Kamis, 25 Oktober 2007

SINDROMA GUILLAIN BARRE

Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.


Sindroma Guillain Barre mempunyai banyak sinonim, antara lain : polineuritis akut pasca infeksi, polineuritis akut toksik, polineuritis febril, poliradikulopati dan acute ascending paralysis.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang.
Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan medula oblongata.
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.

INSIDENS
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Penyakit ini menyerang semua umur, tersering dikenai umur dewasa muda. Insidensi lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1, dan lebih banyak terjadi pada usia muda (umur 4-10 tahun). Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu.
ETIOLOGI
Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagian penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process.
Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran nafas bagian atas atau saluran pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya.

PATOGENESIS
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer.
Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.
Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut.

GAMBARAN KLINIS
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya (2). Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa (1,4).

Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.

Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.

Gejala Klinis
1.Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2.Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral (3). Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik (1,4).
3.Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus (4).
4.Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 (4). Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai (1,4). Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5.Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita (1,4).
6.Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang (4).
7.Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu (3,4).
Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu (3).
Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan.
Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita SGB (3).

1.Variasi klinis
Di samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :
Sindroma Miller-Fisher
Defisit sensoris kranialis
Pandisautonomia murni
Chronic acquired demyyelinative neuropathy.
2.Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu (2,4,11). Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
3.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah (11) :
Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
Distal motor retensi memanjang
Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna (12).

DIAGNOSIS
Diagnosis SGB berdasarkan gambaran klinis yang spesifik, disosiasi sito-albuminik dan kelainan elektrofisiologis. Kriteria diagnosis yang luas dipakai adalah kriteria diagnosis dari NINCDS tahun 1981 (11).

Tabel 1. Garis besar kriteria diagnosis SGB
Gambaran yang diperlukan untuk diagnosis
Kelemahan motorik yang progresis
Arefleksi atau hipofleksia
Gambaran yang mendukung diagnosis
Gambaran klinis
Progresif cepat
Relatif simetris
Keluhan gejala sensoris yang ringan
Dikenainya saraf otak
Penyembuhan dimulai setelah 4 minggu fase progresif berakhir
Gangguan otonom
Afebril pada saat onset
Gambaran cairan otak
Peninggian kadar protein setelah satu minggu onset
Jumlah sel mononuklear cairan otak < 10 sel/mm3
Gambaran EMG
Terdapat perlambatan atau blok hantaran saraf

Gambaran yang meragukan diagnosis
Kelumpuhan asimetris yang menetap
Gangguan kandung kemih dan defikasi yang menetap
Gangguan kandung kemih dan defikasi pada onset
Jumlah sel mononuklear dalam cairan otak > 50 sel mm3
Terdapat leukosit PMN dalam cairan otak
Gangguan sensibilitas berbatas tegas
Gambaran yang menyingkirkan diagnosis
Terdapat sangkaan adanya riwayat, gambaran klinis atau laboratorium dari :
Pemakaian uap n-heksan
Porfiria intermitten akut
Infeksi difteri
Neuropati karena keracunan timah hitam
Poliomielitis, botulisme, histeri atau neuropati toksik

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari SGB adalah polimielitis, botulisme, hysterical paralysis, neuropati toksik (misalnya karena nitrofurantoin, dapsone, organofosfat), diphtheric paralysis, porfiria intermitten akut, neuropati karena timbal, mielitis akut (2,4,11).

PROGNOSIS
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara 2-10 % (1,3,6), dengan penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru.
Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki (2,3). Kira-kira 3-5 % penderita mengalami relaps (2).


TERAPI
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan memperbaiki prognosisnya.
1.Perawatan umum dan fisioterapi (1,4,13)
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada perawatan kulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
Respirasi diawasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan pernafasan buatan. Jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama maka trakheotomi harus dikerjakan.
Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif.
Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom harus dicari dengan pengawasan teratur dari irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.

2.Pertukaran plasma
Pertukaran plasma (plasma exchange) bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange.

3.Kortikosteroid
Walaupun telah melewati empat dekade pemakaian kortikosteroid pada SGB masih diragukan manfaatnya. Namun demikian ada yang berpendapat bahwa pemakaian kortikosteroid pada fase dini penyakit mungkin bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA


1.Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173-179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.

2.Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

3.Mardjono M, 1989, Patofisiologi Susunan Neuromuskular, dalam : Neurologi Klinis Dasar, edisi V : hal 41-43, PT Dian Rakyat, Jakarta.

4.Sidharta, P, 1992, Lesu-Letih-Lemah, dalam : Neurologi Klinis dalam praktek Umum : ha; 160-162, PT Dian Rakyat, Jakarta.

5.Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.


4 komentar: