This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 19 Agustus 2013

Kombinasi Ibuprofen-Parasetamol vs Opioid-Parasetamol pada Nyeri Operasi Dental

Analisis data terbaru menunjukkan kombinasi ibuprofen dengan parasetamol lebih efektif dan lebih aman dibanding kombinasi opioid dengan parasetamol untuk meredakan nyeri karena operasi dental. Akan tetapi kombinasi ini memiliki risiko efek samping dan penyalahgunaan. Studi ini memberikan alternatif baru. Dr. Moore dan Elliot V. Hersh (DMD, PhD, profesor farmakologi University of Pennsylvania in Philadelphia) mempublikasikan temuan mereka di Journal of the American Dental Association edisi Agustus 2013.

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), seperti ibuprofen, bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin, menekan inflamasi dan nyeri. Parasetamol tidak menekan inflamasi, dan menekan nyeri melalui berbagai mekanisme yang lain. Menaikkan dosis kedua obat ini dapat meningkatkan efektivitas, tetapi hanya sampai batas tertentu, dan dosis yang lebih tinggi dapat bersifat toksik. Kombinasi 2 obat ini dapat menekan nyeri lebih baik daripada monoterapi salah satu obat saja.

Dr. Moore dan Dr. Hersh menggunakan quantitative evidence based review yang dipublikasikan oleh Cochrane Collaboration untuk menentukan efikasi dan keamanan dari kombinasi parasetamol dan ibuprofen. Mereka menemukan artikel tambahan dengan mencari database Ovid MEDLINE, PubMed, dan ClinicalTrials.gov . Beliau menemukan bukti yang konsisten mengenai efektivitas produk kombinasi. Sebagai parameter untuk membandingkan berbagai terapi, mereka menggunakan number needed to treat (NNT) yang didefinisikan sebagai jumlah [pasien yang perlu dirawat untuk mendapat tambahan 1 pasien yang mencapai setidaknya 50% perbaikan nyeri dalam waktu 4-6 jam dibandingkan dengan plasebo. Semakin rendah nilai NNT, semakin poten efek meredakan nyerinya.

Dari studi-studi yang mempelajari mengenai penanganan nyeri ekstraksi molar ketiga, peneliti menemukan ibuprofen 200 mg dikombinasikan dengan parasetamol 500 mg memiliki nilai NNT paling kecil, sebesar 1,6 (95% confidence interval ]CI[, 1,4 - 1,8) dibandingkan dengan codeine 60 mg dengan parasetamol 1000 mg (95% CI, 1,8 – 2,9). Peneliti juga menemukan nilai NNT sebesar 2,3 untuk oxycodone 10 mg dengan parasetamol 650 mg. Ibuprofen 200 mg saja memiliki nilai NNT sebesar 2,7 (95% CI, 2,5 – 3,0), dan parasetamol 1000 mg saja memiliki NNT sebesar 3,2 (95% CI, 2,9 – 3,6).

Sebagai tambahan, terdapat juga sebuah studi yang dilakukan oleh Daniels dkk yang membandingkan berbagai kombinasi ibuprofen, codeine, dan parasetamol untuk menangani nyeri ekstraksi molar ketiga. Dalam studi tersebut, pasien yang diberikan ibuprofen / parasetamol mengalami nyeri yang lebih ringan dibanding mereka yang diberikan codeine dan parasetamol, juga mengalami efek samping seperti mual, muntah, sakit kepala, dan pusing yang lebih minimal.

Di antara pasien yang mendapat kombinasi ibuprofen 200 mg dengan parasetamol 500 mg, 18,5% mengalami efek samping yang perlu segera ditangani dibandingkan 24,9% pada pasien ibuprofen 400 mg – parasetamol 1000 mg, dan 34,9% pada mereka yang diberikan kombinasi ibuprofen dengan codeine. Manfaat tambahan dari ibuprofen – parasetamol dibanding opioid adalah opioid umumnya disalahgunakan, sedangkan ibuprofen – parasetamol tidak.

Berdasarkan analisis ini, peneliti menyusun stepwise guideline untuk penanganan nyeri pasca operasi kedokteran gigi berdasar estimasi dokter akan ringan-beratnya nyeri setelah efek anastesi habis: Nyeri ringan: Ibuprofen 200 – 400 mg setiap 4-6 jam atau sesuai kebutuhan. Nyeri ringan – sedang: Ibuprofen 400 – 600 mg setiap 4-6 jam selama 24 jam, diikuti ibuprofen 400 mg setiap 4-6 jam atau sesuai kebutuhan. Nyeri sedang – berat: Ibuprofen 400 – 600 mg dikombinasikan dengan parasetamol 500 mg setiap 6 jam selama 24 jam, diikuti ibuprofen 400 mg dengan parasetamol 500 mg setiap 6 jam atau sesuai kebutuhan. Nyeri berat: Ibuprofen 400-600 mg dengan parasetamol 650 mg dan hydrocodone 10 mg setiap 6 jam selama 24 – 48 jam, diikuti ibuprofen 400-600 mg dengan parasetamol 500 mg setiap 6 jam atau sesuai kebutuhan.

Dalam guideline ini, dosis maksimal harian untuk parasetamol adalah 3000 mg, dan untuk ibuprofen adalah 2400 mg. Sebagai tambahan, NSAID mungkin akan bekerja dengan lebih baik jika diberikan preoperatif atau perioperatif. Dan peneliti menyimpulkan bahwa: kombinasi ibuprofen – parasetamol lebih efektif dan lebih aman dibandingkan dengan kombinasi opioid (hydrocodone / codeine / oxycodone) – parasetamol untuk penanganan nyeri pasca operasi dental. (AGN)



Referensi:
1.Harrison L. Painful dental work: Acetaminophen with ibuprofen best. Medscape Medical News ]Internet[ 2013 ]Cited 2013 Aug 16[. Available from:http://www.medscape.com/viewarticle/809415
2.Moore PA, Hersh EV. Combining ibuprofen and acetaminophen for acute pain management after third-molar extractions. JADA. 2013;144(8):898-908.

Kamis, 15 Agustus 2013

Macrolide dan Manfaatnya Terhadap Gejala Asma, Sebuah Metaanalisis

Menurut guideline GINA tahun 2011, ada beberapa pengobatan utama asma yaitu beta-agonis, kortikosteroid oral atau inhalasi dan berbagai modulator sistem imun. Belum ada rekomendasi penggunaan antibiotik untuk memperbaiki gejala asma. Ada hipotesis yang menduga bahwa penggunaan antibiotik macrolide bermanfaat memperbaiki gejala asma tetapi beberapa penelitian memperoleh hasil kontradiktif.
Untuk mengevaluasi efek macrolide terhadap asma, beberapa peneliti dari Philadelphia, USA, melakukan sebuah metaanalisis beberapa uji klinik tentang efek antibiotik macrolide terhadap asma. Mereka menemukan ada 116 uji klinik, tetap hanya 6 yang memenuhi kriteria dan dimasukkan dalam metanalisis. Dari 6 uji klinik ini, menggunakan 3 jenis macrolide yaitu azithromycin, roxithromycin dan troleandomycin.

Metanalisis in menemukan 2 hal, pertama adalah apabila antibiotik macrolide digunakan pada pasien asma yang tidak mendapat corticosteroid, tidak terdapat perbedaan bermakna pada FEV1 antara kelompok yang mendapat macrolide dengan kelompok yang mendapat plasebo (p = 0,43).
Hasil kedua adalah apabila antibiotik macrolide diberikan kepada pasien yang mendapat corticosteroid, terdapat pebedaan bermakna : kelompok macrolide + corticosteroid memperoleh FEV1 lebih tinggi dibandingkan kelompok plasebo + corticosteroid (p = 0,05). Selain itu juga ditemukan bahwa kelompok macrolide + corticosteroid membutuhkan dosis corticosteroid yang lebih rendah daripada kelompok plasebo +corticosteroid (0,004).
Simpulan metaanalisis ini adalah meskipun penggunaan antibiotik macrolide secara sendiri tidak berdampak signifikan terhadap gejala asma, pada pasien yang mendapat corticosteroid oral, penambahan antibiotik macrolide dapat memperbaiki FEV1 dan mengurangi kebutuhancorticosteroid oral. (NNO)
Referensi:
1.   Global Initiative for Asthma. Pocket guide for asthma management and prevention [Internet]. 2011 [cited 2013 Mar 28]. Available from:http://www.ginasthma.org/documents/1/Pocket-Guide-for-Asthma-Management-and-Prevention.
2.   Mikailov A, Kane I, Aronoff SC, Luck R, Delvecchio MT. Utility of adjunctive macrolide therapy in treatment of children with asthma: a systematic review and meta-analysis. J Asthma Allergy. 2013;6:23-9.

Rabu, 31 Juli 2013

Demam Chikungunya

Demam Chikungunya disebabkan oleh infeksi virus Chikungunya. Virus ini masih satu keluarga dengan Virus Dengue, penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD). Virus ini masuk ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes Albopictus yang juga nyamuk penular DBD.
Demam Chikungunya sering rancu dengan DBD karena mempunyai gejala yang awal yang hamper sama, tetapi gejala nyeri sendi merupakan gejala yang penting pada demam Chikungunya. Tetapi untuk pasti membedakannya adalah dengan pemeriksaan laboratorium darah pada demam hari ke 3. Serangan demam Chikungunya dalam bentuk KLB (kejadian luar biasa) sudah sering terjadi, terutama pada musim penghujan.


Nyamuk Aedes yang sudah terinfeksi virus Chikungunya bila menggigit manusia akan menularkan virus Chikungunya. Di dalam tubuh manusia, virus tidak serta merta menimbulkan gejala, tetapi memerlukan masa berkembangbiakan (masa tunas) 1-12 hari untuk dapat menimbulkan gejala.
Gejala-gejala Demam Chikungunya adalah
  • Demam mendadak tinggi, disertai menggigil dan muka kemerahan. Panas tinggi selama 2-4 hari kemudian kembali normal.
  • Sakit persendian. Nyeri sendi merupakan keluhan yang sering muncul sebelum timbul demam dan dapat bermanifestasi berat, sehingga kadang penderita merasa lumpuh. Sendi yang sering dikeluhkan: sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang.
  • Nyeri otot. Nyeri bisa terjadi pada seluruh otot atau pada otot bagian kepala dan daerah bahu. Kadang terjadi pembengkakan pada pada otot sekitar mata kaki.
  • Bercak kemerahan ( ruam ) pada kulit. Bercak kemerahan ini terjadi pada hari pertama demam, tetapi lebih sering pada hari ke 4-5 demam. Lokasi biasanya di daerah muka, badan, tangan, dan kaki. Kadang ditemukan perdarahan pada gusi.
  • Nyeri kepala: nyeri kepala merupakan keluhan yang sering ditemui.
  • Kejang, biasanya pada anak karena panas yang terlalu tinggi, jadi bukan secara langsung oleh penyakitnya.
  • Gejala lain. Gejala lain yang kadang dijumpai adalah pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher.
Penderita demam Chikungunya sebaiknya diisolasi dari gigitan nyamuk, sehingga dapat mencegah penularan ke orang lain. Setiap orang dapat mencegah gigitan nyamuk vektor dengan kelambu, repelan, obat nyamuk bakar dan semprot atau dengan kasa anti nyamuk.
Pencegahan terbaik adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Adanya gerakan PSN di suatu desa atau wilayah hunian akan berdampak pada penurunan angka kejadian Demam Chikungunya.

Pengobatan demam Chikungunya adalah pengobatan simptomatis (menghilangkan gejala) dengan obat demam, dan  atau anti-nyeri, disertai istirahat, dan makan minum cukup. Perjalanan penyakit ini umumnya cukup baik, karena bersifat self limited, yakni akan sembuh sendiri.
Belum ditemukan obat spesifik untuk penyakit ini. Juga belum ditemukan vaksinasi yang berguna sebagai tindakan preventif. Namun pada penderita yang telah terinfeksi timbul imunitas / kekebalan terhadap penyakit ini dalam jangka panjang.

Senin, 22 Juli 2013

Testosteron Gel tidak Meningkatkan Risiko Priapism

Tiga uji klinik mengevaluasi terhadap kemungkinan pasien-pasien yang mendapatkan terapi pengganti testosterone gel (1%) terhadap potensi efek priapism (ereksi penis abnormal/persisten). Tiga uji klinik dengan disain penelitian secara acak, kelompok kontrol, pada pasien hipogonad, dilakukan dalam menilai profil keamanan terapi pengganti testosterone terhadap potensi priapism, 1 penelitian adalah uji klinik fase III menggunakan AndroGel 1% 5g, 7,5g atau 10 g sekali sehari selama 6 bulan (n=227). Penelitian ke-2 adalah fase II dari AndroGel 1% 7,5 g sekali sehari, dosis dititrasi sesuai kebutuhan vs plasebo selama 26 minggu pada pria dengan diabetes tipe 2 (n= 180). Penelitian ke-3 adalah fase IV dari AndroGel 1% 5 g sekali sehari vs plasebo selama 12 minggu 

pada pria dengan riwayat terapi dengan sildenafil tidak berespons dengan dosis 100 mg monoterapi (n=75), data postmarketing ini dilaporkan dari data 2001 hingga 2011. Evaluasi adalah melihat insidens priapism dan atau keluhan yang berkaitan efek samping urogenital atau sistem reproduksi, dari 283 pria yang tepapar pemberian AndroGel 1% dari tiga uji klinik, rerata paparan dalam rentang 84-149 hari. Tidak ada gambaran terjadi adverse reaction priapism atau keluhan serupa.

Penelitian lain juga dilakukan pada pria dengan penyakit sickle cell yang juga memiliki risiko mengalami hipogonadisme, dimana kondisi hipogonadisme akan sangat mempengaruhi kualistas hidup dan meningkatkan mobiditas, tetapi keamanan pemberian terapi pengganti testosterone pada pasien sickle cell dan episode priapism relatif tidak jelas. Berdasarkan hal tsb penelitian cohort dilakukan pada 7 pria hipogonad dengan penyakit sickle cell. Testosterone yang digunakan adalah Testosterone undecanoate 1 g diberikan secara IM [serum total testosterone ≤12.0 nmol/L (346 ng/dL)] selama 12 bulan, dengan rerata usia 34,4 tahun. Median total testosterone meningkat dari 10,6 hingga 11,2 nmol/L (p = 0,46). Median serum lactate dehydrogenase menurun dari 1.445 menjadi 1.143.5 IU/L (p < 0.05), sedangkan pemeriksaan laboratorium lainnya mengindikasikan stabil. Nyeri dilokasi penyuntikan merupakan keluhan yang paling sering tanpa adanya hipersensitivitas atau edema. Setelah pemberian terapi pengganti testosterone tidak terjadi peningkatan frekuensi priapism secara bermakna. Aktivitas seksual yang dinilai menggunakan skor international index of erectile function (IIEF), Androgen Deficiency Aging Male (ADAM) membaik.

Dari data keamanan testosterone gel (1%) maupun injeksi testosterone undecanoate pada pria hipogonadisme bahkan disertai penyakit sickle cell tidak ada kaitannya dengan kasus priapism dan tidak menstimulasi terjadi priapism (ARI)

Referensi:
1.Burnett AL, Kan-Dubrosky N, Miller MG. Testosterone replacement with 1% testosterone gel and priapism: no definite risk relationship. J Sex Med. 2013;10(4):1151-61. doi: 10.1111/jsm.12059. 
2.Morrison BF, Reid M, Madden W, Burnett AL. Testosterone replacement therapy does not promote priapism in hypogonadal men with sickle cell disease: 12-month safety report. Andrology. 2013 Apr 18. doi: 10.1111/j.2047-2927.2013.00084.x. 

Minggu, 30 Juni 2013

Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak

Pendahuluan
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1985. Pada saat itu pimpinan puskesmas maupun pemegang program di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota belum mempunyai alat pantau yang dapat memberikan data yang cepat sehingga pimpinan dapat memberikan respon atau tindakan yang cepat dalam wilayah kerjanya. PWS dimulai dengan program Imunisasi yang dalam perjalanannya, berkembang menjadi PWS-PWS lain seperti PWS-Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) dan PWS Gizi. Pelaksanaan PWS imunisasi berhasil baik, dibuktikan dengan tercapainya Universal Child Immunization (UCI) di Indonesia pada tahun 1990. Dengan dicapainya cakupan program imunisasi, terjadi penurunan AKB yang signifikan. Namun pelaksanaan PWS dengan indikator Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak secara cepat dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) secara bermakna walaupun cakupan pelayanan KIA meningkat, karena adanya faktor-faktor lain sebagai penyebab kematian ibu (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dsb). Dengan demikian maka PWS KIA perlu dikembangkan dengan memperbaiki mutu data, analisis dan penelusuran data.

A. Pengertian
PWS-KIA adalah alat manajemen program KIA untuk memantau cakupan pelayanan KIA di suatu tempat (Puskesmas/Kecamatan) secara terus menerus agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat terhadap desa yang cakupan pelayanan KIA-nya masih rendah.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Meningkatkan jangkauan dan mirtu pelayanan KIA di wilayah kerja Puskesmas melalui pemantauan cakupan pelayanan KIA di tiap desa secara terus menerus

2. Tujuan Khusus
a. Memantau cakupan pelayanan KIA yang dipilih sebagai indikator secara teratur (bulanan) dan terus menerus di tiap desa
b. Menilai kesenjangan antara target yang ditetapkan dan pencapaian sebenarnya untuk tiap desa
c. Menentukan urutan desa prioritas yang akan ditangani secara intensif berdasarkan besarnya kesenjangan antara target dan pencapaian
d. Merencanakan tindak lanjut dengan menggunakan sumber data yang tersedia dan yang dapat digali.
e. Membangkitkan peran pamong setempat datam penggerakan sasaran dan mobilisasi sumber daya.

C. Prinsip Pengelolaan Program KIA
Kegiatan pokok pelayanan KIA
1. Peningkatan pelayanan antenatal di semua fasilitas pelayanan dengan mutu yang baik serta jangkauan yang setinggi-tingginya Pelayanan antenatal mencakup anamnesis. Pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium atas indikasi serta intervensi dasar dan khusus (sesuai resiko yang ada).
Namun dalam penerapan operasional dikenal standar minimal "7T" terdiri dari :
• Timbang BB, ukur BB.
• (Ukur) Tekanan darah
• (Pemberian imunisasi) Tetanus toksoid (TT) lengkap
• (Ukur) Tinggi Fundus Uteri
• (Pemberian) Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan
• TORCH
• Temu wicara

Frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4x selama kehamilan, dengan
ketentuan waktu :
 Minimal 1x pada trimester I
 Minimal 1x pada trimester II
 Minimal 2x pada trimester III
2. Peningkatan pertolongan. persalinan yang lebih ditujukan kepada peningkatan oleh tenaga profesional secara berangsur. Dalam program KIA, ada beberapa jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan pada masyarakat seperti;
a. Tenaga Profesional :
Dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu bidan (PKE) dan perawat bidan
b. Dukun Bayi, dibagi sebagai berikut :
• Terlatih
Yaitu dukun bayi yang telah mendapat latihan oleh tenaga kesehatan dan dinyatakan lulus.
• Tidak terlatih
Yaitu dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan atau dukun bayi yang sedang dilatih dan Belum lulus.
Pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun diharapkan memenuhi standar minimal "3 Bersih" yang meliputi:
 Bersih tangan penolong
 Bersih alat pemotong tali pusat
 Bersih alas tempat ibu berbaring dan lingkungannya
Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
 Sterilitasi
 Metode pertolongan persalinan yang memenuhi persyaratan teknis medis.
 Merujuk kasus yang memerlukan tingkat pelayanan yang lebih tinggi
3. Peningkatan deteksi dini resiko ibu hamil, baik oleh tenaga kesehatan maupun di masyarakat oleh kader dan dukun bayi serta penanganan dan pengamatan secara terns menerus Faktor resiko ibu hamil, diantaranya :
a. Primigravida < 20 tahun atau >35 tahun
b. Jumlah anak > 4 orang
c. Jarak persalinan terakhir dengan kehamilan sekarang < 2 tahun
d. Tinggi badan < 145 cm
e. Serat badan < 38 kg dan tingkat lengan atas (Ha) < 23,5 cm
f. Riwayat keluarga menderita penyakit Diabetes Melitus, hipertensi dan
riwayat cacat kongenital
g. Kelainan bentuk tubuh misalnya kelainan tulang belakang atau kelainan tulang panggul
Deteksi dini ibu hamil berisiko perlu difokuskan pada keadaan yang menyebabkan kematian ibu bersalin di rumah dengan pertolongan oleh dukun bayi. Risiko tinggi kehamilan merupakan keadaan penyimpangan dari normal, yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.
Risiko tinggi pada kehamilan meliputi :
a. Kadar haemoglobins 8 gr%
b. Tekanan darah tinggi (sistote >140 mmHg dan diastole > 90 mmHg)
c. Oedema yang nyata
d. Eklampsia
e. Perdarahan pervaginam
f. Ketuban Pecan Dini (KPD)
g. Letak lintang pada usia kehamilan > 32 minggu
h. Letak sungsang pada primigravida
i. Infeksi berat atau sepsis
j. Persalinan prematur
k. Kehamilan ganda
l. Janin yang besar
m. Penyakit kronis pada ibu
n. Riwayat obstetri yang buruk
4. Peningkatan pelayanan neonatal (bayi < 1 bulan) dengan mutu yang baik dan jangkauan yang setinggi tingginya.

Penyebab utama kematian neonatal adalah tetanus neonatorum, gangguan yang timbul pada Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan asfiksia. Upaya yang dilakukan untuk mencegah kematian neonatal diutamakan dengan pemeliharaan kehamilan sebaik mungkin, pertolongan persalinan "3 Bersih" dan perawatan yang adekuat pada bayi. Risiko pada neonatal meliputi :
a. Bayi lahir dengan berat < 2500 gr dan > 4000 gr
b. Bayi dengan tetanus neonatorum
c. Bayi dengan asfiksia
d. Bayi dengan ikterus neonatorum (ikterus > 10 had setelah lahir)
e. Bayi dengan sepsis
f. Bayi lahir preterm dan postterm
g. Bayi lahir dengan cacat bawaan sedang
h. Bayi lahir dengan persalinan tindakan

D. Batasan Operasional Pemantauan PWS-KIA
1. Pelayanan Antenatal
Pelayanan kesehatan oleh tenaga operasional untuk ibu selama masa kehamilannya yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan. Standar operasional yang ditetapkan untuk pelayanan
antenatal adalah "71".
2. Penjaringan (deteksi) dini kehamilan berisiko
Kegiatan ini bertujuan untuk menemukan ibu hamil berisiko, yang dapat dilakukan oleh kader, dukun bayi dan tenaga kesehatan.
3. Kunjungan ibu hamil
Adalah kontak ibu hamil dengan tenaga profesional untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar yang ditetapkan.
4. Kunjungan ibu baru hamil (K1)
Adalah kunjungan ibu hamil yang pertama kali pada masa kehamilan.
5. Kunjungan ulang
Adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang kedua dan seterusnya untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar selama satu periode kehamilan berlangsung.

6. K4
Adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang ke empat (atau lebih), untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar yang ditetapkan.
7. Kunjungan Neonatal (KN)
Adalah kontak neonatal dengan tenaga kesehatan minimal 2 (dua) kali untuk mendapatkan pelayanan dan pemeriksaan kesehatan neonatal, baik di dalam maupun di luar gedung Puskesmas (termasuk bidan di desa, polindes, dan kunjungan rumah) dengan ketentuan:
a. Kunjungan pertama kali pada hari pertama sampai dengan hari ke tujuh (sejak 6 jam setelah lahir)
b. Kunjungan kedua kali pada hari ke delapan sampai dengan had ke dua puluh delapan.
c. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan bukan merupakan kunjungan neonatal

8. Cakupan akses
Adalah persentase ibu hamil di suatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu, yang pernah mendapat pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit satu kali selama kehamilan.
Cara menghitungnya adalah sebagai berikut:
(Jumlah kunjungan baru ibu hamil dibagi dengan jumlah sasaran ibu hamil yang ada di suatu wilayah kerja dalam kurun waktu satu tahun) dikalikan 100%.
9. Cakupan ibu hamil (cakupan K4)
Adalah persentase ibu hamil di suatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu, yang mendapatkan pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit empat kali, dengan distribusi pemberian pelayanan minimal satu kali pada trimester I, satu kali pada trimester II, dan dua kali pada trimester III.
Cara menghitungnya adalah sebagai berikut:
(jumlah ibu hamil yang telah menerima K4 dibagi jumlah sasaran ibu hamil dalam kurun waktu satu tahun) dikalikan 100%
10. Sasaran ibu hamil

Sasaran ibu hamil adalah jumlah semua ibu hamil di suatu wilayah dalam kurun waktu satu tahun.
11. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
Adalah persentase ibu bersalin di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, yang ditolong persalinannya oleh tenaga kesehatan.
Cara menghitungnya adalah sebagai berikut:
(Jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (tidak tergantung pada tempat pelayanan) dibagi dengan jumlah seluruh persalinan yang ada di suatu wilayah dalam kurun waktu satu tahun) dikalikan 100%.
12. Cakupan penjaringan ibu hamil berisiko oleh masyarakat
Adalah persentase ibu hamil berisiko yang ditemukan oleh kader dan dukun bayi yang kemudian dirujuk ke Puskesmas/tenaga kesehatan, dalam kurun waktu tertentu. Diperkirakan persentase ibu hamil berisiko mencapai 15-2G% dari seluruh ibu hamil.
13. Cakupan penjaringan ibu hamil berisiko oleh tenaga kesehata
Adalah persentase ibu hamil berisiko yang ditemukan oleh tenaga kesehatan, yang kemudian ditindaklanjuti (dipantau secara intensif dan ditangani sesuai kewenangan; dan atau dirujuk ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi), dalam kurun waktu tertentu.
14. Ibu hamil berisiko
Adalah ibu hamil yang mempunyai faktor risiko dan risiko tinggi.
15. Cakupan kunjungan neonatal (KN)
Adalah persentase neonatal (bayi umur < 1 bulan) yang memperoleh pelayanan kesehatan minimal dua kali dari tenaga kesehatan satu kali pada hari pertama sampai dengan hari ke dua puluh delapan Indicator Pemantauan PWS-KIA
a. Akses Pelayanan Antenatal (Cakupan K1)
Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat. Rumus yang dipakai untuk perhitungannya adalah:

Jumlah kunjunganbaru K ibu hamil
 Jumlah sasaran ibu hamil dalam satu tahun dihitung dengan rumus :
CBR Propinsi x 1,1 x jumlah penduduk setempat
 Bila propinsi tidak mempunyai data CBR, dapat digunakan angka nasional, sehingga rumus perhitungannya sebagai berikut: 3% x jumlah penduduk setempat
b. Cakupan Ibu Hamil (K4)
Dengan indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan antenatal secara lengkap (memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang telah ditetapkan) yang menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di suatu wilayah disamping menggambarkan kemampuan manajemen ataupun kelangsungan program KIA. Rumusnya adalah:
Jumlahkunjunganibu hamil K
c. Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan persalinan secara profesional.
Rumus yang dipergunakan sebagai berikut:
 100%
1
tan x
Jumlah seluruh sasaran persalinandalam tahun
Jumlah persalinanolehtenaga keseha
 Jumlah seluruh sasaran persalinan dalam satu tahun diperkirakan melalui perhitungan :
CBR Propinsi x 1,05 x jumlah penduduk setempat
 Bila Propinsi tidak mempunyai data CBR, dapat digunakan angka nasional sehingga rumusnya sebagi berikut :
2,8% x jumlah penduduk setempat
d. Penjaringan (deteksi) Ibu Hamil Berisiko oleh Masyarakat

Dengan indikator ini dapat diukur tingkat kemampuan dan peran serta masyarakat dalam melakukan deteksi ibu hamil berisiko di suatu wilayah. Rumus yang dipergunakan sebagai berikut:
Jumlah ibu hamil berisiko yang dirujuk oleh dukun
100%
Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun
Bayi / Kader ke tenaga keseha tan x
e. Penjaringan (deteksi) Ibu Hamil Berisiko oleh Tenaga Kesehatan Dengan indikator ini dapat diperkirakan besarnya masalah yang dihadapi oleh program KIA dan harus ditindaklanjuti dengan intervensi secara intensif.
Rumus yang dipergunakan sebagai berikut: : Jumlah ibu hamil berisiko yang ditemukan oleh tenaga kesehatan dan atau dirujuk oleh dukun bayi/leader Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun
f. Cakupan Pelayanan Neonatal (KN) oleh tenaga Kesehatan
Dengan indikator ini dapat diketahui jangkauan dan kualttas pelayanan kesehatan neonatal.
Rumus yang dipergunakan sebagai berikut: Jumlah kunjungan neonatal yang mendapat pelayanan kesehatan minimal 1 kali oleh tenaga kesehatan Jumlah seluruh sasaran bayi dalam 1 tahun. Kunjungan minimal 2 (dua) kali dengan ketentuan:
a. Kunjungan pertama kali pada had pertama sampai dengan hari ketujuh (sejak 6 jam setelah lahir)
b. Kunjungan kedua kali pada hari ke delapan sampai dengan hari ke dua puluh delapan
c. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan bukan merupakan kunjungan neonatal
Jumlah sasaran bayi diperkirakan melalui perkiraan:
 CBR Propinsi jumlah penduduk
 Bila propinsi tidak mempunyai data CBR, dapat digunakan angka nasional dengan perhitungan:
2,7 x jumlah setempat
Jenis Data
a. Data Sasaran
 Jumlah seluruh ibu hamil
 Jumlah seluruh ibu bersalin
 Jumlah seluruh bayi berusia < 1 bulan (neonatal)
 Jumlah seluruh bayi
b. Data Pelayanan
 Jumlah K1
 Jumlah K4
 Jumlah ibu hamil berisiko yang dirujuk deh masyarakat
 Jumlah ibu hamil berisiko yang dilayani oleh tenaga kesehatan
 Jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga profesional
 Jumlah bayi berusia < 1 bulan yang dilayani oleh tenaga kesehatan
minimal 2 (dua) kali.
Data pelayanan pada umumnya berasal dari:
1. Register kohort ibu dan bayi
2. Laporan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan dukun bayi.
3. Laporan dari dokter atau bidan praktek swasta
4. Laporan dari fasilitas pelayanan selain Puskesmas yang berada di wilayah
Puskesmas.
Proses Penerapan PWS-KIA
Persiapan
Kegiatan yang perlu dilakukan dalam tahap persiapan ini adalah :
 Pertemuan di tingkat propinsi

Pertemuan ini merupakan pertemuan persiapan, dan dapat berupa rangkaian pertemuan dengan tujuan yang saling melengkapi yaitu untuk:
1. Menyamakan persepsi mengenai PWS-KIA
2. Pelatihan pelatih
3. Merencanakan pelatihan di tingkat kabupaten dan Puskesmas
4. Menentukan siapa yang akan dilatih
5. Menentukan kebijaksanaan propinsi dalam pelaksanaan PWS-KIA
6. Menyusun mekanisme pemantauan kegiatan.
Pihak yang terlibat meliputi:
Kantor wilayah Kesehatan
a. Kepala Bidang PKPP
b. Kepala Bidang Yankesmas
c. Kepala Bidang PPTK
d. Kepala Seksi Gizi/Kesehatan Keluarga
e. Kepala Seksi Puskesmas
f. Kepala Seksi Rujukan
g. Kepala Seksi Epidemilogi
Dinas Kesehatan Tingkat I
h. Kepala Subdinas KIA
Kepala Subdinas Pemulihan
i. Kepala Subdinas P2
j. Kepala Subdinas PKM
k. Kepala Seksi Ibu dan Anak
l. Kepala Seksi Puskesmas
m. Kepala Seksi RS
n. Kepala Seksi Imunisasi

o. Kepala Sub-bagian Perencanaan
 Pelatihan petugas Dati II
Petugas Dati II dilatih untuk menjadi pelatih petugas Puskesmas.
Peserta diambil dari unsur-unsur KIA (prioritas), P2M, PKM, Pemulihan
baik dari Dinas Kesehatan maupun Kantor Departemen Tingkat II.
Setiap kali pelatihan, sebaiknya peserta tidak lebih dari 30 orang.
Materi pelatihan :
 Pedoman PWS-KIA
 Pedoman Pelayanan Antenatal
 Kebijaksanaan Program KIA
 Perencanaan pelaksanaan dan pemantauan kegiatan
 Pelatihan petugas Puskesmas di Dati II
Pelatihan petugas Puskesmas mengenai PWS-KIA diikuti oleh:
 Pimpinan Puskesmas
 Koordinator Unit KIA
 Petugas SP2TP
Pelatihnya adalah petugas dari Dati II dan Dati I yang telah dilatih.
 Pertemuan dengan unit kesehatan swasta dan Rumah sakit umum Pertemuan ini penting karena PWS-KIA mempunyai pendekatan wilayah. Dengan demikian semua pelayanan KIA dari fasilitas pelayanan di luar Puskesmas pun perlu dilibatkan agar dapat diketahui cakupan pelayanan KIA oleh tenaga kesehatan.
c. Pelaksanaan
Pelaksanaan PWS-KIA dimulai di tingkat Dati II, yakni melalui:

1. Pertemuan di Dati II
2. Pertemuan intern kesehatan, yang dihadiri oleh para Kepala Seksi terkait di lingkungan Dinas Kesehatan dan Kandep, serta Puskesmas.
3. Pertemuan lintas sektor, yang dihadiri oleh sektor terkait di tingkat kabupaten dan kecamatan.
Pertemuan bertujuan memberikan informasi mengenai PWS-KIA, perencanaan yang akan dilakukan dan peran masing-masing yang diharapkan.
2. Pertemuan di tingkat Puskesmas
Pertemuan ini dapat disatukan dengan Mini Lokakarya, yang merupakan pertemuan rutin bulanan di Puskesmas. Semua staf yang memberikan pelayanan KIA diartih PWS-KIA. dan disusun rencana tindak lanjut.
3. Pertemuan di tingkat Kecamatan
Pertemuan bulanan berupa rapat koordinasi dapat dipakai untuk menginformasikan mengenai PWS-KIA non teknis. Hadir dalam pertemuan tersebut biasanya adalah Kepala Desa, Tim Penggerak PKK Desa, Puskesmas dan lintas sektor.
d. Pemantauan
Pemantauan kegiatan PWS-KIA dapat dilakukan melalui laporan dan supervisi yaitu:
 Tingkat Kabupaten
a. Laporan Puskesmas
b. Laporan Rumah Sakit
c. Laporan Swasta
d. Supervisi checklist
 Tingkat Puskesmas
a. Sarana Pencatatan (buku register, dll)
b. Laporan Swasta
c. Kunjungan ke desa yang rawan

Cara Membuat grafik PWS-KIA
PWS-KIA disajikan dalam bentuk grafik dari tiap indikator yang dipakai,
yang juga menggambarkan pencapaian tiap desa dalam tiap bulan. Dengan demikian
tiap bulannya dibuat 6 grafik, yaitu:
1. Grafik cakupan K1
2. Grafik cakupan K4
3. Grafik cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
4. Grafik penjaringan ibu hamil berisiko oleh masyarakat
5. Grafik penjaringan ibu hamil berisiko olah tenaga kesehatan
6. Grafik cakupan neonatal oleh tenaga kesehatan ,:

Langkah-langkah pokok dalam pembuatan grafik PWS-KIA:
a. Pengumpulan Data
Data yang diperlukan untuk menghitung tiap indikator diperoleh dari catatan ibu
hamil per desa, register kegiatan harian, register kohort ibu dan bayi, kegiatan
pemantauan ibu hamil per desa, catatan posyandu, laporan dari bidan/ dokter
praktek swasta, rumah sakit bersalin dan sebagainya.
b. Pengelolaan Data
 Perhitungan untuk cakupan K1 (akses)
2. Pencapaian komulatif per desa adalah
x100%
Sasaranibu hamilperdesa selama1tahun
per desa (Januari s/d Juni 1994)
Pencapaian cakupankomulatif ibu hamil baru
3. Pencapaian bulan ini per desa
x100%
Sasaranibu hamilperdesaselama1tahun
(Juni1994)
Pencapaian cakupan ibu hamil baru per desa selama
s
4. Pencapaian bulan lalu per desa adalah
Pencapaian cakupan ibu hamil baru per desa selama
 Perhitungan untuk cakupan K4
5. Pencapaian komulatif per desa adalah :
x100%
Sasaran ibu hamil perdesaselama1tahun
Per desa (Januaris/d Juni1994)
Pencapaian cakupan komulatif kunjungan ibu hamil (K4)
6. Pencapaian bulan ini per desa
x100%
Sasaran ibu hamil perdesa selama1tahun
Per desa (Juni 1994)
Pencapaian cakupan komulatif kunjungan ibu hamil (K4)
7. Pencapaian bulan lalu per desa adalah
x100%
Sasaranibu hamil perdesaselama1tahun
Per desa selama (Mei 1994)
Pencapaian cakupan kunjungan ibu hamil (K4)
c. Penggambaran grafik PWS-KIA
Langkah-langkah yang dilakukan dalam membuat grafik PWS-KIA (dengan
menggunakan indikator cakupan K1) adalah sebagai berikut:
1. Menentukan target rata-rata perbulan untuk menggambarkan skala pada garis vertikal (sumbu y).

Misalnya target cakupan ibu hamil baru (cakupan K1) dalam 1 tahun
ditentukan 90 % (garis a), maka sasaran rata-rata setiap bulan adalah:
7,5%
12bulan
90% 
Dengan demikian, maka sasaran pencapaian komulatif sampai dengan bulan
Juni adalah (6 x 7,5% =) 45 % (garis b).
2. Hasil perhitungan pencapaian komulatif cakupan K1 sampai dengan bulan Juni dimasukkan ke dalam jalur % komulatif secara berurutan sesuai peringkat. Pencapaian tertinggi sebelah kiri dan terendah disebelah kanan, sedangkan pencapaian untuk puskesmas dimasukkan kedalam kolom terakhir.

Nama desa bersangkutan dituliskan pada lajur desa, sesuai dengan
cakupan komulatif masing-masing desa
4. Hasil perhitungan pencapaian bulan ini (Juni) dan bulan lalu (Mei) untuk
tiap desa dimasukkan kedalam lajur masing-masing
5. Gambar anak panah dipergunakan untuk lajur trend. Bila pencapaian cakupan bulan ini lebih besar dari pencapaian cakupan bulan lalu, maka di gambarkan anak panah yang menunjuk ke atas. Sebaliknya, untuk cakupan bulan lalu, digambarkan anak panah yang menunjukkan kebawah, sedangkan untuk cakupan yang tetap/sama gambarkan dengan tanda (-).












Selasa, 12 Maret 2013

Kewenangan Puskesmas PONED Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 828/MENKES/SK/IX/2008

Puskesmas PONED adalah Puskesmas Rawat Inap yang memiliki kemampuan serta fasilitas PONED siap 24 jam untuk memberikan pelayanan terhadap ibu hamil, bersalin dan nifas dan bayi baru lahir dengan komplikasi baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/ masyarakat, bidan di desa, Puskesmas dan melakukan rujukan ke RS PONEK pada kasus yang tidak mampu ditangani.

PONED : Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar, meliputi kemampuan untuk menangani dan merujuk : 
a) Hipertensi dalam kehamilan (Preeklampsia, Eklampsia), 
b) Tindakan Pertolongan Distosia Bahu dan Ekstraksi Vakum pada Pertolongan Persalinan, 
c) Perdarahan post partum, 
d) Infeksi nifas,
e) BBLR dan Hipotermi, Hipoglikemia, Ikterus, Hiperbilirubinemia, masalah pemberian minum pada bayi, 
f) Asfiksia pada bayi, 
g) Gangguan nafas pada bayi, 
h) Kejang pada bayi baru lahir, 
i) Infeksi neonatal, 
j) Persiapan umum sebelum tindakan kedaruratan Obstetri – Neonatal antara lain Kewaspadaan Universal Standar. 
Download naskah lengkapnya di sini

Senin, 04 Februari 2013

Download Formulir Rekomendasi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Karawang Untuk Pengajuan SIP (Surat Ijin Praktek)

Bagi yang mau mengajukan Surat Ijin Praktek (SIP) di Kabupaten Karawang salah satu syaratnya adalah rekomendasi IDI, silahkan simpan gambar dibawah ini dan print.