Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan fungsi afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi (Lumbantobing,2001). Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak (autisme infantile) yang datang pada praktek neurologi dan praktek dokter lainnya. Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli. Autisme sendiri sesungguhnya suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasive yang ditandai dengan hubungan hendaya timbal balik sosial, penyimpangan komunikasi, pola perilaku yang terbatas dan stereotipik. Fungsi abnormal ini sudah harus nampak pada umur 3 tahun. Lebih dari dua pertiga penderita gangguan autisme menderita retardasi mental, tetapi hal ini tidak mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis (Newson dkk,1998).
Dari beberapa kali penelitian yang telah dilakukan, ternyata diduga bahwa penyebab utama autisme adalah gangguan perkembangan pada bagian otak tertentu yaitu amigdala, hipokampus, serebelum dan lobus temporalis. Tingkat kerusakan otak akibat gangguan perkembangan tersebut akan memberikan efek pada individu sesuai dengan derajat kerusakan otak itu sendiri. Efek yang timbul akan sangat mempengaruhi sekali terhadap tingkah laku individu dan pembentukan tingkah laku itu (Hartono,1998).
Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Prevalensi autisme didapatkan sekitar 2-5/10.000 anak di bawah umur 12 tahun. Jika dimasukkan retardasi mental berat ditambah dengan gangguan autisme maka angkanya dapat mencapai 20/10.000 anak. Penelitian epidemiologi di Amerika utara, Asia dan Eropa memperkirakan prevalensi antara 2-13/10.000 anak (Rapin,2001; Lumbantobing,2001; Aeni dkk,2001)
Pada umumnya gangguan autisme mulai sebelum 36 bulan, tetapi mungkin tidak diperhatikan oleh orang tua, tergantung kewaspadaan orang tua dan beratnya gangguan. Gangguan autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki di banding anak perempuan, yaitu 3-5 kali lebih sering. Tetapi anak perempuan yang mengalami gangguan autisme cenderung lebih berat dan mempunyai riwayat keluarga dengan gangguan kognitif di banding anak laki-laki. Penelitian permulaan menemukan gangguan ini lebih sering pada status sosio-ekonomi tinggi, namun hal ini mungkin dipengaruhi oleh bias, karena dalam 25 tahun terakhir terdapat peningkatan kasus pada kelompok sosio-ekonomi rendah. Penemuan ini mungkin akibat bertambahnya kewaspadaan akan ganguan ini dan bertambahnya fasilitas kesehatan untuk anak-anak miskin (Aeni dkk,2001).
Terapi anak autisme membutuhkan identifikasi dini, intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang struktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan khususnya medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan dan perilaku dapat dilakukan dalam bidang psikologi, sedangkan mendirikan yayasan autisme sebagai lembaga yang mampu secara professional menangani masalah autisme adalah salah satu contoh yang dilakukan dalam bidang sosial (Lumbantobing,2001).
Ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisme pada penderita schizophrenia dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangakan pada anak-anak penyandang autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan. Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak , gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata (www.Smartschool.com)
II.1 Pengertian
Autisme adalah salah satu defisit perkembangan pervasif pada awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan ciri pokok yaitu terganggunya perkembangan interaksi sosial, bahasa dan wicara, serta munculnya perilaku yang bersifat repetitif, stereotipik dan obsesif (Budiman,1997).
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang (Aeni dkk,2001).
Autisme adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (IQ-EQ,2001).
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang komplek, yang biasanya muncul pada usia 1-3 tahun. Tanda-tanda autisme biasanya muncul pada tahun pertama dan selalu sebelum berusia 3 tahun. Autisme 2-4 kali lebih sering ditemukan pada anak laki-laki (www.medicastore.com).
II.2 Etiologi
Penyebab yang pasti dari autisme tidak diketahui, yang pasti hal ini bukan disebabkan oleh pola asuh yang salah. Penelitian terbaru menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan. Beberapa kasus mungkin berhubungan dengan infeksi virus (rubella congenital atau cytomegalic inclusion disease), fenilketonuria (suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan) dan sindroma X yang rapuh (kesalahan kromosom). (www.medicastore.com)
Sedangkan menurut www. smartschool.com, penyebab utama dari autisme belum diketahui dengan pasti autisme diduga disebabkan oleh gangguan neurobiologis pada susunan syaraf pusat meliputi faktor genetik, gangguan pertumbuhan sel otak pada janin, gangguan pencernaan, keracunan logam berat dan gangguan auto-imun.
Menurut Lumbantobing (2000), penyebab dari autisme dapat dipengaruhi oleh :
1.Faktor keluarga dan psikodinamik
Mulanya diperkirakan gangguan ini akibat kurangnya perhatian orang tua, tetapi penelitian terakhir tidak menemukan adanya perbedaan dalam membesarkan anak pada orang tua anak normal dari orang tua anak yang mengalami gangguan ini. Namun beberapa anak autisme berespon terhadap stressor psikososial seperti lahirnya saudara kandung atau pindah tempat tinggal berupa eksaserbasi gejala.
2.Kelainan organo-biologi-neurologi
Berhubungan dengan lesi neurologi, rubella kongenital, cytomegalovirus, ensefalitis, meningitis, fenilketonuria, tuberous sclerosis, epilepsi dan fragilee X syndrome.
Penelitian neuroanatomi menunjukkan bahwa autisme akibat berhentinya perkembangan dari cerebellum, cerebrum dan sistem limbik. Pada MRI ditemukan hipoplasi vermis cerebellum lobus VI dan VII (Courchesne,1991). Pada sekitar 10-30% anak dengan autisme dapat diidentifikasi faktor penyebabnya (Lumbantobing,2001).
3.Faktor genetik
Pada survey gangguan autisme ditemukan 2-4% saudara kandung juga menderita gangguan autisme. Pada kembar monozygot angka tersebut mencapai 90% sedang akan kembar dizigot 0% (Lumbantobing,2001)
4.Faktor imunologi
Terdapat beberapa bukti mengenai inkompatibilitas antara ibu dan fetus, dimana limfosit fetus bereaksi terhadap antibodi ibu, sehingga kemungkinan menyebabkan kerusakan jaringan syaraf embrional selama masa gestasi.
5.Faktor perinatal
Tingginya penggunaan obat pada selama kehamilan, respiratory disstres syndrome, anemia neonatus
6.Penemuan biokimia
Pada sepertiga dari penderita autisme ditemukan peninggian serotonin plasma. Selain itu terdapat peninggian asam homovanilik pada cairan liquor cerebrospinal.
II.3 Gejala-gejala pada Anak Autisme
Gejala pada anak autisme sudah tampak sebelum anak berusia 3 tahun, yaitu antara lain dengan tidak adanya kontak mata, dan tidak menunjukkan responsif terhadap lingkungan. Jika kemudian tidak diadakan upaya terapi, maka setelah usia 3 tahun perkembangan anak terhenti atau mundur, seperti tidak mengenal suara orang tuanya dan tidak mengenali namanya. (www.peduliautisme.com)
Sedang menurut www.medicastore.com, penderita autisme klasik memiliki 3 gejala yaitu
Gangguan interaksi sosial
Hambatan dalam komunikasi verbal dan non verbal
Kegiatan dan minat yang aneh atau sangat terbatas.
Sifat-sifat lainnya yang biasa ditemukan pada anak autisme adalah
Sulit bergabung dengan anak-anak yang lain
Tertawa atau cekikikantidak pada tempatnya
Menghindari kontak mata atau hanya sedikit melakukan kontak mata
Menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri
Lebih senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan
Tidak membentuk hubungan pribadi yang terbuka
Jarang memainkan permainan khayalan
Memutar benda, terpaku pada benda tertentu
Sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan baik, secara fisik terlalu aktif atau sama sekali kurang aktif
Tidak memberikan respon terhadap cara pengajaran yang normal,
Tertarik pada hal-hal yang serupa, tidak mau menerima atau mengalami perubahan
Tidak takut akan bahaya
Terpaku pada permainan yang ganjil
Ekolalia (mengulang kata-kata atau suku kata)
Tidak mau dipeluk
Tidak memberikan respon terhadap kata-kata, bersikap seolah-olah tuli
Mengalami kesulitan dalam mengungkapkan kebutuhannya melalui kata-kata, lebih senang meminta melalui isyarat tangan atau menunjuk
Jengkel atau kesal membabi buta
Melakukan gerakan atau ritual tertentu secara berulang-ulang
Anak autis mengalami keterlambatan bicara, mungkin menggunakan bahasa dengan cara yang aneh atau tidak mampu bahkan tidak mau berbicara sama jika seseorang berbicara dengannya, dia akan sulit memahami apa yang dikatakan kepadanya. Anak autis tidak mau menggunakan kata ganti yang normal (terutama menyebut dirinya sebagai kamu, bukan sebagai saya)
Pada beberapa kasus mungkin ditemukan perilaku agresif atau melukai diri sendiri
Kemampuan motorik kasar/halusnya ganjil (tidak ingin menendang bola tetapi dapat menyusun balok)
Gejala-gejala tersebut bervariasi, bisa ringan maupun berat, selain itu perilaku autisme biasanya berlawanan dengan berbagai keadaan yang terjadi dan tidak sesuai dengan usianya.
II.4 Kriteria diagnostik
Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autisme atau tidak, digunakan standar international tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah : Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2) dan (3) seperti di bawah ini, dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).
1.Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik
Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini :
a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju, apabila dipanggil tidak menengok
Perilaku anak autistik sering menunjukkan emosi yang tidak sesuai. Beberapa anak menjerit atau tertawa dengan sedikit atau tanpa provokasi, tetapi dapat pula terlihat gejala perilaku lain seperti hiperkinesis yang sering berganti-ganti dengan hiperaktifitas, agresifitas dan temperamen perilaku melukai diri sendiri seperti mencakar, menggigit dan menarik rambut (Kaplan & Sadock dkk,1994).
Penderita austistik hampir tidak menunjukkan perilaku emosional, yang terlihat hanya duduk dan memandang ke ruang kosong (Sutadi,1997; Newson, 1998). Mereka tidak menunjukkan rasa kecewa atau tidak senang bila berpisah dengan orang tuanya atau tidak gembira bila orang tua mereka datang kembali kedekatnya, hal ini dikarenakan terdapatnya gangguan kedekatan (attachment).
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya, senang menyendiri
Yang dimaksud adalah kegagalan untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangannya (Kaplan & Sadock dkk,1994). Secara fisik mereka akan menjaga jarak dengan teman lain, tidak pernah memulai dan hanya sedikit berespon terhadap interaksi sosial. Fungsi luhur penyandang akustik dewasa muda cenderung memperlihatkan kurang kooperatif di dalam kelompoknya bermain (Newson,1998)
c. Kurangnya hubungan timbal balik sosial dan emosional
Yang dimaksud dengan istilah hubungan sosial yang timbal balik adalah kapasitas yang dinamis untuk mempertahankan interaksi yang cocok. Hubungan sosial yang timbal balik bukanlah ketrampilan tunggal tetapi lebih pada hasil dari gabungan ketrampilan, hanya beberapa yang sudah diketahui. Interaksi verbal merupakan hal yang dimaksud dengan hubungan emosional yang timbal balik yaitu kondisi yang menunjukkan keakraban yang lazimnya terhadap orang tua mereka dan orang lain, pada penderita austistik gagal menjalani hubungan ini. Kegagalan dalam membuat persahabatan, kejanggalan dan ketidaksesuaian sosial terutama kegagalan untuk mengembangkan empati. Pada masa remaja akhir, orang austik tersebut yang paling berkembang seringkali memiliki keinginan untuk bersahabat, tetapi kecanggungan pendekatan mereka dan ketidakmampuan utuk berespon terhadap minat, emosi dan perasaan orang lain adalah hambatan yang utama dalam mengembangkan persahabatn. Kesulitan ini dideskripsikan sebagai kegagalan dalam hubungan timbal balik dan memberikan disorganisasi yang sifat dan perkembangan yang tidak seimbang dari ketrampilan sosial.
d. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
Yang dimaksud adalah tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi rasa, kesenangan minat atau pencapaian dengan orang lain, misalnya tidak memamerkan, membawa atau menunjukkan benda yang menarik minat. penderita austistik juga mengalami kegagalan mengenali perasan orang lain. Anak austik tidak dapat menggunakan ketrampilannya dengan efektif karena tidak mampu menunjukkan dan memperlihatkan sesuatu hal yang dimaksud. Anak austistik seringkali menggunakan isyarat, meraba dan mengambil barang bukan dengan jarinya tapi menganggap orang lain sebagai benda misalnya dengan memegang tangan orang itu dan menempatkan pada suatu barang yang diinginkan. Setelah tujuan tercapai, anak austistik kurang mampu untuk melanjutkan pada aktifitas lain, tetapi biasanya mengulang kembali aktifitas yang semula.
e. Kurangnya kemampuan untuk bisa membagi kegembiraan dan kesenangan pada orang lain.
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
Minimal harus ada1 dari gejala di bawah ini :
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.
b.Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru
3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda (IQ-EQ,2001)
4. Adanya gangguan emosi
a. Tertawa, menangis, marah-marah tanpa sebab
b.Emosi tidak terkendali
c. Rasa takut yang tidak wajar
5. Adanya gangguan persepsi sensorik
a. Menjilat-jilat dan mencium-cuim benda
b. Menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu
c. Tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar
d. Sangat tahan terhadap sakit
Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif. Bukan disebabkan oleh gangguan disintegrasi masa kanak, namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini iasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktifitas. Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan , tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. (www.smartschool.com).
II.5 Diagnosis autisme pada anak
Autisme tidak dapat langsung diketahui pada saat anak lahir atau pada skrining prenatal (tes penyaringan yang dilakukan ketika anak masih berada dalam kandungan). Tidak ada tes medis untuk mendiagnosis autisme. Suatu diagnosis yang akurat harus berdasarkan kepada hasil pengamatan terhadap kemampuan berkomunikasi, perilaku dan tingkat perkembangan anak. Karakteristik dari kelainan ini beragam, maka sebaiknya anak dievaluasi oleh tim multidisipliner yang terdiri dari ahli syaraf, psikolog anak-anak, ahli perkembangan anak-anak, terapis bahasa dan ahli lainnya yang berpengalaman di bidang autisme. Pengamatan singkat dalam satu kali pertemuan tidak dapat menampilkan gambaran kemampuan dan perilaku anak. Masukan dari orang tua dan riwayat perkembangan anak merupakan komponen yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis yang akurat (www.medicastore.com)
II.6 Penatalaksanaan autisme pada anak
Orang tua memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan anak. Seperti anak-anak yang lainnya, anak autis terutama belajar melalui permainan, bergabunglah dengan anak ketika dia sedang bermain, tariklah anak dari ritualnya yang sering diulang-ulang, dan tuntunlah mereka menuju kegiatan yang lebih beragam. Misalnya orang tua mengajak anak mengitari kamarnya kemudian tuntun mereka ke ruang yang lain. Orang tua perlu memasuki dunia mereka untuk membantu mereka masuk ke dunia luar.
Kata-kata pujian karena telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, kadang tidak berarti apa-apa bagi anak autis. Temukan cara lain untuk mendorong perilaku baik dan untuk mengangkat harga dirinya. Misalnya berikan waktu lebih untuk bermain dengan mainan kesukaannya jika anak telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Anak autis belajar lebih baik jika informasi disampaikan secara visual (melalui gambar) dan verbal (melalui kata-kata). Masukkan komunikasi augmentative dalam kegiatan rutin sehari-hari dengan menggabungkan kata-kata dan foto-foto, lambang atau isyarat tangan untuk membantu anak mengutarakan kebutuhan, perasaan dan gagasannya.
Tujuan dari pengobatan adalah membuat anak autis berbicara tetapi sebagian anak autis tidak dapat bermain dengan baik, padahal anak-anak mempelajari kata baru dalam permainan, sebaiknya orang tua tetap berbicara kepada anak autis sambil menggunakan semua alat komunikasi dengan mereka, apakah berupa isyarat tangan, gambar, foto, tangan, bahasa tubuh manusia maupun tehnologi. Jadwal kegiatan sehari-hari, makanan dan aktifitas favorit serta temen dan anggota keluarga lainnya bisa menjadi bagian dari system gambar dan membantu anak untuk berkomunikasi dengan dunia di sekitarnya. (www.medicastore.com).
1.Intensitas penatalaksanaan
Intensitas penatalaksanaan harus dipertimbangkan pada beberapa level, termasuk durasi (yaitu beberapa jam per minggu, atau beberapa bulan per tahun) dan rasio pegawai yang tersedia. Berkenaan dengan durasi program, ada beberapa penelitian untuk mendukung fakta bahwa hasil yang diperoleh anak-anak penderita autis cenderung berhubungan secara positif dengan jumlah jam dari terapi yang mereka terima setiap minggu.Anak-anak dengan autisme memerlukan metode pengajaran yang intensif, yaitu diberikan secara baik ketika siswa mempunyai seorang guru yang perhatiannya tidak terbagi. Seperti kemajuan siswa, sering perhatian terbaik merekaada suatu rasio yang sebanding dengan yang diberikan dalam lingkungan pendidikan selanjutnya. (Giangreco dkk,1997).
2.Penatalaksanaan menyeluruh
2.1Terapi Psikofarmaka
Kerusakan sel otak di sistem limbik, yaitu pusat emosi akan menimbulkan gangguan emosi dan perilaku temper tantrum, agresifitas, baik terhadap diri sendiri maupun pada orang-orang disekitarnya, serta hiperaktifitas dan stereotipik. Untuk mengendalikan gangguan emosi ini diperlukan obat yang mempengaruhi berfungsinya sel-sel otak. Obat-obat yang digunakan antara lain :
a.Haloperidol
Suatu obat antipsikotik yang mempunyai efek meredam psikomotor, biasanya digunakan pada anak yangmenampakkan perilaku temper tantrum yang tidak terkendali serta mempunyai efek lain yaitu meningkatkan proses belajar biasanya digunakan dalam dosis 0,20 mg (Campbell dkk,1983)
b.Fenfluramin
Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin darah yang bermanfaat pada beberapa anak autisme (Levanthal dkk,1993).
c.Naltrexone
Merupakan obat antagonis opiat yang diharapkan dapat menghambat opioid endogen sehingga mengurangi gejala autisme seperti mengurangi cedera pada diri sendiri dan mengurangi hiperaktifitas (Lensing dkk,1995).
d.Clompramin
Merupakan obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik, konvulsi, perilaku ritual dan agresifitas, biasanya digunakan dalam dosis 3,75 mg (Campbell dkk,1996)
e.Lithium
Merupakan obat yang dapat digunakan untukmengurangi perilaku agresif dan mencederai diri sendiri (Lumbantobing,2001)
f.Ritalin
Untuk menekan hiperaktifitas (Lumbantobing,2001)
g.Risperidon
Dengan dosis 2 x 0,1 mg telah dapat mengendalikan perilaku dan konvulsi.
Oleh karena efektifitas obat berbeda-beda antara anak satu dengan lainnya, maka pemakaian obat harus diawasi oleh dokter. Pemeriksaan yang lengkap perlu dilakukan setiap 6 bulan. Pemberian obat hanya sebagai penunjang dari keseluruhan penatalaksanaan autisme.
2.2Terapi Perilaku
Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan tatalaksana yang paling penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovass. Metode Lovass adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavioral Analysis (ABA). ABA juga sering disebut sebagai Behavioral Intervension atau Behavioral Modification. Dasar pemikirannya, perilaku yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan system reward dan punishment. Pemberian reward akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan punishment akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan (Nakita,2002)
a.Prinsip dasar ABA (Applied Behavioral Analysis)
Dasar metode ABA adalah semua tingkah laku dipelajari. Baik yang sederhana, seperti kontak mata atau duduk, sampai yang kompleks, misalnya interaksi sosial dan kemampuan memahami sudut pandang orang lain. Tingkah laku kompleks ini dapat dipelajari dengan memecah menjadi komponen-komponen atau kemampuan-kemampuan persyarat yang lebih sederhana, yang kemudian diajarkan ke anak. Untuk membantu anak belajar, harus diketahui hal apa saja yang dapat meningkatkan kemungkinan anak untuk menunjukkan respon seperti yang diinginkan yang dikenal dengan sebutan reinforcer (penguat). Reinforce positif akan meningkatkan kemungkinan munculnya tingkah laku yang diinginkan (desirable behavioral). Sebaliknya, reinforcer negative meningkatkan kemungkinan tidak munculnya tingkah laku yang tidak diinginkan (undesirable behavioral). Reinforcer positif berupa akses ke barang atau hal-hal yang disukai anak, sedangakan reinforcer negative adalah penghilangan hal-hal yang menyenangkan dari didi anak (Lovass dkk,1987; Nakita,2001).
b.Tujuan ABA (Applied Behavioral Analysis)
Membuat kegiatan belajar menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi anak
Mengajarkan kepada anak agar mampu membedakan atau mendiskriminasikan stimulus-stimulus yang berbeda. Tanpa kemampuan ini, anak tidak sanggup merespon secara tepat.
c.Metode pengajaran ABA
Metode pengajaran yang digunakan adalah DDT (Discrete Trial Training) yaitu metode yang berstruktur menuruti pola tertentu dan bisa ditentukan awal dan akhirnya. DDT terdiri dari instruktur, prompt, respon, konsekuensi dan interval waktu antara instruksi yang satu dengan instruksi yang lain.
Instruksi : Harus diberikan setelah anak memberi perhatian. Latihan dasar adalah latihan kontak mata. Instruksi pada awalnya harus diberikan tepat sama, baik kata-kata maupun intonasi, agar anak mudah mengerti. Instruksi yang baik adalah yang jelas pengucapannya, sedikit kata dan dalam nada netral atau datar.
Prompt : Dimaksudkan agar anak dapat mengetahui respon yang diharapkan darinya.
Konsekuen : Yang dimaksud konsekuen adalah apa yang diterima anak setelah berespon. Kalau respon anak tepat, maka anak akan mendapat reinforcer yang akan meningkatkan kemungkinan bagi anak untuk berespon yang sama di kemudian hari.
Interval : Setelah anak berespon dan mendapat konsekuensi, interval diberikan sekitar 3-5 menit antara konsekuensi dan instruksi selanjutnya. Gunanya sebagai pemberitahuan pada anak bahwa instruksi yang terdahulu telah selesai dan menyiapkan anak untuk instruksi berikutnya. Bila tidak ada interval waktu, anak bisa saja mencampuradukkan instruksi berikut dengan instruksi sebelumnya.
d.Enam kemampuan dasar
Berbagai kemampuan yang diajarkan melalui program ABA dapat dibedakan menjadi enam kemampuan dasar, yaitu :
Kemampuan memperhatikan (Attending Skill)
Pada program ini terdapat dua prosedur. Pertama melatih anak untuk bisa memfokuskan pandangan mata pada orang yang ada di depannya atau disebut dengan kontak mata. Yang kedua melatih anak untuk memperhatikan keadaan atau objek yang ada di sekelilingnya. (Lovass dkk,1996).
Kemampuan menirukan (Imitation Skill)
Pada kemampuan imitasi anak diajarkan untuk meniru gerakan motorik kasar dan halus. Selanjutnya, urutan gerakan, meniru gambar sederhana atau meniru tindakan yang disertai bunyi-bunyian (Lovass dkk,1996; Hardiono & Nakita,2002).
Bahasa reseptif
Melatih anak agar mempunyai kemampuan mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata (Hardiono,2002).
Bahasa ekspresif
Melatih kemampuan anak untuk mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat bicara), komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal (Hardiono,2002)
Kemampuan praakademis
Melatih anak untuk dapat bermain dengan benar, memberikan permainan yang mengajarkan anak tentang emosi, hubungan ketidakteraturan (irregularities), dan stimulus-stimulus di lingkungannya seperti bunyi-bunyian serta melatih anak untuk mengembangkan imajinasinya lewat media seni seperti menggambar benda-benda yangada di sekitarnya (Lovass dkk,1996).
Kemampuan mengurus diri sendiri (Self Help Skill)
Program ini bertujuan untuk melatih anak agar bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Pertama anak dilatih untuk bisa makan sendiri, umumnya pada anak yang normal dia dapat mempelajarinya dengan mudah. Tetapi untuk penderita autisme ini membutuhkan waktu yang lama dan bertahap. Yang kedua anak dilatih untuk bisa buang air kecil atau yang disebut toilet training. Kemudian tahapan selanjutnya adalah dressing, brushing or combing hair and tooth brushing. Pelatihan ini dilakkan secara pelan-pelan dan bertahap (Azrin & Fox, 1971)
e.Tehnik Pengajaran
Untuk dapat mengajarkan ketrampilan yang komplek pada anak autistik dapat digunakan tehnik shaping dan prompting. Tehnik ini biasanya digunakan karena respon yang mau diajarkan belum dapat dimunculkan oleh si anak atau tidak cukup sering muncul, sehingga bisa digunakan reinforcer saja.
Tehnik shapping
Tehnik ini digunakan bila kemampuan yang seharusnya dimiliki anak belum ada, sebelum anak dapat memunculkan respon yang tepat. Pada tehnik ini, terapis akan memberi reinforcer pada respon-respon yang dimiliki oleh anak, yang mirip dengan respon yang tepat. Reinforcer akan diberikan pada respon yang semakin lama semakin mirip dengan respon target. Sampai akhirnya anak mampu memunculkan respon yang merupakan target awal.
Tehnik prompting
Pada tehnik ini anak akan diberikan bantuan ekstra karena belum mampu memberikan respon yang belum tepat. Prompt bisa berupa verbal prompt (terapis menyebutkan kata-kata yang tepat), modelling prompt (terapis mendemontrasikan kepada anak respon yang tepat) dan physical prompt (terapis membimbing anak secara fisik agar mampu menunjukkan respon yang tepat). Yang harus dihindari dari tehnik ini adalah ketergantungan anak pada prompt, dimana anak tidak bisa memunculkan respon yang tepat bila tidak diberikan prompt (Nakita,2002).
f.Tehnik Jembatan (Shadowing)
Bila anak kesulitan di sekolah umum, biasanya akan dilakukan tehnik inklusi atau integrasi dan tehnik shadowing. Tehnik tersebut umumnya dilakukan di masa-masa awal anak mengikuti kegiatan di sekolah umum. Caranya, terapis (shadow) yang selama ini membantu anak di rumah, ikut hadir di kelas bersama anak. Ia berfungsi untuk menjembatani atau membantu anak mengerti instruksi-instruksi atau stimulus-stimulus dari lingkungan. Kalau perlu, shadow akan melakukan prompt terhadap anak. Namun penggunaan prompt oleh shadow memang dibatasi supaya anak belajar mandiri (Nakita,2002).
2.3Terapi Bicara
Gangguan bicara dan berbahasa di derita oleh hampir semua anak autisme. Tatalaksana melatih bicara dan berbahasa harus dilakukan oeh ahlinya karena merupakan gangguan yang spesifik pada anak autisme. Anak dipaksa untuk berbicara sekata demi sekata, cara ucapan harus diperhatikan, kemudian diajarkan berdialog setelah mampu berbicara. Anak dipaksa untuk memandang terapis, seperti diketahui anak austistik tidak mau adu pandang dengan orang lain. Dengan adanya kontak mata diharapkan anak dapat meniru gerakan bibir terapis (Soemarno,1992).
2.4Terapi okupasional
Melatih anak untk menghilangkan gangguan perkembangan motorik halusnya dengan memperkuat otot-otot jari supaya anak dapat menulis atau melakuakan ketrampilan lainnya.
2.5Pendidikan Khusus
Anak autistik mudah sekali teralih perhatiannya, karena itu pada pendidikan khusus satu guru menghadapi satu anak dalam ruangan yang tidak luas dan tidak ada gambar-gambar di dinding atau benda-benda yang tidak perlu, yang dapat mengalihkan perhatian anak. Setelah ada perkembangan mulai dilibatkan dalam lingkungan kelompok kecil, kemudian baru kelompok yang lebih besar. Bila telah mampu bergaul dan berkomunikasi mulai dimasukkan pendidikan biasa di TK dan SD untuk anak normal (Soemarno,1992)
2.6Terapi Alternatif
Yang digolongkan terapi alternatif adalah semua terapi baru yang masih berlanjut dengan penelitian.
Terapi detoksifikasi
Terapi ini menggunakan tentang nutrisi dan toksikologi. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan atau menurunkan kadar bahan-bahan beracun yang lebih tinggi dalam tubuh anak autisme dibanding dengan anak normal, agar tidak mengancam perkembangan otak. Terutama bahan beracun merkuri atau air raksa dan timah yang mempengaruhi sistem kerja otak.
Terapi ini meliputi mandi sauna, pemijatan dan shower, diikuti olahraga, konsumsi vitamin dosis tinggi, serta air putih minimal 2 liter sehari. Tujuannya untuk mengeluarkan racun yang menumpuk dalam tubuh (Edelson,1997)
The Option Method
Tujuan utama metode ini adalah meningkatkan kebahagiaan penyandang autisme dengan membantu mereka menemukan sistem kepercayaan diri masing-masing, Dasar pemikirannya adalah pandangan bahwa anak autis cenderung menutup diri terhadap dunia luar atau hidup dalam dunianya sendiri. Dengan adanya sikap menutup diri, kemampuan interaksi sosial anak tidak berkembang. Sehingga ketika anak berinteraksi dengan orang lain, ia menilainya sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan justru membuat anak semakin menarik diri.
Proses terapi ini menekankan penerimaan orang tua terhadap perilaku anaknya sebagai sesuatu yang tidak menyimpang, melainkan cara anak untuk mengerti dan mengontrol dunianya. Orang tua harus terlibat kuat pada kegiatan obsesif anaknya (Suzi & Kaufman,1998)
Sensory Integration Therapy
Kemampuan integrasi sensoris adalah kemampuan untuk memproses impuls yang diterima dari berbagai indera secara stimulan. Banyak anak autis yang diketahui mengalami kesulitan dalam memproses stimulus sensoris yang kompleks. Anak autis yang masuk dalam golongan ini umumnya menunjukkan ketidakpekaan sensoris tertentu. Terapi ini bertujuan meningkatkan kesadaran sensoris dan kemampuan berespon terhadap stimulus sensoris tersebut. Untuk itu dalam terapi ini digunakan stimulus yang bervariasi dan ba
II.7 Prognosis
Pada gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik,. Kira-kira dua pertiga orang dewasa autisme bergantung sepenuhnya atau setengah bergantung pada keluarga atau di rumah sakit jiwa. Hanya 1-2% dapat hidup normal dan berstatus independent, dan 5-20% mendapat status normal borderline (Hagberg,1981)
DAFTAR PUSTAKA
Aeni, dkk., 2001., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara., Vol : 22(2) : 347-54
Azrin & Fox., 1971., Teaching Develompentally Disable Children., Pro-ed., Austin Texas
Budiman, M., 1997., Tatalaksana Terpadu Pada Autisme, dalam : Simposium Tatalaksana Autisme., Gangguan Perkembangan anak., Yayasan Autisme Indonesia., Jakarta
Campbell, M., shay dkk., 1983., Pervassif Development Disorder., Comprehensive Text Book of Psychiatry., 2277-2293
Courchesne., 1991., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 kasus, jurnal Medika Nusantara., Vol : 22(2) : 347-54
Edelson, S., 1997., Menangani Anak Autisme., Panduan Tumbuh Kembang Balita., Nakita., 2002., Vol : 30
Giangreco,M., Edelma,S., Luiselli,T., and MacFarland,S., 1997., Helping or hovering ? Effects of instructional assistant proximaty on student with disabilities., Exceptional Children., 64., No.I., 7-18
Hartono., Infantil Autism., Majalah Medical Indonesia., Edisi V., 1998., Yayasan Autisme Indonesia., Jakarta
Kaplan, H.S., Saddock,B.J., Greb,J.A., 1994., Synopsis of Psychiatry Behavioral Scienses., Clinical Psychiatry Refford DC (Ed). Williams & Wilkins., Baltimore
Lensing, dkk., 1995., Gangguan Perkembangan Pervassif., Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara., vol:22(2):347-54
Leventhal,dkk., 1993., Gangguan Perkembangan Pervassif., Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara, Vol:22(2):347-54
Lovass,O.I, dkk., 1996., Teaching Developmentally Disable Children., Pro-ed Austin., Texas
Lumbantobing,S.M., 2001., Anak Dengan Mental Terbelakang., Balai Penerbit Fakultas kedokteran Indonesia
Newson,dkk., 1998., Long-term Otcome For Children With Autisme Who Received Early Intensive Behavioral Treatment., University of California., Los Angeles
Rapin, I., Autistic Spectrum Disorder Across The Life Span., AAN., 2001
Soemarno., 1992.,Gangguan Autisme., Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran., Universitas Gadjah Mada
Sutadi, R., 1997., Tatalaksana Perilaku Pada Penyandang Autisme., Yayasan Autisme Indonesia., Jakarta
Suzi., & Kaufman., 1998., Menangani Anak Autis., Panduan Tumbuh Kembang Balita., Nakita., 2002 Vol :30
Anonim., Mengenal Autisme., http://www.smartschool.com
Anonim., Autisme., http://www.medicastore.com
Anonim., Autisme bisa disembuhkan, kenyataan dan harapan., http://www.peduliautisme.com
saya DRH.Haris Guntur..melalui blog Bapak saya ingin berbagi informasi bahwa saya adalah seorang bio medis terapis anak berkebutuhan khusus : autis hiperaktif infeksi virus (TORCH) Sindroma Down di Yogyakarta . (Namun kami bukan terapi psikologis dan perilaku seperti yang kita ketahui selama ini dengan metode ABA atau Lovas atau lainnya). Mengenai detail profil kami, bisa di lihat di www.autismaterapi.blogspot.com.
BalasHapusSaya memberikan jaminan bahwa untuk anak autis dan berkebutuhan khusus lainnya, selama 1 bulan terapi akan terlihat perubahan yang berarti dan bisa dibandingkan dengan metode lainnya yang pernah ada.
Untuk pasien luar kota kami sediakan tempat menginap dengan berbagai fasilitas lainnya.
Selama 1 bulan kami membebaskan biaya terapi (namun tidak free untuk biaya akomodasi bila pasien luar kota menginap dan suplemen) .
Anda juga bisa melihat sendiri dan bertanya kepada eks pasien kami secara langsung .
Pertanyaan dan konsultasi bisa menghubungi kami di 0274-7806555.
Salam.
Haris Guntur www.autismaterapi.blogspot.com