Stress digambarkan sebagai suatu perasaan tegang secara emosional dan fisik. Stress adalah bagian dari kehidupan. Tidak ada kehidupan yang sama sekali terbebas dari stress, bahkan stress yang berlangsung lama dapat menyebabkan kematian. Manifestasi stress tidak sama pada semua orang, tergantung pada berbagai faktor sebagai potensi stress, maturitas kepribadian, tingkat pendidikan, kondisi fisik, tipe kepribadian sosial budaya dan lingkungan individu yang bersangkutan.
Salah satu dampak bencana yang memerlukan perhatian jangka panjang adalah post traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stress pascatrauma karena gangguan ini menunjukan angka yang cukup tinggi. Prevalensi stress pascatrauma sebanyak 30-70% dilaporkan dalam hasil studi investigasi pada bencana, kekerasan, dalam komunitas, dan populasi pengungsi dewan paska perang. PTSD dapat dialami oleh semua kelompok umur termasuk anak-anak. Adapun prevalensinya lebih sering terjadi pada wanita daripada pada pria.
Gangguan Stress Pascatraumatik adalah sebuah sindrom yang berkembang setelah seseorang melihat, terlibat/mengalami atau mendengar suatu stressor traumatik yang sangat hebat. Orang tersebut akan bereaksi terhadap pengalaman ini, bisa berupa ketakutan dan perasaan tidak berdaya, yang secara persisten dihindarinya dan mencoba menghindar dari mengingat kejadian tersebut.
Gangguan Stress Pascatraumatik, harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang akan traumatik bagi hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk trauma bencana alam, peperangan, penyerangan, pemerkosaan dan kecelakaan serius (sebagai contoh, kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stress emosional/trauma psikologik yang besar yang berada di luar batas-batas pengalaman manusia yang lazim.
Untuk membuat diagnosa Gangguan Stres Pascatrauma gejala-gejalanya harus berlangsung lebih dari 1 bulan setelah peristiwa itu terjadi dan harus secara jelas mempengaruhi bagian-bagian penting kehidupan seperti keluarga dan pekerjaan. Gejala-gejala lain berupa depresi, kecemasan, dan kesulitan kognitif seperti kemampuan konsentrasi yang rendah.
Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Contoh konkrit saat ini adalah bencana Tsunami di Aceh, gempa di yogyakarta dan jawa tengah dimana banyak terdapat kasus Gangguan Stres Pasca Trauma. Gangguan Stres Pasca Trauma termasuk dalam gangguan cemas. Gangguan cemas disebabkan oleh situasi atau obyek yang sebenarnya tidak membahayakan yang mengakibatkan situasi atau obyek tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam. Perasaan tersebut tidak berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain menganggap tidak berbahaya atau mengancam.
A. Definisi
Gangguan stress pascatrauma (PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.
B.Epidemiologi
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress pascatrauma sebesar 8% sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang pernah mengalami trauma sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi (10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada kelompok usia dewasa muda. Selain itu, wanita memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan yang lebih berat.
Beberapa faktor yang dapat berperan dalam timbulnya depresi, antara lain: (1) jenis kelamin, (2) dukungan keluarga yang kurang, dan (3) penggunaan alkohol dan zat addiktif lainnya. Seseorang yang memiliki faktor-faktor tersebut lebih berisiko untuk mengalami gangguan stress pascatrauma dengan gejala utamanya berupa depresi.
Gangguan stress pascatrauma memiliki komorbiditas tinggi dengan gangguan psikiatri lainnya. Dua pertiga kasus menunjukkan komorbiditas dengan lebih dari dua gangguan psikiatri lain. Gangguan yang yang paling sering timbul bersama-sama dengan gangguan stress pascatrauma ini adalah gangguan depresif, kecemasan, gangguan yang berkaitan dengan pengguanan zat, dan gangguan bipolar. Komorbiditas ini mengakibatkan seseorang lebih rentan terhadap gangguan stress pascatrauma
C. Etiologi
Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress pasca trauma. Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stress pascatrauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu :
1.Adanya trauma masa anak-anak
2.Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial
3.Sistem pendukung yang tidak adekuat
4.Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5.Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
6.Persepsi lokus kontrol eksternal
7.Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan
Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi penghentian perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa dewasa akan terjadi regresi emosional.
Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa orang yang terkena stress pascatraumatik tidak mampu memproses atau merasionalkan trauma yang mencetuskan gangguan.
Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami kembali stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti.
Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, melalui pembiasaan klasik dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengambangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan.
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.
Faktor Biologis
Teori biologis tentang gangguan stress pascatraumatik telah dikembangkan dari penelitian pra klinik dari model stress pada binatang dan dari pengukuran variabel biologis dari populasi klinis dengan gangguan stress pascatraumatik. Banyak sistem neurotransmitter telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamine, opiat endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus, hipofisis adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa system noradrenergik dan opiat endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal, adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress pascatrauamtik.
Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal (sebagai contohnya, fragmentasi tidur dan peningkatan latensi tidur).
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stress pascatraumatik adalah depresi, kecemasan dan gangguan kognitif. Di dalam DSM-IV, lama gejala minimal untuk gangguan stress pasca traumatik adalah 1 bulan.
DSM-IV memperkenalkan diagnostik baru, gangguan stress akut, bagi pasien dengan gejala yang terjadi dalam 4 minggu peristiwa traumatik dan pada mereka yang gejalanya berlangsung selama 2 hari sampai 4 minggu.
A.Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis utama pada gangguan stress pascatrauma adalah kembalinya pengalaman menyakitkan yang terus menerus dalam pikiran korban, pola penghindaran terutama terhadap hal-hal yang mengingatkan korban pada pengalaman traumatisnya, dan tumpulnya emosi. Keadaan-keadaan di atas mungkin segera setelah trauma, namun gejala lengkapnya baru timbul setelah beberapa waktu. Perasaan bersalah, penghindaran, dan rasa dipermalukan kadang-kadang dapat ditemukan dalam anamnesis psikiatri. Adanya penghindaran dan tumpulnya emosi merupakan hal yang penting dalam diagnosis menurut DSM-IV.
Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan, ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi dan berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin terdapat gejala yang lain.
B.Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik ditulis untuk memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R. Pertama DSM-IV-R menggambarkan stressor diluar rentang pengalaman manusia pada umumnya. Karena kriteria adalah tidak jelas dan tidak dapat dipercaya, DSM-IV memperjelas artinya (Kriteria A).
Dalam DSM-IV, criteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R, bahwa pasien secara menetap mengalami kembali peristiwa traumatik. Kriteria C dan D pada DSM IV tetap sama dengan DSM-III-R, mereka menyebutkan penghindaran persisten terhadap situasi tertentu dan peningkatan kesadaran pada pasien. DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman, menghindar dan kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari 1 bulan.
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik
1.Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat :
a.Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri atau orang lain.
b.Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
2.Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut :
a.Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk angan pikiran atau persepsi.
b.Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
c.Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.
d.Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
e.Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
3.Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini :
1.Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.
2.Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma
3.Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
4.Perasaan terlepas atau asing dari orang lain
5.Rentang afek yang terbatas
6.Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
4.Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut :
1.Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
2.Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3.Sulit berkonsentrasi
4.Kewaspadaan berlebihan
5.Respon kejut yang berlebihan
5.Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
6.Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Sebutkan jika :
Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan
Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih
Sebutkan jika :
Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stress Akut
1.Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini ditemukan :
a.Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri atau orang lain.
b.Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
2.Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1.perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi
2.penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan tidak sadar)
3.derelisasi
4.depersonalisasi
5.amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma)
3.Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut: bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat kejadian traumatic
4.Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
5.Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik).
6.Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatic.
7.Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatic
8.Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.
Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik.
Sebagian karena publikasi yang luas dan telah diterima, istilah gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.
F. Perjalanan Penyakit dan Prognosa
Gangguan stress pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode stress. Kira-kira 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau menjadi buruk.
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi premorbide yang baik, dukungan sosial yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan.
G. Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.
Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik sampai efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus mempertimbangkan gangguan stress pasca traumatic pada pasien yang menderita gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, gangguan stress pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat.
Kemungkinan, anak kecil masih belum memiliki mekanisme untuk mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu mengadakan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma, terutama terjadi penurunan darah, penurunan penglihatan, palpitasi dan aritmia.
Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stress pascatraumatik.
Pada umumnya, pasien yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres Pascatrauma
Terdapat tiga pendekatan terapeutik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan kecemasan yaitu :
1.Manajemen krisis
2.Psikoterapi
3.Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :
1.Peredaan gejala
2.pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek
3.Suportif (dukungan)
Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan pengalaman ulang trauma.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah terapi perilaku, terapi kognitif dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan seringkali merugikan kepatuhan. Ahli terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatic, mendorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber stress. Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika dilakukan. Dukungan dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatic dan merencanakan pemulihan di masa depan.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatic melalui teknik pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap. Seperti pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua adalah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi stress. Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan stress adalah efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih lama.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga telah dilaporkan efektif pada kasus gangguan stress pascatraumatik. Keuntungan terapi kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga seringkali membantu mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejl ayagn mengalami eksaserbasi. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.
Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal daripada penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari yang selamat. Fluvoxamine tampaknya lebih efektif.
Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis sampai 400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan.
Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepin dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dpat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
4. Obat-obat lainnya
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas noradrenergik, telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka.
Selain itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfa-agonis Guanfacine pada wanita muda.
Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk kasus gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis 60 mg/hari atau lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal. Sebagai tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan berguna untuk melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma.
Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan stress pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled studies dengan opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma. Ada beberapa laporan mengenai kegunaan Thymoleptics-lithium Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress pascatrauma.
DAFTAR PUSTAKA
1.Andreasen. N.C and Black. D.W, 2001, “Introductory Textbook of Psychiatry. 3rd ed, British Libarry, USA: 335-342.
2.Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM IV Edition, American Psychiatric Press, Washington, 1994
3.Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian Ariesta,Jakarta, 2003
4.Kaplan, Sadock : Synopsis of Psychiatry, 7th Edition, William & Wilkins, Baltimore, 1993
5.Soewadi : Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1990
Salah satu dampak bencana yang memerlukan perhatian jangka panjang adalah post traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stress pascatrauma karena gangguan ini menunjukan angka yang cukup tinggi. Prevalensi stress pascatrauma sebanyak 30-70% dilaporkan dalam hasil studi investigasi pada bencana, kekerasan, dalam komunitas, dan populasi pengungsi dewan paska perang. PTSD dapat dialami oleh semua kelompok umur termasuk anak-anak. Adapun prevalensinya lebih sering terjadi pada wanita daripada pada pria.
Gangguan Stress Pascatraumatik adalah sebuah sindrom yang berkembang setelah seseorang melihat, terlibat/mengalami atau mendengar suatu stressor traumatik yang sangat hebat. Orang tersebut akan bereaksi terhadap pengalaman ini, bisa berupa ketakutan dan perasaan tidak berdaya, yang secara persisten dihindarinya dan mencoba menghindar dari mengingat kejadian tersebut.
Gangguan Stress Pascatraumatik, harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang akan traumatik bagi hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk trauma bencana alam, peperangan, penyerangan, pemerkosaan dan kecelakaan serius (sebagai contoh, kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stress emosional/trauma psikologik yang besar yang berada di luar batas-batas pengalaman manusia yang lazim.
Untuk membuat diagnosa Gangguan Stres Pascatrauma gejala-gejalanya harus berlangsung lebih dari 1 bulan setelah peristiwa itu terjadi dan harus secara jelas mempengaruhi bagian-bagian penting kehidupan seperti keluarga dan pekerjaan. Gejala-gejala lain berupa depresi, kecemasan, dan kesulitan kognitif seperti kemampuan konsentrasi yang rendah.
Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Contoh konkrit saat ini adalah bencana Tsunami di Aceh, gempa di yogyakarta dan jawa tengah dimana banyak terdapat kasus Gangguan Stres Pasca Trauma. Gangguan Stres Pasca Trauma termasuk dalam gangguan cemas. Gangguan cemas disebabkan oleh situasi atau obyek yang sebenarnya tidak membahayakan yang mengakibatkan situasi atau obyek tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam. Perasaan tersebut tidak berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain menganggap tidak berbahaya atau mengancam.
A. Definisi
Gangguan stress pascatrauma (PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.
B.Epidemiologi
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress pascatrauma sebesar 8% sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang pernah mengalami trauma sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi (10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada kelompok usia dewasa muda. Selain itu, wanita memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan yang lebih berat.
Beberapa faktor yang dapat berperan dalam timbulnya depresi, antara lain: (1) jenis kelamin, (2) dukungan keluarga yang kurang, dan (3) penggunaan alkohol dan zat addiktif lainnya. Seseorang yang memiliki faktor-faktor tersebut lebih berisiko untuk mengalami gangguan stress pascatrauma dengan gejala utamanya berupa depresi.
Gangguan stress pascatrauma memiliki komorbiditas tinggi dengan gangguan psikiatri lainnya. Dua pertiga kasus menunjukkan komorbiditas dengan lebih dari dua gangguan psikiatri lain. Gangguan yang yang paling sering timbul bersama-sama dengan gangguan stress pascatrauma ini adalah gangguan depresif, kecemasan, gangguan yang berkaitan dengan pengguanan zat, dan gangguan bipolar. Komorbiditas ini mengakibatkan seseorang lebih rentan terhadap gangguan stress pascatrauma
C. Etiologi
Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress pasca trauma. Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stress pascatrauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu :
1.Adanya trauma masa anak-anak
2.Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial
3.Sistem pendukung yang tidak adekuat
4.Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5.Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
6.Persepsi lokus kontrol eksternal
7.Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan
Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi penghentian perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa dewasa akan terjadi regresi emosional.
Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa orang yang terkena stress pascatraumatik tidak mampu memproses atau merasionalkan trauma yang mencetuskan gangguan.
Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami kembali stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti.
Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, melalui pembiasaan klasik dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengambangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan.
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.
Faktor Biologis
Teori biologis tentang gangguan stress pascatraumatik telah dikembangkan dari penelitian pra klinik dari model stress pada binatang dan dari pengukuran variabel biologis dari populasi klinis dengan gangguan stress pascatraumatik. Banyak sistem neurotransmitter telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamine, opiat endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus, hipofisis adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa system noradrenergik dan opiat endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal, adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress pascatrauamtik.
Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal (sebagai contohnya, fragmentasi tidur dan peningkatan latensi tidur).
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stress pascatraumatik adalah depresi, kecemasan dan gangguan kognitif. Di dalam DSM-IV, lama gejala minimal untuk gangguan stress pasca traumatik adalah 1 bulan.
DSM-IV memperkenalkan diagnostik baru, gangguan stress akut, bagi pasien dengan gejala yang terjadi dalam 4 minggu peristiwa traumatik dan pada mereka yang gejalanya berlangsung selama 2 hari sampai 4 minggu.
A.Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis utama pada gangguan stress pascatrauma adalah kembalinya pengalaman menyakitkan yang terus menerus dalam pikiran korban, pola penghindaran terutama terhadap hal-hal yang mengingatkan korban pada pengalaman traumatisnya, dan tumpulnya emosi. Keadaan-keadaan di atas mungkin segera setelah trauma, namun gejala lengkapnya baru timbul setelah beberapa waktu. Perasaan bersalah, penghindaran, dan rasa dipermalukan kadang-kadang dapat ditemukan dalam anamnesis psikiatri. Adanya penghindaran dan tumpulnya emosi merupakan hal yang penting dalam diagnosis menurut DSM-IV.
Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan, ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi dan berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin terdapat gejala yang lain.
B.Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik ditulis untuk memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R. Pertama DSM-IV-R menggambarkan stressor diluar rentang pengalaman manusia pada umumnya. Karena kriteria adalah tidak jelas dan tidak dapat dipercaya, DSM-IV memperjelas artinya (Kriteria A).
Dalam DSM-IV, criteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R, bahwa pasien secara menetap mengalami kembali peristiwa traumatik. Kriteria C dan D pada DSM IV tetap sama dengan DSM-III-R, mereka menyebutkan penghindaran persisten terhadap situasi tertentu dan peningkatan kesadaran pada pasien. DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman, menghindar dan kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari 1 bulan.
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik
1.Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat :
a.Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri atau orang lain.
b.Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
2.Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut :
a.Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk angan pikiran atau persepsi.
b.Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
c.Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.
d.Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
e.Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
3.Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini :
1.Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.
2.Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma
3.Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
4.Perasaan terlepas atau asing dari orang lain
5.Rentang afek yang terbatas
6.Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
4.Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut :
1.Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
2.Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3.Sulit berkonsentrasi
4.Kewaspadaan berlebihan
5.Respon kejut yang berlebihan
5.Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
6.Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Sebutkan jika :
Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan
Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih
Sebutkan jika :
Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stress Akut
1.Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini ditemukan :
a.Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri atau orang lain.
b.Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
2.Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1.perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi
2.penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan tidak sadar)
3.derelisasi
4.depersonalisasi
5.amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma)
3.Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut: bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat kejadian traumatic
4.Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
5.Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik).
6.Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatic.
7.Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatic
8.Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.
Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik.
Sebagian karena publikasi yang luas dan telah diterima, istilah gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.
F. Perjalanan Penyakit dan Prognosa
Gangguan stress pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode stress. Kira-kira 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau menjadi buruk.
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi premorbide yang baik, dukungan sosial yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan.
G. Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.
Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik sampai efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus mempertimbangkan gangguan stress pasca traumatic pada pasien yang menderita gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, gangguan stress pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat.
Kemungkinan, anak kecil masih belum memiliki mekanisme untuk mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu mengadakan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma, terutama terjadi penurunan darah, penurunan penglihatan, palpitasi dan aritmia.
Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stress pascatraumatik.
Pada umumnya, pasien yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres Pascatrauma
Terdapat tiga pendekatan terapeutik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan kecemasan yaitu :
1.Manajemen krisis
2.Psikoterapi
3.Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :
1.Peredaan gejala
2.pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek
3.Suportif (dukungan)
Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan pengalaman ulang trauma.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah terapi perilaku, terapi kognitif dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan seringkali merugikan kepatuhan. Ahli terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatic, mendorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber stress. Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika dilakukan. Dukungan dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatic dan merencanakan pemulihan di masa depan.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatic melalui teknik pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap. Seperti pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua adalah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi stress. Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan stress adalah efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih lama.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga telah dilaporkan efektif pada kasus gangguan stress pascatraumatik. Keuntungan terapi kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga seringkali membantu mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejl ayagn mengalami eksaserbasi. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.
Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal daripada penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari yang selamat. Fluvoxamine tampaknya lebih efektif.
Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis sampai 400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan.
Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepin dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dpat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
4. Obat-obat lainnya
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas noradrenergik, telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka.
Selain itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfa-agonis Guanfacine pada wanita muda.
Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk kasus gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis 60 mg/hari atau lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal. Sebagai tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan berguna untuk melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma.
Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan stress pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled studies dengan opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma. Ada beberapa laporan mengenai kegunaan Thymoleptics-lithium Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress pascatrauma.
DAFTAR PUSTAKA
1.Andreasen. N.C and Black. D.W, 2001, “Introductory Textbook of Psychiatry. 3rd ed, British Libarry, USA: 335-342.
2.Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM IV Edition, American Psychiatric Press, Washington, 1994
3.Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian Ariesta,Jakarta, 2003
4.Kaplan, Sadock : Synopsis of Psychiatry, 7th Edition, William & Wilkins, Baltimore, 1993
5.Soewadi : Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1990