Masalah narkotika dan maraknya kenakalan remaja menjadi perhatian yang serius dari semua pihak. Presiden RI melalui Instruksi Presiden No 6/1971, tentang penanggulangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika seperti morphine, heroin, obat-obatan yang mengandung opium dan merokok ganja. Undang- undang yang mengatur tentang zat- zat ini sudah jelas, yaitu Undang- Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan narkotika.
Dalam UU Narkotika, yang tergolong narkotika adalah ganja, kokain, dan opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis opiat adalah morfin dan heroin. Narkotika adalah jenis obat yang biasa digunakan dalam terapi untuk menghilangkan rasa nyeri seperti pada penderita kanker. Sementara, kini, peredaran ilegal narkotika semakin marak. Penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja semakin sulit dibendung. Akibatnya, selama satu dekade terakhir di negeri ini telah ditemukan ratusan ribu pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya. Keracunan narkotika juga cepat terjadi dengan menekan pusat pernapasan, napas menjadi lambat, pengguna merasa 'melayang', tekanan darah menurun, dan dapat membuat pengguna menjadi koma hingga meninggal dunia. Sekitar 2% dari pengguna narkotika melalui suntikan meninggal dunia setiap tahunnya karena over dosis atau infeksi.
Morfin adalah obat yang mewakili kelompok besar opioid yang terdiri dari opium alam (asli), sintetis, semi sintetis, devirat dan garamnya. Sering disalahgunakan untuk memperoleh efek yang tidak ada pada medikasi medis, morfin mempunyai efek analgesik dan morfin sendiri sedikit sekali diabsorpsi dari saluran cerna.
Sangat mungkin bagi seorang dokter untuk membuat visum et repertum yang berkaitan dengan kasus-kasus penyalahgunaan narkotika ini, oleh karena itu, selayaknya kita mengetahui dan memahami zat-zat yang berkaitan dengan narkoba (narkotika dan obat-obatan lainnya), salah satunya adalah morfin dimana gejala-gejala keracunan morfin yang mungkin ditemui pada korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
II. 1OPIOID
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995).
KLASIFIKASI OPIOID
Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin (Sarjono dkk, 1995).
Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). (Latief dkk, 2001; Wibowo S dan Gopur A., 1995).
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi ; .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995).
1.Agonis opoid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, tertama pada reseptor , dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2.Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.
3.Agonis-antagonis (campuran) opioid
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.
MEKANISME KERJA
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. (Latief, 2001).
Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain: .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995).
Reseptor (mu) : -1, analgesia supraspinal, sedasi.
-2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.
Reseptor (delta) : analgesia spinal, epileptogen..
Reseptor k (kappa) : k-1, analgesia spinal.
k-2 tak diketahui.
k-3 analgesia supraspinal.
Reseptor (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
Reseptor (epsilon) : respon hormonal.
Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran. .( Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995).
Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.
Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain ;
A.Efek sentral ;
a.Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi).
b.Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.
c.Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).
d.Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).
e.Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek disforia).
f.Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).
g.Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik).
h.Menyebabkan miosis (efek miotik).
i.Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).
j.Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang berkepanjangan.
B. Efek perifer ;
a.Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.
b.Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).
c.Kontraksi sfingter saluran empedu.
d.Menaikkan tonus otot kandung kencing.
e.Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.
f.Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.
II. 2 MORFIN
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995).
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH). .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995; Omorgui, 1997).
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.
Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
Dosis dan sediaan
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.
Morfin diperdagangkan secara bebas dalam bentuk :
1. Bubuk atau serbuk
Berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat disalahgunakan dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur dalam minuman, adakalanya ditaburkan begitu saja pada luka-luka bekas disilet sendiri oleh para korban.
2. Cairan
Berwarna putih disimpan dalam ampul atau botol, pemakaiannya hanya dilakukan dengan jalan menyuntik.
3. Balokan
Dibuat dalam bentuk balok-balok kecil dengan ukuran dan warna yang berbeda-beda.
4. Tablet
Dibuat dalam bentuk tablet kecil putih.
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan (dibawah kulit) atau intra muskuler, tetapi tidak diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Oleh sebab itu morfin tidak pernah tersedia dalam bentuk obat minum. Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan. Pengguna morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan.
Disamping memberi manfaat klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistema urinarius.
Efek pada sistema pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan.
Efek pada sistema saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang dipakai, dan kepribadian sipemakai serta harapannya.
Gejala kelebihan dosis :
Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu- satu dan coma (tiga gejala klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah).
Gejala–gejala lepas obat :
Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik.
II. 3 Diagnosis Ketergantungan Narkotika
Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis (medik psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan narkotika jenis opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada organ paru-paru dan lever. Untuk mengetahui adanya komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter ahli penyakit dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk mengetahui fungsi lever (SGOT dan SGPT).
Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya, komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat kaitannya dengan cara penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing dragon) melalui mulut atau hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil, atau suntikan intravena. Khasiatnya terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang berulangkali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.
Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering disalahgunakan manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases), berbagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma putus zat, dan gangguan mental serta perilaku lainnya.
Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya. Keadaan putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut "sakau" dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara merugikan orang lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma putus opioid, yaitu mual/muntah, nyeri otot lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare, menguap/sneezing, demam, dan insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik. Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan muntah diberi antiemetik, dan sebagainya. Pengobatan sindroma putus opioid harus diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi rumatan.
Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan pernapasan, yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan erat dengan kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan.
Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak digunakan adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku serta pergerakan otot- otot orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada umumnya adalah untuk mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan. Efek menenangkan sering dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan, kecemasan, dorongan- dorongan yang terlalu berlebihan oleh orang yang lemah mentalnya atau belum matang kepribadiannya. Sedangkan efek merangsang sering dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu tugas, menambah gairah sex, meningkatkan daya tahan jasmani.
Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :
1. tanda- tanda pemakai obat
2. keadaan lepas obat
3. kelebihan dosis akut
4. komplikasi medik ( penyulit kedoktearn )
5. komplikasi lainnya ( sosial, legal, dsb)
II.4. Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin
Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim.Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan sebagai berikut:
II.4.1. Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Gejala klinis :
1. pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nusea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis.
2. pada keracunan akut :
a. miosis; b. coma; c. respirasi lumpuh
3. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium;
4. gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.
Tahap 1
Tahap eksitasi
Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1.
1. Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat ;
2. Halusinasi
3. Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang;
4. Dapat menjadi maniak
Tahap 2
Tahap stupor
Dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada)
1. Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan;
2. Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur;
3. Wajah sianosis, pupil amat mengecil; dan
4. Pulse dan respirasi normal.
Tahap 3
Tahap Coma :
Tidak dapat dibangunkan kembali
1. Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi;
2. Proses sekresi;
3. Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini merupakan tanda akhir;
4. Respirasi cheyne stokes; dan
5. Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang,akhirnya meninggal.
II. Pemeriksaan Toksikologi
Sebagai barang bukti :
1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan;
2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral;
3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup; dan
4. Barang bukti lainnya.
Metode
1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid Chromatography)
Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral,morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti.
2. Nalorfine Test
Penafsiran hasil test :
Kadar morfin dalam urin, bila saam dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin dalamdarah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis.
Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.
II.5. Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin
Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja sana dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensic, psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas meliputi apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun kemungkianan pembunuhan? jenis obat apakah yang digunakan? Melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut? Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian? Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat? Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut? Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit yang mungkin sudah ada pada korban? Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban? Ringksnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu :
1. TKP (Tempat Kejadian Perkara) ;
2. Riwayat korban ;
3. Otopsi ; dan
4. Pemeriksaan Toksikologi
Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba (Tedeschi, 1977)
Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan daalm dan juga pada pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan maupun sayatan- sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba.
Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda- tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanay didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan narkoba yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha – usaha oenyelundupan narkoba ( Tedeschi, 1977).
Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerah- daerah yang dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan, benda- benda asing, dan tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik.
Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung, urine, darah, dan cairan empedu. .Cairan empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus- kasus kematian akibat pemakaian opiate. Rambut dan kuku kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan toksikologi lain. Usapan mukosa hidung kadang- kadang dapat menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin ( Knight, 1996).
Pemeriksaan pada kematian akibat pemakaian opioid ( morfin atau heroin )
A. Pemeriksaan luar
Tanda- tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian.
1. Needle marks
Lokasi : fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki. Tempat lain adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar papilla mamae.
Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda perdarahan sub kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa jaringan parut titik- titik sepanjang lintasan vena dan disebut “intravenous mainline tracks”. Kadang – kadang untuk menyamarkan needle marks itu dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada korban yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda abses dan lain sebagainya. Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal ini terjadi, sebab mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya denngan menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu dalam pemeriksaan toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus (‘nasal swab’) sebagai bahan BBB.
2. hipertrofi kelenjar getah bening regional
Pada korban yang sering menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah bening di regio aksiler.Hal ini merupakan ‘Drain phenomenon’. Biasanya karena jarum suntikannya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak hipertrofi dan hyperplasia limfositik.
3. gelembung-gelembung pada kulit
Sering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi gas CO dan barbiturate.
4. Tanda mati lemas
Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi.
B. Pemeriksaan Dalam
Paru-paru
1. Perubahan akut :
Mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat kematian. Adapun perubahan awal yang terjadi adalah :
a). Dari 0 sampai 3 jam :
hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel mononuclear atau makrofag pada dinding alveoli. PA : Paru-paru tampak voluminous, kadang-kadang bagian posterior lebih padat sehingga tak ada krepitasi. Bagian anterior tampak ada emfisema yang difus dengan terdapat benda-benda asing yang terisap di dalam bronkus. Tampak ada kongesti, edema dengan sel-sel mononuclear dalam alveoli.
b). Dari 3 sampai 12 jam
1. Terdapat narcotic lungs (siegel)
Tanda ini amat bermakna ( 25 % kasus). Secara makroskopis tampak paru sangat mngembang (over inflated). Trachea tertutup busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak gambaran lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi adalah aerasi yang normal, amat mengembang, dan emfisma), kongesti, dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di bagian belakang dan bawah (posterior dan inferior). Secara PA, tampak sel-sel makrofag, perdarahan alveolar, intrabronkhiolar, subpleural, dan sel-sel polimorfonuklear.
2. Dapat ditemukan juga aspirat di daalm traktus respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering dianggap antidotum opiate.
c. Dari 12 sampai 24 jam
Proses pneumoniasis tampak lebih rata, tampak sel-sel PMN. Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval > 24 jam. Akan tampak pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan granula.
2. Perubahan kronis
Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis vascular. Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk natkotika). Talk ini juga dapat masuk bersama narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan, dan terdapat garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam vascular, perivascular, atau di dalam alveolus.
Hati
Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu. Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN, dan beberapa sel-sel narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan, dan adanya sel-sel ductus biliaris yang mengalami proliferasi. Ada 4 kelainan :
1. Hepatitis agresif kronika : tandanya ada pembentukan septa ;
2. Hepatitis persisten kronikA : adanya infiltrasi sel radang didaerah portal
3. Hepatitis reaktif kronika ;dan
4. Perlemakan hati.
Getah bening
Lokasi : terutama di daerah portal hepatic, di sekitar caput pancreas dan ductus choledocus. Makin berat menyandunya, makin banyak kelainanya.
Makroskopis : tampak pembesaran
Mikroskopis : tampak adanya hyperplasia dan hipertropi limfosit.
C. Pemeriksaan toksikologi
Sebab BBB:
1. Urin, cairan empedu, dan jaringan temapt suntikan;
2. darah dan isi lambung, diperiksa bila keracunanya peroral;
3. nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara membau dan menghirup
4. barang bukti lainnya.
Metode :
1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan gas Chromatography;
2. Dengan Nalorfine Test.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiprahasto, I., 1993, Aspek Farmakologik Alkohol dan Narkotok dalam Seminar Penyalahgunaan Alakohol dan Naarkotika, Ikatan Dokter Indonesia, Yogyakarta
Hamdani dan Nyowito, 1992, Ilmu kedokteran Kehakiman, Edisi Ke-2, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jaffe, J.H., 1991, Drug addiction and Drug Abuse In The Farmakolaogical Basis of Therapeutics, 8 th edition, Pergamon Press, New york
Knight, B., 1996, Forensic Pathology, Oxford University Press Inc., New York
Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83, 161.
Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ; 203-207.
Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FK-UI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.
Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba medika, 1995; hal : 138-143.
Tedeschi, E., 1977, Forensic Medicine, Vol II, W B Saunders Company, West Washington Squartz, Philadelphia
Undang-Undang No 9 tahun 1976 tentang Narkotika
0 komentar:
Posting Komentar