This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 20 Mei 2012

Kopi dan Risiko Kanker Endometrial

Konsumsi sedikitnya 4 cangkir perhari sering dihubungkan dengan penurunan risiko kanker endometriim, hal ini menurut data dari the Nurses' Health Study, yang dilakukan oleh Dr.Youjin Je dan kolega dari the lab. of Edward Giovannucci, MD, ScD, - the Department of Nutrition and Epidemiology, the Harvard School of Public Health in Boston, Massachusetts, dan hal ini dipublikasikan secara online pada 22 November 2011 dalam Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention.

Analisis ini melibatkan sebanyak 67.470 wanita dengan rentang usia 34 - 59 tahun, dan diikuti selama 26 tahun. Peneliti mendokumentasikan sebanyak 26 kasus kanker endometriosis. Konsumsi kopi kurang dari 4 cangkir hari tidak berhubungan dengan perubahan risiko kanker endometrium dibandingkan dengan minum 1 cangkir atau kurang per hari. Para peneliti memperhitungkan berbagai faktor dalam analisis multivariabel mereka, termasuk BMI, usia saat menopause, usia saat menarche, paritas dan usia saat kelahiran terakhir, penggunaan kontrasepsi oral, penggunaan hormon pascamenopause, dan konsumsi rokok dan alkohol.

Namun, minum 4 cangkir atau lebih kopi per hari dikaitkan dengan penurunan risiko relatif sebesar 25% dibandingkan dengan mengkonsumsi kurang dari 1 cangkir dengan rasio tingkat multivariabel harian, 0,75; 95% [CI], 0,57-0,97; P trend =. 02). Minum antara 2 dan 3 cangkir kopi per hari dikaitkan dengan risiko berkurang 7%, tetapi perbedaannya tidak bermakna secara statistik (tingkat rasio, 0,93; 95% CI, 0,76-1,14; P trend = 0,02).

Dalam hal pengurangan risiko absolut, perempuan yang minum kopi 4 cangkir atau lebih mengurangi risiko kanker endometrium dari 56 kasus per 100.000 perempuan menjadi 35 kasus per 100.000 perempuan. Para peneliti melihat hubungan yang sama ketika mereka membatasi analisis mereka untuk konsumsi kopi berkafein. Dalam hal ini, ada 30% pengurangan risiko relatif pada risiko kanker endometrium yang terkait dengan konsumsi dari 4 atau lebih cangkir dibandingkan dengan kurang dari 1 cangkir sehari.

Dari studi tersebut menujukkan bahwa kafein menunjukkan efek protektif terhadap kejadian kanker endometrium, dan kopi ternyata dari hasil studi laboratorium juga mempunyai manfaaat sebagai antioksidan.

Referensi:
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. Published online November 22, 2011.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1560/Kopi-dan-Risiko-Kanker-Endometrial.aspx

Kedelai dan Risiko Kanker Paru

Orang yang banyak mengkonsumsi produk kedelai yang tidak difermentasi mungkin memiliki kesempatan yang lebih kecil terkena kanker paru-paru, hal ini berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh peneliti dari Cina dan ilmuwan AS dengan melakukan meta-analisis dari 11 penelitian observasional, beberapa yang diikuti untuk satu dekade atau lebih. Dari data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa orang yang banyak mengkonsumsi kedelai memiliki risiko 23% lebih rendah terkena kanker paru-paru dibandingkan mereka yang mengkonsumsi sedikit.

Temuan baru tersebut dipublikasikan secara online pada 9 November di American Journal of Clinical Nutrition. Hubungan antara kedelai dan kanker hanya dilakukan untuk produk kedelai yang tidak difermentasi seperti tahu dan susu kedelai, misalnya. Terlebih lagi, itu hanya ditemukan pada orang yang tidak pernah merokok, pada wanita dan pada populasi Asia.

Dr Matthew Schabath, seorang peneliti di Moffitt Cancer Center di Tampa, Florida yang studinya juga dimasukkan dalam analisis, memperingatkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut hubungan antara kedelai dan kanker paru-paru. Mungkin hal ini tidak karena faktor kedelai saja, mungkin juga efek dari semua nutrisi yang dikemas dalam dalam makanan. Studi observasional melakukannya secara konsisten menunjukkan bahwa diet sehat akan memberikan efek yang menguntungkan.

Referensi: Am J Clin Nutrition 2011.

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1561/Kedelai-dan-Risiko-Kanker-Paru.aspx

Probiotik Bermanfaat untuk Mencegan dan Mengobati AAD (antibiotic associated diarrhoea)

Meta-analisis terbaru menunjukkan probiotik dapat mengurangi risiko diare terkait antibiotik. Hal ini merupakan kesimpulan dari meta-analisis yang dilakukan oleh Dr. Hempel  dan kolega yang telah dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association tahun 2012 ini. Diare terkait antibiotik diperkirakan terjadi pada 30% pasien yang diberikan antibiotik dan dapat menjadi faktor yang memperlama perawatan .
Dalam meta-analisis ini, Sussane Hempel, PhD (Southern California Evidence-Based Practice Center, RAND Health, Santa Monica) dan koleganya mencari  12 database jurnal elektronik dan menemukan 82 RCT (randomized controlled trial) yang memenuhi kriteria. Di antara 11.811 peserta dalam 63 RCT, probiotik dikaitkan dengan penurunan risiko diare terkait antibiotik sebesar 42% (relative risk [RR], 0,58; 95% confidence interval [CI], 0,50–0,68; P<0,001) dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menggunakan probiotik. Penulis melaporkan nilai number needed to treat (NNT) sebesar 13 (95% CI, 10,3-19,1).

Setengah dari studi-studi ini (41/82) mencantumkan genus dan spesies dari probiotik yang digunakan, tetapi tidak nama strainnya. Studi-studi jarang menyebutkan antibiotik yang digunakan. Peneliti mencatat bahwa sebagian studi di dalam analisa ini merupakan studi dengan kualitas yang kurang, tetapi melaporkan bahwa efek positif dari probiotik ini tetap bertahan ketika analisa ini dibatasi hanya pada studi kualitas lebih . Ketika peneliti menganalisa 44 RCT tersamar ganda, mereka menemukan nilai RR sebesar 0,61 (95% CI, 0,52–0,73; P<0.001; NNT: 14). Efek ini bertahan ketika analisa dibatasi pada 12 studi tersamar ganda di mana alokasi perawatan tetap terselubung, nilai RR sebesar 0,62 (95% CI, 0,41–0,95; P=0.029; NNT:14).

Sebagian besar RCT dalam analisa ini menggunakan Lactobacillus, baik diberikan sendiri (sebagai agen tunggal), atau dikombinasikan dengan organisme lain. Probiotik lain yang digunakan termasuk Bifidobacterium, Saccharomyces, Streptococcus, Enterococcus, dan/atau Bacillus.(AGN)

Referensi:
Hempel S, Newberry SJ, Maher AR, Wang Z, Miles JNV, Shanmen R. Probiotics for the prevention and treatment of antibiotic associated diarrhea. JAMA. 2012;307:1959-69. 

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1563/Meta-analisis-Probiotik-Bermanfaat-untuk-Mencegan-dan-Mengobati-AAD-antibiotic-associated-diarrhoea.aspx

Diabetes Mellitus Tipe 2 Dapat Dicegah dengan Intervensi OAD Lebih Awal

Ternyata diabetes mellitus tipe 2 dapat dicegah, dan pemberian OAD (oral antidiabetic) pada pasien prediabetes dapat menyebabkan regresi dan menjadi normoglikemik. Hal ini merupakan hasil meta-analisis yang dilakukan oleh Dr. Phung dan kolega yang dipublikasikan dalam The Annals of Pharmacotherapy 2012. Meta-analisis ini menggunakan metode pencarian sistematik dari  MEDLINE (1950-November 2011), EMBASE (1990-November 2011), dan Cochrane Central Register of Controlled Trials (September 2011). Menyertakan disain penelitian secara acak, durasi lebih dari 12 minggu.
Didapatkan 13 penelitian dengan melibatkan 11.600 pasien. Didapatkan hasil pasien yang mendapatkan obat diabetes oral pada pradiabetes memperlihatkan dua kali lipat tercapai normoglikemia dibandingkan kelompok kontrol (OR 2.03, 95% CI 1.54-2.67). Golongan obat diabetes oral yang dievaluasi terlihat bermakna adalah golongan thiazolidinediones (OR 2.33, 95% CI 1.93 - 2.81) dan  α-glucosidase inhibitors (OR 2.02, 95% CI 1.26 - 3.24), tetapi pada kelompok yang mendapatkan biguanide dan sulfonylurea gagal mencapai nilai bermakna. (p=0,06 dan p=0,39)

Kesimpulan: Pemberian obat diabetes oral pada pasien pradiabetes meningkatkan odd rasio terjadinya regresi menjadi normoglikemia yaitu pada pemberian golongan thiazolidinediones dan α-glucosidase inhibitor.

Ada beberapa keterbatasan dari meta-analisis ini yaitu, hasil yang tidak terlihat bermakna pada kelompok biguanide dan sulfonylurea kemungkinan karena analisis yang kurang kuat, kriteria inklusi hanya berdasarkan artikel yang hasilnya dilaporkan sehingga hanya 1 penelitian sulfonylurea yang teridentifikasi, data penelitian biguanides dan sulfonylureas masih diperlukan kemungkinan terhadap potensi terapi yang lebih baik. (ARI)

Referensi
1. Phung OJ, Baker WL, Tongbram V, Bhardwaj A, Coleman CI. Oral Antidiabetic Drugs and Regression From Prediabetes to Normoglycemia. A Meta-analysis. The Annals of Pharmacotherapy 2012;46(4):469-476.
2. Defronzo RA, Ghani MA.Type 2 Diabetes Can Be Prevented With Early Pharmacological Intervention.Diabetes Care 2011; 34(2):S202–9



Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1564/Diabetes-Mellitus-Tipe-2-Dapat-Dicegah-dengan-Intervensi-OAD-Lebih-Awal.aspx

Studi ALISAH: Albumin untuk Perdarahan Subaraknoid

Albumin manusia telah terbukti memiliki efek neuroprotektan pada hewan coba yang dikondisikan mengalami iskemia serebral dan pada manusia dengan berbagai patologi intrakranial. Dari penelitian yang dilakukan oleh Suarez et al pada tahun 2004, disimpulkan bahwa albumin manusia pada kasus perdarahan pada rongga subaraknoid dapat memperbaiki keluaran klinis dan menurunkan biaya perawatan di rumah sakit. Penelitian yang akan dibahas di bawah ini, yang juga merupakan penelitian Suarez et al, menginvestigasi keamanan dan tolerabilitas dari 25% human albumin pada pasien dengan perdarahan subaraknoid.

Uji klinis Albumin in Subarachnoid Hemorrhage (ALISAH) adalah penelitian yang open label dan eskalasi dosis. Peneliti mempelajari empat dosis berbeda dari albumin (Tier 1 0,625 g/kg, Tier 2 1,25 g/kg, Tier 3 1,875 g/kg, dan, Tier 4 2,5 g/kg). Setiap dosis albumin diberikan kepada 20 pasien dewasa. Pengobatan diberikan setiap hari selama 7 hari. Peneliti mempelajari dosis toleransi maksimum albumin berdasarkan angka gagal jantung yang berat hingga mengancam jiwa dan reaksi anafilaktik dan keluaran fungsi dalam 3 bulan.

Sebanyak 47 subjek penelitian diterapi dalam penelitian ini: 20 subjek mendapatkan dosis 0,625 g/kg (Tier 1), 20 subjek mendapatkan dosis 1,25 g/kg (Tier 2), dan 7 subjek mendapatkan dosis 1,875 g/kg (Tier 3). Peneliti menemukan bahwa dosis yang berkisar hingga 1,25 g/kg/hari selama 7 hari ditoleransi oleh pasien tanpa komplikasi mayor terkait dosis. Peneliti juga menemukan bahwa keluaran cenderung terus menuju tanggapan yang lebih baik pada subjek penelitian yang mendapatkan dosis 1,25 g/kg (Tier 2) dibandingkan dengan yang mendapatkan dosis 0,625 g/kg (Tier 1) (OR 3,0513; CI 0,6586 – 14,1367).

Simpulannya, albumin dalam dosis yang berkisar hingga 1,25 g/kg/hari selama 7 hari ditoleransi oleh pasien dengan perdarahan subaraknoid tanpa komplikasi mayor dan dapat berperan sebagai neuroprotektan. Berdasarkan hasil penelitian ini, rencana untuk melakukan uji klinis ALISAH II, sebuah uji klinis fase III, acak, berkontrol plasebo untuk menguji efikasi albumin, sedang dikerjakan. (SFN)


Referensi:
  1. Suarez JI, Martin RH, Calvillo E, Dillon C, Bershad EM, Macdonald RL, et al. The Albumin in Subarachnoid Hemorrhage (ALISAH) multicenter pilot clinical trial: safety and neurologic outcomes. [internet]. Stroke. 2012 Mar;43(3):683-90. [cited 2012 May 11]. Available from: http://stroke.ahajournals.org/content/early/2012/01/19/STROKEAHA.111.633958.abstract
  2. Ginsberg MD, Hill MD, Palesch YY, Ryckborst KJ, Tamariz D. The ALIAS Pilot Trial: a dose-escalation and safety study of albumin therapy for acute ischemic stroke--I: Physiological responses and safety results. [internet]. Stroke. 2006.
Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1565/Studi-ALISAH-Albumin-untuk-Perdarahan-Subaraknoid.aspx

    Sabtu, 19 Mei 2012

    FDA Menyetujui Versi Generix dari Plavix


    US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui 2 versi generik dari clopidgel (Plavix, Bristol-Meyers Squibb/ Sanofi). 
    FDA menjelaskan bahwa Dr. Reddy's Laboratories, Gate Pharmaceuticals, Mylan Pharmaceuticals, dan Teva Pharmaceuticals akan memproduksi Clopidogrel 300 mg. Teva dan Mylan juga menyetujui Apotex, Aurobindo Pharma, Roxane Laboratories, Sun Pharma, dan Torrent Pharmaceuticals akan memproduksi clopidogrel 75-mg.
    Clopidgel merupakan obat untuk indikasi pasien yang kena serangan jantung atau stroke atau juga peripheral artery disease atau sindrom Koroner Akut. Obat ini efektifitasnya akan menurun pada pasien dengan gangguan metabolisme, obat golongan proton pump inhibitor juga dapat mengurangi efikasi clopidogrel seperti Prilosec, Procter & Gamble) dan esomeprazole (Nexium, AstraZeneca) 

    Rabu, 16 Mei 2012

    Terapi Baru Pneumonia

    Pendahuluan
    ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan permasalahan kesehatan masyarakat dan menyebabkan banyak kematian di seluruh dunia. Perkembangan antibiotik baru dan dikombinasikan dengan peningkatan resistensi bakteri menyebabkan kekhawatiran pada populasi global dan merupakan suatu tantangan untuk institusi kesehatan. Selama beberapa tahun ini pemahanan terhadap pertumbuhan bakteri, mtabulisme dan virulensinya telah memberikan ke arah terapi non antibiotik. Pendekatan ini memberikan beberapa keuntungan
    Over recent years, a better understanding of bacterial growth, metabolism, and virulence has offered several potential targets for nonantibiotic antimicrobial therapies. These approaches have several potential advantages: they expand the repertoire of bacterial targets, they preserve the host's endogenous microbiome, and they exert less selective pressure for the development of antibiotic resistance relative to current antibiotics. This study will review the more recent developments of antivirulence and nonantibiotic strategies in the field of lung infections.