningkatan aktivitas fisik rekreasional 3 bulan sebelum penelitian berhubungan dengan penurunan risiko kanker endometrium (Ptrend0,006) dengan sekitar 25% penurunan risiko diantara wanita dengan aktivitas > 3 jam perminggu per tahun dan kurang dari 1/2 jam per minggu per tahun dengan RR RR, 0.76; 95% CI, 0.63–0.92. Hubungan sebaliknya terlihat pada wanita dengan kegemukan ((body mass index ≥25kgm−2; Ptrend=0.006), namun bukan pada wanita yang lebih langsing (Ptrend0,12). Aktivitas fisik derajat sedang pada 3 bulan sebelum studi menunjukkan penurunan risiko kanker endometrium.

Dari studi tersebut peneliti menyimpulkan bahwa, peningkataan aktivitas fisik, khususnya aktivitas derajat sedang dan berat dapat sebagai perubahan gaya hidup pada wanita dengan kegemukan untuk menurunkan risiko kanker endometrium.(Red)



Referensi: C M Dieli-Conwright, H Ma, J V Lacey Jr, K D Henderson, S Neuhausen, P L Horn-Ross, D Deapen, J Sullivan-Halley and L Bernstein. Long-term and baseline recreational physical activity and risk of endometrial cancer: the California Teachers Study.British Journal of Cancer (2013) 109, 761–768. doi:10.1038/bjc.2013.61

Cephalosporin Generasi III oral dan Azithromycin vs Regimen Terapi Berbasis Ceftriaxone untuk Pharyngeal Gonorrhea

Guideline CDC (Centers for Disease Control and Prevention) terbaru untuk pharyngeal gonorrhea merekomendasikan terapi kombinasi ceftriaxone IM dengan azithromycin atau doxycyline sebagai pilihan pertama. Ketika ceftriaxone tidak tersedia atau tidak dapat diberikan, cephalosporin generasi ketiga oral (cefixime) dapat diberikan sebagai pengganti.

Studi terbaru menunjukkan bahwa kombinasi cephalosporin generasi ketiga oral dengan azithromycin sebanding dengan kombinasi cephalosporin generasi ketiga IM dengan azithromycin untuk phryngeal gonorhhea / oral gonorhhea (infeksi gonorrhea di faring; penularan melalui oral seks). Penelitian ini merupakan analisa retroprospektif pada pasien yang didiagnosis menderita pharyngeal gonorrhea pada periode 1993-2011 di klinik penyakit menular seksual di Seattle, Washington, dan membandingkan proporsi hasil tes ulangan yang positif untuk pharyngeal gonorrhea, 7-180 hari setelah perawatan pada pasien yang menerima regimen obat yang berbeda beda. 

Hubungan antara regimen terapi dinilai dengan relative risk melalui model regresi Poisson dengan log link dan robust standard errors. Total 1440 kasus pharyngeal gonorrhea didiagnosis selama periode studi, 25% (n=360) menjalani tes ulangan. Di antara pasien yang menjalani tes ulangan, risiko tes ulangan yang positif paling rendah pada pasien yang menerima cephalosporin oral dan azithromycin (7%), dan paling tinggi pada pasien yang menerima cephalosporin oral saja (30%, relative risk [RR] 3,98; 95% confidence interval [CI], 1,7-9,36) atau cefphalosporin oral dikombinasikan dengan doxycycline (33%; RR, 4,18; 95% CI, 1,64-10,7).

Risiko tes ulangan yang positif tidak berbeda bermakna antara pasien yang diberikan cephalosporin oral + azithromycin dengan pasien yang diberikan ceftriaxone saja (9,1%; RR, 0,81; 95% CI, 0,18-3,60) atau ceftriaxone dikombinasikan dengan azithromycin atau doxycycline (11,3%; RR, 1,20; 95% CI, 0,43-3,33).

Kesimpulan: Dalam studi retroprospektif ini, kombinasi cephalosporin generasi ketiga oral dengan azithromycin sebanding dengan regimen berbasis ceftriaxone pada perawatan pharyngeal gonorrhea. Kombinasi cephalosporin oral dengan doxycycline terkait dengan peningkatan risiko infeksi yang persisten atau rekuren. (AGN)


Referensi:
1.Barbee LA, Kerani RP, Dombrowski JC, Soge OO, Golden MR. A retrospective comparative study of 2-drug oral and intramuscular cephalosporin treatment regimens for pharyngeal gonorrhea. Clin Infect Dis. 2013 Jun;56(11):1539-45.
2.CDC. Gonorrhea treatment guidelines: Revised guidelines to preserve last effective treatment option. CDC Fact Sheet [Internet] 2012 [Cited 2013 Jan 10]. Available: from: http://www.cdc.gov/nchhstp/newsroom/docs/2012/GonorrheaTreatmentGuidelinesFactSheet8-9-2012.pdf

Kolesterol Total Serum sebagai Marker Mortalitas Pasien Lanjuti Usia Rawat Inap

Telah diketahui bahwa peningkatan kadar kolesterol total (STC – serum total cholesterol) dalam serum dikaitkan dengan peningkatan mortalitas karena penyebab lain dan kardiovaskuler pada pasien usia pertengahan. Pada pasien lanjut usia (>60 tahun) peningkatan kadar kolesterol total dalam serum sebesar 1 mmol/L dikaitkan dengan 20% peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskuler (CVD) pada 5 dan 10 tahun ke depan.

The National Cholesterol Education Program (NCEP) menggunakan program modifikasi risiko berdasarkan Framingham yang memasukkan STC di dalam perhitungan untuk memprediksi risiko kejadian CHD (coronary heart disease) dalam 10 tahun pada dewasa usia 20-79 tahun. Akan tetapi, program ini tidak berhasil untuk memperhitungkan risiko CHD pada pasien diatas usia >79 tahun. STC merupakan salah satu faktor penentu penting terjadinya CVD pada pasien usia 60 tahun dan keatas. 

Ada kemungkinan hubungan terbalik antara STC dan mortalitas pada pasien lanjut usia (>79 tahun) yang direfleksikan pada status nutrisi, seperti yang ditunjukkan pada kelompok populasi pasien dengan penyakit kronik. Pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, umumnya memiliki risiko peningkatan ganggauan nutrisi atau malnutrisi yang dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Studi yang menunjukkan secara langsung hubungan STC dengan peningkatan mortalitas pada pasien lanjut usia yang menjalani rawat inap sangat terbatas. 

Pada pasien lanjut usia (>79 tahun) terkadang memiliki hasil yang berbeda terkait akan peningkatan STC. Hubungan STC dan mortalitas pada usia lanjut >79 tahun terkadang kontradiktif jika dibandingkan pada kelompok pasien dengan usia yang lebih muda. Pada studi yang dilakukan oleh Honolulu Heart Program menunjukkan pada pasien lanjut usia antara 71-93 tahun yang memiliki kadar STC rendah (kuartil terendah untuk kadar STC) memiliki meningkatan relative risk (RR) kematian (RR 1,64; 95% CI 1,13 – 2,36). Begitu pula juga dengan sebuah studi yang dilakukan di Finlandia, pada pasien lanjut usia >75 tahun peningkatan setiap 1 mmol/L dari kadar kolesterol total dikaitkan dengan penurunan risiko 6 tahun kematian karena penyebab apapun (all-cause mortality) sebesar 22%.

Studi terbaru dilakukan untuk menilai hubungan antara STC, kadar albumin, dan mortalitas pada pasien lanjut usia yang menjalani rawat inap. Data dikumpulkan berdasarkan pasien yang menjalani rawat inap antara 1 Jan 1999 sampai dengan 31 Des 2000. 298 data pasien dikumpulkan berdasarkan kriteria pasien lanjut usia yang menjalani rawat inap di bagian geritatri dan bersedia untuk diikutsertakan dalam penelitian ini, serta memiliki angka harapan hidup minimal 180 hari sejak menjalani rawat inap di RS. 

Berikut adalah hasil dari studi tersebut: pada fase follow-up pada 31 Agus 2004, terdapat 50 pasien yang masih hidup dan 248 pasien yang sudah meninggal, dengan rata-rata usia pasien 81,5 tahun. Terhadapat perbedaan bermakna pada beberapa variable antara pasien yang hidup dan meninggal pada fase follow-up: BMI (p<0 1="" 2="" 50="" 95="" albumin="" ci="" kadar="" kematian="" kolesterol="" kuartil="" memiliki="" p="0,02).</div" pada="" peningkatan="" risiko="" sebesar="" stc="" terendah="" total="">

Kesimpulan: Peningkatan kadar STC dan albumin pada pasien lanjut usia (>79 tahun) yang menjalani rawat inap di RS dikaitkan perbaikan harapan hidup. (MAJ)



Referensi :
1.Weiss A, Beloosesky Y, Schmilovitz-Weiss H, Grossman E, Boaz M. Serum total cholesterol: A mortality predictor in elderly hospitalized patients. Clin Nutr. 2013;32(4):533-7.
2.Rahilly-Tierney CR, Spiro A 3rd, Vokonas P, Gaziano JM. Relation between high-density lipoprotein cholesterol and survival to age 85 years in men (from the VA normative aging study). Am J Cardiol. 2011;107(8):1173-7.
3.Krumholz HM, Seeman TE, Merrill SS, Mendes de Leon CF, Vaccarino V, Silverman DI, et al. Lack of association between cholesterol and coronary heart disease mortality and morbidity and all-cause mortality in persons older than 70 years. JAMA. 1994;272(17):1335-40.

Suplementasi Vitamin pada Pasien Kanker

Lebih dari separuh populasi penduduk Amerika menggunakan suplemen harian. Suplemen yang sering digunakan yaitu multivitamin karena dipercaya akan mencegah dan sebagai terapi penyakit kronik, misalnya kanker. Selain multivitamin, anti-oksidan juga sering digunakan untuk mencegah kanker dan penyakit jantung. Tetapi pada pasien dengan kanker, anti-oksidan digunakan untuk membantu penyembuhan dan mencegah rekurensi. Studi menunjukkan bahwa sampai dengan 81% dari cancer survivor menggunakan suplemen harian, dan 14-32%-nya mulai menggunakan setelah didiagnosis.

American Institute for Cancer Research (AICR) merekomendasikan diet rendah lemak, banyak mengkonsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk whole-grain; dan memiliki makronutrien yang cukup serta vitamin dan mineral untuk mempertahankan kesehatan yang baik untuk cancer survivor. Selama pasien dengan kanker mendapat kemoterapi atau radiasi, pasien sering mengalami mual, muntah, diare, dan hilangnya nafsu makan sehingga terjadi penurunan asupan harian dan penurunan berat badan.

Vitamin dan mineral tampaknya penting diberikan tetapi ternyata tidak selalu penting diberikan. Yang menjadi concern yaitu suplemen harian (dengan/atau tanpa properti anti-oksidan) mungkin mempengaruhi efikasi terapi kanker. Penggunaan suplemen harian selama terapi kanker masih kontroversial. Suplemen harian dengan anti-oksidan mungkin aman dan efektif dalam meningkatkan respons terhadap kemoterapi dan memperbaiki kualitas hidup dengan menurunkan efek sampingnya. Sebaliknya, terdapat argumen yang menunjukkan penggunaan suplemen anti-oksidan selama kemoterapi mengganggu proses oksidatif DNA seluler dan membran sel yang penting untuk obat tersebut bekerja.

Argumen lainnya yaitu apoptosis sel tumor meningkat dengan adanya reactive oxygen species (ROS) dalam jaringan dan proses ini diperlambat dengan adanya anti-oksidan.Mengkonsumsi suplemen harian dengan kandungan nutrien dengan anti-oksidan yang melebihi Dietary References Intake (DRI) tidak direkomendasikan selama mendapat kemoterapi karena kandungan yang tinggi memiliki efek samping dan menganggu efikasi terapi.

Berikut ringkasan pengggunaan suplemen pada pasien dengan kanker:

Studi
Hasil
J Clin Oncol. 2010;28:4354-63 (n= 1.038)
Pasien dengan kanker kolon stadium III, mendapat kemoterapi adjuvan. Pasien melaporkan menggunakan multivitamin selama dan 6 bulan setelah kemoterapi adjuvan.
Penggunaan multivitamin selama dan setelah kemoterapi adjuvan tidak berkaitan secara bermakna dengan perbaikan outcome pada pasien dengan kanker kolon stadium III. Penggunaan multivitamin juga tidak memperbaiki toksisitas saluran cerna derajat 3 atau lebih.
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2010;20(2):262-71 (n= 4.877)
Pasien dengan kanker payudara invasif. Penggunaan suplemen vitamin selama 6 bulan pertama setelah diagnosis dan selama terapi kanker.
Penggunaan suplemen vitamin mungkin berkaitan dengan menurunnya risiko mortalitas dan rekurensi.
Limitasi: tidak terdapat informasi lengkap mengenai dosis suplemen vitamin, tidak terdapat informasi diet yang lengkap.
Am J Epidemiol. 2006;163:645-53 (n= 1.455)
Pasien dengan kanker payudara. Pasien mendapat ginseng setelah didiagnosis kanker atau sebelum didiagnosis kanker.
Risiko mortalitas menurun pada pengguna ginseng secara rutin. Sedangkan pada pengguna ginseng setelah didiagnosis kanker, berkaitan positif dengan skor kualitas hidup.
Limitasi: tidak dapat menyingkirkan adanya penggunaan obat komplementer lain, informasi berupa laporan pasien sendiri (ada kemungkinan bias).
Cancer Control 2005;12(3):149-57
Tinjauan literatur mengenai herbal yang digunakan pasien kanker
Suplemen yang berbeda memiliki aktivitas anti-platelet, berinteraksi dengan corticosteroid & obat pada sistem saraf pusat, memiliki manifestasi pada saluran cerna, bersifat hepatotoksik & nefrotoksik, menghasilkan efek aditif jika digunakan dengan analgesik opioid.
J Clin Oncol. 2008;26(4):665-73 (n= 32 trial)
Tinjauan sistematik penggunaan vitamin & mineral setelah didiagnosis kanker
14-32% dari cancer survivor menggunakan suplemen setelah didiagnosis kanker. Sampai dengan 68% dokter unaware mengenai penggunaan suplemen pada pasiennya. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kaitan antara penggunaan suplemen dengan toksisitas terapi, rekurensi, survival, dan kualitas hidup untuk mendukung penggunaan suplemen pada pasien kanker dan survivor.
Int J Cancer 2009;125:1155-60 (n= 2.997)
Pasien wanita dengan kanker solid mendapat suplemen cod liver oil atau suplemen lain
Penggunaan cod liver oil harian sepanjang tahun berkaitan dengan penurunan risiko kematian pada pasien dengan kanker solid dan dengan kanker paru. Penggunaan suplemen lain harian atauoccasional juga berkaitan dengan penurunan risiko kematian. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi kaitan ini.
 


AICR (2003) merangkum mengenai pemberian suplemen harian selama terapi kanker sebagai berikut:
• Suplementasi diet pasien kanker yang menjalani terapi dengan anti-oksidan tunggal atau kombinasi melebihi RDA (Recommended Dietary Allowance) atau AI (Adequate Intake) tidak dapat direkomendasikan aman atau efektif.
• Penggunaan anti-oksidan dalam kadar yang tinggi sebagai satu-satunya terapi tidak dianjurkan karena berbahaya bagi sel normal via efek pro-oksidan atau mungkin memberi manfaat untuk sel kanker.
• Belum terdapat evidence yang kuat mengenai penggunaan suplementasi vitamin E pada pasien yang menjalani kemoterapi atau terapi radiasi.
• Pasien kanker sebaiknya mengikuti diet reasonable dengan kebutuhan vitamin C sesuai RDA atau tidak melebihi 2 kali jumlahnya.
• Pasien tidak boleh mengkonsumsi β-karoten dalam jumlah besar.
• Belum terdapat evidence yang cukup untuk saat ini mengenai rekomendasi selenium.
• Kurangnya informasi mengenai interaksi anti-oksidan meningkatkan concern untuk merekomendasikan kombinasi anti-oksidan yang sembarangan.
• Belum terdapat informasi yang cukup untuk rekomendasi produk soy. Suplemen yang mengandung soy isoflavone tidak direkomendasikan karena kadarnya lebih tinggi dari yang didapat dari makanan.
• Pasien kanker dan orang sehat dapat mengkonsumsi asam lemak tidak jenuh sesuai AI.
• Vitamin D3 tidak dapat direkomendasikan pada pasien kanker.
• Suplemen multivitamin harian sesuai dengan DRI dapat digunakan secara aman sebagai bagian dari nutrisi sehat yang mencakup 5-10 saji buah dan sayur harian.

Sebagai kesimpulan, pasien kanker menggunakan suplemen setelah didiagnosis kanker. Penggunaan suplemen pada pasien kanker masih kontroversial, di mana pada beberapa studi dengan skala besar menunjukkan hasil yang positif tetapi literatur lain menunjukkan hasil yang negatif. Penggunaan suplemen dengan anti-oksidan diduga mengganggu terapi yang diberikan untuk kanker. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat manfaat suplemen dan interaksi dengan obat lain. (HLI)



Referensi:
1.Ng Kimmie, Meyerhardt JA, Chan JA, Niedzwiecki D, Hollis DR, Saltz LB, et al. Multivitamin use is not associated with cancer recurrence or survival in patients with stage III colon cancer: Findings from CALGB 89803. J Clin Oncol. 2010;28:4354-63.
2.Norman HA, Butrum RR, Feldman E, Heber D, Nixon D, Picciano MF, et al. The role of dietary supplements during cancer therapy. J Nutr. 2003;133:3794S-99S.
3.Nechuta S, Lu W, Chen Z, Zheng Y, Gu K, Cai H, et al. Vitamin supplement use during breast cancer treatment and survival: A prospective cohort study. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2010;20(2):262-71.
4.Cui Y, Shu XO, Gao YT, Cai H, Tao MH, Zheng W. Association of ginseng use with survival and quality of life among breast cancer patients. Am J Epidemiol. 2006;163:645-53.
5.Kumar NB, Allen K, Bell H. Perioperative herbal supplement use in cancer patients: Potential implications and recommendations for presurgical screening. Cancer Control 2005;12(3):149-57.
6.Velicer CM, Ulrich CM. Vitamin and mineral supplement use among US adults after cancer diagnosis: A systematic review. J Clin Oncol. 2008;26(4):665-73.
7.Skeie G, Braaten T, Hjartaker A, Brustad M, Lund E. Cod liver oil, other dietary supplements and survival among cancer patients with solid tumours. Int J Cancer 2009;125:1155-60.

Kombinasi Teriparatide-Denosumab Meningkatkan Kekuatan Tulang Wanita Pascamenopause

Wanita postmenopause dengan risiko fraktur osteoporosis yang diterapi dengan kombinasi teriparatide dan denosumab, jika dibandingkan dengan terapi teriparatide atau dengan denosumab saja, mengalami peningkatan kepadatan massa tulang (BMD=Bone Mass Density) setelah diterapi selama 12 bulan. 

Teriparatide merupakan bentuk rekombinan dari hormon parathyroid dan sebagai agen anabolik yang diindikasikan untuk osteoporosis pada wanita postmenopause dengan risiko tinggi fraktur, atau dengan riwayat fraktur osteoporotik, pasien dengan faktor risiko fraktur multipel dan untuk pasien yang gagal atau intoleran terhadap terapi osteoporosis lainnya. Sedangkan denosumab merupakan fully human monoclonal antibody yang dapat menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas pada pasien-pasien dengan osteoporosis. Kedua agen tersebut telah diakui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat sebagai salah satu pilihan terapi pada pasien-pasien yang mengalami osteoporosis dengan risiko tinggi fraktur, dan juga tercantum dalam AACE (American Association of Clinical Endocrinologist) Postmenopausal Osteoporosis Guidelines sebagai salah satu terapi dalam penanganan osteoporosis pada tahun 2010.

Joy N. Tsai, MD dan kolega dari Department of Medicine, Endocrine Unit, Massachusetts General Hospital, Boston melaporkan penelitian mereka yang dipublikasikan pada jurnal The Lancet tanggal 15 Mei 2013. Dalam studi yang mereka lakukan terhadap 526 wanita usia 45 tahun ke atas dengan fraktur risiko tinggi dari bulan September 2009 sampai Januari 2011, didapatkan 100 orang subyek yang sesuai dengan kriteria studi dan dari 100 subyek tersebut terdapat 94 orang yang berhasil menyelesaikannya. Subyek diberikan 20 μg teriparatide per hari atau denosumab 60 mg tiap 6 bulan atau kombinasi keduanya selama 12 bulan. Subyek juga diberikan suplemen calcium dan vitamin D. Pada studi desain acak dengan menggunakan kontrol selama 12 bulan ini, didapatkan bahwa kombinasi teriparatide-denosumab meningkatkan BMD pada posterior-anterior lumbar spine, femoral neck, dan total-hip BMD jika dibandingkan apabila teriparatide ataupun denosumab diberikan sendiri-sendiri saja.

Kelompok Teriparatide
Kelompok Denosumab
Kelompok Kombinasi (Teriparatide-Denosumab)
BMD posterior-anterior lumbar spine
(6·2% [4·6], p=0·0139)
(5·5% [3·3], p=0·0005)
(9·1%, [SD 3·9])
BMD femoral-neck
(0·8% [4·1], p=0·0007)
(2·1% [3·8], p=0·0238)
(4·2% [3·0])
BMD total-hip
(0·7% [2·7], p<0·0001)
(2·5% [2·6], p=0·0011)
(4·9% [2·9])



Ethel Siris, MD, dari Columbia University Medical Center, New York-Presbyterian Hospital, New York City, dan direktur dari the clinical osteoporosis program mengatakan, walaupun hasilnya mengesankan, namun hasil tersebut tetaplah dari suatu studi tunggal. Jika dikonfirmasikan dengan uji klinik yang lebih besar dan lebih banyak maka hasil tersebut merupakan aset yang sangat berharga.

Kombinasi teriparatide dan denosumab secara bermakna dapat meningkatkan BMD lebih baik daripada pemberian teriparatide tunggal atau denosumab tunggal, serta hasilnya lebih baik daripada dibandingkan terapi yang telah diakui sebelumnya untuk pengobatan osteoporosis. Terapi kombinasi tersebut, mungkin dapat berguna bagi pasien osteoporosis dengan fraktur risiko tinggi, namun perlu dikonfirmasi dengan penelitian-penelitian selanjutnya. (PDP)


Referensi:
1.Henderson D. Teriparatide-Denosumab Combo Strengthens Postmenopausal Bone. (Internet Medscape). Cited : August 14, 2013. 
2. Tsai JN, Uihlein AV , Lee H, Kumbhani R, Siwila-Sackman E, McKay EA, et al. Teriparatide and denosumab, alone or combined, in women with postmenopausal osteoporosis: the DATA study randomised trial. The Lancet 2013;382:50 – 6.
3.Watts NB, Bilezikian JP, Camacho PM, Greenspan SL, Harris ST, Hodgson SF, et al. American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis and Treatment of Postmenopausal Osteoporosis. AACE Postmenopausal Osteoporosis Guidelines, Endocr Pract. 2010:16(Suppl3).