This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Tatalaksana Nutrisi pada Pasien Luka Bakar Mayor Berdasarkan ESPEN

Luka bakar derajat berat masih menjadi permasalahan utama di seluruh dunia. Adapun kabar baik dari data luka bakar secara keseluruhan, yaitu mayoritas kasus luka bakar adalah ringan dan dapat diobati dengan perawatan rawat jalan dan hanya sekitar 10% yang membutuhkan perawatan inap, dan hanya sejumlah kecil yang membutuhkan perawatan intensif di ICU (intensive care unit). Selain daripada itu, perkembangan perawatan luka juga telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam 3 dekade terakhir yang dapat menurunkan mortalitas.



Luka bakar mayor, yang mempengaruhi lebih dari 20% TBSA (total burn surface area), dengan atau tanpa gangguan pernapasan, merupakan kondisi yang spesific jika dibandingkan dengan kondisi di unit intensive care secara umum. Pasien penyakit kritis luka bakar memiliki gejala seperti stres oksidatif yang tinggi, respons inflamasi yang besar, hipermetabolik dan respons katabolik yang lama dan berkepanjangan, yang dimana tanda-tanda tersebut berkorelasi dengan tingkat keparahan dari luka bakar pasien tersebut.

Terapi nutrisi merupakan bagian dari terapi luka bakar, dimulai sejak dini dari permulaan resusitasi. The American Burn Association (ABA) telah mengeluarkan tatalaksana terapi pada pasien luka bakar, yang dimana termasuk di dalamnya tatalaksana terapi nutrisi.

Jalur pemberian nutrisi
Saluran gastrointestinal (GI) umumnya berisiko pada fase awal resusitasi luka bakar oleh karena stres mayor yang disebabkan oleh luka bakar tersebut dan juga terapi yang dilakukan untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu, syok hipovolemik dapat terjadi oleh karena kebocoran kapiler yang besar. Pemberian cairan kristaloid diberikan dalam waktu 24-48 jam pertama setelah kejadian untuk mempertahankan tekanan darah. Permeabilitas usus juga meningkat secara bermakna setelah kejadian jika dibandingkan dengan kondisi di ICU lainnya. Oleh karena itu pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah kejadian) dapat memberikan manfaat secara klinis dan biologis, seperti menurunkan kadar hormon stres dari respons hiperkatabolik yang dapat berdampak kepada peningkatan produksi immunoglobulin (Ig), penurunan stres ulcer, dan juga menurunkan risiko malnutrisi dan kekurangan energi (enegy deficit).

Pemberian nutrisi enteral bisa diberikan melalui PEG (percutaneous endoscopic gastrostomy). Untuk pemilihan formula nutrisi enteral, umumnya tidak berbeda dengan nutrisi enteral pada pasien penyakit kritis umum di ICU, yang dimana lebih dipilih formula yang bersifat polimerik, tinggi energi, dan tinggi nitrogen (protein). Kandungan serat (fiber) sangat diperlukan sejak awal karena pasien luka bayar mayor memiliki risiko terjadinya konstipasi oleh karena pergerakan cairan dan efek dari obat sedatif dosis tinggi, dan juga opioid yang digunakan sebagai analgesia.

Nutrisi parenteral (PN) digunakan sebagai alternatif dan diindikasikan ketika nutrisi enteral gagal atau dikontraindikasikan. PN memerlukan pemantauan kadar glukosa yang lebih ketat dan juga kebutuhan kalori pasien untuk mencegah overfeeding.

Kebutuhan energi
Pasien dengan luka bakar derajat berat akan menimbulkan respons hipermetabolik yang panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari luka bakar tersebut, yang dimana respons hipermetabolik ini disebabkan oleh respons stres endokrin dan respons inflamasi (mediator multipel). Kebutuhan energi pascaluka bakar mayor meningkat secara bermakna jika dibandingkan dengan kebutuhan energi basal/dasar (REE – resting enegy expenditure), akan tetapi peningkatan terjadi berdampak terhadap waktu (peningkatan secara perlahan) dan juga proposional dengan TBSA.

Pada tahun 70an, dimana pengetahuan dasar tentang burn care baru saja dibuat, kondisi kehilangan berat badan pada pasien luka bakar mayor menyebabkan pemberian kalori 5000 kkal/hari adalah normal sehingga menyebabkan kejadian overfeeding yang sangat berlebihan. Beberapa penelitian menyebutkan peningkatan REE yang bermakna umumnya terjadi pada 1 minggu pertama pascakejadian, kemudian secara perlahan akan menurun.

Perhitungan nutrisi pada pasien ICU secara umum berdasarkan berat badan dengan formula 25-30 kkal/kgbb/hari menyebabkan underfeeding pada pasien luka bakar mayor. Perhitungan dengan penambahan stres faktor berdasarkan formula Harris & Benedict sering kali salah dan tidak tepat, sehingga menyebabkan overfeeding. Overfeeding dapat menimbulkan morbiditas seperti infiltrasi perlemakan hati dan peningkatan risiko infeksi. Oleh karena itu, indirect calorimetry merupakan gold standard untuk menentukan kebutuhan energi pada pasien , baik dewasa dan anak, luka bakar.

Pasien dengan luka bakar mayor memiliki sensitivitas yang lebih terhadap overfeeding jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kritis lainnya. Oleh karena itu penggunaan larutan dextrose 5% pada minggu pertama untuk mengkoreksi hipernatremi dan/atau agen sedasi propofol larut lemak perlu dimasukkan ke dalam perhitungan total energi yang digolongkan sebagai sumber karbohidrat dan lemak dari sumber non-nutritional.

Protein dan asam amino spesifik
Kebutuhan protein umum pada pasien dengan luka bakar mayor berkisar antara 1,5-2 g/kgbb/hari. Asupan protein >2,2 g/kgbb/hari tidak memiliki efek yang menguntungkan terhadap sintesis protein total. Asupan protein 3 g/kgbb/hari yang pernah dilaporkan pada anak tidak memiliki keuntungan yang bermakna.

Glutamine merupakan jenis asam amino yang menjadi berguna pada kasus pasien dengan luka bakar karena merupakan substrat yang dipilih oleh limfosit dan enterosit. Terdapat beberapa studi kecil yang sudah menunjukkan manfaat dari penggunaan glutamine pada pasien dengan luka bakar, akan tetapi jalur pemberian, durasi pemberian, dan dosis yang tepat masih sangat beragam dan belum dapat ditentukan dengan jelas. Sebuah penelitian besar yang pada saat ini sedang berjalan di Amerika seharusnya sudah dapat memberikan hasil yang lebih baik. Pada saat ini, dosis glutamine yang direkomendasikan adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10. Pada sebuah studi, pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada pasien anak dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.

Ornithine alpha-ketoglutarate merupakan prekursor dari glutamine, sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif, akan tetapi pada saat ini hanya tersedia di Perancis dalam bentuk sediaan enteral. Pemberian pada fase akut menunjukkan dapat mempercepat penyembuhan luka. Pemberian dengan dosis 30 g per hari yang dibagi menjadi 2-3 pemberian dibuktikan efisien untuk memperbaiki keseimbangan nitrogen. Pada saat ini belum ditemukan penelitian yang merekomendasikan suplementasi arginine pada pasien dengan luka bakar.

Karbohidrat dan kontrol glikemik
Penelitian terkait kebutuhan karbohidrat pada pasien dengan luka bakar mayor sampai saat ini masih sangat terbatas. Beberapa penelitian yang memiliki tingkat kepercayaan yang cukup baik memberikan rekomendasi pemberian karbohidrat sebesar 55-60% dari total kebutuhan energi tanpa melebihi 5 mg/kgbb/menit baik pasien dewasa atau pun pasien anak, atau sama dengan 7 g/kgbb/hari pada pasien dewasa.

Terkait kontrol glikemik dan terapi insulin intensif, perlu diperhatikan pada pasien dengan luka bakar mayor karena pemberian terapi insulin intensif memiliki risiko terjadinya hipoglikemi yang dimana sepertinya kejadian hipoglikemi ini meningkat pada pasien dengan luka bakar mayor. Peningkatan hipoglikemi pada pasien dengan luka bakar mayor disebabkan oleh peningkatan REE pasien dan juga asupan nutrisi yang tidak teratur (diberikan dengan durasi yang singkat dan tidak teratur) oleh karena pasien menjalani intervensi yang dilakukan dibawah anestesi, sehingga pemberian nutrisi enteral harus dihentikan.

Kontrol glikemik yang baik adalah mentargetkan berkisar 5-8 mmol/L dimana telah ditunjukkan memiliki manfaat secara klinis studi yang dilakukan pada pasien dengan luka bakar. Beberapa manfaat klinis yang ditunjukkan meliputi, penerimaan graft yang lebih baik, komplikasi infeksi yang lebih minimal, dan penurunan mortalitas. Rekomendasi khusus untuk kontrol glikemik pada pasien luka bakar belum ditentukan dengan jelas, oleh karena itu umumnya klinisi mengacu pada tatalaksana pasien ICU secara umum, yaitu menargetkan kadar glukosa 6-8 mmol/L (100-150 mg/dL).

Metformin yang dapat menurunkan kadar gula darah melalui beberapa mekanisme dapat digunakan sebagai alternatif dari insulin, akan tetapi risiko asidosis laktat perlu diperhitungkan. Selain daripada itu, penggunaan Exenatide, golongan obat incretin baru yang menghibisi sekresi glukagon, dapat menurunkan kebutuhan insulin eksogen seperti yang ditunjukkan pada studi awal pada pasien anak dengan luka bakar.

Lemak
Jumlah lemak yang sedikit diperlukan untuk mencegah terjadinya defisiensi asam lemak esensial, akan tetapi hanya beberapa studi yang tersedia yang menunjukkan kebutuhan lemak pada pasien luka bakar. Dari 2 studi yang tersedia ditunjukkan pemberian lemak mencapai 35% dari total kebutuhan energi memiliki dampak negatif terhadap lama rawat di RS (LOS – length of hospital stay) dan risiko infeksi jika dibandingkan dengan hanya 15% dari total kebutuhan. Dengan sediaan komersial saat ini yang memiliki kandungan lemak berkisar 30-52% dari total kebutuhan energi, pembatasan asupan lemak ini membutuhan prosedur compounding di rumah sakit. Selain daripada itu, perlu juga dimasukkan dalam perhitungan untuk asupan lemak yang berasal dari sumber non-nutritional seperti agen sedatif larut lemak propofol yang dapat berkontribusi mencapai 15-30 g/hari pada pasien dewasa. Kebutuhan akan omega-3, mono- dan polyunsaturated fatty acid masih dalam dalam penelitian yang sedang berjalan.

Kebutuhan mikronutrien
Pasien dengan luka bakar mayor memiliki kebutuhan mikronutrien yang meningkat, seperti trace element dan vitamin, oleh karena respons hipermetabolik, kebutuhan untuk penyembuhan luka dan kehilangan melalui membran kulit, khususnya pada pasien luka bakar dengan luka terbuka (open wound). Stres oksidatif yang sangat tinggi, bersamaan dengan respons inflamasi menghasilkan peningkatan kebutuhan aktivitas dari antioksidan endogen yang sangat bergantung terhadap kandungn mikronutrien di dalam tubuh. Kebutuhan dari mikronutrien yang tidak terpenuhi akan menunjukkan gejala klinis, khususnya pada bulan pertama seperti komplikasi infeksi dan juga penyembuhan luka yang terhambat.

Sediaan komersial dari nutrisi enteral atau multivitamin/trace element parenteral saat ini masih belum cukup untuk menutupi kebutuhan yang meningkat pada pasien dengan luka bakar mayor. Pengganti kehilangan dan peningkatan kebutuhan tidak bisa dipenuhi hanya dengan nutrisi enteral, oleh karena gangguan penyerapan dan juga kompetisi antara trace element.

Berdasarkan penelitian yang tersedia, dosis vitamin C dan E 1,5-3X dari AKG dapat meningkatkan penyembuhan luka pada pasien anak dan dewasa. Pada studi terbaru, pemberian dosis vitamin C tinggi (0,66 mg/kg/jam selama 24 jam) pada fase awal menunjukkan dapat menstabilkan endotel sehingga dapat menurunkan kebocoran kapiler dan kebutuhan cairan resusitasi sebesar 30%. Dosis vitamin D masih belum dapat ditentukan pada saat ini, akan tetapi dosis umum 400 IU/hari dari vitamin D2 tidak dapat memperbaiki densitas tulang.

Kandungan copper, selenium, dan zinc hilang dalam jumlah besar bersamaan dengan cairan eksudat, dan kehilangan dapat berlangsung lama jika luka belum tertutup. Durasi peningkatan kebutuhan trace element pengganti dibutuhkan sesuai dengan derajat dari luka bakar, seperti 7-8 hari untuk luka bakar 20-40% TBSA, 2 minggu untuk 40-60% TBSA, dan 30 hari untuk luka bakar >60% TBSA.

Pemberian trace element pengganti secara dini dikaitkan dengan penurunan peroksidasi lemak, perbaikan pertahanan antioksidan, perbaikan sistem imun, penurunan risiko komplikasi infeksi, percepatan penyembuhan luka, dan lama rawat ICU yang lebih singkat. Perlakuan yang sama juga dapat dilakukan pada pasien anak dengan memperhitungkan dosis trace element pengganti berdasarkan berat badan dan derajat keparahan luka bakar.

Kesimpulan: Pemberian nutrisi enteral dini, 12 jam pertama pascakejadian, merupakan bagian dari terapi resusistasi awal. Pemberian nutrisi yang spesifik dengan perhitungan kalori yang adekuat sangat diperlukan dari bagian tatalaksana luka bakar untuk memperbaiki outcome klinis dari pasien luka bakar mayor. (MAJ)


Referensi :
1.Rousseau AF, Losser MR, Ichai C, Berger MM. ESPEN endorsed recommendations: Nutritional therapy in major burns. Clin Nutr. 2013;32(4):497-502.
2.Singer P, Berger MM, Van den Berghe G, Biolo G, Calder P, Forbes A, et al. ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition: Intensive care. Clin Nutr. 2009;28(4):387-400.

Senin, 19 Agustus 2013

Metformin Menurunkan Kematian Kanker Prostat

Dari suatu studi kohort skala besar, pasien diabetes dengan kanker prostat yang mendapatkan terapi kanker prostat secara signifikan dapat hidup lebih panjang dan lebih sedikit meninggal karena kanker prostat. Pasien-pasien ini.mengalami penurunan risiko kematian sebesar 24% setelah mendapatkan terapi metformin untuk setiap kumulatif pemberian dengan durasi 6 bulan. Demikian hasil studi yang dilakukan oleh Universitas Toronto Kanada dan telah dipublikasikan dalam Journal Clinical oncology bulan Agustus tahun 2013 ini.

Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan database dari beberapa pusat kesehatan di Ontario. Pasien yang dilibatkan adalah para pria diabetes dengan usia di atas 66 tahun (dari data antara tahun 1997-2008) dengan kanker prostat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara durasi kumulatif dari penggunaan metformin setelah terdiagnosa kanker prostat dengan kematian karena kanker prostat dan kematian karena semua sebab pada pasien diabetes.

Jumlah pasien yang tersaring adalah 3837 pasien dengan rerata usia 75 tahun. Rerata waktu follow up adalah 4,64 tahun dan selama masa ini 35% pasien meninggal karena semua sebab dan 7,6% pasien meninggal karena kanker prostatnya. Durasi kumulatif dari terapi metformin pasca diagnosa kanker prostat memperlihatkan hubungan dengan penurunan risiko yang nyata dengan kematian karena kanker prostat dan kematian karena semua sebab. Rasio hazard untuk kematian karena kanker prostat adalah 0,76% (95% CI: 0,64 – 0,89) untuk setiap penambahan 6 bulan dari terapi metformin. Rasio hazard untuk kematian karena semua sebab juga 0,76% pada 6 bulan pertama tetapi selanjutnya mengalami penurunan menjadi 0,93 pada bulan ke 24 hingga 30.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa kanker prostat mungkin suatu keganasan metabolik. Banyak data menunjukkan bahwa progresivitas kanker prostat dapat dipengaruhi oleh obesitas, sindrom metabolik dan diabetes. Metformin merupakan obat yang relatif aman dan ekonomis, sehingga dari hasil penelitian ini mungkin dapat menjadi kandidat yang baik dalam strategi pencegahan atau perlambatan kanker prostat. (DHS)




Referensi:
1. Bankhead C. More Data Back Metformin in Prostate Cancer. [Internet] 2013 [cited on August 15th 2013] Available from:
2. Cumulative metformin connected to post-prostate cancer mortality. [Internet] 2013 [cited on August 15th 2013] Available from: 
3. Margel D, Urbach DR,Lipscombe LL,Bell CM, Kulkarni G, Austin PC, et al. Metformin Use and All-Cause and Prostate Cancer–Specific Mortality Among Men With Diabetes.JCO JCO.2012.46.7043; published online on August 5, 2013 [Internet] 2013 [cited onAugust 15th 2013] Available from:http://jco.ascopubs.org/content/early/2013/08/05/JCO.2012.46.7043

Midazolam Bermanfaat untuk Penanganan Status Epileptikus

Suatu studi meta-analisis menunjukkan bahwa midazolam non-IV seefektif atau lebih unggul dibanding diazepam IV atau rektal untuk mengatasi kejang pada anak dan dewasa muda. Dalam meta-analisis ini diketahui bahwa midazolam bermanfaat untuk penanganan status epileptikus. Studi yang dilakukan oleh Dr. Mc Mullan dan kolega ini telah dipublikasikan dalam Academic Emergency Medicine.

Meta-analisis ini membandingkan penggunaan midazolam non-IV dengan diazepam dalam terapi kejang. Tujuan spesifiknya adalah menentukan efikasi, kecepatan, dan keamanan penghentian kejang dengan midazolam non-IV, dibandingkan dengan diazepam IV atau non-IV, sebagai terapi kedaruratan inisial pada pasien anak dan dewasa dengan status epileptikus, yang dilakukan terhadap studi acak dengan kontrol yang dipublikasikan dari tahun 1950 hingga 2009 yang membandingkan midazolam non-IV dengan diazepam dengan berbagai rute pemberian untuk terapi awal status epileptikus pada pasien unit gawat darurat. Sebanyak 6 studi yang melibatkan 774 pasien (usia baru lahir hingga 22 tahun) memenuhi kriteria inklusi.

Tiga studi membandingkan midazolam bukal (0,5 mg/kg atau 10 mg) dengan diazepam rektal (0,5 mg/kg atau 10 mg), dan 3 studi membandingkan midazolam IM atau intranasal (0,2 mg/kg) dengan diazepam IV (0,2 atau 0,3 mg/kg). Pada analisis yang dikumpulkan dari obat yang diberikan melalui berbagai rute, midazolam lebih unggul dibanding diazepam untuk menghentikan kejang. Midazolam IM atau intranasal seefektif diazepam IV, sedangkan midazolam bukal lebih unggul dibanding diazepam rektal dalam pencapaian kontrol kejang. Waktu untuk penghentian kejang sama antara kelompok midazolam dan diazepam pada 3 studi. Namun pemasangan akses IV dapat secara bermakna memperlambat terapi status epileptikus.

Dalam kesimpulannya peneliti menyampaikan bahwa midazolam bukal, IM, atau intranasal merupakan alternatif yang efektif, aman, murah, dan mudah diberikan khususnya untuk anak dengan kejang tanpa akses IV.(EKM)



Referensi: McMullan J, Sasson C, Pancioli A, Silbergleit R. Midazolam versus diazepam for the treatment of status epilepticus in children and young adults: A meta-analysis. Acad Emerg Med. 2010;17(6):575-82.

Kombinasi Ibuprofen-Parasetamol vs Opioid-Parasetamol pada Nyeri Operasi Dental

Analisis data terbaru menunjukkan kombinasi ibuprofen dengan parasetamol lebih efektif dan lebih aman dibanding kombinasi opioid dengan parasetamol untuk meredakan nyeri karena operasi dental. Akan tetapi kombinasi ini memiliki risiko efek samping dan penyalahgunaan. Studi ini memberikan alternatif baru. Dr. Moore dan Elliot V. Hersh (DMD, PhD, profesor farmakologi University of Pennsylvania in Philadelphia) mempublikasikan temuan mereka di Journal of the American Dental Association edisi Agustus 2013.

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), seperti ibuprofen, bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin, menekan inflamasi dan nyeri. Parasetamol tidak menekan inflamasi, dan menekan nyeri melalui berbagai mekanisme yang lain. Menaikkan dosis kedua obat ini dapat meningkatkan efektivitas, tetapi hanya sampai batas tertentu, dan dosis yang lebih tinggi dapat bersifat toksik. Kombinasi 2 obat ini dapat menekan nyeri lebih baik daripada monoterapi salah satu obat saja.

Dr. Moore dan Dr. Hersh menggunakan quantitative evidence based review yang dipublikasikan oleh Cochrane Collaboration untuk menentukan efikasi dan keamanan dari kombinasi parasetamol dan ibuprofen. Mereka menemukan artikel tambahan dengan mencari database Ovid MEDLINE, PubMed, dan ClinicalTrials.gov . Beliau menemukan bukti yang konsisten mengenai efektivitas produk kombinasi. Sebagai parameter untuk membandingkan berbagai terapi, mereka menggunakan number needed to treat (NNT) yang didefinisikan sebagai jumlah [pasien yang perlu dirawat untuk mendapat tambahan 1 pasien yang mencapai setidaknya 50% perbaikan nyeri dalam waktu 4-6 jam dibandingkan dengan plasebo. Semakin rendah nilai NNT, semakin poten efek meredakan nyerinya.

Dari studi-studi yang mempelajari mengenai penanganan nyeri ekstraksi molar ketiga, peneliti menemukan ibuprofen 200 mg dikombinasikan dengan parasetamol 500 mg memiliki nilai NNT paling kecil, sebesar 1,6 (95% confidence interval ]CI[, 1,4 - 1,8) dibandingkan dengan codeine 60 mg dengan parasetamol 1000 mg (95% CI, 1,8 – 2,9). Peneliti juga menemukan nilai NNT sebesar 2,3 untuk oxycodone 10 mg dengan parasetamol 650 mg. Ibuprofen 200 mg saja memiliki nilai NNT sebesar 2,7 (95% CI, 2,5 – 3,0), dan parasetamol 1000 mg saja memiliki NNT sebesar 3,2 (95% CI, 2,9 – 3,6).

Sebagai tambahan, terdapat juga sebuah studi yang dilakukan oleh Daniels dkk yang membandingkan berbagai kombinasi ibuprofen, codeine, dan parasetamol untuk menangani nyeri ekstraksi molar ketiga. Dalam studi tersebut, pasien yang diberikan ibuprofen / parasetamol mengalami nyeri yang lebih ringan dibanding mereka yang diberikan codeine dan parasetamol, juga mengalami efek samping seperti mual, muntah, sakit kepala, dan pusing yang lebih minimal.

Di antara pasien yang mendapat kombinasi ibuprofen 200 mg dengan parasetamol 500 mg, 18,5% mengalami efek samping yang perlu segera ditangani dibandingkan 24,9% pada pasien ibuprofen 400 mg – parasetamol 1000 mg, dan 34,9% pada mereka yang diberikan kombinasi ibuprofen dengan codeine. Manfaat tambahan dari ibuprofen – parasetamol dibanding opioid adalah opioid umumnya disalahgunakan, sedangkan ibuprofen – parasetamol tidak.

Berdasarkan analisis ini, peneliti menyusun stepwise guideline untuk penanganan nyeri pasca operasi kedokteran gigi berdasar estimasi dokter akan ringan-beratnya nyeri setelah efek anastesi habis: Nyeri ringan: Ibuprofen 200 – 400 mg setiap 4-6 jam atau sesuai kebutuhan. Nyeri ringan – sedang: Ibuprofen 400 – 600 mg setiap 4-6 jam selama 24 jam, diikuti ibuprofen 400 mg setiap 4-6 jam atau sesuai kebutuhan. Nyeri sedang – berat: Ibuprofen 400 – 600 mg dikombinasikan dengan parasetamol 500 mg setiap 6 jam selama 24 jam, diikuti ibuprofen 400 mg dengan parasetamol 500 mg setiap 6 jam atau sesuai kebutuhan. Nyeri berat: Ibuprofen 400-600 mg dengan parasetamol 650 mg dan hydrocodone 10 mg setiap 6 jam selama 24 – 48 jam, diikuti ibuprofen 400-600 mg dengan parasetamol 500 mg setiap 6 jam atau sesuai kebutuhan.

Dalam guideline ini, dosis maksimal harian untuk parasetamol adalah 3000 mg, dan untuk ibuprofen adalah 2400 mg. Sebagai tambahan, NSAID mungkin akan bekerja dengan lebih baik jika diberikan preoperatif atau perioperatif. Dan peneliti menyimpulkan bahwa: kombinasi ibuprofen – parasetamol lebih efektif dan lebih aman dibandingkan dengan kombinasi opioid (hydrocodone / codeine / oxycodone) – parasetamol untuk penanganan nyeri pasca operasi dental. (AGN)



Referensi:
1.Harrison L. Painful dental work: Acetaminophen with ibuprofen best. Medscape Medical News ]Internet[ 2013 ]Cited 2013 Aug 16[. Available from:http://www.medscape.com/viewarticle/809415
2.Moore PA, Hersh EV. Combining ibuprofen and acetaminophen for acute pain management after third-molar extractions. JADA. 2013;144(8):898-908.

Kamis, 15 Agustus 2013

Macrolide dan Manfaatnya Terhadap Gejala Asma, Sebuah Metaanalisis

Menurut guideline GINA tahun 2011, ada beberapa pengobatan utama asma yaitu beta-agonis, kortikosteroid oral atau inhalasi dan berbagai modulator sistem imun. Belum ada rekomendasi penggunaan antibiotik untuk memperbaiki gejala asma. Ada hipotesis yang menduga bahwa penggunaan antibiotik macrolide bermanfaat memperbaiki gejala asma tetapi beberapa penelitian memperoleh hasil kontradiktif.
Untuk mengevaluasi efek macrolide terhadap asma, beberapa peneliti dari Philadelphia, USA, melakukan sebuah metaanalisis beberapa uji klinik tentang efek antibiotik macrolide terhadap asma. Mereka menemukan ada 116 uji klinik, tetap hanya 6 yang memenuhi kriteria dan dimasukkan dalam metanalisis. Dari 6 uji klinik ini, menggunakan 3 jenis macrolide yaitu azithromycin, roxithromycin dan troleandomycin.

Metanalisis in menemukan 2 hal, pertama adalah apabila antibiotik macrolide digunakan pada pasien asma yang tidak mendapat corticosteroid, tidak terdapat perbedaan bermakna pada FEV1 antara kelompok yang mendapat macrolide dengan kelompok yang mendapat plasebo (p = 0,43).
Hasil kedua adalah apabila antibiotik macrolide diberikan kepada pasien yang mendapat corticosteroid, terdapat pebedaan bermakna : kelompok macrolide + corticosteroid memperoleh FEV1 lebih tinggi dibandingkan kelompok plasebo + corticosteroid (p = 0,05). Selain itu juga ditemukan bahwa kelompok macrolide + corticosteroid membutuhkan dosis corticosteroid yang lebih rendah daripada kelompok plasebo +corticosteroid (0,004).
Simpulan metaanalisis ini adalah meskipun penggunaan antibiotik macrolide secara sendiri tidak berdampak signifikan terhadap gejala asma, pada pasien yang mendapat corticosteroid oral, penambahan antibiotik macrolide dapat memperbaiki FEV1 dan mengurangi kebutuhancorticosteroid oral. (NNO)
Referensi:
1.   Global Initiative for Asthma. Pocket guide for asthma management and prevention [Internet]. 2011 [cited 2013 Mar 28]. Available from:http://www.ginasthma.org/documents/1/Pocket-Guide-for-Asthma-Management-and-Prevention.
2.   Mikailov A, Kane I, Aronoff SC, Luck R, Delvecchio MT. Utility of adjunctive macrolide therapy in treatment of children with asthma: a systematic review and meta-analysis. J Asthma Allergy. 2013;6:23-9.

Rabu, 31 Juli 2013

Demam Chikungunya

Demam Chikungunya disebabkan oleh infeksi virus Chikungunya. Virus ini masih satu keluarga dengan Virus Dengue, penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD). Virus ini masuk ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes Albopictus yang juga nyamuk penular DBD.
Demam Chikungunya sering rancu dengan DBD karena mempunyai gejala yang awal yang hamper sama, tetapi gejala nyeri sendi merupakan gejala yang penting pada demam Chikungunya. Tetapi untuk pasti membedakannya adalah dengan pemeriksaan laboratorium darah pada demam hari ke 3. Serangan demam Chikungunya dalam bentuk KLB (kejadian luar biasa) sudah sering terjadi, terutama pada musim penghujan.


Nyamuk Aedes yang sudah terinfeksi virus Chikungunya bila menggigit manusia akan menularkan virus Chikungunya. Di dalam tubuh manusia, virus tidak serta merta menimbulkan gejala, tetapi memerlukan masa berkembangbiakan (masa tunas) 1-12 hari untuk dapat menimbulkan gejala.
Gejala-gejala Demam Chikungunya adalah
  • Demam mendadak tinggi, disertai menggigil dan muka kemerahan. Panas tinggi selama 2-4 hari kemudian kembali normal.
  • Sakit persendian. Nyeri sendi merupakan keluhan yang sering muncul sebelum timbul demam dan dapat bermanifestasi berat, sehingga kadang penderita merasa lumpuh. Sendi yang sering dikeluhkan: sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang.
  • Nyeri otot. Nyeri bisa terjadi pada seluruh otot atau pada otot bagian kepala dan daerah bahu. Kadang terjadi pembengkakan pada pada otot sekitar mata kaki.
  • Bercak kemerahan ( ruam ) pada kulit. Bercak kemerahan ini terjadi pada hari pertama demam, tetapi lebih sering pada hari ke 4-5 demam. Lokasi biasanya di daerah muka, badan, tangan, dan kaki. Kadang ditemukan perdarahan pada gusi.
  • Nyeri kepala: nyeri kepala merupakan keluhan yang sering ditemui.
  • Kejang, biasanya pada anak karena panas yang terlalu tinggi, jadi bukan secara langsung oleh penyakitnya.
  • Gejala lain. Gejala lain yang kadang dijumpai adalah pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher.
Penderita demam Chikungunya sebaiknya diisolasi dari gigitan nyamuk, sehingga dapat mencegah penularan ke orang lain. Setiap orang dapat mencegah gigitan nyamuk vektor dengan kelambu, repelan, obat nyamuk bakar dan semprot atau dengan kasa anti nyamuk.
Pencegahan terbaik adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Adanya gerakan PSN di suatu desa atau wilayah hunian akan berdampak pada penurunan angka kejadian Demam Chikungunya.

Pengobatan demam Chikungunya adalah pengobatan simptomatis (menghilangkan gejala) dengan obat demam, dan  atau anti-nyeri, disertai istirahat, dan makan minum cukup. Perjalanan penyakit ini umumnya cukup baik, karena bersifat self limited, yakni akan sembuh sendiri.
Belum ditemukan obat spesifik untuk penyakit ini. Juga belum ditemukan vaksinasi yang berguna sebagai tindakan preventif. Namun pada penderita yang telah terinfeksi timbul imunitas / kekebalan terhadap penyakit ini dalam jangka panjang.

Senin, 22 Juli 2013

Testosteron Gel tidak Meningkatkan Risiko Priapism

Tiga uji klinik mengevaluasi terhadap kemungkinan pasien-pasien yang mendapatkan terapi pengganti testosterone gel (1%) terhadap potensi efek priapism (ereksi penis abnormal/persisten). Tiga uji klinik dengan disain penelitian secara acak, kelompok kontrol, pada pasien hipogonad, dilakukan dalam menilai profil keamanan terapi pengganti testosterone terhadap potensi priapism, 1 penelitian adalah uji klinik fase III menggunakan AndroGel 1% 5g, 7,5g atau 10 g sekali sehari selama 6 bulan (n=227). Penelitian ke-2 adalah fase II dari AndroGel 1% 7,5 g sekali sehari, dosis dititrasi sesuai kebutuhan vs plasebo selama 26 minggu pada pria dengan diabetes tipe 2 (n= 180). Penelitian ke-3 adalah fase IV dari AndroGel 1% 5 g sekali sehari vs plasebo selama 12 minggu 

pada pria dengan riwayat terapi dengan sildenafil tidak berespons dengan dosis 100 mg monoterapi (n=75), data postmarketing ini dilaporkan dari data 2001 hingga 2011. Evaluasi adalah melihat insidens priapism dan atau keluhan yang berkaitan efek samping urogenital atau sistem reproduksi, dari 283 pria yang tepapar pemberian AndroGel 1% dari tiga uji klinik, rerata paparan dalam rentang 84-149 hari. Tidak ada gambaran terjadi adverse reaction priapism atau keluhan serupa.

Penelitian lain juga dilakukan pada pria dengan penyakit sickle cell yang juga memiliki risiko mengalami hipogonadisme, dimana kondisi hipogonadisme akan sangat mempengaruhi kualistas hidup dan meningkatkan mobiditas, tetapi keamanan pemberian terapi pengganti testosterone pada pasien sickle cell dan episode priapism relatif tidak jelas. Berdasarkan hal tsb penelitian cohort dilakukan pada 7 pria hipogonad dengan penyakit sickle cell. Testosterone yang digunakan adalah Testosterone undecanoate 1 g diberikan secara IM [serum total testosterone ≤12.0 nmol/L (346 ng/dL)] selama 12 bulan, dengan rerata usia 34,4 tahun. Median total testosterone meningkat dari 10,6 hingga 11,2 nmol/L (p = 0,46). Median serum lactate dehydrogenase menurun dari 1.445 menjadi 1.143.5 IU/L (p < 0.05), sedangkan pemeriksaan laboratorium lainnya mengindikasikan stabil. Nyeri dilokasi penyuntikan merupakan keluhan yang paling sering tanpa adanya hipersensitivitas atau edema. Setelah pemberian terapi pengganti testosterone tidak terjadi peningkatan frekuensi priapism secara bermakna. Aktivitas seksual yang dinilai menggunakan skor international index of erectile function (IIEF), Androgen Deficiency Aging Male (ADAM) membaik.

Dari data keamanan testosterone gel (1%) maupun injeksi testosterone undecanoate pada pria hipogonadisme bahkan disertai penyakit sickle cell tidak ada kaitannya dengan kasus priapism dan tidak menstimulasi terjadi priapism (ARI)

Referensi:
1.Burnett AL, Kan-Dubrosky N, Miller MG. Testosterone replacement with 1% testosterone gel and priapism: no definite risk relationship. J Sex Med. 2013;10(4):1151-61. doi: 10.1111/jsm.12059. 
2.Morrison BF, Reid M, Madden W, Burnett AL. Testosterone replacement therapy does not promote priapism in hypogonadal men with sickle cell disease: 12-month safety report. Andrology. 2013 Apr 18. doi: 10.1111/j.2047-2927.2013.00084.x.