This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 24 November 2007

Aneurisma Aorta

Pengertian aneurisma yang sesungguhnya adalah dilatasi abnormal dari arteri. Hal ini harus dibedakan dari “false” aneurisma, dimana terjadi pengumpulan darah disekitar dinding pembuluh darah akibat trauma. Aneurisma dapat berbentuk fusiformis ataupun berbentuk kantong contohnya aneurisma berry di circle of willis. Beberapa tempat yang paling sering terjadi aneurisma antara lain: aorta, arteri iliaka, arteri femoralis dan arteri popliteal.
Aneurisma sering terbentuk secara perlahan selama bertahun-tahun dan sering juga tanpa gejala tetapi jika telah terjadi ruptur maka ini adalah kegawatdaruratan bedah yang dapat mengancam nyawa pasien.

Anatomi Aorta
Aorta adalah pembuluh darah besar (main trunk) dari segenap pembuluh darah cabangnya yang berfungsi membawa darah teroksigenasi ke berbagai jaringan di tubuh untuk kebutuhan nutrisinya. Aorta berada sebagai bagian atas dari vebtrikel, dimana diameternya sekitar 3 cm, dan setelah naik (ascending) untuk jarak yang pendek, ia melengkung (arch) kebelakang dank e sisi kiri, tepat pada pangkal paru kiri, kemudian turun (descending) dalam thorax pada sisi kiri kolumna vertebralis, masuk rongga abdomen lewat hiatus diafragmatikus, dan berakhir, dimana diameternya mulai berkurang (1,75 cm), setingkat dengan vertebra lumbalis ke IV, ia bercabang menjadi arteri iliaca comunis dekstra dan sinistra. Dari uraian diatas maka aorta dapat dipisahkan menjadi beberapa bagian: aorta ascenden, arcus aorta, dan aorta descenden yang dibagi lagi menjadi aorta thoracica dan aorta abdominalis.
Aorta Ascendens (gb. 1)—panjangnya sekitar 5 cm, menyusun bagian atas dari basis ventrikel kiri, setinggi batas bawah kartilago kosta ke III dibelakang kiri pertengahan sternum; ia melintas keatas secara oblik, kedepan, dan kekanan, searah aksis jantung, setinggi batas atas dari kartilago kosta ke II. Pada pangkal asalnya, berlawanan dengan segmen valvula aortikus, terdapat tiga dilatasi kecil disebut sinus aortikus. Saat pertemuan aorta ascenden dengan arcus aorta caliber pembuluh darah meingkat, karena bulging dinding kanannya. Segmen dilatasi ini disebut bulbus aortikus, dan pada potongan transversal menunjukkan bentuk yang oval. Aorta ascenden terdapat dalam pericardium.
Batas-batas—aorta ascenden dilindungi oleh trunkus arteria pulmonalis dan aurikula dekstra, dan, lebih tinggi lagi, terpisah dari sternum oleh pericardium, pleura kanan, margo anterior dari pulmo dekstra, jaringan ikat longgar, dan sisa dari jaringan timus; di posterior ia bersandar pada atrium sinistra dan arteri pulmonary dekstra. Pada sisi kanan, ia berdekatan dengan vena cava superior dan atrium dekstra; pada sisi kiri dengan arteri pulmonary.

Gambar 1: Arcus aorta dan cabang-cabangnya


Gambar 2: Skema cabang-cabang arcus aorta

Cabang-cabang—satu-satunya cabang dari aorta ascenden adalah arteria coronaria yang mensuplai jantung; muncul dekat commencement aorta tepat diatas pangkal valvula semilunaris.
Arcus Aorta (gb. 1)—dimulai setinggi batas atas artikulasi sternokostalis ke II pada sisi kanannya, dan berjalan keatas, kebelakang, dank e kiri di depan trachea; kemudian mengarah ke belakang pada sisi kiri trachea dan akhirnya turun lewat sisi kiri tubuh pada setinggi vertebra thoracic ke IV, pada batas bawahnya dan kemudian berlanjut menjadi aorta descenden. Sehingga terbentuk dua kurvatura: satu dimana ia melengkung keatas, yang kedua dimana ia melengkung kedepan dan kekiri. Batas atasnya kira-kira 2,5 cm dibawah batas superior manubrium sterni.
Batas-batas—arcus aorta dilindungi oleh pleura di anterior dan margo anterior dari pulmo; dan dengan sisa dari timus. Saat pembuluh melinta ke belakang sisi kirinya bersentuhan dengan pulmo sinistra dan pleura. Melintas ke bawah pada sisi kiri bagian tersebut pada arcus terdapat 4 nervus: nervus phrenicus sinistra, cardiacus superior cabang nervus vagus sinistra, cabang nervus cardiacus superior dari trunkus simpatikus sinistra, dan trunkus vagus sinistra. Saat nervus terakhir tadi melintasi arcus ia memberikan cabang recurrent, yang melingkar dibawah pembuluh dan melintas keatas pada sisi kanan. Vena intercostalis melintas oblik keatas dan kedepan pada sisi kiri arcus, diantara nervus phrenicus dan vagus. Pada sisi kanan terdapat plexus cardiacus profunda, nervus recurrent sinistra, esophagus, dan ductus thoracicus; trachea berada dibelakang kanan dari pembuluh. Diatas adalah arteri innominata, carotis comunis sinistra, dan arteri subclavia sinistra, yang mncul dari lengkungan arcus dan bersilangan berdekatan di pangkalnya dengan vena innominata sinistra. Dibawah adalah bifurkasio arteri pulmonalis, bronchus sinistra, ligamentum arteriosum, bagian superfisial dari pleksus cardiacus, dan nervus recurrent sinistra. Ligamentum arteriosum menghubungkan arteri pulmonary sinistra dengan arcus aorta.
Diantara awal arteri subclavia dan perlekatan ductus arteriosus, lumen aorta bayi sedikit menyempit, membentuk bangunan yang disebut sebagai isthmus aorticus, yang pada saat diatas ductus arteriosus pembuluh membentuk dilatasi yang disebut aortic spindle.
Cabang-cabang (gb. 2)—arcus aorta mempercabangkan 3 buah pembuluh darah: arteri innominata, carotis comunis sinistra, dan subclavia sinistra.
Aorta desenden—dibagi menjadi dua bagian, thoracica dan abdominalis, saat melewati dua rongga besar tubuh.
Aorta thoracalis (gb. 3)—terdapat dalam cavum mediatinum posterior. Dimulai pada batas bawah dari vertebra thoracic ke IV dimana ia merupakan lanjutan dari arcus aorta, dan berakhir di depan batas bawah dari vertebra thoracic ke XII pada hiatus aorticus diafragma. Dalam perjalanannya ia terdapat di sisi kiri kolumna vertebralis; ia mendekati garis tengah saat turun; dan, saat terminasinya berada tepat didepan kolumna vertebralis.

Gambar 3: Aorta thoracalis, dilihat dari sisi kiri

Batas-batas—anterior, dari atas kebawah, berbatasan dengan pangkal pulmo sinistra, pericardium, esophagus, dan diafragma; posterior, dengan kolumna vertebralis dan vena hemiazigos; sisi kanan, dengan vena azigos dan ductus thoracicus; sisi kiri, dengan pleurae dan pulmo sinistra.
Cabang-cabang—aorta thoracalis mempercabangkan antara lain:

Visceral
Pericardial.

Parietal
Intercostal.
Bronchial.

Subcostal.
Esophageal.

Superior Phrenic.
Mediastinal.




Cabang pericardial (rami pericardiaci)—terdiri dari beberapa pembuluh kecil yang terdistribusi pada permukaan posterior pericardium.
Arteri brochialis (aa. bronchiales)—bervariasi jumlah, ukuran, dan asalnya. Terdapat aturan baku bahwa hanya satu arteri bronchialis dekstra yang berasal dari aorta intercostalis pertama, atau dari arteri bronchialis sinistra superior. Arteri bronchialis sinistra terdapat dua buah, dan berasal dari aorta thoracalis. Bagian superior arteri bronchialis sinistra muncul berlawanan dengan vertebra thoracic ke V, bagian inferior terdapat tepat dibawah bronchus sinistra. Tiap-tiap pembuluh berjalan di bagian belakang masing-masing bronchus, bercabang disepanjang tube bronchus, memvaskularisasinya. Juga pada jaringan jaringan longgar pulmo, limfonodi bronchialis, dan esophagus.
Arteri esophageal (aa. æsophageæ)—terdapat empat atau lima jumlahnya, berasal dari bagian depan aorta, dan turun oblik kebawah menuju esophagus, membentuk rantai anastomosis disepanjang tube, beranastomosis juga dibagian atas dengan cabang esophageal dari arteri thyroidea inferior dan dibagian bawah dengan arteri phrenica inferior sinistra dan arteri gastrica inferior.
Cabang mediastinal (rami mediastinales)—adalah sejumlah pembuluh kecil yang mensuplai kelenjar limfe dan jaringan ikat longgar pada mediatinumk posterior.
Arteri intercostalis (aa. intercostales)—terdapat sembilan pasang arteri intercostalis aorta. Mereka berasal dari bagian belakang aorta, arteri intercostalis dekstra lebih panjang dibanding yang sinistra sesuai dengan posisi aorta yang disebelah kiri vertebra. Tiap arteri dibagi menjadi ramus anterior dan posterior.
Ramus anterior—tiap pembuluhnya ditemani dengan vena dan nervus, yang pertama terdapat diatas dan yang terakhir terdapat di bawah arteri. Kecuali pada bagian atas dimana nervus terdapat diatas arteri. Arteri intercostalis aorta yang pertama beranastomosis dengan cabang intercostal dari truncus costocervicalis. Dua arteri intercostalis bagian bawah berlanjut ke anterior dari spatium intercostalis ke dinding abdomen, serta beranastomosis dengan arteri subcostalis, epigastrica superior, dan lumbalis.



Cabang-cabang—ramus anterior memberi cabang antara lain:

Collateral Intercostal.

Lateral Cutaneous.
Muscular.

Mammary.

Cabang intercostalis collaterale—berasal dari arteri intercostalis dengan sudut costae, dan turun ke batas atas costae dibawahnya. Ia juga beranastomosis dengan cabang intercostal dari arteri mammaria interna.
Cabang muscularis—memvaskularisasi m. Intercostalis, Pectoralis, dan Serratus anterior.
Cabang cutaneus lateralis—menemani cabang cutaneus lateralis dari nervus thoracicus.
Ramus posterior—berjalan kebelakang pada ruangan yang dibatasi bagian atas dan bawah oleh leher dan costae, medial oleh corpus vertebrae, lateral oleh ligtamentum costotransversalis anterior. Ia memberi cabang spinalis yang ,masuk kedalam canalis vertebralis lewat foramen intervertebralis dan mensuplai medulla spinalis beserta membrannya dan vertebra. Kemudian perjalanannya berlanjut melewati processus transversus bersama dengan divisi posterior nervus thoracicus mensuplai otot punggung dan cabang cutaneus mensuplai kulit punggung.
Arteri subcostalis—diberi nama demikian karena ia berada dibawah costae terakhir. Menyusun pasangan terbawah cabang yang berasal dari aorta thoracica serta susunan terakhir dari arteri intercostalis. Masing-masingnya melintasi batas bawah dari costae ke XII dibelakang ginjal dan didepan m. Quadratus lumborum, ditemani dengan nervus thoracicus ke XII, kemudian bergabung dengan aponeurosis posterior dari m. Transversus abdominis, dan melintas didepan otot tersebut dan m. Obliquus internus, beranastomosis dengan arteri epigastrica superior, intercostalis inferior, dan lumbalis. Tiap arteri subcostalis memberi cabang posterior yang mirip distribusinya dengan ramus posterior arteri intercostalis.
Cabang phrenicus superior—merupakan pembuluh kecil yang berasal dari bagian bawah aorta thoracica; terdistribusi ke bagian posterior dari permukaan atas diafragma, dan beranastomosis dengan arteri musculophrenicus dan pericardiophrenicus.
Aorta abdominalis (gb. 4)—dimulai pada hiatus aortikus diafragma, didepan batas bawah dari korpus vertebrae thoracic terakhir, dan, turun didepan kolumna vertebralis, berakhir pada korpus vertebra lumbalis ke IV, sedikit kekiri dari garis tengah tubuh, kemudian terbagi menjadi dua arteri iliaca comunis. Aorta semakin berkurang ukurannya dengan semakin banyak ia mempercabangkan pembuluh darah.


Gambar 4: Aorta abdominalis dan cabang-cabangnya

Batas-batas—aorta abdominalis dibatasi, anterior, oleh omentum minus dan gaster, dibelakang cabang dari arteri celiaca dan plexus celiaca; dibawah vena lienalis, pankreas, vena ranalis sinistra, bagian inferior dari duodenum, pleksus mesenterium dan pleksus aortikus. Posterior, dipisahkan dari vertebrae lumbalis dan fibrokartilago intervertebrae oleh ligamentum longitudinalis anterior dan vena lumbalis sinistra. Pada sisi kanan terdapat vena azygos, cisterna chyli, ductus thoraksikus, crus dekstra diafragma yang memisahkan aorta dari bagian atas vena cava inferior dan dari ganglion celiaca dekstra; vena cava inferior bersentuhan dengan aorta dibawahnya. Pada sisi kiri adalah crus sinistra diafragma, ganglion celiaca sinistra,bagian ascending dari duodenumdan sedikit bagian intestinum.


Cabang-cabang—dapat dibagi menjadi tiga kelompok: viseral, parietal, dan terminal.

Visceral Branches.
Parietal Branches.
Celiac.
Inferior Phrenics.
Superior Mesenteric.
Lumbars.
Inferior Mesenteric.
Middle Sacral.
Middle Suprarenals.

Renals.

Internal Spermatics.
Terminal Branches.
Ovarian (in the female).
Common Iliacs.

Dari cabang viseral, arteri celiaca dan arteri mesenterika superior dan inferior tidak berpasangan, sementara arteri suprarenalis, renalis, spermatica interna, dan ovarian adalah berpasangan. Dari cabang parietal, arteri phrenica inferior dan lumbalis adalah berpasangan; arteri sacralis media tidak berpasangan. Cabang terminal berpasangan.
Arteri celiaca (a. cæliaca; celiac axis) (gb. 5)—mempercabangkan tiga cabang besar, arteri gastrica sinistra, hepatica, dan splenica, juga terkadang arteri phrenica inferior.


Gambar 5: Arteri celiaca dan cabang-cabangnya
Arteri mesenterika superior (gb. 6)—mempercabangkan arteri pancreaticoduodenalis inferior, intestinalis, ileocolica, colica dekstra.

Gambar 6: Arteri mesenterika superior dan cabang-cabangnya

Arteri mesenterika inferior (gb. 7)—mempercabangkan arteri colica sinistra, sigmoidea, dan hemorrhoidalis superior.

Gambar 7: Arteri mesenterika inferior dan cabang-cabangnya

Arteri suprarenalis media (aa. suprarenales media; middle capsular arteries; suprarenal arteries)—adalah dua pembuluh darah kecil yang muncul dari kedua sisi aorta, berlawanan dengan arteri mesenterika superior. Melewati bagian lateral dan sedikit keatas, melintasi crura diafragmatika, ke glandula suprarenalis, dimana kemudian beranastomosis dengan cabang suprarenal dari arteri phrenica inferior dan arteri renalis.
Arteri renalis (aa. renales) (gb. 4)—adalah dua pembuluh besar, yang muncul dari tiap sisi aorta, tepat dibawah arteri mesenterika superior. Tiap-tiapnya melintasi crus diafragma, sehinga membentuk sudut hampir tegak lurus dengan aorta. Sisi kanan lebih panjang daripada sisi kiri; sisi kiri lebih tinggi daripada sisi kanan. Sebelum mencapai hilus renalis, tiap arteri bercabang menjadi empat atau lima cabang kecil. Tiap arteri juga mempercabangkan suprarenalis superior.
Arteri spermatica internus (aa. Spermaticæ internæ; spermatic arteries) (gb. 4)—terdistribusi ke testis. Adalah dua arteri yang panjang berasal dari aorta bagian depan sedikit dibawah arteri renalis. Tiap-tiapnya melintas turun oblik dan lateral dibelakang peritoneum, bersandar pada m. Psoas major. Tiap-tiapnya menyilang oblik diatas ureter dan bagian bawah arteri iliaca eksternus untuk mencapai anulus inguinalis, kemudian melewatinya dan merupakan salah satu penyusun corda spermatica disepanjang canalis inguinalis menuju skrotum. Ia memvaskularisasi ductus deferens, epididimys, bagian belakang tunica albuginea, testis, ureter, dan m. Cremaster.
Arteri ovaria (aa. Ovaricæ)—adalah arteri pada wanita yang serupa dengan arteri spermatica internus pada pria, memvaskularisasi ovarium. Asal dan jalurnya sama dengan arteri spermatica interna.
Arteri phrenica inferior (aa. Phrenicæ inferiores) (gb. 4)—adalah dua pembuluh darah kecil yang memvaskularisasi diafragma. Ia dapat berasal terpisah dari bagian depan aorta, terkadang salah satunya berasal dari aorta dan yang lain dari arteri renalis; tetapi jarang muncul terpisah dari aorta. Mendekati bagian belakang tendo central diafragma tiap pembuluh terbagi menjadi cabang medial dan lateral. Cabang medial melintas kedepan dan beranastomosis dengan sesamanya disisi yang berlawanan, dan dengan arteri musculophrenicus dan pericardiophrenicus. Cabang lateral melintas pada sisi thorax, dan beranastomosis dengan arteri intercostalis bawah, dan dengan arteri musculophrenicus, ia juga memberi cabang ke vena cava inferior dan esophagus. Tiap-tiap pembuluh subcostal memberi cabang suprarenalis superior menuju kelenjar suprarenal. Spleen dan liver juga menerima beberapa cabangnya.
Arteri lumbalis (aa. Lumbales)—merupakan satu seri denga arteri intercostalsi. Mereka biasanya berjumlah empat pada tiap sisi, dan berasaldari bagian belakang aorta, berlawanan dengan vertebra lumbalis ke IV. Kadang juga terdapa tpasangan ke V yang berukuran kecil yang berasal dari arteri sacralis media. Mereka beranastomosis dengan arteri intercostalis inferior, subcostalis, iliolumbalis, iliaca circumflexi profunda, dan epigastrica inferior.
Cabang-cabang—pada sela antara processus transversus tiap arteri lumbalis mepercabangkan ramus posterior yang terdistribusi ke otot dan kulit punggung, ia kemudian menjadi cabang spinal yang memasuki canalis vertebralis dan terdistribusi sama dengan cabang spinal ramus posterior arteri intercostalis. Cabang muscular dibentuk dari tiap arteri lumbalis dan dari ramus posterior dari otot tetangganya.
Arteri sacralis media (a. Sacralis media) (gb. 8)—adalah pembuluh kecil, yang muncul dari belakang aorta, sedikit diatas bifurcatio. Ia turun pada garis tengah didepan vertebra lumbalis ke IV dan V, sacrum dan coccyx, dan berakhir pada glomus coccygeum (coccygeal gland). Dari situ ia melintas ke permukaan belakang rectum.

Gambar 8: Arteri pada pelvis
Definisi
Aneurisma: Kata aneurisma berasal dari bahasa yunani “aneurysma” berarti pelebaran. Aneurisma adalah keadaan dimana pembuluh darah menjadi membesar secara abnormal atau mengembang (over-inflated) seperti balon yang menonjol keluar. Pelebaran yang terjadi adalah lokal dan lebih dari 50% diameter pembuluh darah. Aneurisma sering terjadi pada arteri di basis otak (circulus Willisi) dan di aorta. Aneurisma adalah keadaan yang berbahaya karena dapat ruptur dan menyebabkan kematian kapan saja.
Lapisan arteri yang kontak langsung dengan darah adalah tunica intima, sering disebut intima. Lapisan ini dibentuk terutama oleh sel endothelial. Berdekatan dengan lapisan ini adalah tunica media, disebut juga lapisan media terutama dibentuk oleh sel otot polos dan and jaringan elastik. Lapisan paling luar disebut tunica adventitia atau adventitia, tersusun oleh jaringan ikat (gb. 9).


Gambar 9: Histologi aorta (kanan: perbesaran lemah; kiri: perbesaran kuat)

Aneurisma aorta: adalah aneurisma yang melibatkan aorta. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa aorta adalah pembuluh darah besar utama yang berasal dari jantung yang mensuplai darah ke abdomen, pelvis, dan tungkai bawah. Aorta disebut sebagai aorta thoracica saat ia meninggalkan jantung, ascenden, melengkung (arcus), dan descenden lewat rongga thorak hingga mencapai diafragma (pemisah antara rongga thorak dan abdomen), aorta mulai disebut sebagai aorta abdominalis setelah ia melewati diafragma dam berlanjut turun ke abdomen yang terpisah menjadi dua arteri iliaca yang turun ke tungkai bawah. Aorta dapat mengalami aneurisma, dan biasanya terjadi pada abdomen dibawah ginjal (abdominal aneurysm), tetapi dapat juga terjadi di rongga thorak (thoracic aneurysm). Hal tersebut dapat terjadi jika dinding aorta menjadi lemah karena deposit lemak (plak) pada atherosclerosis. Aneurisma juga dapat terjadi sebagai penyakit yang diturunkan seperti Marfan syndrome.
Beberapa lokasi yang sering terjadi aneurisma antara lain:
Aorta (abdominal aortic aneurysm dan thoracic aortic aneurysm) (gb. 10)
Otak (cerebral aneurysm) (gb. 10)
Tungkai bawah (popliteal artery aneurysm)
Usus (mesenteric artery aneurysm)
Splenic artery aneurysm



Gambar 10: Aneurisma aorta abdominalis dan Berry aneurisma pada sirkulus Willisi

Klasifikasi
Aneurisma dapat digolongkan berdasarkan bentuknya: sakular atau fusiform (gb. 11). Sakular aneurisma menyerupai kantong (sack) kecil; fusiform aneurisma menyerupai kumparan.
Aneurisma juga dapat digolongkan kedalam dua kelompok true aneurysms dan false aneurysms. True aneurysm melibatkan pelebaran semua 3 lapis dinding pembuluh darah, intima, media, dan adventitia. True aneurysms dapat karena malformasi kongenital, infeksi, atau hypertension. False aneurysm, juga disebut sebagai pseudoaneurysm, melibatkan pelebaran hanya adventitia saja. Pseudoaneurysms dapat karena trauma melibatkan intima pembuluh darah dan sebagai komplikasi prosedur arteri percutaneous.


Gambar 11: Aneurisma sakular dan fusiform

Etiologi
Aneurisma dapat terjadi sebagai kelainan kongenital atau akuisita. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, defek pada beberapa komponen dari dinding arteri dapat bertanggung jawab terdapat faktor risiko untuk terjadinya aneurisma aorta meliputi tekanan darah yang tinggi, kadar kolesterol yang tinggi, diabetes, perokok tembakau, alkoholism, dan insomnia. dan obesitas. Penyebab yang paling banyak dari aneurisma aorta adalah pengerasan dari arteri disebut arteriosclerosis. Sekitar 80% dari aneurisma aorta adalah dari arteriosclerosis. Arteriosclerosis dapat melemahkan dinding aorta dan tekanan darah yang dipompakan melewati aorta menyebabkan ekspansi pada area yang lemah. Kehamilan sering dihubungkan dengan pembentukan dan rupture dari aneurisma arteri splenica.

Faktor risiko aneurisma aorta antara lain:
Perokok sigaret – tidak hanya meningkatkan risiko pembentukan aneurisma aorta abdominalis, risiko terjadinya rupture aneurisma juga sering terjadi pada perokok aktif.
Tekanan darah tinggi
Kadar kolesterol serum yang tinggi
Diabetes mellitus
Genetik – adanya tendensi familial dalam terjadinya aneurisma. Cenderung menderita aneurisma pada usia muda dan punya tendensi yang besar untuk menderita rupture aneurisma daripada individu tanpa riwayat keluarga. Terdapat juga keadaan penyakit genetic dari jaringan ikat yang jarang terjadi seperti Ehlers-Danlos syndrome dan Marfan's syndrome.
Post-traumatik: setelah trauma fisik pada aorta.
Arteritis: seperti pada Takayasu disease, giant cell arteritis, and relapsing polychondritis.
Infeksi mycotic (fungal) yang dapat berasosiasi dengan immunodeficiency, penggunaan obat IV, operasi katub jantung.

Rupture dan jendalan darah adalah risiko yang dapat terjadi dengan aneurisma. Rupture dapat menyebabkan penurunan tekanan darah, takikardi, dan sakit kepala. Risiko kematian adalah tinggi kecuali rupture yang terjadi di ekstremitas. Jendalan darah dari aneurisma arteri popliteal dapat terbawa ikut aliran darah dan menggangu jaringan. Jendalan dari aneurisma vena popliteal lebih serius karena dapat menyebabkan emboli dan terbawa sampai jantung, atau dari jantung ke paru (emboli pulmonal).
Aneurisma aorta abdominalis dapat terjadi pada siapa saja, tetapi lebih sering terlihat pada individu lebih dari 50 tahun dengan satu atau lebih faktor risiko. Semakin besar ukuran aneurisma semakin mudah untuk rupture.
Aneurisma aorta thoracica dapat terjadi pada aorta ascenden (25%), arcus aorta (25%), atau aorta descenden (50%).

Lokasi (gb. 12)
Aneurisma dapat terjadi dimana saja terdapat pembuluh darah, meskipun paling sering terjadi pada arteri tetapi dapat juga pada vena (misal: aneurisma vena popliteal). Sebagian besar aneurisma non intracranial (95%) muncul pada distal arteri renalis di aorta abdominalis infrarenal. Aorta thoracica juga dapat terkena. Salah satu yang paling sering dari aneurisma aorta thoracica meliputi pelebaran aorta proksimal dan pangkal aorta, yang dapat menyebabkan insufisiensi aorta. Aneurisma dapat terjadi pada tungkai, terutama pembuluh darah dalam (vasa popliteal pada lutut). Kebanyakan aneurisma muncul terisolasi, aneurisma berry pada anterior communicating artery dari circulus Willisi berasosiasi dengan autosomal dominant polycystic kidney disease (ADPKD). Tahap ketiga dari syphilis juga bermanifestasi aneurisma aorta, dimana terjadi kehilangan vasa vasorum di tunica adventitia.


Gambar 12: Beberapa lokasi aneurisma

Patogenesis (gb. 13)
Aorta manusia adalah sirkuit yang relatif rendah tahanan untuk peredaran darah. Ekstremitas bawah memiliki tahanan arteri yang terbesar, dan trauma yang berulang sebagai cerminan gelombang arterial pada distal aorta dapat mencederai dinding aorta dan menyebabkan degenerasi aneurisma. Hipertensi sistemik juga dapat mencederai, dan mempercepat ekspansi aneurisma.
Secara hemodinamik, keadaan dilatasi aneurisma dan peningkatan stress dinding sesuai dengan hukum Laplace. Spesifiknya, hukum Laplace menyatakan bahwa tekanan dinding proporsional terhadap tekanan dikali radius dari arterial (T = P x R). Peningkatan diameter, diikuti dengan peningkatan tekanan dinding, sebagai respon terhadap peningkatan diameter. Meningkatnya tekanan, maka meningkat pula risiko ruptur. Peningkatan tekanan (hipertensi sistemik) dan meningkatnya ukuran aneurisma memicu tekanan pada dinding dan lebih lanjut meningkatkan risiko ruptur.
Patogenesis dari pembentukan aneurisma aorta abdominalis belum dimengerti secara baik. Aneurisma aorta abdominalis dikarakteristikkan dengan destruksi elastin dan kolagen pada tunica media dan adventitia, ilangnya sel otot polos tunica media dengan penipisan dinding pembuluh, dan infiltrat limfosit dan makrofag transmural. Atherosclerosis adalah gambaran utama yang mendasari aneurisma. Bagaimanapun juga kurang disetujui jika menyebutkan atherosclerosis menyebabkan aneurisma sebagai penyakit primer pada intima sementara pementukan aneurisma terutama melibatkan tunica media dan adventitia. National Heart, Lung, and Blood Institute Request for Applications (HL-99-007) mengajukan judul "Pathogenesis of Abdominal Aortic Aneurysms" dan diidentifikasi 4 mekanisme yang relevan dengan pembentukan aneurisma aorta abdominalis 1) degradasi proteolitik dari dinding jaringan ikat aorta, 2) inflamasi dan respon imun, 3) stress biokimia pada dinding, dan 4) molecular genetics.
Degradasi proteolitik dari dinding jaringan ikat aorta—pembentukan aneurisma melibatkan proses komplek dari destruksi tunica media aorta dan jaringan penyokongnya lewat degradasi elastin dan kolagen. Pada model in vivo dari pembentukan aneurisma aorta abdominalis, meliputi aplikasi calcium chloride dan perfusi elastase intraluminal, telah digunakan untuk meningkatkan peran berbagai protease selama pembentukan aneurisma. Model tersebut, sebaik yang telah dipelajari juga pada jaringan aorta manusia, menunjukkan bahwa berbagai matrix metalloproteinase proteinases (MMPs), berasal dari makrofag dan sel otot polos aorta, memainkan peran terintegrasi dalam pembentukan aneurisma. Disolusi kolagen intersisial mengikuti ekspresi dari collagenase MMP-1 dan MMP-13 pada aneurisma aorta abdominalis manusia. Elastase MMP-2 (gelatinase A), MMP-7 (matrilysin), MMP-9 (gelatinase B), dan MMP-12 (elastase makrofag) juga meningkat pada jaringan aneurisma aorta. MMP-12, diekspresikan tinggi pada aneurisma aorta abdominalis manusia dan dapat berperan penting dalam inisiasi aneurisma. Sebagai tambahan, tingginya kadar MMP-2, ditemukan pada aneurisma aorta yang kecil, menunjukkan peran MMP-2 pada pembentukan awal aorta. Terakhir elastase MMP-9 yang dapat diinduksi meningkat pada jaringan aorta, juga pada serum pasien aneurisma. Selama pembentukan aneurisma, keseimbangan remodeling dinding pembuluh antara MMPs dan inhibitornya yaitu Tissue Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs), menentukan degradasi elastin dan kolagen. Lebih lanjut mekanisme biologis yang menginisiasi proteolitik enzim pada aorta belum diketahui.
Inflamasi dan respon imán—gambaran histologi yang menonjol dari aneurisma aorta abdominalis adalah infiltrasi transmural oleh makrofag dan limfosit. Dihipotesiskan bahwa sel ini secara simultan melepaskan kaskade sitokin yang menghasilkan aktivasi berbagai protease. Pemicu untuk influk dan migrasi leukosit belum diketahui, tetapi paparan produk degradasi elastin pada dinding aorta dapat berperan sebagai primary chemotactic attractant untuk infiltrasi makrofag. Konsep bahwa pembentukan aneurisma adalah respon autoimun didukung oleh infiltrat ekstensif dari limfosit dan monosit, juga deposisi imunogobulin G yang reaktif terhadap matriks protein ekstraselular pada dinding aorta. Tunica adventicia tampaknya adalah area utama yag menjadi tempat infiltrasi leukosit dan aktivasi inisial MMP. Sitokin dari makrofag dan limfosit meningkat pada dinding aneurisma aorta, meliputi IL-1ß, TFN-a, IL-6, IL-8, MCP-1, IFN-g, dan GM-CSF. Sitokin inflamatori ini, bersama dengan plasminogen aktivator, menginduksi ekspresi dan aktivasi dari MMPs dan TIMPs.
Stress biokimia pada dinding—letak terbanyak infrarenal untuk pembentukan aneurisma aorta abdominalis menunjukkan perbedaan potensial pada struktur aorta, biologi dan stress disepanjang aorta. Peningkatan shear dan tension pada dinding aorta menghasilkan remodeling kolagen. Lebih lanjut, penurunan rasio elastin terhadap kolagen dari proksimal ke distal aorta dapat relevan secara klinis semenjak penurunan elastin berhubungan dengan dilatasi aorta, sementara degradasi kolagen adalah predisposisi untuk ruptur. Saat aneurisma terbentuk, maka peningkatan stress dinding adalah penting dalam percepatan dilatasi dan peningkatan risiko ruptur. ß-blockers berperan untuk mengurangi stress dinding dan telah diperkirakan berperan protektif untuk dilatasi aneurisma dan ruptur pada model binatang.
Molekular genetik—familial cluster dan subtype HLA menunjukkan baik peran genetik dan imunologis dalam patogénesis aneurisma. Yang terbaru, tidak ada polimorfisme gen tunggal atau defek yang dapat diidentifikasi sebagai denominator yang paling sering untuk aneurisma aorta abdominalis. Beberapa fenotip telah ditemukan berhubungan dengan pembentukan aneurisma aorta abdominalis. Sebagai contoh, Hp-2-1 fenotip haptoglobin dan defisiensi a1-antitrypsin berasosiasi dengan pembentukan aneurisma. Sebagai tambahan, adanya penurunan frekuensi aneurisma pada pasien dengan Rh-negative blood group dan penngkatan frekuensi pada pasien dengan MN atau Kell-positive blood groups.
Mekanisme gabungan—kombinasi dari faktor multipel meliputi stress hemodinamik lokal, fragmentasi tunica media, dan presdiposisi genetik, lewat mekanisme imunologi yang tidak diketahui sepertinya menstimulasi sel-sel inflamasi kedalam dinding aorta. Sel inflamasi kemudian melepaskan chemokine dan sitokin menghasilkan influk lebih lanjut dari leukosit dengan ekspresi dan aktivasi protease, terutama MMPs. Protease ini menghasilkan degradasi tunica media dan dilatasi aneurisma. Peningkatan stress dinding kemudian melanjutkan proses proteolisis dan progresifitas dilatasi aneurisma dengan ruptur aorta jika tidak ditangani dengan tepat.


Gambar 13: Skema patogenesis aneurisma aorta

Gejala dan Tanda
Aneurisma terbentuk secara perlahan selama beberapa tahun dan sering tanpa gejala. Jika aneurisma mengembang secara cepat, maka terjadi robekan (ruptur aneurisma), atau kebocoran darah disepanjang dinding pembuluh darah ( aortic dissection), gejala dapat muncul tiba-tiba.

Aneurisma aorta abdominalis
Aneurisma asimptomatik—aneurisma ini biasanya ditemukan saat pemeriksaan fisik rutin dengan dideteksinya pulsasi aorta yang prominen. Lebih sering aneurisma asimptomatik ditemukan sebagai penemuan insidental saat pemeriksaan USG abdomen atau CT scan. Denyut perifer biasanya normal, tetapi penyakit arteri oklusif pada renal atau ekstremitas bawah sering ditemukan pada 25% kasus. Aneurisma arteri popliteal terdapat pada 15% kasus pasien dengan aneurisma aorta abdominalis.
Aneurisma simptomatik—nyeri midabdominal atau punggung bawah atau keduanya dan adanya pulsasi aorta prominen dapat mengindikasikan pertumbuhan aneurisma yang cepat, ruptur, atau aneurisma aorta inflamatorik. Aneurisma inflamatorik terhitung kurang dari 5% dari aneurisma aorta dan dikarakteristikkan dengan inflamasi ekstensif periaortic dan retroperitoneal dengan sebab yang belum diketahui. Pada pasien ini terdapat demam ringan, peningkatan laju endap darah, dan riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang baru saja; pasien sering sebagai perokok aktif. Infeksi aneurisma aorta (baik dikarenakan oleh emboli septik atau kolonisasi bakteri aorta normal dari aneurisma yang ada) sangat jarang terjadi tetapi harus diperkirakan pada pasien dengan aneurisma sakular atau aneurisma yang bersamaan dengan fever of unknown origin.
Ruptur aneurisma—pasien dengan ruptur menderita nyeri hebat pada punggung, abdomen, dan flank serta hipotensi. Ruptur posterior terbatas pada retroperitoneal dengan prognosis yang lebih baik daripda ruptur anterior ke rongga peritoneum. 90% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Satu-satunya kesempatan untuk menolong adalah perbaikan bedah emergensi.

Gejala ruptur antara lain:
Sensasi pulsasi di abdomen
Nyeri abdomen yang berat, tiba-tiba, persisten, atau konstan. Nyeri dapat menjalar ke selangkangan, pantat, atau tungkai bawah.
Abdominal rigidity
Nyeri pada punggung bawah yang berat, tiba-tiba, persisten, atau konstan, dapat menjalar ke selangkangan, pantat, atau tungkai bawah
Anxietas
Nausea dan vomiting
Kulit pucat
Shock
Massa abdomen

Aneurisma aorta thoracica
Manifestasi klinisnya tergantung dari besarnya ukuran, posisi aneurisma, dan kecepatan tumbuhnya. Sebagian besar adalah asimptomatik dan ditemukan dalam prosedur diagnostik untuk keadaan lain. Beberapa pasien mengeluh nyeri substernal, punggung, atau leher. Yang lainnya menderita dispneu, stridor, atau batuk akibat penekanan pada trakhea, disphagia akibat penekanan pada esophagus, hoarseness akibat penekanan pada nervus laryngeus recurrent sinistra, atau edema leher dan lengan akibat penekanan pada vena cava superior. Regurgitasi aorta karena distorsi anulus valvula aortikus dapat terjadi dengan aneurisma aorta ascenden.

Pemeriksaan Penunjang
Ultrasound (gb. 14—adalah pemeriksaan skrining pilihan dan bernilai juga untuk mengikuti perkembangan aneurisma pada pasien dengan aneurisma yang kecil (<5 cm). Biasanya aneurisma membesar 10% diameter per tahunnya; sehingga USG abdomen direkomendasikan untuk aneurisma yang lebih besar 3,5 cm.


Gambar 14: USG abdomen pada aneurisma aorta




CT scan (gb. 15)—tidak hanya tepat dalam menentukan ukuran aneurisma tetrapi juga menentukan hubungan terhadap arteria renalis.


Gambar 15: CT scan abdomen pada aneurisma aorta

Angiography aorta (aortography) (gb. 16)—diindikasikan sebelum repair aneurisma arterial oclusive disease pada viseral dan ekstremitas bawah atau saat repair endograft akan dilakukan.


Gambar 16: Aortography aorta abdominalis pada aneurisma aorta





Terapi
Aneurisma aorta abdominalis
Terapi aneurisma secara tradisional adalah intervensi bedah atau observasi (watchful waiting) dengan kombinasi pengawasan tekanan darah. Sekarang, endovascular atau teknik invasif minimal telah dikembangkan untuk berbagai tipe aneurisma.
Jika aneurisma berukuran kecil dan tidak ada gejala (misalnya aneurisma yang ditemukan saat pemeriksan kesehatan rutin), maka direkomendasikan pemeriksaan kesehatan periodik saja, meliputi pemeriksaan ultrasonik tiap tahunnya, untuk memantau apakah aneurisma menjadi besar.
Aneurisma yang menyebabkan gejala membutuhkan tindakan bedah untuk mencegah komplikasi. Operasi direkomendasikan untuk pasien dengan aneurisma yang lebih dari 5 cm diameternya dan aneurisma yan meningkat ukurannya secara cepat. Tujuan tindakan bedah adalah melaksanakan operasi sebelum komplikasi terjadi.
Ada dua pendekatan tindakan bedah. Secara tradisional adalah membuka abdomen (gb. 18). Pembuluh darah yang abnormal digantikan oleh graft yang dibuat dari material sintetis, seperti Dacron (gb. 17). Pendekatan lain disebut endovascular repair (gb. 19). Tube tipis disebut catheters dimasukkan lewat arteri ke inguinal. Tube ini memungkingkan graft diletakkan tanpa membuat potongan besar di abdomen dan penyembuhan dapat lebih cepat.

Aneurisma aorta thoracica
Indikasi untuk pembedahan meliputi adanya gejala, ekspansi cepat, atau ukuran yang lebih besar dari 5 cm. Risiko operasi dari kondisi komorbid harus dipertimbangkan jika merekomendasikan repair aneurisma yang asimtomatik. Morbiditas dan mortalitas tinggi dibandingkan dengan aneurisma aorta abdominal. Insisi aneurisma thoracoabdominal berasosiasi dengan risiko tinggi komplikasi pulmonal dan manajemen nyeri postoperatif yang lebih ekstensif. Adanya nervus laryngeus recurrent, nervus phrenicus, dan arteria subklavia membuat trauma terhadap bangunan tersebut menjadi mungkin. Arteria radicularis major (artery of Adamkiewicz) muncul dari arteri intercostalis antara T8 dan L1 dan sebagai arteri medulla spinalis yang dominan pada 80% pasien, menunjukkan adanya risiko paraplegi selama repair aneurisma thoracica. Repair endovascular dari aneurisma aorta thoracica mengurangi risiko kardiopulmonal, tetapi lokasi aneurisma yang sulit dapat menggantikan repair endovascular dengan metode terkini. Penelitian terbaru mengembangkan branched stent graft untuk perbaikan dari aneurisma arkus dan thorakoabdominal.


Gambar 17: Graft sintetis


Gambar 18: Open surgical repair pada aneurisma aorta abdominalis


Gambar 19: Endovascular graft pada aneurisma aorta abdominalis
Aneurisma perifer
Untuk aneurisma aorta dan aneurisma yang terjadi pada pembuluh darah yang mensuplai darah ke lengan, kaki, dan kepala (peripheral vessels), pembedahan meliputi penempatan bagian yang melebar dengan tube artifisial (graft). Kini, metallic stents atau coated metallic stent grafts telah dikembangkan dan dapat dimasukkan lewat arteri di kaki.

Komplikasi
Aortic rupture
Hypovolemic shock
Arterial embolism
Kidney failure
Heart attack
Stroke
Aortic dissection
Prognosis
outcome biasanya baik jika perbaikan dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman sebelum ruptur. Kurang dari 50% dari pasien bertahan dari ruptur aneurisma abdominal. Mortalitas setelah open elective atau endovascular repair adalah 1-5%. Pada umumnya pasien dengan aneurisma aorta yang lebih besar dari 5 cm mempunyai kemungkinan tiga kali lebih besar untuk meninggal sebagai konsekuensi dari ruptur dibandingkan dari reseksi bedah. Survival rate 5 tahun setelah tindakan bedah adalah 60-80%. 5-10% pasien akan mengalami pembentukan aneurisma lainnya berdekatan dengan graft.

Prevensi
Aktivitas fisik yang cukup, konsumsi yang baik dan cukup, hindari merokok.

DAFTAR PUSTAKA



Beers. M.H., Fletcher. A.J., Jones. T.V., Chapter 35: Aneurysms and Aortic Dissection in The Merck Manual of Medical Information, 2nd ed. USA, Merck & Co., Inc, 2003. 204-208.

Clason. A., Wilson. RG., Peripheral Vascular Disease in Mc Latchie. GR., Leaper. DJ., Oxford Handbook of Clinical Surgery, 2nd ed. New Delhi, Oxford University Press, 2002. 308-310.

Messina. L. M., Pak. L. K., Tierney. L. M., Chapter 12: Arterial Aneurysm in Current Medical Diagnosis and Treatment, 44th ed. USA, The McGraww-Hill Companies, Inc, 2005. 428-431.

Sjamsuhidajat. R., de Jong. W., Bab 22 Jantung, Pembuluh Arteri, Vena, dan Limfe: Aneurisma dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, ed. 1. Jakarta, EGC, 1997.

www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001122.htm

www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001119.htm

www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000162.htm

http://en.wikipedia.org/wiki/Aneurysm

www.bartleby.com






Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakaian Narkoba

Masalah narkotika dan maraknya kenakalan remaja menjadi perhatian yang serius dari semua pihak. Presiden RI melalui Instruksi Presiden No 6/1971, tentang penanggulangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika seperti morphine, heroin, obat-obatan yang mengandung opium dan merokok ganja. Undang- undang yang mengatur tentang zat- zat ini sudah jelas, yaitu Undang- Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan narkotika.

Dalam UU Narkotika, yang tergolong narkotika adalah ganja, kokain, dan opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis opiat adalah morfin dan heroin. Narkotika adalah jenis obat yang biasa digunakan dalam terapi untuk menghilangkan rasa nyeri seperti pada penderita kanker. Sementara, kini, peredaran ilegal narkotika semakin marak. Penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja semakin sulit dibendung. Akibatnya, selama satu dekade terakhir di negeri ini telah ditemukan ratusan ribu pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya. Keracunan narkotika juga cepat terjadi dengan menekan pusat pernapasan, napas menjadi lambat, pengguna merasa 'melayang', tekanan darah menurun, dan dapat membuat pengguna menjadi koma hingga meninggal dunia. Sekitar 2% dari pengguna narkotika melalui suntikan meninggal dunia setiap tahunnya karena over dosis atau infeksi.
Morfin adalah obat yang mewakili kelompok besar opioid yang terdiri dari opium alam (asli), sintetis, semi sintetis, devirat dan garamnya. Sering disalahgunakan untuk memperoleh efek yang tidak ada pada medikasi medis, morfin mempunyai efek analgesik dan morfin sendiri sedikit sekali diabsorpsi dari saluran cerna.
Sangat mungkin bagi seorang dokter untuk membuat visum et repertum yang berkaitan dengan kasus-kasus penyalahgunaan narkotika ini, oleh karena itu, selayaknya kita mengetahui dan memahami zat-zat yang berkaitan dengan narkoba (narkotika dan obat-obatan lainnya), salah satunya adalah morfin dimana gejala-gejala keracunan morfin yang mungkin ditemui pada korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
II. 1OPIOID
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995).
KLASIFIKASI OPIOID
Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin (Sarjono dkk, 1995).
Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). (Latief dkk, 2001; Wibowo S dan Gopur A., 1995).
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi ; .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995).
1.Agonis opoid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, tertama pada reseptor , dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2.Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.
3.Agonis-antagonis (campuran) opioid
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.
MEKANISME KERJA
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. (Latief, 2001).
Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain: .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995).
Reseptor  (mu) : -1, analgesia supraspinal, sedasi.
-2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.
Reseptor  (delta) : analgesia spinal, epileptogen..
Reseptor k (kappa) : k-1, analgesia spinal.
k-2 tak diketahui.
k-3 analgesia supraspinal.
Reseptor  (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.
Reseptor  (epsilon) : respon hormonal.
Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran. .( Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995).
Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.
Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain ;
A.Efek sentral ;
a.Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi).
b.Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.
c.Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).
d.Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).
e.Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek disforia).
f.Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).
g.Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik).
h.Menyebabkan miosis (efek miotik).
i.Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).
j.Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang berkepanjangan.
B. Efek perifer ;
a.Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.
b.Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).
c.Kontraksi sfingter saluran empedu.
d.Menaikkan tonus otot kandung kencing.
e.Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.
f.Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.

II. 2 MORFIN
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995).

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH). .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995; Omorgui, 1997).
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.
Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
Dosis dan sediaan
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.
Morfin diperdagangkan secara bebas dalam bentuk :
1. Bubuk atau serbuk
Berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat disalahgunakan dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur dalam minuman, adakalanya ditaburkan begitu saja pada luka-luka bekas disilet sendiri oleh para korban.
2. Cairan
Berwarna putih disimpan dalam ampul atau botol, pemakaiannya hanya dilakukan dengan jalan menyuntik.
3. Balokan
Dibuat dalam bentuk balok-balok kecil dengan ukuran dan warna yang berbeda-beda.
4. Tablet
Dibuat dalam bentuk tablet kecil putih.
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan (dibawah kulit) atau intra muskuler, tetapi tidak diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Oleh sebab itu morfin tidak pernah tersedia dalam bentuk obat minum. Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan. Pengguna morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan.
Disamping memberi manfaat klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistema urinarius.
Efek pada sistema pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan.
Efek pada sistema saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang dipakai, dan kepribadian sipemakai serta harapannya.
Gejala kelebihan dosis :
Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu- satu dan coma (tiga gejala klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah).
Gejala–gejala lepas obat :
Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik.
II. 3 Diagnosis Ketergantungan Narkotika
Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis (medik psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan narkotika jenis opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada organ paru-paru dan lever. Untuk mengetahui adanya komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter ahli penyakit dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk mengetahui fungsi lever (SGOT dan SGPT).
Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya, komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat kaitannya dengan cara penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing dragon) melalui mulut atau hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil, atau suntikan intravena. Khasiatnya terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang berulangkali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.
Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering disalahgunakan manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases), berbagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma putus zat, dan gangguan mental serta perilaku lainnya.
Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya. Keadaan putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut "sakau" dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara merugikan orang lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma putus opioid, yaitu mual/muntah, nyeri otot lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare, menguap/sneezing, demam, dan insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik. Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan muntah diberi antiemetik, dan sebagainya. Pengobatan sindroma putus opioid harus diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi rumatan.
Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan pernapasan, yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan erat dengan kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan.
Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak digunakan adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku serta pergerakan otot- otot orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada umumnya adalah untuk mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan. Efek menenangkan sering dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan, kecemasan, dorongan- dorongan yang terlalu berlebihan oleh orang yang lemah mentalnya atau belum matang kepribadiannya. Sedangkan efek merangsang sering dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu tugas, menambah gairah sex, meningkatkan daya tahan jasmani.
Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :
1. tanda- tanda pemakai obat
2. keadaan lepas obat
3. kelebihan dosis akut
4. komplikasi medik ( penyulit kedoktearn )
5. komplikasi lainnya ( sosial, legal, dsb)

II.4. Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin
Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim.Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan sebagai berikut:
II.4.1. Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Gejala klinis :
1. pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nusea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis.
2. pada keracunan akut :
a. miosis; b. coma; c. respirasi lumpuh
3. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium;
4. gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.
Tahap 1
Tahap eksitasi
Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1.
1. Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat ;
2. Halusinasi
3. Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang;
4. Dapat menjadi maniak
Tahap 2
Tahap stupor
Dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada)
1. Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan;
2. Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur;
3. Wajah sianosis, pupil amat mengecil; dan
4. Pulse dan respirasi normal.
Tahap 3
Tahap Coma :
Tidak dapat dibangunkan kembali
1. Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi;
2. Proses sekresi;
3. Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini merupakan tanda akhir;
4. Respirasi cheyne stokes; dan
5. Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang,akhirnya meninggal.
II. Pemeriksaan Toksikologi
Sebagai barang bukti :
1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan;
2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral;
3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup; dan
4. Barang bukti lainnya.
Metode
1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid Chromatography)
Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral,morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti.
2. Nalorfine Test
Penafsiran hasil test :
Kadar morfin dalam urin, bila saam dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin dalamdarah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis.
Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.

II.5. Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin
Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja sana dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensic, psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas meliputi apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun kemungkianan pembunuhan? jenis obat apakah yang digunakan? Melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut? Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian? Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat? Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut? Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit yang mungkin sudah ada pada korban? Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban? Ringksnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu :
1. TKP (Tempat Kejadian Perkara) ;
2. Riwayat korban ;
3. Otopsi ; dan
4. Pemeriksaan Toksikologi
Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba (Tedeschi, 1977)
Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan daalm dan juga pada pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan maupun sayatan- sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba.
Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda- tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanay didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan narkoba yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha – usaha oenyelundupan narkoba ( Tedeschi, 1977).
Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerah- daerah yang dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan, benda- benda asing, dan tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik.
Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung, urine, darah, dan cairan empedu. .Cairan empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus- kasus kematian akibat pemakaian opiate. Rambut dan kuku kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan toksikologi lain. Usapan mukosa hidung kadang- kadang dapat menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin ( Knight, 1996).
Pemeriksaan pada kematian akibat pemakaian opioid ( morfin atau heroin )
A. Pemeriksaan luar
Tanda- tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian.
1. Needle marks
Lokasi : fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki. Tempat lain adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar papilla mamae.
Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda perdarahan sub kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa jaringan parut titik- titik sepanjang lintasan vena dan disebut “intravenous mainline tracks”. Kadang – kadang untuk menyamarkan needle marks itu dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada korban yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda abses dan lain sebagainya. Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal ini terjadi, sebab mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya denngan menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu dalam pemeriksaan toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus (‘nasal swab’) sebagai bahan BBB.
2. hipertrofi kelenjar getah bening regional
Pada korban yang sering menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah bening di regio aksiler.Hal ini merupakan ‘Drain phenomenon’. Biasanya karena jarum suntikannya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak hipertrofi dan hyperplasia limfositik.
3. gelembung-gelembung pada kulit
Sering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi gas CO dan barbiturate.
4. Tanda mati lemas
Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi.
B. Pemeriksaan Dalam
Paru-paru
1. Perubahan akut :
Mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat kematian. Adapun perubahan awal yang terjadi adalah :
a). Dari 0 sampai 3 jam :
hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel mononuclear atau makrofag pada dinding alveoli. PA : Paru-paru tampak voluminous, kadang-kadang bagian posterior lebih padat sehingga tak ada krepitasi. Bagian anterior tampak ada emfisema yang difus dengan terdapat benda-benda asing yang terisap di dalam bronkus. Tampak ada kongesti, edema dengan sel-sel mononuclear dalam alveoli.
b). Dari 3 sampai 12 jam
1. Terdapat narcotic lungs (siegel)
Tanda ini amat bermakna ( 25 % kasus). Secara makroskopis tampak paru sangat mngembang (over inflated). Trachea tertutup busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak gambaran lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi adalah aerasi yang normal, amat mengembang, dan emfisma), kongesti, dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di bagian belakang dan bawah (posterior dan inferior). Secara PA, tampak sel-sel makrofag, perdarahan alveolar, intrabronkhiolar, subpleural, dan sel-sel polimorfonuklear.
2. Dapat ditemukan juga aspirat di daalm traktus respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering dianggap antidotum opiate.
c. Dari 12 sampai 24 jam
Proses pneumoniasis tampak lebih rata, tampak sel-sel PMN. Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval > 24 jam. Akan tampak pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan granula.
2. Perubahan kronis
Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis vascular. Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk natkotika). Talk ini juga dapat masuk bersama narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan, dan terdapat garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam vascular, perivascular, atau di dalam alveolus.
Hati
Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu. Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN, dan beberapa sel-sel narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan, dan adanya sel-sel ductus biliaris yang mengalami proliferasi. Ada 4 kelainan :
1. Hepatitis agresif kronika : tandanya ada pembentukan septa ;
2. Hepatitis persisten kronikA : adanya infiltrasi sel radang didaerah portal
3. Hepatitis reaktif kronika ;dan
4. Perlemakan hati.
Getah bening
Lokasi : terutama di daerah portal hepatic, di sekitar caput pancreas dan ductus choledocus. Makin berat menyandunya, makin banyak kelainanya.
Makroskopis : tampak pembesaran
Mikroskopis : tampak adanya hyperplasia dan hipertropi limfosit.
C. Pemeriksaan toksikologi
Sebab BBB:
1. Urin, cairan empedu, dan jaringan temapt suntikan;
2. darah dan isi lambung, diperiksa bila keracunanya peroral;
3. nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara membau dan menghirup
4. barang bukti lainnya.
Metode :
1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan gas Chromatography;
2. Dengan Nalorfine Test.

DAFTAR PUSTAKA


Dwiprahasto, I., 1993, Aspek Farmakologik Alkohol dan Narkotok dalam Seminar Penyalahgunaan Alakohol dan Naarkotika, Ikatan Dokter Indonesia, Yogyakarta

Hamdani dan Nyowito, 1992, Ilmu kedokteran Kehakiman, Edisi Ke-2, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jaffe, J.H., 1991, Drug addiction and Drug Abuse In The Farmakolaogical Basis of Therapeutics, 8 th edition, Pergamon Press, New york

Knight, B., 1996, Forensic Pathology, Oxford University Press Inc., New York

Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83, 161.

Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ; 203-207.

Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FK-UI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.

Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba medika, 1995; hal : 138-143.

Tedeschi, E., 1977, Forensic Medicine, Vol II, W B Saunders Company, West Washington Squartz, Philadelphia

Undang-Undang No 9 tahun 1976 tentang Narkotika



Leukemia Mieloblastik

Leukemia adalah salah satu penyakit keganasan yang sangat ditakuti oleh masyarakat dewasa ini. Di Amerika Serikat, diperkirakan leukemia merupakan 2,7 persen dari semua penyakit keganasan yang terdiagnose dan 3,7 persen penyebab kematian akibat keganasan. Meskipun telah dilakukan berbagai penelitian, etiologi dari keganasan hemopoetik ini tidak diketahui secara keseluruhan. ( 1 )

Leukemia pertama kali diketahui sebagai suatu penyakit “darah putih” oleh Bannet dan Virchoe pada tahun 1845. Secara umum, leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang berbeda dari normal, jumlahnya berlebihan dan oleh karena menginfiltrasi sumsum tulang dapat menyebabkan anemia, trombositopenia atau granulositopenia, dan diakhiri dengan kematian. Kematian sering terjadi karena perdarahan akibat trombositopenia, atau infeksi karena granulositopenia. ( 2 )
Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik. Dengan kemajuan pengobatan akhir-akhir ini, penderita LLA dapat hidup lebih lama lagi daripada penderita LMK. Jadi pembagian akut dan kronik tidak lagi mencerminkan lamanya harapan hidup. Pembagian ini masih menggambarkan kecepatan timbulnya gejala dan komplikasi. ( 2 )
Leukemia akut dibagi menjadi 2 macam yaitu LMA (Leukemia Mieloblastik Akut) dan LLA (Leukemia Limfoblastik Akut). Perbedaan antara LMA dan LLA terutama sekali pada usia penderita dimana pada LLA lebih banyak diderita oleh anak-anak  80 %, sedangkan pada LMA lebih banyak diderita oleh orang dewasa  80 %. ( 1 )
Insidensi LMA diperkirakan 2 sampai 3 per 100.000 penduduk dalam satu tahun ( 2 ). Di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo/FK UI periode 1973-1974 terdapat 15 kasus LMA dari 21 kasus LMA ( 3 ). Di RS Dr. Soetomo/FK UNAIR Surabaya dilaporkan kasus LMA sebanyak 22 kasus selama periode 1978-1983 ( 4 ). Di RSUP Dr. Sardjito/FK UGM Yogyakarta dilaporkan bahwa LMA menduduki urutan ke 6 dari 10 kelompok besar kasus keganasan. Menurut laporan tersebut didapat 16 kasus LMA dari 246 kasus keganasan utama di RSUP Dr. Sardjito selama tahun 1989 ( 5 ).
Leukemia masih merupakan penyakit yang sampai sekarang belum dapat diobati dengan hasil yang memuaskan. Pengobatan terhadap leukemia pada garis besarnya bertujuan untuk mencapai remisi dan selanjutnya mempertahankan remisi itu selama mungkin. ( 6 )
BAB II
I S I

II.1. Definisi
Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang tidak normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia, trombositopenia dan diakhiri dengan kematian. ( 2 )
Leukemia adalah suatu kelompok neoplasma hematogenous yang muncul dari transformasi sel-sel hematopoetik yang ganas, sel-sel leukemia berproliferasi terutama dalam sumsum tulang dan jaringan limfoid, mengganggu hematopoisis dan immunitasi normal. ( 7 )
Leukemia mieloblastik akut adalah proliferasi sel-sel mieloid, akibat gagalnya sel-sel ganas untuk matang lebih dari tahap mieloblastik atau promielosit. ( 7 )
Leukemia mieloblastik Akut adalah satu penyakit keganasan sumsum tulang yang mempunyai tnada khas berupa gangguan diferensiasi sel-sel mieloid. Sel-sel leukemia ini diblokade pada tahap maturasi menjadi bentuk yang bervariasi. ( 8 )

II.2. Etiologi
Etiologi leukemia tidak diketahui dengan pasti, namun terdapat beberapa faktor predisposisi yang diduga memegang peranan.
Faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan), yaitu ( 3 ) :
a.Faktor Instrinsik
- Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot). ( 10 )
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom turner. ( 9 )
- Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia. ( 11 )
b.Faktor Ekstrinsik
Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar belakang radiasi ( 11 ). Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih banyak ( 2 ). Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak. ( 11 )
Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA ( 12 ). Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif. ( 11 )
Infeksi Virus
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik ( 13 ).
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang. ( 2 )

II.3. Insidensi, Umur dan Jenis Kelamin
II.3.1. Insidensi
Dari hasil penelitian Waler House et al (1982) bahwa insidensi LMA di negara Kanada, AS, Denmark dan Eropa adalah sekitar 2-3 per 100.000 penduduk ( 1 ). Di bagian Penyakit Dalam RSCM – FKUI pada tahun 1982 ada 38 kasus dan pada tahun 1983 ada 43 kasus ( 2 ).
II.3.2. Umur
LMA dapat mengenai semua umur. Namun rata-rata umur bagi penderita LMA adalah antara 50-60 tahun, serta puncak tertinggi insidensi LMA terdapat pada dekade ke-6. ( 8 )
Dari beberapa penelitian dilaporkan LMA sering ditemukan pada umur dewasa (85 %) daripada anak-anak (15 %). ( 2 )
II.3.3. Jenis kelamin
Pada umumnya, semua tipe leukemia termasuk LMA insidensinya lebih tinggi pada penderita laki-laki daripada wanita. Namun begitu, jumlah penderita laki-laki tidak berbeda jauh dari wanita sehingga ratio laki-laki dan wanita adalah 1 : 1. ( 9 )

II.4. Klasifikasi ( 1 ) ( 11 ) ( 14 )
Berdasarkan French – American – British System (FAB), yaitu klasifikasi morfologis yang didasarkan pada diferensiasi sel dari pematangan sel-sel leukemia predominan di dalam sumsum tulang, serta didasarkan pula pada penelitian sitokimiawi, LMA dibagi :
a.Leukemia Myeloblastik Akut diferensiasi minimal


b.Leukemia


c.Leukemia Mieloblastik Akut dengan Maturasi (M2)
Berbeda dengan M1 pada leukemia tipe M2 ini ditandai dengan banyaknya granulosit yang matang. Leukemia jenis ini diderita oleh sekitar 40% dari seluruh penderita LMA.
d.Leukemia Promielositik Akut (M3)
Pada leukemia tipe M3 ini ditandai dengan diferensiasi granulosit disertai promielosit hipergranular yang dikaitkan dengan disseminated intravaskular coagulation (DIC), sehingga pada leukemia tipe M3 terdapat manifestasi perdarahan seperti : hemoptisis, hematuria, perdarahan vagina, melena, hematemesis, dan perdarahan pulmonasi dan intrakranial. Perdarahan ini disebabkan trombositopeni atau DIC.jenis ini ditemukan  10% kasus dari seluruh kasus LMA.
e.Leukemia Mielomonositik Akut (M4)
Pada pemeriksaan sitologi ditemukan sel leukemia yang dominan mieloblas dan monosit di dalam darah dan sumsum tulang. Pada pemeriksaan klinis hampir sama dengan leukemia M1 – M3, tetapi menunjukkan gejala infiltra ekstramedular yang lebih tinggi seperti pada gingiva yang menyebabkan hipertrofi gingiva, kulit ataupun sistem saraf pusat dengan gejala pusing, nausea, vomitus dan kadang-kadang perdarahan intracranial.
f.Leukemia Monositik Akut (M5)
- MSa : leukemia monositik akut, kurang berdiferensiasi
- MSb : leukemia monositik akut, berdiferensiasi baik.
Leukemia tipe M5 ditandai dengan tingginya prevalensi tumor ekstramedular pada kulit, gingiva, mata, laring, lambung, rectum dan berbagai tempat lain. Hepatomegali dan splenomegali juga banyak terjadi dibandingkan dengan jenis leukemia yang lain. Leukemia tipe M5 ditemukan  10% dari seluruh kasus LMA dan sering pada anak-anak atau dewasa muda.
g.Leukemia Eritrositik Akut (M6)
Anemia dan trombositopenia pada semua kasus, umumnya dapat ditemukan kenaikkan jumlah leukosit. Sel darah merah terlihat anisositosis, poikilositosis, anisokromia dan basofilik. Pada sumsum tulang yang dominan mieloblas dan eritroblas, eritroblas sangat abnormal dengan banyaknya nukleus raksasa, bercabang dan tersebar. Tipe ini sekitar 5% dari seluruh kasus LMA.
h.Leukemia Megakariositik Akut (M7)
Pada pemeriksaan pasien terlihat lemah, lesu dan adanya perdarahan serta anemia dan leukopenia. Limfadenopati atau hepatosplenomegali sangat jarang ditemukan pada saat didiagnosis. Tingginya angka sel blast dan leukosit merupakan tanda keadaan yang sudah lanjut. Platelet mungkin normal atau mengalami kenaikkan pada saat diperiksa. Pada banyaknya kasus aspirasi sumsum tulang yang berhasil karena sumsum mengalami fibrosis. Pada biopsi sumsum dapat ditemukan sel blast yang kecil atau yang besar atau bahkan keduanya dan banyak sel megakariosit. Dari seluruh tipe LMA hanya 5 % saja termasuk tipe ini.

II.5. Manifestasi Klinik
II.5.1. Gejala
a.Kelemahan Badan dan Malaise
Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan ( 13 ). Sekitar 90 % mengeluhkan kelemahan badan dan malaise waktu pertama kali ke dokter. Rata-rata didapati keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain atau diagnosa LMA dapat ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia, sehingga beratnya gejala kelemahan badan ini sebanding dengan anemia. ( 12 ), ( 15 )
b.Febris
Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya febris juga didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap LMA. Umumnya demam ini timbul karena infeksi bakteri akibat granulositopenia atau netropenia. Pada waktu febris juga didapatkan gejala keringat malam, pusing, mual dan tanda-tanda infeksi lain. ( 13 ), ( 15 )
c.Fenomena perdarahan
Simptom lain yang sering disebabkan adalah fenomena perdarahan, dimana penderita mengeluh sering mudah gusi berdarah, lebam, petechiae, epitaksis, purpura dan lain-lain. Beratnya keluhan perdarahan berhubungan erat dengan beratnya trombositopenia. ( 13 )
d.Penurunan berat badan
Penurunan berat badan didapatkan pada 50 % penderita tetapi penurunan berat badan ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan keluhan utama.
Penurunan berat badan juga sering bersama-sama gejala anoreksia akibat malaise atau kelemahan badan. ( 13 ), ( 1 )
e.Nyeri tulang
Nyeri tulang dan sendi didapatkan pada 20 % penderita LMA ( 12 ). Rasa nyeri ini disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau sendi yang mengakibatkan terjadi infark tulang. ( 15 )

II.5.2. Kelainan Fisik
a.Kepucatan, takikardi, murmur
Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah pucat karena adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa didapatkan simptom cardiorespiratorius seperti sesak nafas, takikardia, palpitasi, murmur, sinkope dan angina. ( 15 )
b.Pembesaran organ-organ
Walaupuan jarang didapatkan dibandingkan LLA, pembesaran massa abnomen atau limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada penderita LMA. Splenomegali lebih sering didapatkan daripada hepatomegali. Hepatomegali jarang memberikan gejala begitu juga splenomegali kecuali jika terjadi infark. ( 13 )
c.Kelainan kulit dan hipertrofi gusi
Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe LMA tertentu, misalnya leukemia monoblastik (FAB M5) dan leukemia mielomonosit (FAB M4). Kelainan kulit yang didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau populer ungu, multiple dan general, dan biasanya dalam jumlah sedikit. Hipertrofi ini akibat infiltrasi sel-sel leukemia dan bisa dilihat pada 15 % penderita varian MSa, 50 % MSa dan 50 % M4. Namun hanya didapatkan sekitar 5 % pada subtipe LMA yang lain. ( 15 )
d.Sternal tenderness
Kelainan fisik ini didapatkan pada kira-kira dua per tiga kasus LMA ( 12 ), ( 14 ). Kelainan ini juga disebabkan infiltrasi sel-sel leukemik, terutama di tempat produksi sumsum tulang ( 15 ).

II.5.3. Kelainan Laboratium
a.Angka Leukosit
Pada umumnya, angak leukosit meningkat pada sebagian besar penderita LMA, tetapi angka leukosit juga bisa normal atau turun. Didapati angka leukosit bervariasi antara kurang dari 1000 hingga 100.000 per mm3. ( 12 )
Pada angka leukosit normal atau turun, ini dinamakan sub leukemik leukemia, dimana masih dapat ditemukan sel blast dalam darah tepi. ( 13 )
b.Sel Blast darah tepi
Sel blast meningkat dalam darah tepi pada penderita LMA. Jumlah sel blast dapat bervariasi dari nol hingga 200 x 109 / 1 median antara 15 – 20 x 109/1. ( 15 )
Pada umumnya, ada korelasi antara jumlah sel blast dalam darah dan sumsum tulang dengan pembesaran lien atau manifestasi infiltasi sel leukemik lain. ( 13 ), ( 14 )
Bilamana didapati tiada sel blast dalam darah tepi dinamakan aleukemik leukemia. Keadaan ini bisa ditemukan  5% penderita LMA. ( 13 )
c.Angka trombosit
Trombositopenia sebagai akibat infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia ditemukan pada kebanyakan penderita. Pada keadaan yang sangat jarang ada ditemukan trombositosis. ( 13 )
d.Sel eritrosit
Anemia normositik normokromik ditemukan pada sebagian besar penderita LMA. Dalam apusan darah tepi juga didapatkan eritrosit bernukleus serta retikulositopenia. Anemia terjadi sebagai akibat gangguan produksi sel dalam sumsum tulang yang diakibatkan oleh infiltrasi sel-sel leukemia pada sumsum tulang. ( 13 ), ( 15 )
e.Sumsum tulang
Biasanya sumsum tulang dalam keadaan hiperseluler, dimana kepadatan sel-sel meningkat. Pada pemeriksaan mikroskopik sel-sel blat (mieloblast) dominan, jumlah megakariosit dan sel-sel normoblast sangat menurun. Bila dilakukan biopsi dan pengecatan retikulum akan didapatkan myelofibrosis ini dapat diperhatikan pada dua per tiga kasus LMA. ( 13 )
f.Asam urat darah
Pada kira-kira separuh kasus LMA, dapat ditemukan asam urat darah meningkat dan begitu juga pada ekskresi asam urat dalam urin, tetapi jarang menimbulkan simptom gout. ( 13 )
g.Protein darah
Protein darah biasanya berubah. Hiper gamma globulin yang difus didapatkan pada kebanyakan penderita, sedangkan albumin selalu normal waktu diagnosis dan menurut bila lanjut. Beta globulin biasanya naik dan umumnya kenaikkan alfa globulin didapatkan pada keadaan demam atau infeksi. Protein pengikat vitamin B12 bisa meningkat dalam darah pada penderita LMA khususnya bila ditemukan leukositosis. Protein pengikat asam folat meningkat bagi beberapa penderita, terutama pada leukemia mielomonoblastik. ( 13 )

II.6. Terapi
Tujuan pengobatan pada LMA adalah untuk mengurangi simptom, memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan hidup (survival). Terapi yang efektif bagi penderita LMA adalah terapi induksi remisi untuk mengusahakan remisi komplit. Namun hail pengobatan LMA belum memuaskan. Dengan pengobatan modern, angka remisi 50-70 %, tetapi angka rata-rata hidup masih 2 tahun dan yang dapat hidup lebih dari 5 tahun hanya 10 % ( 2 ). Adapun terapi bagi penderita LMA meliputi :
a.Kemoterapi
Untuk mencapai remisi komplit pada LMA lebih baik digunakan kombinasi 2-3 kombinasi daripada sitostatika tunggal. Kombinasi obat yang paling banyak digunakan adalah Daunorobicin, cytosine arabinose dan thioquinine. Terapi induksi remisi dapat juga digunakan cytosine arabinose dan daunorobicin. Kombinasi umumnya cytosine arabinose diberikan 100 mg/m2/infus kontinyu selama 7 hari, dan Daunorobicin diberikan 45 mg/m2/iv hari I – III (CD 7-3). Bila dengan terapi induksi remisi terjadi remisi komplit, setelah satu bulan dilakukan terapi konsolidasi dengan obat dan cara yang sama. cyTosine Arabinose 5 hari dengan Daunorobicin 2 hari (CD 5-2), terapi CD 5-2 diualng 2-3 kali. Bila setelah terapi konsolidasi tetap remisi komplit, satu bulan kemudian terapi intensifikasi 2-3 kali dengan :
1.Cytosine Arabinose 100 mg/m2/infus kontinyu 5 hari
2.Daunorobicin 45 mg/m2/IV hari I – III
3.Vincristin 1,4 mg/m2 pada hari I
4.Prednison 1 mg/kgBB/hari I – V. ( 1 )
b.Radioterapi
c.Transplantasi sumsum tulang

Decompensasi Cordis

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolic secara abnormal.


B. Etiologi
Gagal jantung adalah adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung congenital maupun didapat.Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal,beban akhir,atau menurunkan kontraktilitas miokardium.Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel;dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertansi sistemik.Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dam kardiomiopati.

C. Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik,mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup,dan meningkatkan volume residu ventrikel.
Sebagai respon terhadap gagal jantung,ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat: 1) meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik,2) Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron,dan 3) Hipertrofi ventrikel.Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.Kelainan pad kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan beraktivitas.Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif.
Meurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon simpatik kompensatorik.Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf adrenergic jantung dan medulla adrenal.Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung.Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal,agar perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa :1) penurunan aliran darah ginjal an akhirnya laju filtrasi glomerulus,2) pelepasan rennin dari apparatus juksta glomerulus,3)interaksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, 4) konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, 5) Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan 6) retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya tebal dinding.Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium;tergantung dari jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung,sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial.Respon miokardium terhadap beban volume,seperti pada regurgitasi aorta,ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya tebal dinding.
D. Klasifikasi.
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri,gagal jantung kanan,dan gagal jantung kongestif.
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort,fatigue,ortopnea,dispnea nocturnal paroksismal,batuk,pembesaran jantung,irama derap,ventricular heaving,bunyi derap S3 dan S4,pernapasan cheyne stokes,takikardi,pulsusu alternans,ronkhi dan kongesti vena pulmonalis.
Pada gagal jantung kanan timbul edema,liver engorgement,anoreksia,dan kembung.Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertrofi jantung kanan,heaving ventrikel kanan,irama derap atrium kanan,murmur,tanda tanda penyakit paru kronik,tekanan vena jugularis meningkat,bunyi P2 mengeras,asites,hidrothoraks,peningkatan tekanan vena,hepatomegali,dan pitting edema.
Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan.
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas :
1.Kelas 1;Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan
2.Kelas 2;Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari hari tanpa keluhan
3.Kelas 3;Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan
4.Kelas 4;Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivits apapun dan harus tirah baring.


E. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari gagal jantung harus dipertimbangkan relative terhadap derajat latihan fisik yang menyababkan timbulnya gejala.Pada permulaan,secara khas gejala-gejala hanya muncul pada latihan atau aktivitas fisik;toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan.
Diagnosa gagal jantung kongestif menurut Framingham dibagi menjadi 2 yaitu criteria mayor dan criteria minor
Kriteria mayor :
1.Dispnea nocturnal paroksismal atau ortopnea.
2.Peningkatan tekanan vena jugularis
3.Ronkhi basah tidak nyaring
4.Kardiomegali
5.Edema paru akut
6.Irama derap S3
7.Peningkatan tekanan vena >16 cm H20
8.Refluks hepatojugular.
Kriteria minor :
1.Edema pergelangan kaki
2.Batuk malam hari
3.Dispneu d’effort
4.Hepatomegali
5.Efusi pleura
6.Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
7.Takikardi (.120x/menit)

F. Pentalaksanaan
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium,baik secara sendiri-sendiri maupun secara gabungan dari : 1) beban awal, 2) kontraktilitas,dan 3) beban akhir.
Prinsip penatalaksanaan gagal jantung :
1.Menigkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.
2.Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
Mengatasi keadaan yang reversible,termasuk tirotoksikosis,miksedema,dan aritmia.
Digitalisasi ;
1.Dosis digitalis :
Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 – 2 mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0.5 mg selama 2-4 hari
Digoksin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam.
2.Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari.Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan
3.Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
4.Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat :
Digoksin 1-1,5 mg iv perlahan lahan
Cedilanid 04-0,8 mg iv perlahan lahan.
3.Menurunkan beban jantung
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam,diuretic dan vasodilator
a)Diet rendah garam
Pada gagak jantung dengan NYHA kelas IV,penggunaan diuretic,digoksin dan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE),diperlukan mengingat usia harapan hidup yang pendek.Untuk gagal jantung kelas II dan III diberikan ;
1)Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40-80 mg)
2)Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan sinus
3)Penghambat ACE (captopril mulai dari dosis 2 X 6,25 mg atau setara penghambat ACE yang lain,dosis ditingkatkan secara bertahap dengan memperhatikan tekanan darah pasien); isorbid dinitrat (ISDN) pada pasien dengan kemampuan aktivitas yang terganggu atau adanya iskemia yang menetap,dosis dimulai 3 X 10-15 mg.Semua obat harus dititrasi secara bertahap.
b)Diuretik
Yang digunakan furosemid 40-80 mg.Dosis penunjang rata-rata 20 mg.Efek samping berupa hipokalemia dapat diatasi dengan suplai garam kalium atau diganti dengan spironolakton.Diuretik lain yang dapat digunakan antara lain hidroklorotiazid,klortalidon,triamteren,amilorid,dan asam etakrinat.
Dampak diuretic yang mengurangi beban awal tidak mengurangi curah jantung atau kelangsungan ,tapi merupakan pengobatan garis pertama karena mengurangi gejala dan pengobatan dan perawatan di rumah sakit.Penggunaan penghambat ACE bersama diuretic hemat kalium harus berhati hati karena memungkinkan timbulnya hiperkalemia.
c)Vasodilator
1)Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 μg/kg BB/menit iv.
2)Nitroprusid 0,5-1 μg/kgBB/menit iv
3)Prazosin per oral 2-5 mg
4)Penghambat ACE: kaptopril 2 X 6,25 mg.




Anastesi pada Neonatus

Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua system. Neonatus bukanlah miniatur orang dewasa, bahkan bukan pula miniatur anak. Neonatus mengalami masa perubahan dari kehidupan didalam rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi kehidupan diluar rahim yang serba mandiri. Masa perubahan yang paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi ini hampir meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah system pernafasan sirkulasi, ginjal dan hepar. Maka dari itu sangatlah diperlukan penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan suatu tindakan anestesi terhadap neonatus.

SISTEM PERNAFASAN

Jalan Nafas :
Otot leher bayi masih lembek, leher lebih pendek, sulit menyangga atau memposisikan kepala dengan tulang occipital yang menonjol. Lidah besar, epiglottis berbentuk “U” dengan proyeksi lebih ke posterior dengan sudut ± 450, relative lebih panjang dan keras, letaknya tinggi, bahkan menempel pada palatum molle sehingga cenderung bernafas melalui hidung. Akibat perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat intubasi kadangkala diperlukan pengangkatan epiglottis untuk visualisasi. Sementara lubang hidung, glottis, pipa tracheobronkial relative sempit, meningkatkan resistensi jalan nafas, mudah sekali tersumbat oleh lender dan edema. Trachea pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter tersempit pada bagian cricoid. (Cote CJ,2000)


Pernafasan :
Sangkar dada lemah dan kecil dengan iga horizontal. Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan dalam memelihara tekanan negative intrathorak dan volume paru rendah sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas secara diafragmatis. Kadang-kadang tekanan negative dapat timbul dalam lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya kembung dipertimbangkan pemasangan pipa lambung.
Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya elemen elastis paru, maka akan menurunkan FRC (Functional Residual Capacity) sementara volume tidalnya relative tetap. Untuk meningkatkan ventilasi alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas, karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas. Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada premature, adanya stress dingin maupun sumbatan jalan nafas.


SISTEM SIRKULASI DAN HEMATOLOGI
Aliran darah fetal bermula dari vena umbilikalis, akibat tahanan pembuluh paru yang besar (lebih tinggi dibanding tahanan vaskuler sistemik =SVR) hanya 10% dari keluaran ventrikel kanan yang sampai paru, sedang sisanya (90%) terjadi shunting kanan ke kiri melalui ductus arteriosus Bottali.
Pada waktu bayi lahir, terjadi pelepasan dari plasenta secara mendadak (saat umbilical cord dipotong/dijepit), tekanan atrium kanan menjadi rendah, tahanan pembuluh darah sistemik (SVR) naik dan pada saat yang sama paru mengembang, tahanan vaskuler paru menyebabkan penutupan foramen ovale (menutup setelah beberapa minggu), aliran darah di ductus arteriosus Bottali berbalik dari kiri ke kanan. Kejadian ini disebut sirkulasi transisi. Penutupan ductus arteriosus secara fisiologis terjadi pada umur bayi 10-15 jam yang disebabkan kontraksi otot polos pada akhir arteri pulmonalis dan secara anatomis pada usia 2-3 minggu.
Pada neonatus reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus harus dilakukan dengan secermat dan seteliti mungkin. Tekanan sistolik merupakan indicator yang baik untuk menilai sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian volume. Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi nadi bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.

SISTEM EKSKRESI DAN ELEKTROLIT
Akibat belum matangnya ginjal neonatus, filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% disbanding orang dewasa. Fungsi tubulus belum matang, resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amibo dan bikarbonas juga rendah. Bayi baru lahir sukar memekatkan air kemih, tetapi kemampuan mengencerkan urine seperti orang dewasa. Kematangan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus mendekati lengkap sekitar umur 20 minggu dan kematangannya sedah lengkap setelah 2 tahun.. (Cote CJ,2000)
Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan juga menjadi diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan air dan garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa sodium dapat dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremia. (Warih,1992)
Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih disbanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada setiap pemberian cairan.

FUNGSI HATI
Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah pula yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis metabolic. Hipotermia dapat pula menyebabkan hipoglikemia.
Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar diketahui tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang. Sintesis vitamin K belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%). Secara rutin untuk bedah bayi baru lahir dianjurkan pemberian vitamin K 1 mg i.m.hati-hati penggunaan opiate dan barbiturate, karena kedua obat tersebut dioksidasi dalam hati.

SISTEM SYARAF
Waktu perkembangan system syaraf, sambungan syaraf, struktur otak dan myelinisasi akan berkembang pada trimester tiga (myelinisasi pada neonatus belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4 tahun), sedangkan berat otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2 tahun. Waktu-waktu ini otak sangat sensitive terhadap keadaan-keadaan hipoksia.
Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonates belum dapat melokalisasinya dengan baik seperti pada bayi yang sudah besar. Sebenarnya anak mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih rendah disbanding orang dewasa.
Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing.
Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga parasimpatis lebih dominant yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110 kali/menit) terutama kalau bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila aad stimulasi daerah nasofaring. Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam.
Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan akumulasiobat-obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang lama dan depresi pada periode pasca anestesi.
Sisa dari blok obat relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi IV dapat menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca anestesi.
Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak menolong baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropine.

PENGATURAN TEMPERATUR
Pusat pengaturan suhu di hypothalamus belum berkembang, walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, mudah kehilangan panas tubuh (perbandingan luas permukaan dan berat badan lebih besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap air), sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat poikilotermik). Produksi panas mengandalkan pada proses non-shivering thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak diantara scapula, axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah produksi panas dari lemak coklat (Morgan HAH,1993)
Hipotermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas, selimut atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan keringat (misal: atropin, skopolamin). Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh terbuka, pemberian cairan infuse/ tranfusi darah dingin, irigasi oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum (yang menekan pusat regulasi suhu) maupun obat vasodilator.
Temperature lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah 270C. Paparan dibawah suhu ini akan mengandung resiko diantaranya: cadangan energi protein akan berkurang, adanya pengeluaran katekolamin yang dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tahanan vaskuler paru dan perifer, lebih jauh lagi dapat menyebabkan lethargi, shunting kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolic.
Untuk mencegah hipotermia bias ditempuh dengan : memantau suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, begitu pula gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang digunakan yang hangat.

FARMAKOLOGI
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada neonatus berbeda disbanding dengan dewasa karena pada neonatus :
1.Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler berbeda dengan orang dewasa.
2.Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3.Laju metabolisme yang tinggi
4.Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5.Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses biotransformasi obat.
6.Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver dan ginjal)
7.Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan : ventilasi alveolar tinggi, Minute volume, FRC rendah, lebih rendahnya MAC dan koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi obat, mempercepat induksi dan mempersingkat pulih sadarnya. Tekanan darah cenderung lebih peka terhadap zat anestesi inhalsi mungkin karena mekanisme kompensasi yang belum sempurna dan depresi miokard hebat.

Beberapa obat golongan barbiturat dan agonis opiate agaknya sangat toksisk pada neonatus disbanding dewasa. Hal ini mungkin karena obat-obat tersebut sangat mudah menembus sawar darah otak, kemampuan metabolisme masih rendah atau kepekaan pusat nafas sangat tinggi. Sebaliknya neonatus tampaknya lebih tahan terhadap efek ketamin.
Bayi umumnya membutuhkan dosis suksisnil cholin relative lebih tinggi disbanding dewasa karena ruang extraselulernya relative lebih besar. Respon terhadap pelumpuh otot non deplarisasi cukup bervariasi.


PERSIAPAN ANESTESI
Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi, elektrolit, asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau mendekati normal. Sebagian pembedahan bayi baru lahir merupakan kasus gawat darurat. Proses transisi sirkulasi neonatus, penurunan PVR (Pulmonary Vascular Resistance) berpengaruh pada status asam-basanya.
Transportasi neonatus dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat mungkin menggunakan incubator yang telah dihangatkan. Sebelum bayi masuk kamar bedah hangatkan kamar dengan mematikan AC misalnya.
Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran gas harus rendah, anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan. Untuk anestesi yang lama, kalau mungkin gas-gas anestetik dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab listrik. Biasanya digunakan system anestesi semi-open modifikasi system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari Jackson-Rees.

Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan berilah air gula 2 jam sebelum anestesi. (Abdul Latief,1991)

Infus
Dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa, mengganti cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat perdarahan, dll. Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5%-10% dalam cairan elektrolit.
Neonatus terutama bayi premature mudah sekali mengalami dehidrasi akibat puasa lama atu sulit minum, kehilangan cairan lewat gastrointestinal, evaporasi (Insensible water loss), tranduksi atau sekuestrasi cairan ke dalam lumen usus atau kompartemen tubuh lainnya. Dehidrasi/hipovolemia sangat mudah terjadi karena luas permukaan tubuh dan kompartemen atau volume cairan ekstra seluler relative lebih besar serta fingsu ginjal belum matang.
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%. Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui produksi urin (>0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (<1,010) ,aupun dengan pemasangan CVP (Central Venous Pressure).

Premedikasi
Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran, Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena dengan pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan umumnya jelek.



Penenang
Tidak dianjurkan, karena susunan syaraf pusat belum berkembang, mudah terjadi depresi, kecuali pasca anestesi dirawat diruang perawatan intensif. (Abdul Latief,1993)

MASA ANESTESI
Induksi
Pada waktu induksi sebaiknya ada yang membantu. Usahakan agar berjalan dengan trauma sekecil mungkin. Umumnya induksi inhalasi dengan Halotan-O2 atau Halotan-O2/N2O.

Intubasi
Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Laringoskopi pada neonatus tidak membutuhkan bantal kepala karena occiputnya menonjol. Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya. Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid. Waktu intubasi perlu pembantu guna memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi premature. Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan dapat ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa pelumpuh otot. Pelumpuh otot yang digunakan adalah suksinil cholin 2 mg/kg secara iv atau im.
Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. idealnya menggunakan pipa trachea yang paling besar yang dapat masuk tetapi masih sedikit longgar sehingga dengan tekanan inspirasi 20-25 cmH2O masih sedikit bocor. (Adipradja K, 1998)

Pemeliharaan Anestesi
Dianjurkan dengan intubasi dan pernafasan kendali. Pada umunya menggunakan gas anestesi N2O/O2 dengan kombinasi halotan, enfluran, isofluran ataupun sevofluran. Pelumpuh otot golongan non depol sangat sensitive sehingga harus diencerkan dan pemberiannya secara sedikit demi sedikit.

Pemantauan
1.Pernafasan
Stetoskop prekordial
Pada nafas spontan, gerak daad, dan bag reservoir
Warna ekstremitas
2.Sirkulasi
Stetoskop perikordial
Perabaan nadi
EKG dan CVP
3.Suhu
Rektal
4.Perdarahan
isi dalam botol suction
Beda berat kassa sebelum dan sesudah kena darah
Periksa Hb dan Ht secara serial
5.Air Kemih
Isi dalam kantong air kemih





PENGAKHIRAN ANESTESIA
Pembersihan lender dalam rongga hidung dan mulut dilakukan secara hati-hati. Pemberian O2 100% selama 5-15 menit setelah agent dihentikan. Bila masih ada pengaruh obat pelumpuh obat non-depol, dapat dilakukan penetralan dengan neostigmin (0,04 mg/kg) bersama atropin (0,02 mg/kg). kemudian dilakukan ekstubasi.


KESIMPULAN

Anestesi pada neonatus merupakan hal yang lain dari biasanya. Karena mereka bukanlah merupakan miniatur orang dewasa sehingga dalam melakukan tindakan anestesi diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus dan teliti dalam manajemennya.
Perhatian khusus sangat diperlukan mengingat perbedaan anatomi, fisiologi dan farmakologi pada neonatus. Jadi sebelum dilakukan tindakan anestesi haruslah dipertimbangkan faktor sistem pernafasan, sirkulasi, ginjal, dan heparnya.












DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latief, 1993. Penatalaksanaan Anestesi pada Bedah Akut Bayi Baru Lahir. Ha: Buku Kursus Penyegar dan Penambah Anestesi. Jakarta

Adipradja.K. 1998. Penatalaksanaan Anestesi pada Bedah Darurat Anak. Makalah Simposium Anestesi Pediatri, Bandung.

Cote, CJ. 2000. Pediatric Anaesthesia. 5th edition, Churchil Livingstone. Philadelphia.

Muhiman, Muhardi. Dkk. 1989. Anestesiologi. FKUI. Jakarta.

Warih BP, Abubakar M. 1992. Fisiologi pada Neonatus. dalam : Kumpulan makalah Konas III IDSAI. Surabaya.