This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 30 Desember 2011

Penatalaksanaan GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)

Muhammad Begawan Bestari
Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung


ABSTRAK
Penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease, GERD) kurang umum dijumpai dan derajat keparahan endoskopiknya lebih ringan di Asia dibandingkan di negara-negara Barat. Namun, data saat ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan frekuensi penyakit tersebut di Asia. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas. Sementara itu, tidak terdapat pemeriksaan baku emas untuk diagnosis penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD) dan diagnosisnya mengandalkan gejala atau respons terhadap pengobatan proton pump inhibitor (PPI). Sasaran pengobatan GERD adalah menyembuhkan esofagitis, memperingan gejala, mempertahankan pasien tetap bebas gejala, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah komplikasi. Hingga saat ini, PPI merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif. Sesudah pengobatan awal, terapi on-demand dapat efektif pada beberapa pasien penderita NERD atau esofagitis erosif ringan. Bedah anti-refluks oleh dokter bedah yang kompeten dapat membuahkan hasil-akhir yang sama, dengan mortalitas operatif sebesar 0,1 – 0,8%. Keputusan bergantung pada pilihan pasien dan ketersediaan dokter bedah yang berpengalaman. Pada penderita GERD yang tidak mengeluhkan gejala peringatan (alarm symptoms) saat pemeriksaan di layanan primer, pengobatan dapat dimulai dengan PPI dosis standar selama 2 minggu. Bila responsnya sesuai, PPI dilanjutkan selama 4 minggu sebelum masuk ke terapi on-demand.
Kata kunci: GERD, PPI, terapi on-demand, endoskopi

Selasa, 27 Desember 2011

Zinc Untuk Penanganan Flu

Jika diberikan dalam 24 jam setelah timbul gejala flu, zinc dapat mengurangi durasi dan tingkat keparahan flu pada orang sehat, hal ini berdasarkan review Cochrane yang dilaporkan secara online pada 16 Februari 2011. Tinjauan ini memperkuat bukti bahwa zinc dapat digunakan sebagai pengobatan flu; hal ini dikatakan oleh dr. Meenu Singh. Namun, saat ini masih sulit untuk membuat
rekomendasi umum, karena belum diketahui pasti mengenai perumusan, dosis optimum atau lama pengobatan.

Dexamethasone plus Antibiotik Mempersingkat Durasi Rawat Inap pasien CAP

Penambahan dexamethasone pada terapi antibiotik mempersingkat durasi rawat inap pasien CAP (community-acquired pneumonia) tanpa gangguan sistem imun. Demikian simpulan dari sebuah studi yang dipublikasikan di Lancet bulan Juni 2011. 
Studi ini menggunakan desain acak tersamar ganda dengan kontrol plasebo, dilakukan terhadap 304 pasien CAP (usia >18 tahun) di dua rumah sakit pendidikan di Belanda: 153 pasien sebagai kelompok plasebo dan 151 pasien di kelompok dexamethason (infus 5
mg/hari). Dexamethason atau plasebo, diberikan selama 4 hari sejak pasien masuk rawat inap. Kedua kelompok juga mendapat terapi antibiotik. Pasien dengan gangguan sistem imun, pasien yang perlu dipindahkan ke ICU, dan pasien yang sudah menerima kortikosteroid atau imunosupresan dieksklusi dari uji klinis ini. Parameter utama studi
adalah durasi rawat inap pasien.
Dari 304 partisipan, 143 (47%) pasien mengidap CAP derajat 4 - 5. Dari jumlah tersebut, 79 pasien termasuk dalam kelompok dexamethason dan 64 pasien sisanya di kelompok kontrol. Di kelompok deksametason, nilai median durasi rawat inap pasien adalah 6,5 hari, sedangkan di kelompok kontrol 7,5 hari (CI 95% pada perbedaan median 0 – 2 hari, p = 0,048).
Selain itu, penurunan biomarkers peradangan dalam darah (C-reactive proteins dan
interleukin-6) lebih cepat pada kelompok dexamethasone dibanding kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan bermakna dalam mortalitas dan insidens efek samping yang berat, baik pada kelompok dexamethasone maupun kontrol. Hiperglikemia terjadi pada 67 (44%) dari 151 pasien kelompok dexamethasone, berbanding 35 (23%) dari 153 pasien kelompok kontrol. Seorang pasien pada kelompok dexamethasone mengalami perforasi lambung pada hari ke-3.
Dari studi ini, disimpulkan bahwa penambahan dexamethasone pada terapi antibiotik dapat mempersingkat durasi rawat inap pasien CAP tanpa gangguan sistem imun. Penggunaan kortikosteroid tetap harus mempertimbangkan manfaat yang diperoleh dan potensi risikonya, seperti superinfeksi dan gangguan saluran cerna. Efektivitas biaya terkait periode rawat inap yang lebih singkat pada pasien CAP berdampak penting terhadap kesehatan masyarakat. Untuk masa mendatang,
glukokortikoid, dengan kemampuan antiinflamasinya yang poten dan cepat, profil
keamanan yang baik, serta biaya yang lebih rendah, masih menjadi kandidat utama
sebagai terapi pendamping lini pertama. Meskipun demikian, dibutuhkan uji klinis
lebih lanjut dengan durasi pemberian kortikosteroid yang lebih panjang guna
mencapai resolusi biologis dan mencegah rebound inflammation. (AGN)
REFERENSI
Meijvis S, Hardeman H, Remmelts H, et al. Dexamethasone and length of hospital stay in patients with community-acquired pneumonia: a randomised, double-blind, placebo-controlled trial. Lancet 2011; 377:2023-30.


Sumber: http://adf.ly/4QKF2