This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 01 Maret 2009

AMPUTASI DAN PROSTETIK

 

Amputasi biasanya dilakukan guna mengambil / mengangkat penyakit, bagian yang tidak berfungsi / mati atau rusak, walaupun ilmu kedokteran telah maju baik pada bidang antibiotik, bedah perifer dan mikrovaskuler serta pengobatan neoplasma dapat menyelamatkan anggota badan, tapi jika hal tersebut diperpanjang maka akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Untuk penentuan dilakukan amputasi atau tidak, seorang ahli bedah harus memahami bagaimana proses operasi dan rehabilitasinya, apakah prognosisnya cukup realistis sehingga dapat berfungsi maksimal.

Keputusan untuk mengamputasi melewati suatu proses emosional yang sering bersama dengan suatu kegagalan perilaku atau gangguan perilaku yang ada hubungan dengan nilai pendekatan yang dianut adalah pendekatan yang positif dan rekonstruktif yang tidak berlebihan. Guna mencapai fungsi yang maksimal, amputasi kedepan memerlukan pemahaman yang jelas tentang operasi amputasi itu sendiri, dalam penggunaan prostetik post operatif, rehabilitasi amputasi dan jenis prostetiknya, untuk itu dibutuhkan suatu team yang dapat melakukan pendekatan, termasuk menerima masukan dari perawat, ahli prostetik, kelompok pendorong para amputama, yang dapat memberi dorongan dan pengertian sehingga para amputama dapat hidup layak.

Pertimbangan Pada Anak

Amputasi pada anak biasanya dilakukan akibat tumor dan gangguan kongenitas anggota badan. Umumnya menggunakan klasifikasi Franz dan O’Rakilly yang direvisi oleh Bentch. Yaitu : Amelia adalah suatu teknik menghilangkan seluruh angggota badan bawah. Hemimelia menghilangkan sebagian besar anggota bagian bawah sedangkan phocomelia menghilangkan angggota bagian akhir / bagian dekat dengan anggota badan bawah. Preaksial menunjukkan sisi radial atau tibial pada anggota badan. Post aksial menunjukkan sisi ulna atau fibular. Amputasi jarang dilakukan pada gangguan kongenital anggota badan atas.Bahkan anggota rudimeter biasanya masih berguna / dapat difungsikan. Pada anggota bawah pembedahan dilakukan pada defisiensi lokal femur proksimal dan tidak terdapat secara kongenital pada fibula atau tibia mengakibatkan sisa anggota yang berfungsi dan mempengaruhi pemasangan prostetik. Pada pertumbuhan anak, terdapat 2 pertimbangan utama dalam perubahan yang preporsional pada sisa anggota badan dan pertumbuhan yang berlesikan di bagian terminal. Amputasi diaphisis mengangkat pusat pertumbuhan epiphisis dan tulang menjadi tidak tumbuh. Apakah hal ini merupakan suatu tanda awal pada amputasi di atas lutut yang panjang pada anak kecil dapat menyebabkan anggota badan tersebut menjadi pendek dan sulit dipasang prostetik. Semua usaha harus dilakukan untuk menjaga epipisis distal dengan diartikulasi atau jika hal ini tidak mungkin, usahakan sisakan sepanjang mungkin.

Pertumbuhan bagian terminal yang berlebihan terjadi serat bagian lain dari tulang anak yang dilakukan amputasi diaphisis tumbuh disekitar jaringan lunak : jika tidak diobati dapat menembus kulit. Pertumbuhan bagian terminal yang berlebihan biasanya terjadi di tulang humerus, tibia, fibula dan femur. Dilaporkan sekitar 8%-12% pada amputasi yang dilakukan pada anak-anak. Sejumlah prosedur pembedahan telah diterangkan untuk mengatasi masalah ini. Tapi metode terbaik adalah seperti yang diterangkan oleh Manguardi yaitu dengan eksisi adekuat atau ostogenus osteokondral. Walaupun tehnik autologos telah diterangkan / dilakukan tapi komplikasinya masih tetap muncul.

Pemasangan prostetik ketika anak sedang tumbuh merupakan suatu tantangan. Menurut ahli amputasi, anak mampu mengatasi masalah ini, dengan dukungan keluarga, maka pembiayaan perawatan menjadi cukup efisien. Pemasangan prostetik harus diawali dengan latihan ketrampilan motorik seperti pada orang normal. Pada anggota badan atas, diawali dengan keseimbangan ketika sedang duduk, biasanya pada usia 4-6 bulan. Awalnya dibantu alat dengan sisi yang melingkar kawat kontrol aktif untuk membuka ditambahkan ketika anak tertarik terhadap obyek alat tersebut. Biasanya pada tahun ke-2 dan ke-3 alat mioelektrik biasanya tidak digunakan hingga anak dapat menggunakan sendiri alat tersebut dengan tenaganya. Dikarenakan adanya kebutuhan fisik untuk memindahkan prostetiktersebut, pada anak-anak dapat berlebihan dalam penggunaan alat mioelektrik baik biaya, perawatan dan perbaikannya harus dipertimbangkan.

Pemasangan prostetik pada ekstremitas bawah yang diamputasi biasanya dari gerak yang pelan, menarik hingga berdiri pada usia 8-12 bulan. Pada amputasi diatas lutut, kontrol lutut tak usahkan diharapkan segera. Unit pengunci lutut harus digunakan hingga anak dapat berjalan dan menunjukkan untuk lebih efisiensi dalam penggunaan prostetik. Pada langkah awal belum dapat berjalan secara jalan normal, dimana pola jalan tumit tak dapat diharapkan. Latihan berjalan formal jarang di tuntut hingga anak berusia 5 atau 6 tahun. Usaha agar tenaga berjalan segera muncul dengan sendirinya anak akan menyesuaikan pola berjalan yang efisien sesuai dengan perkembangan motoriknya.

Penilaian Preoperatif dan Pengambilan Keputusan

Keputusan untuk mengamputasi anggota badan, merupakan suatu keputusan yang amat sulit. Lain halnya pengambilan keputusan dalam keuntungan pada pengobatan injeksi, penyakit vaskular perifer dan replantasi yang berfungsi untuk mempertahanan anggota badandan mencegah kematian.

Penyakit Vaskuler dan Diabetes

Iskemia pada penyakit vaskuler perifer menjadi makin sering sebagai alasan amputasi dalam masyarakat. Kurang lebih ½ dari pasien-pasien ini juga menderita diabetes. Penilaian pre op pada pasien ini terdiri atas; pemeriksaan fisik dan penilaian perfusi, nutrisi dan imunokompetensi skrening pre op dapat membantu prediksi penyembuhan yang sukses, tapi tak ada uji tunggal yang 100% akurat, dan semua test / uji memiliki angka flase negatif. USG dopler merupakan alat yang mudah tersedia untuk mengukur aliran darah di ekstremitas tapi kalsifikasi dinding arteri meningkatkan tekanan akibat pembuluh darah yang terkena. Tekanan yang rendah menunjukkan perfusi yang jelek. Walaupun nilai normal dan tinggi dapat terjadi akibat kalsifikasi dinding pembuluh darah dan menunjukkan perfusi yang normal pada luka yang sembuh. Tekanan darah di tumit nampaknya lebih menunjukkan prediksi kesembuhan dibanding di engkel. Kadang PO2 dan CO2 transkutaneus non invasif lebih mudah dikerjakan dibanyak laboratorium vaskuler. Kedua zat itu menunjukkan secara statistik akurat dalam memprediksi penyembuhan luka amputasi, tapi false negatif masih nampak pengaruh. Xenon 133 merupakan pembersih kulit yang digunakan secara sukses untuk memprediksi penyembuhan amputasi, tapi preparat salep / solutio Xenon 133 tergantung teknik penilaian, butuh waktu lama dan biaya mahal . Setelah dihubungkan dengan percobaan-percobaan prospektif, seorang penulis yang antusias tidak yakin bahwa Xenon 133 memiliki nilai prediksi, dan percaya bahwa TcPO2 dan TcPCO2 lebih prediktif.

Nutrisi dan imunokompetensi menunjukkan hubungan langsung dengan penyembuhan luka amputasi. Sehingga banyak test laboratorium bersedia untuk menilai nutrisi dan imunocompetensi , walaupun mahal. Albumin serum dan jumlah limfosit total merupakan parameter yang murah. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kesembuhan amputasi pada penderita dengan gangguan sirkulasi tapi albuminnya > 3,0/3,5 g/dl dan jumlah total limfosit > 1.500 cell/mm3. Secrening gizi preoperatif direkomendasikan untuk diperbaiki sebelum operasi. Jika perbaikan gizi tak memungkinkan, amputasi pada tingkat yang lebih tinggi dipertimbangkan.

Tingkat aktivitas pasien potensi rawat jalan, ketrampilan kognin dan semua kondisi medis lainnya harus dinilai untuk menentukan apakah amputasi pada tingkat yang lebih rendah dimungkinkan pada pasien rawat jalan, tujuannya adalah untuk mencapai kesembuhan pada tingkat amputasi yang lebih rendah dapat menguntungkan pada pemasangan prostetik dan rehabilitasi dapat berjalan sukses. Penelitian terbaru pada pasien dengan gangguan sirkulasi dan diabetes 70-80% sembuh dengan amputasi di bawah lutut atau lebih rendah lagi. Hal ini berbeda sekali dengan 25 tahun yang lalu ketika 80% amputasi sukses dilakukan di bawah lutut. Pada penderita non rawat jalan tujuannya untuk mencapai kesembuhan luka, meminimalisasi komplikasi dan memperbaiki keseimbangan dalam duduk, perpindahan dan perawatan. Sebagai contoh posisi tidur pasien dengan kontraktif fleksi lutut lebih baik dilakukan disartikulasi lutut. Penilaian pre op. pada pasien yang potensial untuk dipasang prostetik dapat membantu pemilihan tingkat amputasi secara bijak dan rehabilitasi post operasinya.

TRAUMA

Indikasi mutlak muncul dilakukan amputasi yaitu pada trauma yang mengakibatkan iskemi pada ekstremitas tanpa bisa memperbaiki kerusakan vaskulernya, kemudian dipertahankan tapi akhirnya diamputasi dengan prosedur pembedahan yang rumit, membuang waktu, uang dan emosional. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan nilai / kesimpulan bahwa amputasi awal akan mencegah gangguan emosional, kekeluargaan, financial dan keraguan.

Panduan perawatan / penanganan pada awal setelah amputasi berbeda antara ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Pada ekstremitas atas dengan gangguan fungsi yang berat biasanya kurang terpelihara dibanding pemakaian prostetik sebagai alat bantu tangan, pada waktu awal. Walaupun disfungsi ekstremitas bawah tidak mampu menahan beban berat badan, timbul nyeri, deformitas atau akibat kehilangan tensor sering berkurang di banding dengan kaki prostetik, khususnya jika amputasi di bawah lutut, syme’s atau sebagian kaki.

Akhir-akhir ini grade pada ekstremitas bawah sudah ada, dengan sistem skoring. Prediktor tidak dapat secara mutlak menilai fungsi atau outcome, tapi harus melayani dengan membantu ahli bedah untuk menerangkan titik berat luka dan risikonya jika dipertahankan.

TUMOR

Pasien yang menderita neoplasma muskuloskeletal keputusan awalnya adalah untuk mempertahankan ekstremitas dan diberi khemoterapi adjuvan dan radioterapi. Energi yang dikeluarkan setelah operasi dapat ditentukan perbandingaan kecepatan berjalan, konsumsi oksigen setiap berjalan 1 m, presentase kapasitas aerobik maksimal yang digunakan selama berjalan menunjukkan bahwa pasien dengan reseksi blok dan lutut pengeluaran energinya lebih rendah selama berjalan dibanding amputasi di bawah lutut, reseksi anthrodesis atau pemisahan, tumor-tumor maligna yang berada pada lutut, menunjukkan tidak ada perbedaan dengan perbedaan kecepatan berjalan atau konsumsi oksigennya. Analisis outcome fungsional mengungkapkan bahwa pasien dengan amputasi tidak khawatir terhadap kerusakan yang terjadi pada ekstremitasnya tapi penderita ini kesulitan untuk melangkah pada tempat yang rata atau licin. Pasien dengan anthrodesis lebih memiliki ekstremitas yang stabil dan nampaknya tergantung kerja fisik dan aktivitasnya dan sulit untuk duduk. Pasien-pasien dengan anthroplasti hidupnya menetap dan lututnya perlu dilindungi tapi mereka lebih mengerti perawatan anggota badannya.

Pada pasien-pasien tumor, tingkat amputasinya harus diputuskan dengan hati-hati guna mencapai operasi yang tepat. Jika operasi incisi mengenai lesi, dan jika operasi incisi mengiris daerah peradangan tapi bukan lesi disebut marginal. Jika operasi mengincisi beberapa bagian, tapi tepinya merupakan daerah peradangan, maka tepinya luas. Dan jika incisi operasi di luar daerah yang terpengaruh lesi disebut radikal, hal ini memungkinkan outcomenya jelek atau menjadi rencana amputasi yang jelek.

TEKNIK OPERASI DAN DEFINISI

Teknik operasi amputasi berbeda dibanding prosedur operasi lainnya khususnya penanganan jaringan lunak dapat teratasi dalam hal penyembuhan luka dan outcome fungsional. Akibat trauma jaringan sirkulasinya sering terganggu dan resiko kegagalan cukup tingggi terhadap penyembuhan tanpa memperhatian teknik penanganan jaringan. Flap harus dijaga tetap tebal, dicegah agar terpisah dengan kulit, sub cutan, fasial dan otot. Pada orang dewasa, periosteum harus dibuang di bagian distal dari tingkat reseksinya. Pada anak-anak pengambilan periosteum sejauh 0,5 cm dari distal dapat membantu mencegah pertumbuhan terminal berlebihan dan seluruh tepi tulang dalam keadaan lunak.

Bagian otot yang berfungsi sebagai contraktif yang menempel pada tulang dihilangkan ketika operasi. Insersi otot bagian distal dapat diperbaiki dengan memanfaatkan fungsi anggota badan yang tersisa untuk mencegah atrofi dengan melakukan keseimbangan dengan merubah tenaga/gaya yang dihasilkan anggota badan yang amputasi. Myodesis, hubungan langsung otot dan tendon atau otot dan tulang, sangat efektif untuk amputasi di atas lutut atau di atas siku dan pada diartikulasi lutut dan siku. Myoplasti memperbaiki hubungan otot dan periosteum atau otot dengan otot. Stabilisasi massa otot mencegah pembentukan otot yang bergerak tertarik yang dapat menimbulkan nyeri.

Semua pengembalian nervus mengakibatkan pembentukan neuroma. Pembedahan mengusahakan untuk mengurangi timbulnya neuroma termasuk pada transeksi yang bersih, ligasi, pemotongan, kauterisasi, dan penutupan perineural dan anastomosis. Tindakan yang terbukti lebih efektif selain dengan retraksi yang hati-hati dan reseksi nervus yang bersih dengan melakukan pemotongan di ujung untuk menarik ke jaringan lunak, guna menghindarkan jaringan parut dan titik penekanan prostetik. Terikatnya nervus ditandai adanya perdarahan dari pembuluh darah yang terdapat nervus cukup besar.

Graft kulit split-thickness umumnya dilakukan dengan harapan sendi lutut atau siku tulang-tulangnya stabil dan dapat ditutupi otot dengan baik. Graft kulit yang dilakukan dengan baik yang di dukung jaringan lunak yang adekuat dan paling tidak tahan lama. Prostetik harus terbuat dari silikon, dapat membantu mengurangi pengguntingan permukaan dan memperbaiki daya tahan graft kulit.

Perawatan Post Op

Amputasi ditawarkan kesempatan untuk memanipulasi lingkungan fisik dari pada luka selama penyembuhan. Balutan yang halus, pengawasan terhadap ruangan di sekitar, balutan yang lembut, dan traksi kulit merupakan metode yang dapat diterangkan. Penggunaan balutan yang halus akan mengontrol udem, mencegah trauma, menurunkan nyeri, dan membuat mobilisasi lebih awal demikian juga rehabilitasinya. Penggunaan (IPOP) prosthesis segera setelah operasi membuktikan jumlah waktu untuk maturasi ekstremitas menurun dan waktu pemasangan prostetik sebagian besar ahli bedah akan memulai penumpuan berat badan sebagian/parsial setelah terjadi perubahan pertama pada hari ke-5-10. Jika luka nampak steril. Penumpuan berat badan segera setelah Op dapat diawali dilakukan pada pasien tertentu. Balutan kaku dan IPOP harus digunakan secara hati-hati, tapi aplikasi mudah dipelajari oleh para ahli bedah ortopedi. IPOP juga mungkin dipakai pada amputasi ekstremitas atas, dan latihan prostetik awal dengan alat ini diyakini meningkatkan lama penggunaan prostetik.

Komplikasi

Sensasi nyeri phantom, dirasakan pada seluruh bagian yang diamputasi. Hal ini terjadi pada awal setelah amputasi tapi tidak selalu sama. Sensasi Pantom biasanya timbul pada bagian yang diamputasi misalnya pada kaki atau tangan yang diamputasi pada saat digerakan. Sebanyak 1% dan 10% penderita yang diamputasi mengalami nyeri phantom dikarenakan Intervensi pembedahan tidak berhasil. Pengobatan non invasif, seperti pijat, kompresi terus menerus, penggunaan prostetik atau stimulasi listrik trankutaneus kadang dapat membantu. Sering gejala-gejalanya sama berupa distrophi simpatik reflex. Distrophi simpatik reflex dapat terjadi pada ekstremitas yang diamputasi dan harus di obati dengan sungguh-sungguh. Walaupun jarang, nyeri tidak berkaitan dengan amputasi. Diagnosis banding antara lain nyeri nervusradikuler, antritis sendi di proksimal, dan nyeri iskemik. Nyeri phantom dapat dicegah atau diturunkan dengan anestesi epidural ketika operasi atau anestesi intraneural setelah op dengan cara langsung memotong nervus.

Udem.

Udem post op. umum terjadi pada amputasi. Balutan yang kaku dapat membantu mengurangi masalah ini. Apabila digunakan balutan lunak harus dikombinasikan dengan bungkus pada ujung distalnya, guna mengontrol edem, khususnya jika direncanakan akan memakai prostetik. Komplikasi utama pada bungkus ini jika digunakan bungkus yang terlalu tebal yang dapat menimbulkan kongesti, edem dan ujung amputasi bentuknya tidak bagus. Kesalahan umum lainnya adalah pada bungkus amputasi atas lutut dengan pinggang amputasi yang lunak termasuk juga pangkal paha dengan ujung amputasi bungkusnya tidak baik, ekstremitas sempit tapi dengan abduktor yang besar. Bentuk ideal dari ujung amputasi adalah siku aksis bukan konus.

Pemasangan prostetik yang jelek akan menimbulkan masalah pada ujung amputasi, sindrom udem ujung amputasi umumnya disebabkan kontriksi distal. Tanda udem, yaitu ; nyeri, darah di kulit, peningkatan pigmentasi keadaan ini biasanya merupakan respon awal pemasangan prostetik, revasi, dan kompensi. Veruka hiperplasi seperti pertumbuhan kulit yang berlebihan; disebabkan kekurangan kontak distal dan akibat kegagalan pengangkatan keratin normal. Massa tebal merupakan keratin dengan fisura dan tumbuh “oozzing” di ujung distal amputasi, dan sering terinfeksi. Infeksi harus dihilangkan, kemudian ekstremitas di sabun dan keratin yang lembut dihilangkan dengan pasta asam salisilat. Kadang hidrokortison topikal dapat membantu pada kasus yang ektrim. Prostetik yang dimodifikasi untuk memperbaiki kontak distal harus dibuat sehingga kekambuhan tidak terjadi. Sebab ujung distal yang lunak membuat modifikasi prostetik tidak nyaman, prostetik agresif dengan pendekatan terapi fisik.

Kontraktur sendi :

kontraktur sendi biasanya terjadi di waktu antara operasi dan pemasangan prostetik. Kontraktur pre op jarang diperbaiki pada post op amputasi atas lutut, dengan deformasi gaya fleksi dan abduksi. Stabilisasi abduktor dan hematuring dapat melawan gaya deforming. Ketika post op pasien harus dicegah kaki diletakkan di atas bantal dan dilakukan gerakan aktif dan gerak pasif sejak awal termasuk posisi telungkup guna menarik pinggul, pada amputasi bawah lutut kontraktur fleksi lutut lebih dari 15° dapat menyebabkan kesulitan dalam pemasangan prostetik bahkan gagal penggunaan balutan panjang yang kaku pada pemasangan prostetik awal post op. Latihan penarikan otot Quadricep dan hamstring dapat mencegah kontraktur tersebut. Pencegahan adalah terbaik, karena bagian di bawah lutut sangat pendek mengakibatkan kontraktur di lutut sulit diperbaiki. Kontraktur siku terjadi pada amputasi bawah siku, khususnya jika sisa amputasi di bawah siku sangat pendek. Usaha pencegahan dapat dilakukan secara langsung, tapi jika kontraktur sudah terjadi dengan pemasangan engsel dapat merubah ROM yang terbatas menjadi lebih besar dengan gerakan prostetik.

Penyembuhan luka yang gagal

Kegagalan penyembuhan luka tidak umum, khususnya pada diabetes dan iskemia. Sebagian besar ahli bedah melakukan perawatan terbuka pada luka yang luasnya kurang dari 1cm dan operasi revisi untuk memperbaiki luka. Terdapat laporan bahwa dengan balutan keras dan IPOP dapat digunakan pada daerah luka.

Masalah Dermatologi :

Piginitas umum yang baik, termasuk menjaga kaki dan prostetik tetap bersih, dengan menggunakan sabun dan dijaga tetap kering. Reaksi hiperemia pada awal dan nyeri setelah amputasi, hal ini biasanya berkaitan dengan perbaikan yang spontan. Kista epidermoid umumnya terjadi pada tepi soket prostetik, khususnya bagian belakang. Kista epidermal sangat sulit untuk diobati dan umumnya terjadi, bahkan setelah dieksisi. Pendekatan awal terbaik adalah dengan memodifikasi soket dan mengurangi penekanan yang berlebihan pada kista.

Dermatitis kontak dapat menjadi berat jika disertai infeksi. Dermatitis kontak iritasi primer disebabkan oleh zat asam basa atau benda tajam. Deterjen, dan sabun umumnya sebagai penyebab. Biasanya zat iritan tidak dibersihkan pada prostetik. Pasien dengan masalah ini harus menggunakan sabun yang ringan dan dicuci dengan baik. Dermatitis kontak alergika umumnya disebabkan oleh nikel dan krom dalam logam, anti oksidan dalam karet, karbon pada neoprene, garam Chromium yang digunakan untuk mengobati kulit, epoksi anplomer dan resin poliester yang merupakan pelapis soket. Setelah menghilangkan infeksi, zat iritan harus dijauhkan, ekstremitas direndam, gunakan cream steroid, dikompresi dengan balutan khusus atau “skrinkers”.

Infeksi kulit superficial umum terjadi pada amputasi. Follikulitis terjadi pada tempat berambut, kadang muncul segera setelah anggota yang diamputasi memakai prostesis. Palpitasi disekitar kelenjar ekrin. Follikulitis terjadi pada pasien yang dicukur. Hidradenitis terjadi pada kelenjar apokrin di daerah aksila, cenderung kronik dan respon terhadap pengobatan jelek. Soket yang dimodifikasi untuk mengurangi tekanan dapat membantu. Kandidiasis dan penyebab dermatophit lainnya mengakibatkan kulit bersisik dan kulit gatal, sering disertai vesikel dengan batas tegas dan tengah terang. Infeksi jamur yang didiagnosa melalui preparat potasium hidroksid (KOH) dan diobatai dengan agen anti jamur topikal.

Prostetik :

Keuntungan utama prostetik pada anggota badan bawah termasuk penggunaan bahan baru yang dicampur dengan respon elastik dengan desain “menyimpan energi” dan juga dengan desain komputer dan dibantu perusahaan teknologi komputer (CAD-CAM). Pada pembuatan soket makin menyukseskan penggunaan prostetik mioelektrik untuk ekstremitas atas. Ahli bedah yang meresepkan prostetik Ekstremitas harus memahami secara mendasar gambaran umum sehingga komponen yang digunakan penderita maksimal sesuai dengan keperluannya. Resep prostetik yang baik tipe soketnya spesifik, apakah tipe dengan suspensi, dengan konstruksi untuk berjalan, dengan sendi khusus atau alat terminal. Soket dapat sebagai socket yang keras dengan permukaan yang minimal atau dapat berupa garis. Pada amputasi di atas lutut, dengan luas soket berbagai tipe tersedia dari desain quadrilateral tradisional hingga desain lebih baru mediolateral yang sempit. Prostesis tergantung pada badan dengan pengikat, sabuk, kontur soket, penyedot, penggesek, dan kontrol otot fisiologis. Kontruksi “Shank” dapat berupa kerangka sistem eksoskeletal dapat lebih bertahan lama tapi teknologi materialnya lebih baik, jadi daya tahan dan penampakannya sebagai sistem eksoskeletal. Berbagai tipe sendi siku, jari, lutut, engkel tersedia sebaik alat terminal multiguna, termasuk tangan, kepalan, kaki yang sudah disesuaikan untuk olah raga dan kerja. Tanpa sensasi tujuan gerak sering diganti propioseptip ekstremitas atas, yang akan menghambat tujuan gerak dan membuat penggunaan ekstremitas atas menjadi sulit. Maka dari itu dokter harus membuat resep sesuai dengan keadaan individu.

Akhir-akhir ini prosthesis dibuat dari bahan thermoplastik atau soketnya dilapisi lebih, dari cetakan-cetakan ini tidak mencontoh sisa anggota, tapi berupa modifikasi agar soket tidak menyesuaikan dengan tekanan. Uji soket dari plastik umumnya dibuat guna melihat kulit di daerah yang bermasalah. Teknologi AFMA (Automated Fabrilasi of Mobility Aids) desainnya menggunakan bantuan komputer dan pabrik memiliki ahli prostesis dengan digitalisasi sisa ekstremitas ditambah modifikasi standar biasanya digunakan untuk cetakan dan ditawarkan tambahan menipulasi yang baik bentuk dengan skreen komputer. Komputer dapat secara langsung membuat cetakan atau membuat soket. Teknologi AFMA dapat menurunkan waktu prothesis dalam membuat cetakan dan menawarkan waktu untuk dievaluasi tentang kelurusan prostesis dan latihan berjalannya.

Komponen mioelektrik umumnya tidak di resepkan hingga pasien dapat menggunakan alat tenaga badan utama, alat mioelektrik telah digunakan secara sukses pada amputasi di bawah siku tengah walaupun amputasi bawah siku panjang rotasinya lebih baik jika ruangannya sempit dapat diisi elektronik mirip ekstremitas kebutuhan lebih besar pada amputasi ekstremitas atas pada tingkat yang lebih proksimal, tapi berat dan kecepatan komponen mioelektronik telah dihindari. Alat myorid yang digunakan dengan tenaga badan dan komponen mioelektrik dapat menjadi efektif. Otot yang stabil dengan miodesis atau teknik mioplasti nampaknya sebagai tanda penggunaan mioelektrik akan lebih baik.

Tingkat Amputasi Dan Princip Prostetik

EKSTREMITAS ATAS

Amputasi Tangan. Walaupun teknik replantasi pembedahan mikro menurunkan insidensi amputasi. Masih banyak pasien yang mengalami kegagalan pada replantasi. Rekonstruksi dilakukan menyeluruh pada pemasangan ibu jari dengan tranposisi sinar, atau transfer tumit ke tangan. Sebagian protesis tangan berfungsi untuk menyiapkan stabilnya ekstremitas setelah amputasi dengan melawan sisa jari atau palmar. Fungsinya terbatas, tangan sangat berguna dan bagian tubuh yang penting untuk mencitrakan tubuh. Banyak pasien dengan amputasi sebagian dapat lebih menguntungkan jika dibuat prothesis tangan kosmetik.

Disarticulasi Jari.

Disartikulasi jari punya 2 keuntungan dibanding amputasi yang lebih pendek dan amputasi bawah siku. Penopang sendi radio-ulna distal tetap dipertahankan agar dapat berotasi. Dan penopang radial distal untuk melebar secara dramatik memperbaiki suspensi prostetik dan tak ada keuntungan untuk menopang tulang karval, tenodesis gerak lengan atas guna menstabilisasi otot. Perbaikan fisiologi dan penampilan mioelektrik substitusi prosthetik pada disartikulasi jari, yang kecil lebih rumit dibanding amputasi bawah siku. Unit jari konvensional umumnya tidak digunakan karena akan bertambah panjang dan kadang alat terminal harus dimodifikasi karena panjangnya. Disartikulasi jari juga lebih sulit untuk dipasang prostesis mioelektrik sebab ruangannya kurang untuk mendapatkan sumber energi (power suplai). Meskipun demikian pada pasien tetap menggunakan prostesis. Beberapa pasien yang tidak puas dengan fungsi tangannya dapat memperbaikinya dengan melakukan disartikulasi jari dan menggunakan prostesis standar. Keputusannya bersifat individual dan didasarkan pada faktor-faktor pendukung seperti : tingkat keparahan jaringan lunak yang hilang, nyeri, penampakkan, fungsi yang didapat dan citra badan pasien.

Amputasi bawah siku.

Pasien amputasi bawah siku sangat fungsional dan rehabilitasi dengan prostesis telah berhasil diperkirakan mencapai 70-80%. Rotasi lengan kedepan dan kekuatannya proposional dan panjangnya tetap mioplastika. Penutupan harus dilakukan untuk mencegah nyeri bursa, untuk memfasilitasi suspensi otot secara fisiologis dan untuk memfasilitasi protesis mioelektrik yang digunakan. Amputasi bawah siku yang pendek memerlukan tambahan suspensi, soket munster, atau sisi engsel pinggir dan sebuah kancing humeral. Suspensi tipe ini mempertahankan flexi dan ekstensi siku tapi dengan rotasi yang terbatas, dengan mempertahanan sendi siku dan perhatian yang tidak berlebihan. Skin graft harus dipertimbangkan agar fungsinya lebih menguntungkan. Pemasangan engsel dilakukan apabila ROM siku aktif walaupun prostesis dengan tenaga badan dapat berfungsi pada keadaan ini. Pada keadaan ini juga dapat sukses dengan menggunakan alat mioelektrik.

Amputasi Krukern Berg’s

Operasi kineplastik krukern berg’s memudah ujung amputasi bawah siku ke arah penjepit radial ulna sehingga memegang dengan kuat dan penggunaan manipulasi yang baik akibat sensasi pada “jari” lengan bawah. Hal ini dapat dilakukan sebagai prosedur sekunder pada amputasi bawah siku dengan ekstremitas sisa < 10 cm dari olekranon. Kontraktur flexi siku < 70% dan preparat fisiologi baik. Hal ini tak harus dilakukan amputasi primer. Amputasi krukern berg dapat sempurna tidak tergantung aktifitas hariannya sebab sensor penyempit terpelihara, sebagai mekanisme genggaman. Secara sederhana, prosedur ini ditujukan pada amputasi bawah siku bilateral, tapi hal ini menunjukkan sedikit pada unilateral. Pada amputasi bawah siku dengan tujuan untuk dipasang prostesis atau pada pasien yang sulit dipasang prostesis karena fasilitas tak tersedia. Konvensional prostesis tidak hanya dipakai pada lengan bawah Krukern berg saja dan alat mioelektrik dapat disesuaikan pada penggunaan gerakan lengan bawah. Ketidakuntungan yang utama adalah penampakan lengan bawah yang unik, yang mana beberapa orang mempertimbangkan untuk tidak memakai, sebagaimana masyarakat yang mudah mengerti dan menerima seseorang yang cacat Preparasi pre op yang intensif dan konseling disarankan. Disartikulasi siku; disartikulasi siku menguntungkan kondilus karena mudah prostetik diperbaiki amputasinya dan memindahkan rotasi humerus. Pengungkit lengan yang makin panjang sehingga menjadi kuat. Ketidakuntungannya adalah pada desain sisi siku. Sisi luar besar dan keras. Unit siku konvensional mengakibatkan panjang lengan atas tidak proporsional dan lengan bawah pendek.

Amputasi Atas Siku :

Pada pasien amputasi atas siku Semua jaringan lunak menutupi harus dipelihara pada amputasi atas siku. Bahkan jika hanya disisakan caput kumerus dan ekstremitas sisa yang panjang tidak berfungsi harus dipelihara. Kontur lengan yang merupakan bagian kosmetik harus diperbaiki. Miodesis membantu memelihara kekuatan bisep dan trisep, kontrol prostetik dan tanda mioelektrik. Balutan kaku pada awal post op. dan pemasangan prostetik hampir pada semua amputasi dapat berhasil. Terapi fisik post amputasi pada amputasi lengan atas dibatasi sendi proksimal dan fungsi otot, Sebab alat terminal biasanya dikontrol gerakan aktif bahu. Penggunaan prostetik awal dan terapi dapat mencegah kontraktur dan pemeliharaan kekuatan. Suspensi prostetik secara sederhana bergabung dengan tenaga tubuh, tapi hal ini dapat membuat tidak nyaman. Teknik suspensi sedot atau osteotomi angulasi humerius merupakan teknik yang jarang dilakukan. Beberapa pilihan prostetik untuk amputasi di atas siku, termasuk yang menggunakan tenaga manusia atau prostesis cangkokan yang menggunakan kontrol mioelektrik pada siku atau alat terminal dan tenaga tubuh untuk lainnya. Banyak amputasi atas siku bilateral disarankan untuk tidak memakai prostesis atau kadang-kadang saja sebagai prostesis kosmetik.

Kadang amputasi atas siku dipili sebagai management lengan disfungsi akibat luka pada plexus brachialis dengan keuntungan bahu tidak terbebani juga sendi skapulo thoraks dan pengambilan lengan yang paralisis yang menghalangi fungsinya. Dilakukannya anthrodesis pada bahu masih kontroversial dan harus dilihat secara individual. Pada studi klinik menemukan, pasien dengan amputasi di atas siku dapat kembali bekerja dengan baik. Diharapkan prostetik pada pasien ini harus dibatasi, karena prostesis akan menambah berat dan mengganggu gerakan bahu.


Disartikulasi bahu dan Amputasi ke 4 anggota Badan.

Hal ini jarang, amputasi mutilasi dilakukan hanya pada kasus keganasan atau trauma yang berat. Penggabungan prosthesis mioelektrik dapat dilakukan, tapi sangat mahal, dan perlu perawatan yang intensif. Tenaga tubuh prostesis sangat berat, keras dan kurang nyaman dan sulit digunakan oleh sebagian besar pasien dengan amputasi proksimal dan mendapat prostetik memperbaiki kosmetik dan penilaian baju sering dengan cetakan lembut yang sederhana bagian luar bahu dengan harapan sebagai prosthesis alternatif dengan tangan yang penuh.

EKSTREMITAS BAWAH

Amputasi kaki. Amputasi kaki dapat dilakukan dengan cara tertutup dari sisi ke sisi atau dari dorsal ke plantar merupakan cara yang terbaik. Tulang harus dipotong sependek mungkin agar jaringan lunak yang menutup tidak terjadi penarikan sehingga dilakukan disartikulasi atau metaphisis. Pada amputasi kaki, sesamoid dapat stabilkan pada posisinya untuk menopang berat badan dengan melepas dasar phalank proksimal atau tenodesis tendon plexor kalus brevis. Diharapkan hati-hati pada amputasi kaki, sebab dapat terjadi deformitas falgus yang berat pada kaki. Deformitas dapat dicegah dengan amputasi sinar kedua atau dengan penyatuan metatarsal-palank pertama. Pada amputasi palank metatarsal, pemindahan tendon ekstensor ke kaput dapat membantu mengangkat kepala metatarsal, pemasangan prostetik tidak khas ditemukan setelah amputasi jari kaki.

Amputasi sinar untuk mengangkat jari kaki dan semua atau beberapa yang berkaitan dengan metatarsal. Amputasi sinar yang terisolasi dapat menjadi lama, meskipun dengan amputasi sinar multipel, khususnya pada pasien dengan gangguan sirkulasi dapat menyempitkan luka kaki yang eksesis, dan berpengaruh terhadap tumpuan berat badan dan daerah baru yang mendapat tekanan kalus-kalus dan ulserasi. Pemberian prostesis termasuk dalam dengan model cetakan yang sesuai.

Transmetatarsal dan amputasi lisfranc mudah dikerjakan dan kuat. Penutup plantar yang panjang dianjurkan, tapi ½ dari plantar dan ½ dorsal dapat dikerjakan juga. Maka dari itu perlu pembungkus yang lebih kuat dibanding tingkat amputasinya, tulang harus sependek mungkin agar diperoleh jaringan penutup yang cukup sehingga tak terjadi tegangan. Otot yang seimbang disekeliling kaki harus dievaluasi dengan hati-hati, khususnya ketegangan urat jari kaki, tibialis anterior, tibialis posterior dan kekuatan otot per oneal. Amputasi pertengahan kaki lebih baik pendek sebagai pengungkit kaki, untuk itu tendon achius diperpanjang jika diperlukan. Insersio Muskulus tibial atau per oneal harus direkatkan lagi jika lepas ketika reseksi tulang. Sebagai contoh, jika dasar jari kaki kelima di reseksi, insersi perineus brevis harus di pasang lagi ke luboid. Pada pasien dengan gangguan sirkulasi, reinsensi dapat dilakukan dengan minimanl diseksi untuk mencegah kerusakan jaringan dikemudian hari. Latihan post op. dapat mencegah deformitas, mengkontrol udem dan rehabilitasi dengan cepat. Pemberian prostetik bermacam-macam. Beberapa pasien beruntung sejak awal dengan atrosis engkel-kaki dengan lempeng kaki yang panjang dan dengan prostetik jari. Kemudian prostetik jari dikombinasi dengan sepatu khusus, akan lebih baik prostetik kosmetik sebagian kaki juga tersedia.

Amputasi Chopart mengamputasi tungkai bawah dan tungkai atas, dengan mempertahankan talus dan calcaneus. Penyeimbangan dapat mencegah deformitas equinus dan varus yang disertai pemotongan tendo achiles, tendon tibialis anterior atau extensor di gitorius di pindah ke talus dan dibalut post operatif. Jika deformitas terjadi, pasien dengan amputasi chopart dan Syme’s disamakan dengan tingkat Chopart. Amputasi kaki bagian belakang Boyd adalah amputasi dengan telectomi dengan antrodesis calcaneal-tibial setelah transeksi ventikal melalui kalkaneus tengah, dan rotasi kearah depan pada calcaneus posterior dibawah tibia. Amputasi yang dilakukan pada anak seperti di atas dengan mempertahankan pusat pertumbuhan dan panjangnya, mencegah terjadi perpindahan tumit kaki dan memperbaiki suspensi soket. Penelitian pada anak menunjukkan perbaikan pada amputasi kaki bagian belakang dibanding amputasi cara Syme’s, yang membuktikan bahwa kaki belakang seimbang dan tidak terjadi deformitas equinus. Prostesis kaki belakang/bawah dapat lebih memperbaiki stabilitas dibanding prostesis kaki tengah guna menjaga posisi tumit kaki ketika berjalan. Komponen bagian depan dapat ditambahkan pada autotik engkel kaki tipe prostetik, atau prostetik terbuka bagian posterior.

Amputasi Syme’s.

amputasi syme’s merupakan disartikulasi engkel yang mana calkaneus dan talus diangkat dengan hati-hati, kulit jari kaki dipelihara dan juga lemaknya guna menutupi tibia distal. Maleolus harus diangkat. Masih kontroversial apakah untuk mengangkat maleolus sejak awal atau pada operasi tahap ke-2, yaitu 7/8 mg setelah operasi. Keuntungan pada 2 x op. adalah bahwa sirkulasi pada pasien dengan gangguan sirkulasi menjadi baik. Dan ketidakuntungannya, rehabilitasinya terlambat. Berdasarkan penelitian tidak ada komplikasi pada amputasi Syme’s berupa migrasi lemak di posterior atau medial. Pilihan untuk menstabilkan lemak adalah dengan tenodesis tendon achiles ke tepi posterior tibia melewati lubang dengan memindahkan di tibia anterior dan extensor tendon digitorius ke bagian lemak anterior, dengan memindahkan kartilago dan tulang subchondral untuk menempelkan lemak pada tulang, tanpa atau dengan fiksasi. Balutan secara hati setelah op. dapat juga membantu menjaga lemak tetap di bawah tibia selama penyembuhan.

Amputasi Syme’s merupakan tingkat penopang tubuh terakhir. Mempertahankan permukaan tetap lembut pada tibia distal dan tumit kaki. Amputasi bawah dan dan atas lutut tidak membuat pemindahan penopang berat badan secara langsung sebab pada ini, amputasi jarang dapat gunakan tanpa prostesis pada keadaan darurat. Prosthesis untuk amputasi syme’s lebih luas dibanding pada tingkat engkel dibanding prosthesis untuk bawah lutut. Dalam hal kepentingan keduanya sama saja. Material yang lebih baru dan operasi yang lebih sempit yang melewati maleolus kurang memperhatikan hal ini sebab beberapa amputasi profil yang lebih bawah dari beberapa kaki dengan respon elastik yang lebih baru, amputasi syme’s saat ini lebih menguntungkan karena teknologi yang menyimpan tenaga soket tidak memerlukan kontur yang tinggi pada desain penumpu tendon patela sebab kualitas anggota badan jika untuk menopang berat badan. Soket dapat diganti-ganti untuk posterior atau medial. Apabila anggota badan ujungnya bulat, atau soket yang flexibel tapi didesain sehingga dapat dipakai pada ujung anggota badan yang kurang bulat. Disebabkan bagian tibia yang melebar, soket amputasi syme’s mempunyai suspensi sendiri.

Amputasi bawah lutut.

Amputasi bawah lutut merupakan amputasi anggota badan yang paling umum. Teknik dengan Flap posterior, merupakan suatu standar dan harapannya akan baik pada penderita dengan gangguan sirkulasi. Flap anterior posterior, sagital dan miring dapat digunakan pada pasien-pasien tertentu. Transeksi tingkat tibia sepanjang mungkin antara tuberkel tibia dan hubungan antara tibia tengah dengan 1/3 bawah tibia, karena tersedia jaringan yang sehat sebagai dasar. Amputasi di 1/3 distal tibia memiliki jaringan lunak yang sedikit dan lebih sulit untuk dipasang prostesis sehingga dipakai tidak nyaman. Tujuannya adalah sisa anggota badan berbentuk silinderis dengan otot yang stabil, bantalan di tibia distal, dan bekas luka/jaringan parut yang tidak melekat atau menempel. Amputasi bawah lutut yang baik khususnya membutuhkan dengan balutan keras/kaku dan penatalaksanaan prostetik post op. yang segera.

Synostosis tibiofibular distal, dengan prosedur Ertl tidak lazim dilakukan. Prinsipnya adalah membuat bentuk tulang bagian distal sebaik mungkin untuk menopang berat badan, tapi hal ini jarang dipakai. Komplikasi nyeri karena non union sulit untuk diobati. Synostosis tibiofibular distal menunjukkan diastrosis trauma yang luas akan memperbaiki stabilitas tulang dan jaringan lunak, tapi hal ini jarang ditunjukkan pada pasien dengan gangguan sirkulasi.

Bagian variasi desain prosthesis tersedia untuk amputasi bawah lutut. Soket dapat didesain sebagai gabungan penggaris untuk meningkatkan kenyamanan dan untuk mengakomodasi perubahan sedikit pada sisa anggota badan yang diamputasi. Penggaris ini juga meningkatkan perspirasi, tapi dapat menjadi tidak nyaman dan kurang bersih pada iklim panas dan dingin. Soket keras didesain dari katoon atau wool sebagai pembungkus anggota badan yang diamputasi dalam bentuk tipis atau tebal yang bersinggungan dengan kaki dan soket. Soket yang keras mudah dibersihkan dan lebih kuat dibanding penggaris. Soket ISNT (Icelendic-Sweden New York) menggunakan bahan yang flexibel dengan lapisan luar yang lebih halus soket yang flexibel bentuknya berubah-ubah untuk mengakomodasi kontraksi otot. Soket ini juga dapat berguna yang berjaringan parut dan sulit di pasang prosthesis.

Soket dengan ujung terbuka dengan sisi sendi dan korset paha saat ini tidak banyak digunakan kecuali pada pasien yang sebelumnya telah berhasil memakai, atau pada pasien yang jauh dari perawatan prosthesis. Bentuk penumpu tendon patella umumnya digunakan untuk amputasi bawah lutut. Meskipun demikian posthesis ini mayoritas penumpu berat badan di medial tibial dan lateralnya diruangan interosseus, dan sejumlah lebih sedikit pada tendo patella.

Sispensi prosthesis bawah lutut sangat mahal. Sispensi yang paling sederhana dan paling umum adalah tali pengikat suprapatellar, yang bungkusnya di atas lorsilus femoris dan patella. Soket dapat didesain untuk menggabungkan suprakondiler atau lempeng pegangan diatas condilus femoral, tapi bentuknya yang lebih tinggi, lebih besar dan kurang bagus dilihat. Sabuk pinggang dan suspensi pengikat “garpu” sangat membantu amputasi bawah lutut yang pendek menurunkan pengocokan pada soket, atau pada pasien yang aktifitasnya banyak memerlukan suspensi. Untuk anggota badan yang miskin jaringan lunak atau nyeri lutut intrinsik, tepi lebar dan korset paha dapat membantu kaki bawah dan memindahkan berat badan ke paha. Lengan baju suspensi dibuat dari latek atau neopyrene yang lebih umum dipakai. Latek lebih bagus, tapi kurang tahan lama dan dapat mengkerut. Neoprene lebih awet dan tidak mengkerut, tapi kadang pasien dapat menderita dermatitis kontak. Suspensi paling baru dengan menggunakan bahan dasar silikon yang dapat berputar, dengan gesekan yang ringan. Sedikit logam diujung distal penggaris/batang dan terkunci pada soket prostetik yang terjamin penggantung soket pada penggaris. Beberapa/banyak pasien menyukai suspensi yang terjamin dan merasakan kontrolnya membaik. Penggaris dengan bahan dasar silikon kurang tahan lama dan umumnya sering diganti/dipindah. Banyak kaki prostetik saat ini tersedia, dari engkel solid asli dengan bantal jari kaki, hingga yang lebih baru yang menyimpan energi, dengan teknologi elastik. Dengan berbagai macam desain tumit kaki, engkel dan pylon. Biaya dan fungsi sangat bervariasi dapat dibuat resep yang tepat untuk pasien indifidu.

Amputasi melewati lutut : Disartikulasi yang melewati lutut menandakan pasien ini tidak dapat berpindah-pindah, tapi dapat disediakan jaringan lunak pada disartikulasi lutut. Hal ini dilakukan karena trauma. Pada pasien dengan gangguan sirkulasi, suplai darahnya harus baik. Disartikulasi lutut pada pasien dengan gangguan sirkulasi menunjukkan tak dapat berjalan. Khususnya jika disertai kontraktur flexor. Penutup sagital nampaknya lebih cepat sembuh dibanding anterior-posterior. Patela dipertahankan dan tendon patela, dijahit sebagai dasar untuk stabilisasi komplek quadrisep. Tendon patela, potongan yang pendek gastrocnemius dapat dijahit ke kapsul anterior sebagai ujung distal kaki yang diamputasi. Walaupun banyak teknik telah diterangkan berbagai hal mengenai condilus femur. Hal ini jarang dibutuhkan dan perlengkapan yang banyak dapat menurunkan keuntungan disartikulasi lutut.

Untuk pasien rawat jalan pada amputasi atas lutut keuntungannya tidak hanya garis pembentuknya yang diatas condilus femoral tapi juga penambahan kekuatan pengungkit yang lebih panjang, pemeliharaan keseimbangan otot paha, dan yang lebih penting, pemindahan penumpu berat badan secara langsung pada prosthesis. Pada waktu dahulu, tujuan prostesis yang besar dan tingkat operasi pada sendi lutut yang asimetris batas dilakukan. Bahan-bahan baru ditawarkan untuk prostesis yang kurang besar dibuat dengan 4 unit sambungan lutut, yang dapat diikat pada soket, akan memperbaiki penampilan ketika dipakai pasien ini pada bentukl rendah, dengan stabilitas yang baik dan dapat digabung dengan bentuk hydraulic untuk kontrol samping.

Pada pasien bukan rawat jalan, disartikulasi lutut akan mengurangi masalah kontraktur flexi lutut, dengan keseimbangan paha akan menurunkan kontraktur pinggul dan pengungkitnya panjang untuk pemasangan yang baik dan pencopotannya.

Pada amputasi Gritistoke, patela didistal dan orthodesis femur distal dapat menopang berat badan. Tipe ini tidak dapat menopang berat badan secara fisiologis, sebab dalam keadaan normal penumpu berat badan pada pretibial dan daerah tendo patela n tidak di patela.

Penambahan panjang dengan pemasangan prostesis dan sendi lututnya asimetris. Amputasi ini tidak direkomendasikan. Amputasi transkondiler dapat dilakukan, meskipun ujung penopang berat badan suspensinya terbatas, bila dibanding dengan disartikuasi lutut.

Amputasi di atas lutut. Amputasi di atas lutut biasanya dengan Flap anterior dan posterior mulut ikan. Tipe Flap yang harus digunakan agar panjang femur baik pada kasus trauma akan meningkatkan fungsi stabilisasi otot lebih penting pada amputasi di atas lutut dibanding amputasi besar yang lain. Gaya utama mendorong ke abduksi dan flexi. Miodesis otot abduktor melewati lubang pada femur dapat terikat pada abduktor, sehingga memperbaiki kontrol pada prostetik, mencegah kesulitan jaringan aduktor memutar. Tanpa stabilisasi otot umumnya femur berpindah ke lateral melewati jaringan lunak yang membungkus. Desain soket yang lebih baru dapat lebih baik mengkontrol posisi femur, tapi tidak efektif untuk stabilisasi otot. Bahkan pada pasien tidak rawat jalan, stabilisasi otot membantu membuat lebih awet, ujung amputasi mencegah migrasi femur.

Balutan kaku prostetik segera setelah operasi pada amputasi lutut lebih sulit dilakukan dan menjaga posisi agar tidak lebih distal.

Teknik IPOP ditawarkan dengan keuntungan rehabilitasnya lebih awal dan nyeri dan udem dapat dikontrol. Disamakan dikerjakan jika ada tenaga ahli. Pembalut yang menekan dapat digunakan. Pembalut ini dapat diberikan lebih proksimal sebagaimana spica yang memiliki suspensi lebih baik juga menjaga paha medial, yang mencegah terjadinya pemutaran jaringan aduktor. Pemosisian post op. dan terapi sangat baik untuk mencegah kontraktur flexi pinggang. Anggota badan harus diangkat/elevasi di atas bantal, tapi harus pada bed yang datar, dan latihan ekstensi pinggul dan posisi pronasi harus dimulai sejak awal.

Suspensi pada amputasi atas lutut lebih kompleks dibanding protesis yang lebih distal sebab sisa ekstremitasnya lebih pendek, kurang kontur tulangnya, dan protesis yang lebih berat. Prostesis dapat lebih lentur dengan sedotan, balutan silesian, atau bidai pelvis dan sendi pinggul. Suspensi sedot bekerja ketika bentuk kulit kedap udara disekitar soket. Udara memaksa keluar katup 1 arah yang kecil didistal ketika prothesis di pasang dan dengan tiap langkah kaki, mempertahankan tekanan negatif disoket sebelah distal. Tidak ada sock prostetik atau penggaris lainnya digunakan antara soket yang keras dengan ekstremitas sebab udara akan keluar di sekitar sock dan mencegah penyedot bekerja.

Menerima prosthesis dengan suspensi penyedot dapat dilatih dan menggunakan tekanan, dan pasien harus memiliki koordinasi yang baik, fungsi tangan yang baik, dan keseimbangan untuk melakukan latihan ini. Suspensi penyedot/suction bekerja baik pada amputasi di atas lutut dengan jaringan lunak yang baik, dan dengan bentuk volume yang stabil. Hal ini biasanya sangat nyaman dan dengan metode kosmetik yang menggunakan suspensi soket.

Bidai silesian dengan tali pengikat yang menempel di sisi lateral prosthesis, bungkus melingkar dipinggang dan kontralateral dengan crista iliaca lalu ke depan melekat pada soket proksimalanterior. Dengan ini menjadikan suspensinya jadi baik ditambah dengan kontrol rotasi. Bidai silesian umumnya digunakan pada suspensi sedot dengan sisa ekstremitas yang pendek atau untuk pasien yang pada aktifitasnya memerlukan suspensi dengan suction.

Sendi pinggul dan pelvis membuat suspensi sangat perlu, tapi sendi ini juga besar dan metode suspensi kosmetiknya tidak banyak. Hal ini juga kurang nyaman ketika duduk. Bidai pelvis dapat dibuat dari logam atau plastik dan lebih tebal dari bidai selisian. Bidai pelvis diikatkan dari pangkal paha pinggul melingkari pinggang antara krista iliaca dan trochanter belakang.

Soket didesain untuk amputasi atas lutut telah mengalami perubahan soket quadri lateral tradisional telah memiliki diameter anterior posterior yang sempit untuk menjaga ischium berada di belakang dan berada di atas posterior soket untuk menopang berat badan dinding anterior dengan ukuran 5-7 cm lebih tinggi dari dinding posterior untuk memegang kaki belakang. Nyeri anterior sering menjadi keluhan dan sering menetap, contohnya pada SIAS. Jika lebih rendah atau ischium akan berada di dalam soket dan semuanya berubah, isi perubahan dan daerah penekanannya. Bahkan dinding lateralnya memegang femur ketika aduksi, dan semua dimensi quadilateral tidak anatomik dan stabilitas femur yang jelak pada sumbu koronal. Soket ISNY merupakan soket berbentuk quadrilateral yang terbuat dari bahan yang fleksibel yang ada di dinidng posterior dan medial. Bahan fleksibel pada dinding soket yang terdesak oleh kontraksi otot di bawahnya. Pasien dilaporkan lebih nyaman ketika jalan atau duduk dan kemungkinan perbaikan ototnya lebih efisien. Bagian belakang yang fleksibel kurang tahan lama, dan susoensi suction juga dapat hilang.

Desain soket di atas lutut dengan lempeng medial – lateral yang tipis, diusahakan untuk mengatasi masalah yang dialami soket. tradisonal quadri lateral karena kontur dinding posterior untuk ileum dibawah dalam soket. Berat badan dipindah lw\eewat massa otot glutens dan paha lateral bahkanpada ichium. Tekanan anterior dibatasi karena dinding anterior yang tinggi. Yang lebih menarik / diperhatikan adalah kontur medial –alteral yang tipis yang dibuat untuk menahan gerakan aduksi dan untuk meminimalisasi gerakan-gerakan relatif antara anggota badan soket. Soket normal Shape Normal Aligment (NSNA) dan countoured adducted trochanteric controlled aligment metode (CAT – CAM) merupakan desain soket dengan tipe tipis yang tersedia.

Prostetik sendi lutut tersedia dalam banyak jenis desain bagi pasien yang membutuhkan. Standar tradisional untuk aksisi tungal dengan gerakan lutut yang konstan. Gerakan lutut yang konstan itu sudah lama, awet, tidak mahal serta ringan. Gesekan dapat di setel pada satu tingkat agar fungsinya diyakini baik, dan pasien harus menyesuaikan ketika kecepatan berjalannya berubah. Sisi luar merupakan standar lama untuk pasien dengan disartikulasi lutut, untuk mencapai pusat gerakan lutut lebih baik.

Tapi soket ini kurang bagus dilihat/penampilan, akan dapat dipindah/ganti dengan unit lutut policentrik dengan 4-bar, kecuali pada pasien yang menggunakan tepi luar dengan berhasil sebelumnya dan tidak berniat merubahnya. Lutut yang aman memiliki unit friksi diaktifkan oleh berat, makan akan meningkatkan gesekan, untuk itu stabilitas dan resistensi yang meningkat apabila berat meningkat. Sebagian unit ini berguna untuk pasien usia lanjut atau lemah. Dan pada pasien-pasien ini mempunyai ekstremitas yang pendek sekali, ekstensur pinggul yang jelek, atau kontraktur flexi pinggul. Faktor yang mempengaruhi gesekan lutut berubah menurut lingkar flexi lutut. Untuk itu perlu memperbaiki fase “saving”. Unit ini lebih murah dankurang tahan lama dibanding unit hidraulik, dan ini tidak efektif. Suatu lutut policentrik lebih menyediakan pusat pengubah rotasi dan berada di posterior dibanding sendi lutut lainnya. Pusat rotasi belakang menyediakan stabilitas yang baik pada stance dan pada tingkat awal fleksi dibanding disediakan unti lutut yang lain. Lutut 4-bar merupakan suatu unit policentrik yang saat ini telah tersedia.

Suatu unit hidraulik dapat ditambahkan pada sendi lutut yang menyediakan kontrol superior prosthesis pada “phase swing” dengan menggunakan cairan hidraulik dengan berbagai jenis sesuai dengan kecepatan berjalan. Pilihan-pilihan ini sangat berguna pada pasien amputasi yang aktif berjalan dan berlari dengan kecapatan yang berbeda. Pilihan kunci manual dapat juga ditambahkan untuk lutut-lutut ketika ekstensi penuh. Kunci amat berguna pada amputasi bilateral, pada pasien yang lemah dan buta dan memiliki sisa ekstremitas yang sangat pendek.

Pasien dengan amputasi lutut bilateral yang merupakan tantangan rehabilitasi. Penggunaan Stubbis sebagai prothesis awal disarankan untuk semua pasien dengan bilateral disartikulasi lutut atau amputasi di atas lutut, tanpa melihat umur, yang menjadi calon untuk berjalan dan bagi pasien yang kehilangan keduanya secara simultan. Stubbis terdiri soket prostetik mounted secara langsung dengan dsar lebih sekedar rokher – bottom, sepanjang ekstensi posterior untuk mencegah kecenderungan punggungnya jatuh. Proses pemendekan anterior untuk gerakan yang halus ketika berputar hingga mendorong ketika berjalan. Penggunaan stubbis mengakibatkan penurunan pusat granulasi, dan dasar yang keras menyediakan untuk menganga guna menyeimbangkan badan dan stabilitasnya dan kepercayaannya menjadi baik selama berjalan dan berdiri. Dengan kepercayaan pasien dan ketrampilan yang membaik, pemanjangan secara periodik merupakan syarat hingga tingginya hingga maksimal dan dapat menggunakan prosthesis dengan panjang maksimal. Beberapa pasien gagal mencapai panjang yang penuh dan hanya memakai strubbis.

Disartikulasi pinggul atau hemipelvectomi disartikulasi pinggul jarang dilakukan pada pasien dengan gangguan sirkulasi, tidak dianjurkan untuk dipasang prostetik. Prostetik dapat sukses digunakan pada pasien yang lebih sehat yang didisartikulasi akibat tumor atau trauma. Prostesisnya berat, sulit digunakan dan perlu banyak energi. Prostesis standar adalah prosthesis disartikulasi pinggul kanadian. Soket meliputi hemipelvis dan suspensinya melebihi crista iliaca. Sendi pinggul dengan kunci dan komponen endoskeletal yang digunakan untuk menjaga beratnya minimum. Beberapa pasien rawat jalan akan menggunakan alat bantu dan tanpa prosthesis sebab ini nyaman dan lebih cepat, tapi prostetik digunakan untuk menyeimbangkan dengan ekstremitas.

Hemipelvectomi bahkan jarang ditemukan, biasanya karena trauma atau keganasan di pelvis. Prostetik jarang digunakan. Hal ini dipertimbangkan khususnya untuk tempat duduk, tapi juga jarang.

Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakaian Narkoba

 

Masalah narkotika dan maraknya kenakalan remaja menjadi perhatian yang serius dari semua pihak. Presiden RI melalui Instruksi Presiden No 6/1971, tentang penanggulangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika seperti morphine, heroin, obat-obatan yang mengandung opium dan merokok ganja. Undang- undang yang mengatur tentang zat- zat ini sudah jelas, yaitu Undang- Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan narkotika.

Dalam UU Narkotika, yang tergolong narkotika adalah ganja, kokain, dan opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis opiat adalah morfin dan heroin. Narkotika adalah jenis obat yang biasa digunakan dalam terapi untuk menghilangkan rasa nyeri seperti pada penderita kanker. Sementara, kini, peredaran ilegal narkotika semakin marak. Penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja semakin sulit dibendung. Akibatnya, selama satu dekade terakhir di negeri ini telah ditemukan ratusan ribu pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya. Keracunan narkotika juga cepat terjadi dengan menekan pusat pernapasan, napas menjadi lambat, pengguna merasa 'melayang', tekanan darah menurun, dan dapat membuat pengguna menjadi koma hingga meninggal dunia. Sekitar 2% dari pengguna narkotika melalui suntikan meninggal dunia setiap tahunnya karena over dosis atau infeksi.

Morfin adalah obat yang mewakili kelompok besar opioid yang terdiri dari opium alam (asli), sintetis, semi sintetis, devirat dan garamnya. Sering disalahgunakan untuk memperoleh efek yang tidak ada pada medikasi medis, morfin mempunyai efek analgesik dan morfin sendiri sedikit sekali diabsorpsi dari saluran cerna.

Sangat mungkin bagi seorang dokter untuk membuat visum et repertum yang berkaitan dengan kasus-kasus penyalahgunaan narkotika ini, oleh karena itu, selayaknya kita mengetahui dan memahami zat-zat yang berkaitan dengan narkoba (narkotika dan obat-obatan lainnya), salah satunya adalah morfin dimana gejala-gejala keracunan morfin yang mungkin ditemui pada korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

II. 1 OPIOID

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995).

KLASIFIKASI OPIOID

Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin (Sarjono dkk, 1995).

Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). (Latief dkk, 2001; Wibowo S dan Gopur A., 1995).

Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi ; .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995).

1. Agonis opoid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, tertama pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.

2. Antagonis opioid

Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh ; nalokson.

3. Agonis-antagonis (campuran) opioid

Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.

MEKANISME KERJA

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. (Latief, 2001).

Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain: .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995).

Ø Reseptor m (mu) : m-1, analgesia supraspinal, sedasi.

m-2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.

Ø Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen..

Ø Reseptor k (kappa) : k-1, analgesia spinal.

k-2 tak diketahui.

k-3 analgesia supraspinal.

Ø Reseptor s (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.

Ø Reseptor e (epsilon) : respon hormonal.

Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran. .( Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995).

Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.

Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain ;

A. Efek sentral ;

a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi).

b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.

c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).

d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).

e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek disforia).

f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).

g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik).

h. Menyebabkan miosis (efek miotik).

i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).

j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang berkepanjangan.

B. Efek perifer ;

a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.

b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).

c. Kontraksi sfingter saluran empedu.

d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.

e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.

f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.

II. 2 MORFIN

Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995).

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.

Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH). .(Latief dkk, 2001; Sarjono dkk, 1995; Wibowo S dan Gopur A., 1995; Omorgui, 1997).

Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.

Indikasi

Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.

Dosis dan sediaan

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.

Morfin diperdagangkan secara bebas dalam bentuk :

1. Bubuk atau serbuk

Berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat disalahgunakan dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur dalam minuman, adakalanya ditaburkan begitu saja pada luka-luka bekas disilet sendiri oleh para korban.

2. Cairan

Berwarna putih disimpan dalam ampul atau botol, pemakaiannya hanya dilakukan dengan jalan menyuntik.

3. Balokan

Dibuat dalam bentuk balok-balok kecil dengan ukuran dan warna yang berbeda-beda.

4. Tablet

Dibuat dalam bentuk tablet kecil putih.

Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan (dibawah kulit) atau intra muskuler, tetapi tidak diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Oleh sebab itu morfin tidak pernah tersedia dalam bentuk obat minum. Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan. Pengguna morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan.

Disamping memberi manfaat klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistema urinarius.

Efek pada sistema pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan.

Efek pada sistema saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang dipakai, dan kepribadian sipemakai serta harapannya.

Gejala kelebihan dosis :

Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu- satu dan coma (tiga gejala klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah).

Gejala–gejala lepas obat :

Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik.

II. 3 Diagnosis Ketergantungan Narkotika

Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis (medik psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan narkotika jenis opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada organ paru-paru dan lever. Untuk mengetahui adanya komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter ahli penyakit dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk mengetahui fungsi lever (SGOT dan SGPT).

Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya, komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat kaitannya dengan cara penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing dragon) melalui mulut atau hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil, atau suntikan intravena. Khasiatnya terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang berulangkali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.

Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering disalahgunakan manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases), berbagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma putus zat, dan gangguan mental serta perilaku lainnya.

Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya. Keadaan putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut "sakau" dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara merugikan orang lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma putus opioid, yaitu mual/muntah, nyeri otot lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare, menguap/sneezing, demam, dan insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik. Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan muntah diberi antiemetik, dan sebagainya. Pengobatan sindroma putus opioid harus diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi rumatan.

Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan pernapasan, yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan erat dengan kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan.

Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak digunakan adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku serta pergerakan otot- otot orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada umumnya adalah untuk mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan. Efek menenangkan sering dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan, kecemasan, dorongan- dorongan yang terlalu berlebihan oleh orang yang lemah mentalnya atau belum matang kepribadiannya. Sedangkan efek merangsang sering dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu tugas, menambah gairah sex, meningkatkan daya tahan jasmani.

Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :

1. tanda- tanda pemakai obat

2. keadaan lepas obat

3. kelebihan dosis akut

4. komplikasi medik ( penyulit kedoktearn )

5. komplikasi lainnya ( sosial, legal, dsb)

II.4. Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin

Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim.Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan sebagai berikut:

II.4.1. Anamnesa dan Pemeriksaan fisik

Gejala klinis :

1. pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nusea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis.

2. pada keracunan akut :

a. miosis; b. coma; c. respirasi lumpuh

3. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium;

4. gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.

Tahap 1

Tahap eksitasi

Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1.

1. Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat ;

2. Halusinasi

3. Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang;

4. Dapat menjadi maniak

Tahap 2

Tahap stupor

Dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada)

1. Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan;

2. Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur;

3. Wajah sianosis, pupil amat mengecil; dan

4. Pulse dan respirasi normal.

Tahap 3

Tahap Coma :

Tidak dapat dibangunkan kembali

1. Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi;

2. Proses sekresi;

3. Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini merupakan tanda akhir;

4. Respirasi cheyne stokes; dan

5. Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang,akhirnya meninggal.

II. Pemeriksaan Toksikologi

Sebagai barang bukti :

1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan;

2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral;

3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup; dan

4. Barang bukti lainnya.

Metode

1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid Chromatography)

Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral,morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti.

2. Nalorfine Test

Penafsiran hasil test :

Kadar morfin dalam urin, bila saam dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin dalamdarah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis.

Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.

II.5. Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin

Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja sana dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensic, psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas meliputi apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun kemungkianan pembunuhan? jenis obat apakah yang digunakan? Melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut? Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian? Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat? Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut? Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit yang mungkin sudah ada pada korban? Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban? Ringksnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu :

1. TKP (Tempat Kejadian Perkara) ;

2. Riwayat korban ;

3. Otopsi ; dan

4. Pemeriksaan Toksikologi

Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba (Tedeschi, 1977)

Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan daalm dan juga pada pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan maupun sayatan- sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba.

Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda- tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanay didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan narkoba yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha – usaha oenyelundupan narkoba ( Tedeschi, 1977).

Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerah- daerah yang dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan, benda- benda asing, dan tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik.

Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung, urine, darah, dan cairan empedu. .Cairan empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus- kasus kematian akibat pemakaian opiate. Rambut dan kuku kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan toksikologi lain. Usapan mukosa hidung kadang- kadang dapat menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin ( Knight, 1996).

Pemeriksaan pada kematian akibat pemakaian opioid ( morfin atau heroin )

A. Pemeriksaan luar

Tanda- tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian.

1. Needle marks

Lokasi : fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki. Tempat lain adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar papilla mamae.

Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda perdarahan sub kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa jaringan parut titik- titik sepanjang lintasan vena dan disebut “intravenous mainline tracks”. Kadang – kadang untuk menyamarkan needle marks itu dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada korban yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda abses dan lain sebagainya. Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal ini terjadi, sebab mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya denngan menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu dalam pemeriksaan toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus (‘nasal swab’) sebagai bahan BBB.

2. hipertrofi kelenjar getah bening regional

Pada korban yang sering menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah bening di regio aksiler.Hal ini merupakan ‘Drain phenomenon’. Biasanya karena jarum suntikannya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak hipertrofi dan hyperplasia limfositik.

3. gelembung-gelembung pada kulit

Sering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi gas CO dan barbiturate.

4. Tanda mati lemas

Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi.

B. Pemeriksaan Dalam

Paru-paru

1. Perubahan akut :

Mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat kematian. Adapun perubahan awal yang terjadi adalah :

a). Dari 0 sampai 3 jam :

hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel mononuclear atau makrofag pada dinding alveoli. PA : Paru-paru tampak voluminous, kadang-kadang bagian posterior lebih padat sehingga tak ada krepitasi. Bagian anterior tampak ada emfisema yang difus dengan terdapat benda-benda asing yang terisap di dalam bronkus. Tampak ada kongesti, edema dengan sel-sel mononuclear dalam alveoli.

b). Dari 3 sampai 12 jam

1. Terdapat narcotic lungs (siegel)

Tanda ini amat bermakna ( 25 % kasus). Secara makroskopis tampak paru sangat mngembang (over inflated). Trachea tertutup busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak gambaran lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi adalah aerasi yang normal, amat mengembang, dan emfisma), kongesti, dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di bagian belakang dan bawah (posterior dan inferior). Secara PA, tampak sel-sel makrofag, perdarahan alveolar, intrabronkhiolar, subpleural, dan sel-sel polimorfonuklear.

2. Dapat ditemukan juga aspirat di daalm traktus respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering dianggap antidotum opiate.

c. Dari 12 sampai 24 jam

Proses pneumoniasis tampak lebih rata, tampak sel-sel PMN. Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval > 24 jam. Akan tampak pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan granula.

2. Perubahan kronis

Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis vascular. Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk natkotika). Talk ini juga dapat masuk bersama narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan, dan terdapat garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam vascular, perivascular, atau di dalam alveolus.

Hati

Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu. Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN, dan beberapa sel-sel narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan, dan adanya sel-sel ductus biliaris yang mengalami proliferasi. Ada 4 kelainan :

1. Hepatitis agresif kronika : tandanya ada pembentukan septa ;

2. Hepatitis persisten kronikA : adanya infiltrasi sel radang didaerah portal

3. Hepatitis reaktif kronika ;dan

4. Perlemakan hati.

Getah bening

Lokasi : terutama di daerah portal hepatic, di sekitar caput pancreas dan ductus choledocus. Makin berat menyandunya, makin banyak kelainanya.

Makroskopis : tampak pembesaran

Mikroskopis : tampak adanya hyperplasia dan hipertropi limfosit.

C. Pemeriksaan toksikologi

Sebab BBB:

1. Urin, cairan empedu, dan jaringan temapt suntikan;

2. darah dan isi lambung, diperiksa bila keracunanya peroral;

3. nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara membau dan menghirup

4. barang bukti lainnya.

Metode :

1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan gas Chromatography;

2. Dengan Nalorfine Test.

 

KESIMPULAN

Obat disamping memberikan manfaat klinaiak sering juga menimbulkan dampak efek samping karena efek kliniknya pada sistema saraf pusat. Beberapaa obat dari golongan opiat sering disalahgunakan untuk kepentingan nonmedis obat-obat yang banyak disalahgunakan biasanya memberikan efek sedasi, analgesi dan euforia.

Efek samping obat-obat tersebut beragam mulai dari asikap dan mental serta intelektual sehingga kerusakan organ yang kadang berakhir dengan kematian. Secara sosial dampak negatif dari penyalahgunaan obat adalah berupa ketergantungan dan ketagihan yang seringkali dimanifestasikan dalam bentuk tindakan brutal dan cenderung akriminal.

Pemeriksaan pada korban pemakai morfin yang masih ahidup meliputi anamnesa dan pemeriksaan fisik serta ditunjang dengan pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan toksikologi. Anamnesa dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari gejala-gejala yang tampak akibat pemakaian narkoba sedangkan pemeriksaan toksikologi dilakukan untuk amenentukan apakah didalam tubuh korban terdapat sisa-sisa zat morfin atau tidak. pada pemeriksaan barang bukti mati, jenazah akibat pemakaian narkoba, analisa toksikologi memegang peran yang sangat penting dimana pengumpulan sampel dan akemampuan pemeriksaan toksikologi yang adekuat akan sangat membantu penyidikan.

DAFTAR PUSTAKA

  • Dwiprahasto, I., 1993, Aspek Farmakologik Alkohol dan Narkotok dalam Seminar Penyalahgunaan Alakohol dan Naarkotika, Ikatan Dokter Indonesia, Yogyakarta
  • Hamdani dan Nyowito, 1992, Ilmu kedokteran Kehakiman, Edisi Ke-2, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
  • Jaffe, J.H., 1991, Drug addiction and Drug Abuse In The Farmakolaogical Basis of Therapeutics, 8 th edition, Pergamon Press, New york
  • Knight, B., 1996, Forensic Pathology, Oxford University Press Inc., New York
  • Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83, 161.
  • Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ; 203-207.
  • Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi FK-UI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.
  • Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba medika, 1995; hal : 138-143.
  • Tedeschi, E., 1977, Forensic Medicine, Vol II, W B Saunders Company, West Washington Squartz, Philadelphia
  • Undang-Undang No 9 tahun 1976 tentang Narkotika

Arti Klinis Luka Tembak

 

Dalam praktek banyak terdapat hal tentang luka tembak masuk pada tubuh manusia. Seperti kita ketahui kulit terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan subkutis. Jika dilihat dari elastisitasnya, epidermis kurang elastis bila dibandingkan dengan dermis. Bila sebutir peluru menembus tubuh, maka cacat pada epidermis lebih luas dari pada dermis. Diameter luka pada epidermis kurang lebih sama dengan diameter anak peluru, sedangkan diameter luka pada dermis lebih kecil. Keadaan tersebut dikenal sebagai kelim memar (contusio ring).

Contusio ring ini didapatkan pada luka tembak masuk dan luasnya tergantung pada arah peluru pada kulit. Peluru yang masuk tegak lurus, maka contusio ringnya akan besar, sedangkan peluru yang masuknya miring, contusio ringnya akan lebih lebar dibagian dimana peluru membentuk mulut yang terkecil pada kulit.

Peluru juga mengandung lemak pembersih senjata. Lemak ini juga akan memberi gambaran pada luka tembak berupa kelim lemak yang berupa pita hitam, tetapi kelim lemak ini tidak selalu terdapat misalnya pada senjata yang jarang dibersihkan. Pada waktu senjata ditembakkan, maka yang keluar dari laras senjata api adalah:

a. Api

b. Mesiu yang sama sekali terbakar (jelaga, roetneerslag)

c. Mesiu yang hanya sebagian saja yang terbakar

d. Mesiu yang tidak terbakar

e. Kotoran minyak senjata, karatan dan lain sebagainya

f. Anak pelurunya sendiri

Klasifikasi Luka Tembak

Dalam balistik luka tembak diklasifikasikan menjadi:

a. Luka tembak masuk:

1. Luka tembak tempel (kontak)

Pada umumnya luka tembak masuk kontak adalah merupakan perbuatan bunuh diri. Cara yang biasa dilakukan:

- Ujung laras ditempelkan pada kulit dengan satu tangan menarik alat penarik

senjata.

- Adakalanya tangan yang lain memegang laras supaya tidak bergerak dan tidak

miring.

Sasarannya:

- Daerah temporal

- Dahi sampai occiput

- Dalam mulut, telinga, wajah dibawah dagu dengan arah yang menuju otak.

Luka pada kulit tidak bulat, tetapi berbentuk bintang dan sering ditemukan cetakan/jejas ujung laras daun mata pejera. Terjadinya luka berbentuk bintang disebabkan karena ujung laras ditempelkan keras pada kulit, maka seluruh gas masuk kedalam dan akan keluar melalui lubang anak peluru. Desakan keluar ini menembakkan cetakan laras dan robeknya kulit. Bila korban menggunakan senjata api dengan picu, maka picu akan menimbulkan luka lecet pada kulit antara ibu jari dan jari telunjuk. Luka lecet ini dinamakan schot hand.

Pada tembakan tempel di kepala, sisa mesiu yang ikut menembus kulit, dapat dicari antara kulit dengan tulang kepala (tabula eksterna), dan antara tulang kepala dengan selaput otak keras (tabula interna)

2. Luka tembak jarak dekat

Pada umumnya luka tembak masuk jarak dekat ini disebabkan oleh peristiwa pembunuhan, sedangkan untuk bunuh diri biasanya ditemukan tanda-tanda schot hand. Jarak dekat disini diartikan tembakan dari suatu jarak dimana pada sekitar luka tembak masuk masih didapatkan sisa-sisa mesiu yang habis terbakar. Jarak ini tergantung:

- Jenis senjata, laras panjang atau pendek

- Jenis mesiu, mesiu hitam atau smokeless

3. Luka tembak jarak jauh

Pada luka tembak masuk jarak jauh ini, yang mengenai sasaran hanyalah anak peluru saja. Sedangkan partikel lainnya tidak didapatkan. Pada luka tembak jarak jauh ini hanya ditemukan luka bersih dengan contusio ring. Pada arah tembakan tegak lurus permukaan sasaran (tangensial) bentuk contusio ringnya konsentris, bundar. Sedangkan pada tembakan miring bentuk contusio ringnya oval.

Luka tembak pada jaringan lunak sukar dibedakan antara inshoot dan outshoot, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis, untuk mencari adanya pigmen mesiu, jelaga, minyak senjata atau adanya serat pakaian yang ikut masuk kedalam luka.

b. Luka tembak keluar (luka tembus)

Luka tembak keluar ini ialah bahwa setelah peluru membuat luka tembak masuk dan saluran luka tembakan maka akhirnya peluru akan mengenai kulit lagi dari sebelah dalam dan kulit terdorong ke luar. Kalau batas kekenyalan kulit dilampaui, maka kulit dari dalam menjadi robek dan akhirnya timbul suatu lubang luka baru lagi, dan luka baru inilah yang dinamakan luka tembak keluar.

Jika sebuah peluru setelah membuat lubang luka tembakan masuk dan mengenai tulang (benda keras), maka bentuk dari pada peluru tadi menjadi berubah. Tulang-tulang yang kena peluru tadi akan menjadi patah pecah atau kadang-kadang remuk. Akibatnya waktu peluru menembus terus dan membuat lubang luka tembak keluar, tidak hanya peluru yang berubah bentuknya, tapi juga diikuti oleh pecahan-pecahan tulang tadi oleh karena ikut terlempar karena dorongan dari peluru. Tulang-tulang inipun kadang-kadang mempunyai kekuatan menembus juga. Kejadian inilah yang mengakibatkan luka tembakan keluar yang besar dan lebar, sedangkan bentuknya tidak tertentu. Sering kali besar luka tembak keluar berlipat ganda dari pada besarnya luka tembakan masuk. Misalnya saja luka tembakan masuk beserta contusio ring sebesar kira-kira 8 mm dan luka tembakan keluar sebesar uang logam (seringgit). Berdasarkan ukurannya maka ada beberapa kemungkinan, yaitu:

- Bila luka tembak keluar ukurannya lebih besar dari luka tembak masuk, maka biasanya sebelum keluar anak peluru telah mengenai tulang hingga berpecahan dan beberapa serpihannya ikut keluar. Serpihan tulang ini bisa menjadi peluru baru yang membuat luka keluar menjadi lebih lebar.

- Bila luka tembak keluar ukurannya sama dengan luka tembak masuk, maka hal ini didapatkan bila anak peluru hanya mengenai jaringan lunak tubuh dan daya tembus waktu keluar dari kulit masih cukup besar.

Cara Pengutaraan Jarak Tembak Dalam Visum et Repertum

Bila pada tubuh korban terdapat luka tembak masuk dan tampak jelas adanya jejas laras, kelim api, kelim jelaga atau tattoo; maka perkiraan atau penentuan jarak tembak tidak sulit. Kesulitan baru timbul bila tidak ada kelim-kelim tersebut selain kelim lecet.

· Bila ada kelim jelaga, berarti korban ditembak dari jarak dekat, maksimal 30 cm.

· Bila ada kelim tattoo, berarti korban ditembak dari jarak dekat, maksimal 60 cm, dan seterusnya.

· Bila hanya ada kelim lecet, cara pengutaraannya adalah sebagai berikut: “ berdasarkan sifat lukanya luka tembak tersebut merupakan luka tembak jarak jauh “, ini mengandung arti:

1. Memang korban ditembak dari jarak jauh, yang berarti diluar jangkauan atau jarak tempuh butir-butir mesiu yang tidak terbakar atau sebagian terbakar.

2. Korban ditembak dari jarak dekat atau sangat dekat, akan tetapi antara korban dengan moncong senjata ada penghalang; seperti bantal dan lain sebagainya.

Bila ada kelim api, berarti korban ditembak dari jarak yang sangat dekat sekali, yaitu maksimal 15 cm (Idris, 1997).

Menurut hadikusumo (1998), luka tembak tempel bentuknya seperti bintang, dengan gambaran bundaran laras senjata api dengan tambahan gambaran vizierkorrel (pejera, foresight). Akibat panasnya mulut laras. Bila larasnya menempel pada kulit, gas peluru ikut masuk ke dalam luka, dan berusaha menjebol keluar lagi lewat jaringan disekitar luka. Sementara luka tembak jarak dekat ada sisa mesiu yang menempel pada daerah sekitar luka. Gambaran mesiu ini tergantung jenis senjata dan panjang laras. Mesiu hitam lebih jauh jangkauannya dari pada mesiu tanpa asap. Sedangkan luka tembak jarak jauh, luka bersih dengan cincin kontusio, pada arah tembakan tegak lurus permukaan sasaran bentuk cincin kontusionya konsentris, bundar.

Pemeriksaan Khusus Pada Luka Tembak

Pada beberapa keadaan, pemeriksaan terhadap luka tembak masuk sering dipersulit oleh adanya pengotoran oleh darah, sehingga pemeriksaan tidak dapat dilakukan dengan baik, akibat penafsiran atau kesimpulan mungkin sekali tidak tepat.

Untuk menghadapi penyulit pada pemeriksaan tersebut dapat dilakukan prosedur sebagai berikut:

· Luka tembak dibersihkan dengan hidrogen perokside (3% by volume)

· Setelah 2-3 menit luka tersebut dicuci dengan air, untuk membersihkan busa yang terjadi dan membersihkan darah,

· Dengan pemberian hidrogen perokside tadi, luka tembak akan bersih, dan tampak jelas, sehingga diskripsi dari luka dapat dilakukan dengan akurat.

Selain secara makroskopik, yaitu dengan perangai yang karakteristik pada luka tembak masuk, tidak jarang diperlukan pemeriksaan khusus untuk menentukan secara pasti bahwa luka tersebut luka tembak masuk; ini disebabkan oleh karena tidak selamanya luka tembak masuk memperlihatkan ciri-ciri yang jelas. Adapun pemeriksaan khusus yang dimaksud adalah: pemeriksaan mikroskopik, pemeriksaan kimiawi, dan pemeriksaan radiologik.

Pemeriksaan Mikroskopik

· Perubahan yang tampak diakibatkan oleh dua faktor, yaitu ;trauma mekanis dan termis,

Luka tembak tempel dan luka tembak jarak dekat;

1. Kompresi ephitel,di sekitar luka tampak epithel yang normal dan yang mengalami kompresi,elongasi,dan menjadi pipihnya sel-sel epidermal serta elongasi dari inti sel,

2. Distorsi dari sel epidermis di tepi luka yang dapat bercampur dengan butir-butir mesiu.

3. Epitel mengalami nekrose koagulatif,epitel sembab,vakuolisasi sel-sel basal,

4. Akibat panas, jaringan kolagen menyatu dengan pewarnaan HE, akan lebih banyak mengambil warna biru (basofilik staining)

5. Tampak perdarahan yang masih baru dalam epidermis (kelainan ini paling dominan), dan adanyabutir-butir mesiu

6. Sel-sel pada dermis intinya mengkerut, vakuolisasi dan pignotik

7. Butir-butir mesiu tampak sebagai benda tidak beraturan, berwarna hitam atau hitam kecoklatan

8. Pada luka tembak tempel “hard contact” permukaan kulit sekitar luka tidak terdapat butir-butir mesiu atau hanya sedikit sekali, butir-butir mesiu akan tampak banyak dilapisan bawahnya, khususnya disepanjang tepi saluran luka

9. Pada luka tembak tempel “soft contact” butir-butir mesiu terdapat pada kulit dan jaringan dibawah kulit.

10.Pada luka tembak jarak dekat, butir-butir mesiu terutama terdapat pada permukaan kulit, hanya sedikit yang ada pada lapisan-lapisan kulit

Pemeriksaan Kimiawi

· Pada “black gun powder” dapat ditemukan kalium, karbon, nitrit, nitrat, sulfis, sulfat, karbonat, tiosianat dan tiosulfat.

· Pada “smokeles gun powder” dapat ditemukan nitrit dan selulosa nitrat.

· Pada senjata api yang modern, unsur kimia yang dapat ditemukan ialah timah, barium, antimon, dan merkuri.

· Unsur-unsur kimia yang berasal dari laras senjata dan dari peluru sendiri dapat di temukan ialah timah, antimon, nikel, tembaga, bismut perak dan thalium

· Pemeriksaan atas unsur-unsur tersebut dapat dilakukan terhadap pakaian, didalam atau di sekitar luka,

· Pada pelaku penembakan, unsur-unsur tersebut dapat dideteksi pada tangan yang menggenggam senjata.

Pemeriksaan dengan Sinar X

Pemeriksaan secara radiologik dengan sinar X ini pada umumnya untuk memudahkan dalam mengetahui letak peluru dalam tubuh korban, demikian pula bila ada partikel-partikel yang tertinggal.

· Pada “tanden bullet injury” dapat ditemukan dua peluru walaupun luka tembak masuknya hanya satu.

· Bila pada tubuh korban tampak banyak pellet tersebar, maka dapat dipastikan bahwa korban ditembak dengan senjata jenis “shoot gun” ,yang tidak beralur, dimana dalam satu peluru terdiri dari berpuluh pellet.

· Bila pada tubuh korban tampak satu peluru, maka korban ditembak oleh senjata jenis rifled.

· Pada keadaan dimana tubuh korban telah membusuk lanjut atau telah rusak sedemikian rupa, sehingga pemeriksaan sulit, maka dengan pemeriksaan radiologi ini akan dengan mudah menentukan kasusnya, yaitu dengan ditemukannya anak peluru pada foto rongent (Idris, 1997).

Pramono (1996) menyatakan luka tembak masuk dilukis dalam keadaan asli atau dibuat foto. Pada luka tembak jarak dekat dibuat percobaan parafin, yang kegunaannya untuk menentukan sisa mesiu pada tangan penembak atau sisa-sisa mesiu sekitar luka tembak untuk jarak dekat.

 

Luka Tembak Oleh Senjata Api Yang Tidak Beralur

Luka tembak masuk yang disebabkan oleh senjata api yang tidak mempunyai alur (entrance shootgun wounds) mempunyai ciri yang berbeda bila dibandingkan dengan luka tembak yang berasal dari senjata yang beralur.

Komponen yang memberikan ciri luka tembak masuk, ialah ;

· Mesiu

· Api

· Asap

· Gas

· Pellet,dan

· Sumbat anak peluru(wad)

Kaliber senjata, ukuran dan jumlah pellet serta derajat penyempitan laras merupakan faktor-faktor yang menentukan sifat luka tembak, jarak tembak tembak tentunya turut berpengaruh pula, jarak tembak menentukan jenis luka yang terjadi.

Luka tembak tempel:

· Jika moncong senjata tegak lurus dengan kulit, luka biasanya berbentuk bundar, bila membentuk sudut akan berbentuk oval.

· Tepi luka biasanya rata, jarang compang-camping, dengan memar serta berwarna hitam karena butir-butir mesiu.

· Tepi luka dapat hangus,

· Oleh karena senjata (peluru) meledak di dalam tubuh, maka jaringan di bawah kulit serta jaringan yang lebih dalam akan mengalami kerusakan yang hebat,

· Adanya gas yang masuk menyebabkan darah serta jaringan sepanjang saluran luka mengandung gas CO.

· Jejas laras dapat satu atau dua buah tergantung jenis senjata yang dipakai.

· Bentuk jejas dapat bagus, lengkap sesuai dengan bentuk moncong senjata, dapat pula hanya sebagian, tergantung sifat atau derajat menempelnya senjata tersebut pada tubuh.

· Pada luka tembak tempel atau luka tembak jarak dekat, maka peluru (pellet), akan masuk ke dalam tubuh dalam satu kesatuan (en masse),

· Dalam tubuh, masing-masing pellet akan saling berbenturan sehingga terjadi dispersi atau penyebaran pellet ke seluruh tubuh, fenomena ini dikenal dengan nama”billiard ball richochet effect”.

Luka tembak jarak dekat:

· Pengertian jarak dekat bila jarak antara moncong senjata tubuh korban sekitar 50 cm (24 inci).

· Sampai jarak 15 cm, bentuk luka bundar atau oval; tepi luka rata atau sedikit tidak teratur,

· Luka bakar, jelaga dan butir-butir mesiu dapat ditemukan,

· Daerah yang berwarna akibat mesiu dan jelaga akan lebih meluas sesuai dengan bertambah jauhnya jarak antara korban dengan moncong senjata.

· Jelaga masih dapat dilihat sampai jarak sekitar 37 1/2 cm (15 inci),

· Tattoo akan dapat ditemukan sampai jarak sekitar 50 cm.

· Gas CO mungkin masih dapat dideteksi.

Luka tembak jarak jauh:

· Luka tembak jarak jauh adalah luka tembak dimana jarak tembak di mana jarak antara moncong senjata dengan korban diatas 50 cm, atau diluar jarak tempuh atau jangkauan butir-butir mesiu.

· Dalam jarak 60-90 cm , lubang luka bundar, dengan bertambahnya jarak (semakin menjauh ), maka pellet akan menyebar dan menimbulkan lubang-lubang luka disekitar lubang yang besar,

· Pada jarak 90-270cm, akan tampak lubang yang besar dengan tepi tidak rata yang disebabkan oleh pellet-pellet (“cookie cutter etching).

· Pada jarak yang lebih jauh, akan tampak lubang luka utama yang di kelilingi oleh lubang kecil-kecil akibat pellet,

· Dari sumbat penyebaran pellet-pellet tersebut bisa diperkirakan jarak tembaknya, tentunya setelah dilakukkan tembakan percobaan.

Luka akibat sumbat anak peluru:

· Pada shoot gun, selain terjadi luka akibat pellet, dapat pula terjadi luka yang disebabkan oleh sumbat anak peluru (wad), yang mengenai tubuh,

· Sumbat tersebut ringan, sehingga tidak dapat mengadakan penetrasi ke dalam tubuh korban,

· Luka yang ditimbulkan akibat sumbat, biasanya berbentuk luka lecet yang seringkali berbentuk sirkuler.

Luka Tembak Oleh Senjata Api Dengan Peredam Suara

Fungsi Alat Peredam Suara

Seperti diketahui suara atau kebisingan yang terjadi sewaktu senjata api yang ditembakkan, sebenarnya merupakan kumulasi dari berbagai faktor, yaitu: jatuhnya pelatuk (hammer or firing pin) , letusan primer (the primer pop) dan ditambah dengan shock waves,gelombang pendahuluan (precursor wace), letusan peluru dan gelombang yang mendorong.

Oleh karena besarnya suara atau kebisingan yang dihasilkan oleh gelombang yang mendorong (propellant wave), langsung tergantung dari kecepatan/velositas dan kemampuan untuk ekspansi; maka alat peredam didesain sedemikian rupa agar dapat mengurangi suara atau kebisingan yang terjadi yaitu dengan cara mengurangi kecepatan dari gas sebelum meninggalkan senjata, mengontrol ekspansi gas dan mendinginkannya, dengan demikian akan mengurangi volume dan tekanan serta kecepatannya.

Pada umumnya alat peredam suara didesain dalam 3 bentuk dasar, yaitu:

1. “an expansion chamber” dari kaliber lebih besar dari senjata (agar gas tidak dapat keluar dari persambungan),

2. Interposisi satu atau lebih “centrally perforated baffles” pada sudut yang sesuai dengan arah keluarnya gas (gas akan menyimpang kelateral dan memperluas permukaan yang membantu mendinginkan gas), dan

3. Memasang beberapa fibrous packing material pada expansion chamber (ini sebagian akan menyerap gas dan memperluas permukaan yang menghasilkan pendinginan).

Dengan dipasangnya alat peredam suara, maka akan terjadi perubahan perangai dari senjata tersebut, diantaranya:

1. Berkurangnya suara,

2. Kecepatan tidak banyak dipengaruhi dan pengaruhnya kurang bermakna. percepatan dapat lebih sedikit dipercepat atau diperlambat.

3. Deformitas dari anak peluru, yang walaupun demikian adanya alur pada anak peluru masih dapat dikenali.