This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Olah Raga Rekreasional Jangka Panjang Menurunkan Risiko Kanker Endometrium

Aktivtitas fisik termasuk olah raga yang bersifat rekreasional akan menurunkan risiko kanker endometrium pada wanita khususnya dengan kegemukan atau obes. Hal ini merupakan kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh Dr. C M Dieli-Conwright dari Division of Cancer Etiology, Department of Population Sciences, Beckman Research Institute of City of Hope, California, USA dan kolega yang telah dipublkasikan secara online dalam British Journal of Cancer bulan Juli 2013 ini.

Dalam studi tersebut, peneliti melibatkan sebanyak 93.888 guru-guru di California yang memenuhi syarat. Sebanyak 976 terdiagnosis kanker endometrium dalam kurun waktu 1995–1996 and 2007. Metode Cox proportional hazards regression digunakan untuk memperkirakan risikorelatif (RRS) dan 95%CI hubungan antara kanker endometrium (kurun waktu 54 tahun maupun 3 bulan sebelum bergabung dalam studi kohort) dengan aktivtias fisik rekreasional jangka panjang, ataupun secara keseluruhan serta berdasarkan "body size".

Peningkatan aktivitas fisik rekreasional 3 bulan sebelum penelitian berhubungan dengan penurunan risiko kanker endometrium (Ptrend0,006) dengan sekitar 25% penurunan risiko diantara wanita dengan aktivitas > 3 jam perminggu per tahun dan kurang dari 1/2 jam per minggu per tahun dengan RR RR, 0.76; 95% CI, 0.63–0.92. Hubungan sebaliknya terlihat pada wanita dengan kegemukan ((body mass index ≥25kgm−2; Ptrend=0.006), namun bukan pada wanita yang lebih langsing (Ptrend0,12). Aktivitas fisik derajat sedang pada 3 bulan sebelum studi menunjukkan penurunan risiko kanker endometrium.

Dari studi tersebut peneliti menyimpulkan bahwa, peningkataan aktivitas fisik, khususnya aktivitas derajat sedang dan berat dapat sebagai perubahan gaya hidup pada wanita dengan kegemukan untuk menurunkan risiko kanker endometrium.(Red)



Referensi: C M Dieli-Conwright, H Ma, J V Lacey Jr, K D Henderson, S Neuhausen, P L Horn-Ross, D Deapen, J Sullivan-Halley and L Bernstein. Long-term and baseline recreational physical activity and risk of endometrial cancer: the California Teachers Study.British Journal of Cancer (2013) 109, 761–768. doi:10.1038/bjc.2013.61

Cephalosporin Generasi III oral dan Azithromycin vs Regimen Terapi Berbasis Ceftriaxone untuk Pharyngeal Gonorrhea

Guideline CDC (Centers for Disease Control and Prevention) terbaru untuk pharyngeal gonorrhea merekomendasikan terapi kombinasi ceftriaxone IM dengan azithromycin atau doxycyline sebagai pilihan pertama. Ketika ceftriaxone tidak tersedia atau tidak dapat diberikan, cephalosporin generasi ketiga oral (cefixime) dapat diberikan sebagai pengganti.

Studi terbaru menunjukkan bahwa kombinasi cephalosporin generasi ketiga oral dengan azithromycin sebanding dengan kombinasi cephalosporin generasi ketiga IM dengan azithromycin untuk phryngeal gonorhhea / oral gonorhhea (infeksi gonorrhea di faring; penularan melalui oral seks). Penelitian ini merupakan analisa retroprospektif pada pasien yang didiagnosis menderita pharyngeal gonorrhea pada periode 1993-2011 di klinik penyakit menular seksual di Seattle, Washington, dan membandingkan proporsi hasil tes ulangan yang positif untuk pharyngeal gonorrhea, 7-180 hari setelah perawatan pada pasien yang menerima regimen obat yang berbeda beda. 

Hubungan antara regimen terapi dinilai dengan relative risk melalui model regresi Poisson dengan log link dan robust standard errors. Total 1440 kasus pharyngeal gonorrhea didiagnosis selama periode studi, 25% (n=360) menjalani tes ulangan. Di antara pasien yang menjalani tes ulangan, risiko tes ulangan yang positif paling rendah pada pasien yang menerima cephalosporin oral dan azithromycin (7%), dan paling tinggi pada pasien yang menerima cephalosporin oral saja (30%, relative risk [RR] 3,98; 95% confidence interval [CI], 1,7-9,36) atau cefphalosporin oral dikombinasikan dengan doxycycline (33%; RR, 4,18; 95% CI, 1,64-10,7).

Risiko tes ulangan yang positif tidak berbeda bermakna antara pasien yang diberikan cephalosporin oral + azithromycin dengan pasien yang diberikan ceftriaxone saja (9,1%; RR, 0,81; 95% CI, 0,18-3,60) atau ceftriaxone dikombinasikan dengan azithromycin atau doxycycline (11,3%; RR, 1,20; 95% CI, 0,43-3,33).

Kesimpulan: Dalam studi retroprospektif ini, kombinasi cephalosporin generasi ketiga oral dengan azithromycin sebanding dengan regimen berbasis ceftriaxone pada perawatan pharyngeal gonorrhea. Kombinasi cephalosporin oral dengan doxycycline terkait dengan peningkatan risiko infeksi yang persisten atau rekuren. (AGN)


Referensi:
1.Barbee LA, Kerani RP, Dombrowski JC, Soge OO, Golden MR. A retrospective comparative study of 2-drug oral and intramuscular cephalosporin treatment regimens for pharyngeal gonorrhea. Clin Infect Dis. 2013 Jun;56(11):1539-45.
2.CDC. Gonorrhea treatment guidelines: Revised guidelines to preserve last effective treatment option. CDC Fact Sheet [Internet] 2012 [Cited 2013 Jan 10]. Available: from: http://www.cdc.gov/nchhstp/newsroom/docs/2012/GonorrheaTreatmentGuidelinesFactSheet8-9-2012.pdf

Kolesterol Total Serum sebagai Marker Mortalitas Pasien Lanjuti Usia Rawat Inap

Telah diketahui bahwa peningkatan kadar kolesterol total (STC – serum total cholesterol) dalam serum dikaitkan dengan peningkatan mortalitas karena penyebab lain dan kardiovaskuler pada pasien usia pertengahan. Pada pasien lanjut usia (>60 tahun) peningkatan kadar kolesterol total dalam serum sebesar 1 mmol/L dikaitkan dengan 20% peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskuler (CVD) pada 5 dan 10 tahun ke depan.

The National Cholesterol Education Program (NCEP) menggunakan program modifikasi risiko berdasarkan Framingham yang memasukkan STC di dalam perhitungan untuk memprediksi risiko kejadian CHD (coronary heart disease) dalam 10 tahun pada dewasa usia 20-79 tahun. Akan tetapi, program ini tidak berhasil untuk memperhitungkan risiko CHD pada pasien diatas usia >79 tahun. STC merupakan salah satu faktor penentu penting terjadinya CVD pada pasien usia 60 tahun dan keatas. 

Ada kemungkinan hubungan terbalik antara STC dan mortalitas pada pasien lanjut usia (>79 tahun) yang direfleksikan pada status nutrisi, seperti yang ditunjukkan pada kelompok populasi pasien dengan penyakit kronik. Pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, umumnya memiliki risiko peningkatan ganggauan nutrisi atau malnutrisi yang dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Studi yang menunjukkan secara langsung hubungan STC dengan peningkatan mortalitas pada pasien lanjut usia yang menjalani rawat inap sangat terbatas. 

Pada pasien lanjut usia (>79 tahun) terkadang memiliki hasil yang berbeda terkait akan peningkatan STC. Hubungan STC dan mortalitas pada usia lanjut >79 tahun terkadang kontradiktif jika dibandingkan pada kelompok pasien dengan usia yang lebih muda. Pada studi yang dilakukan oleh Honolulu Heart Program menunjukkan pada pasien lanjut usia antara 71-93 tahun yang memiliki kadar STC rendah (kuartil terendah untuk kadar STC) memiliki meningkatan relative risk (RR) kematian (RR 1,64; 95% CI 1,13 – 2,36). Begitu pula juga dengan sebuah studi yang dilakukan di Finlandia, pada pasien lanjut usia >75 tahun peningkatan setiap 1 mmol/L dari kadar kolesterol total dikaitkan dengan penurunan risiko 6 tahun kematian karena penyebab apapun (all-cause mortality) sebesar 22%.

Studi terbaru dilakukan untuk menilai hubungan antara STC, kadar albumin, dan mortalitas pada pasien lanjut usia yang menjalani rawat inap. Data dikumpulkan berdasarkan pasien yang menjalani rawat inap antara 1 Jan 1999 sampai dengan 31 Des 2000. 298 data pasien dikumpulkan berdasarkan kriteria pasien lanjut usia yang menjalani rawat inap di bagian geritatri dan bersedia untuk diikutsertakan dalam penelitian ini, serta memiliki angka harapan hidup minimal 180 hari sejak menjalani rawat inap di RS. 

Berikut adalah hasil dari studi tersebut: pada fase follow-up pada 31 Agus 2004, terdapat 50 pasien yang masih hidup dan 248 pasien yang sudah meninggal, dengan rata-rata usia pasien 81,5 tahun. Terhadapat perbedaan bermakna pada beberapa variable antara pasien yang hidup dan meninggal pada fase follow-up: BMI (p<0 1="" 2="" 50="" 95="" albumin="" ci="" kadar="" kematian="" kolesterol="" kuartil="" memiliki="" p="0,02).</div" pada="" peningkatan="" risiko="" sebesar="" stc="" terendah="" total="">

Kesimpulan: Peningkatan kadar STC dan albumin pada pasien lanjut usia (>79 tahun) yang menjalani rawat inap di RS dikaitkan perbaikan harapan hidup. (MAJ)



Referensi :
1.Weiss A, Beloosesky Y, Schmilovitz-Weiss H, Grossman E, Boaz M. Serum total cholesterol: A mortality predictor in elderly hospitalized patients. Clin Nutr. 2013;32(4):533-7.
2.Rahilly-Tierney CR, Spiro A 3rd, Vokonas P, Gaziano JM. Relation between high-density lipoprotein cholesterol and survival to age 85 years in men (from the VA normative aging study). Am J Cardiol. 2011;107(8):1173-7.
3.Krumholz HM, Seeman TE, Merrill SS, Mendes de Leon CF, Vaccarino V, Silverman DI, et al. Lack of association between cholesterol and coronary heart disease mortality and morbidity and all-cause mortality in persons older than 70 years. JAMA. 1994;272(17):1335-40.

Suplementasi Vitamin pada Pasien Kanker

Lebih dari separuh populasi penduduk Amerika menggunakan suplemen harian. Suplemen yang sering digunakan yaitu multivitamin karena dipercaya akan mencegah dan sebagai terapi penyakit kronik, misalnya kanker. Selain multivitamin, anti-oksidan juga sering digunakan untuk mencegah kanker dan penyakit jantung. Tetapi pada pasien dengan kanker, anti-oksidan digunakan untuk membantu penyembuhan dan mencegah rekurensi. Studi menunjukkan bahwa sampai dengan 81% dari cancer survivor menggunakan suplemen harian, dan 14-32%-nya mulai menggunakan setelah didiagnosis.

American Institute for Cancer Research (AICR) merekomendasikan diet rendah lemak, banyak mengkonsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk whole-grain; dan memiliki makronutrien yang cukup serta vitamin dan mineral untuk mempertahankan kesehatan yang baik untuk cancer survivor. Selama pasien dengan kanker mendapat kemoterapi atau radiasi, pasien sering mengalami mual, muntah, diare, dan hilangnya nafsu makan sehingga terjadi penurunan asupan harian dan penurunan berat badan.

Vitamin dan mineral tampaknya penting diberikan tetapi ternyata tidak selalu penting diberikan. Yang menjadi concern yaitu suplemen harian (dengan/atau tanpa properti anti-oksidan) mungkin mempengaruhi efikasi terapi kanker. Penggunaan suplemen harian selama terapi kanker masih kontroversial. Suplemen harian dengan anti-oksidan mungkin aman dan efektif dalam meningkatkan respons terhadap kemoterapi dan memperbaiki kualitas hidup dengan menurunkan efek sampingnya. Sebaliknya, terdapat argumen yang menunjukkan penggunaan suplemen anti-oksidan selama kemoterapi mengganggu proses oksidatif DNA seluler dan membran sel yang penting untuk obat tersebut bekerja.

Argumen lainnya yaitu apoptosis sel tumor meningkat dengan adanya reactive oxygen species (ROS) dalam jaringan dan proses ini diperlambat dengan adanya anti-oksidan.Mengkonsumsi suplemen harian dengan kandungan nutrien dengan anti-oksidan yang melebihi Dietary References Intake (DRI) tidak direkomendasikan selama mendapat kemoterapi karena kandungan yang tinggi memiliki efek samping dan menganggu efikasi terapi.

Berikut ringkasan pengggunaan suplemen pada pasien dengan kanker:

Studi
Hasil
J Clin Oncol. 2010;28:4354-63 (n= 1.038)
Pasien dengan kanker kolon stadium III, mendapat kemoterapi adjuvan. Pasien melaporkan menggunakan multivitamin selama dan 6 bulan setelah kemoterapi adjuvan.
Penggunaan multivitamin selama dan setelah kemoterapi adjuvan tidak berkaitan secara bermakna dengan perbaikan outcome pada pasien dengan kanker kolon stadium III. Penggunaan multivitamin juga tidak memperbaiki toksisitas saluran cerna derajat 3 atau lebih.
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2010;20(2):262-71 (n= 4.877)
Pasien dengan kanker payudara invasif. Penggunaan suplemen vitamin selama 6 bulan pertama setelah diagnosis dan selama terapi kanker.
Penggunaan suplemen vitamin mungkin berkaitan dengan menurunnya risiko mortalitas dan rekurensi.
Limitasi: tidak terdapat informasi lengkap mengenai dosis suplemen vitamin, tidak terdapat informasi diet yang lengkap.
Am J Epidemiol. 2006;163:645-53 (n= 1.455)
Pasien dengan kanker payudara. Pasien mendapat ginseng setelah didiagnosis kanker atau sebelum didiagnosis kanker.
Risiko mortalitas menurun pada pengguna ginseng secara rutin. Sedangkan pada pengguna ginseng setelah didiagnosis kanker, berkaitan positif dengan skor kualitas hidup.
Limitasi: tidak dapat menyingkirkan adanya penggunaan obat komplementer lain, informasi berupa laporan pasien sendiri (ada kemungkinan bias).
Cancer Control 2005;12(3):149-57
Tinjauan literatur mengenai herbal yang digunakan pasien kanker
Suplemen yang berbeda memiliki aktivitas anti-platelet, berinteraksi dengan corticosteroid & obat pada sistem saraf pusat, memiliki manifestasi pada saluran cerna, bersifat hepatotoksik & nefrotoksik, menghasilkan efek aditif jika digunakan dengan analgesik opioid.
J Clin Oncol. 2008;26(4):665-73 (n= 32 trial)
Tinjauan sistematik penggunaan vitamin & mineral setelah didiagnosis kanker
14-32% dari cancer survivor menggunakan suplemen setelah didiagnosis kanker. Sampai dengan 68% dokter unaware mengenai penggunaan suplemen pada pasiennya. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kaitan antara penggunaan suplemen dengan toksisitas terapi, rekurensi, survival, dan kualitas hidup untuk mendukung penggunaan suplemen pada pasien kanker dan survivor.
Int J Cancer 2009;125:1155-60 (n= 2.997)
Pasien wanita dengan kanker solid mendapat suplemen cod liver oil atau suplemen lain
Penggunaan cod liver oil harian sepanjang tahun berkaitan dengan penurunan risiko kematian pada pasien dengan kanker solid dan dengan kanker paru. Penggunaan suplemen lain harian atauoccasional juga berkaitan dengan penurunan risiko kematian. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi kaitan ini.
 


AICR (2003) merangkum mengenai pemberian suplemen harian selama terapi kanker sebagai berikut:
• Suplementasi diet pasien kanker yang menjalani terapi dengan anti-oksidan tunggal atau kombinasi melebihi RDA (Recommended Dietary Allowance) atau AI (Adequate Intake) tidak dapat direkomendasikan aman atau efektif.
• Penggunaan anti-oksidan dalam kadar yang tinggi sebagai satu-satunya terapi tidak dianjurkan karena berbahaya bagi sel normal via efek pro-oksidan atau mungkin memberi manfaat untuk sel kanker.
• Belum terdapat evidence yang kuat mengenai penggunaan suplementasi vitamin E pada pasien yang menjalani kemoterapi atau terapi radiasi.
• Pasien kanker sebaiknya mengikuti diet reasonable dengan kebutuhan vitamin C sesuai RDA atau tidak melebihi 2 kali jumlahnya.
• Pasien tidak boleh mengkonsumsi β-karoten dalam jumlah besar.
• Belum terdapat evidence yang cukup untuk saat ini mengenai rekomendasi selenium.
• Kurangnya informasi mengenai interaksi anti-oksidan meningkatkan concern untuk merekomendasikan kombinasi anti-oksidan yang sembarangan.
• Belum terdapat informasi yang cukup untuk rekomendasi produk soy. Suplemen yang mengandung soy isoflavone tidak direkomendasikan karena kadarnya lebih tinggi dari yang didapat dari makanan.
• Pasien kanker dan orang sehat dapat mengkonsumsi asam lemak tidak jenuh sesuai AI.
• Vitamin D3 tidak dapat direkomendasikan pada pasien kanker.
• Suplemen multivitamin harian sesuai dengan DRI dapat digunakan secara aman sebagai bagian dari nutrisi sehat yang mencakup 5-10 saji buah dan sayur harian.

Sebagai kesimpulan, pasien kanker menggunakan suplemen setelah didiagnosis kanker. Penggunaan suplemen pada pasien kanker masih kontroversial, di mana pada beberapa studi dengan skala besar menunjukkan hasil yang positif tetapi literatur lain menunjukkan hasil yang negatif. Penggunaan suplemen dengan anti-oksidan diduga mengganggu terapi yang diberikan untuk kanker. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat manfaat suplemen dan interaksi dengan obat lain. (HLI)



Referensi:
1.Ng Kimmie, Meyerhardt JA, Chan JA, Niedzwiecki D, Hollis DR, Saltz LB, et al. Multivitamin use is not associated with cancer recurrence or survival in patients with stage III colon cancer: Findings from CALGB 89803. J Clin Oncol. 2010;28:4354-63.
2.Norman HA, Butrum RR, Feldman E, Heber D, Nixon D, Picciano MF, et al. The role of dietary supplements during cancer therapy. J Nutr. 2003;133:3794S-99S.
3.Nechuta S, Lu W, Chen Z, Zheng Y, Gu K, Cai H, et al. Vitamin supplement use during breast cancer treatment and survival: A prospective cohort study. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2010;20(2):262-71.
4.Cui Y, Shu XO, Gao YT, Cai H, Tao MH, Zheng W. Association of ginseng use with survival and quality of life among breast cancer patients. Am J Epidemiol. 2006;163:645-53.
5.Kumar NB, Allen K, Bell H. Perioperative herbal supplement use in cancer patients: Potential implications and recommendations for presurgical screening. Cancer Control 2005;12(3):149-57.
6.Velicer CM, Ulrich CM. Vitamin and mineral supplement use among US adults after cancer diagnosis: A systematic review. J Clin Oncol. 2008;26(4):665-73.
7.Skeie G, Braaten T, Hjartaker A, Brustad M, Lund E. Cod liver oil, other dietary supplements and survival among cancer patients with solid tumours. Int J Cancer 2009;125:1155-60.

Kombinasi Teriparatide-Denosumab Meningkatkan Kekuatan Tulang Wanita Pascamenopause

Wanita postmenopause dengan risiko fraktur osteoporosis yang diterapi dengan kombinasi teriparatide dan denosumab, jika dibandingkan dengan terapi teriparatide atau dengan denosumab saja, mengalami peningkatan kepadatan massa tulang (BMD=Bone Mass Density) setelah diterapi selama 12 bulan. 

Teriparatide merupakan bentuk rekombinan dari hormon parathyroid dan sebagai agen anabolik yang diindikasikan untuk osteoporosis pada wanita postmenopause dengan risiko tinggi fraktur, atau dengan riwayat fraktur osteoporotik, pasien dengan faktor risiko fraktur multipel dan untuk pasien yang gagal atau intoleran terhadap terapi osteoporosis lainnya. Sedangkan denosumab merupakan fully human monoclonal antibody yang dapat menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas pada pasien-pasien dengan osteoporosis. Kedua agen tersebut telah diakui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat sebagai salah satu pilihan terapi pada pasien-pasien yang mengalami osteoporosis dengan risiko tinggi fraktur, dan juga tercantum dalam AACE (American Association of Clinical Endocrinologist) Postmenopausal Osteoporosis Guidelines sebagai salah satu terapi dalam penanganan osteoporosis pada tahun 2010.

Joy N. Tsai, MD dan kolega dari Department of Medicine, Endocrine Unit, Massachusetts General Hospital, Boston melaporkan penelitian mereka yang dipublikasikan pada jurnal The Lancet tanggal 15 Mei 2013. Dalam studi yang mereka lakukan terhadap 526 wanita usia 45 tahun ke atas dengan fraktur risiko tinggi dari bulan September 2009 sampai Januari 2011, didapatkan 100 orang subyek yang sesuai dengan kriteria studi dan dari 100 subyek tersebut terdapat 94 orang yang berhasil menyelesaikannya. Subyek diberikan 20 μg teriparatide per hari atau denosumab 60 mg tiap 6 bulan atau kombinasi keduanya selama 12 bulan. Subyek juga diberikan suplemen calcium dan vitamin D. Pada studi desain acak dengan menggunakan kontrol selama 12 bulan ini, didapatkan bahwa kombinasi teriparatide-denosumab meningkatkan BMD pada posterior-anterior lumbar spine, femoral neck, dan total-hip BMD jika dibandingkan apabila teriparatide ataupun denosumab diberikan sendiri-sendiri saja.

Kelompok Teriparatide
Kelompok Denosumab
Kelompok Kombinasi (Teriparatide-Denosumab)
BMD posterior-anterior lumbar spine
(6·2% [4·6], p=0·0139)
(5·5% [3·3], p=0·0005)
(9·1%, [SD 3·9])
BMD femoral-neck
(0·8% [4·1], p=0·0007)
(2·1% [3·8], p=0·0238)
(4·2% [3·0])
BMD total-hip
(0·7% [2·7], p<0·0001)
(2·5% [2·6], p=0·0011)
(4·9% [2·9])



Ethel Siris, MD, dari Columbia University Medical Center, New York-Presbyterian Hospital, New York City, dan direktur dari the clinical osteoporosis program mengatakan, walaupun hasilnya mengesankan, namun hasil tersebut tetaplah dari suatu studi tunggal. Jika dikonfirmasikan dengan uji klinik yang lebih besar dan lebih banyak maka hasil tersebut merupakan aset yang sangat berharga.

Kombinasi teriparatide dan denosumab secara bermakna dapat meningkatkan BMD lebih baik daripada pemberian teriparatide tunggal atau denosumab tunggal, serta hasilnya lebih baik daripada dibandingkan terapi yang telah diakui sebelumnya untuk pengobatan osteoporosis. Terapi kombinasi tersebut, mungkin dapat berguna bagi pasien osteoporosis dengan fraktur risiko tinggi, namun perlu dikonfirmasi dengan penelitian-penelitian selanjutnya. (PDP)


Referensi:
1.Henderson D. Teriparatide-Denosumab Combo Strengthens Postmenopausal Bone. (Internet Medscape). Cited : August 14, 2013. 
2. Tsai JN, Uihlein AV , Lee H, Kumbhani R, Siwila-Sackman E, McKay EA, et al. Teriparatide and denosumab, alone or combined, in women with postmenopausal osteoporosis: the DATA study randomised trial. The Lancet 2013;382:50 – 6.
3.Watts NB, Bilezikian JP, Camacho PM, Greenspan SL, Harris ST, Hodgson SF, et al. American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis and Treatment of Postmenopausal Osteoporosis. AACE Postmenopausal Osteoporosis Guidelines, Endocr Pract. 2010:16(Suppl3).

Tatalaksana Nutrisi pada Pasien Luka Bakar Mayor Berdasarkan ESPEN

Luka bakar derajat berat masih menjadi permasalahan utama di seluruh dunia. Adapun kabar baik dari data luka bakar secara keseluruhan, yaitu mayoritas kasus luka bakar adalah ringan dan dapat diobati dengan perawatan rawat jalan dan hanya sekitar 10% yang membutuhkan perawatan inap, dan hanya sejumlah kecil yang membutuhkan perawatan intensif di ICU (intensive care unit). Selain daripada itu, perkembangan perawatan luka juga telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam 3 dekade terakhir yang dapat menurunkan mortalitas.



Luka bakar mayor, yang mempengaruhi lebih dari 20% TBSA (total burn surface area), dengan atau tanpa gangguan pernapasan, merupakan kondisi yang spesific jika dibandingkan dengan kondisi di unit intensive care secara umum. Pasien penyakit kritis luka bakar memiliki gejala seperti stres oksidatif yang tinggi, respons inflamasi yang besar, hipermetabolik dan respons katabolik yang lama dan berkepanjangan, yang dimana tanda-tanda tersebut berkorelasi dengan tingkat keparahan dari luka bakar pasien tersebut.

Terapi nutrisi merupakan bagian dari terapi luka bakar, dimulai sejak dini dari permulaan resusitasi. The American Burn Association (ABA) telah mengeluarkan tatalaksana terapi pada pasien luka bakar, yang dimana termasuk di dalamnya tatalaksana terapi nutrisi.

Jalur pemberian nutrisi
Saluran gastrointestinal (GI) umumnya berisiko pada fase awal resusitasi luka bakar oleh karena stres mayor yang disebabkan oleh luka bakar tersebut dan juga terapi yang dilakukan untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu, syok hipovolemik dapat terjadi oleh karena kebocoran kapiler yang besar. Pemberian cairan kristaloid diberikan dalam waktu 24-48 jam pertama setelah kejadian untuk mempertahankan tekanan darah. Permeabilitas usus juga meningkat secara bermakna setelah kejadian jika dibandingkan dengan kondisi di ICU lainnya. Oleh karena itu pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah kejadian) dapat memberikan manfaat secara klinis dan biologis, seperti menurunkan kadar hormon stres dari respons hiperkatabolik yang dapat berdampak kepada peningkatan produksi immunoglobulin (Ig), penurunan stres ulcer, dan juga menurunkan risiko malnutrisi dan kekurangan energi (enegy deficit).

Pemberian nutrisi enteral bisa diberikan melalui PEG (percutaneous endoscopic gastrostomy). Untuk pemilihan formula nutrisi enteral, umumnya tidak berbeda dengan nutrisi enteral pada pasien penyakit kritis umum di ICU, yang dimana lebih dipilih formula yang bersifat polimerik, tinggi energi, dan tinggi nitrogen (protein). Kandungan serat (fiber) sangat diperlukan sejak awal karena pasien luka bayar mayor memiliki risiko terjadinya konstipasi oleh karena pergerakan cairan dan efek dari obat sedatif dosis tinggi, dan juga opioid yang digunakan sebagai analgesia.

Nutrisi parenteral (PN) digunakan sebagai alternatif dan diindikasikan ketika nutrisi enteral gagal atau dikontraindikasikan. PN memerlukan pemantauan kadar glukosa yang lebih ketat dan juga kebutuhan kalori pasien untuk mencegah overfeeding.

Kebutuhan energi
Pasien dengan luka bakar derajat berat akan menimbulkan respons hipermetabolik yang panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari luka bakar tersebut, yang dimana respons hipermetabolik ini disebabkan oleh respons stres endokrin dan respons inflamasi (mediator multipel). Kebutuhan energi pascaluka bakar mayor meningkat secara bermakna jika dibandingkan dengan kebutuhan energi basal/dasar (REE – resting enegy expenditure), akan tetapi peningkatan terjadi berdampak terhadap waktu (peningkatan secara perlahan) dan juga proposional dengan TBSA.

Pada tahun 70an, dimana pengetahuan dasar tentang burn care baru saja dibuat, kondisi kehilangan berat badan pada pasien luka bakar mayor menyebabkan pemberian kalori 5000 kkal/hari adalah normal sehingga menyebabkan kejadian overfeeding yang sangat berlebihan. Beberapa penelitian menyebutkan peningkatan REE yang bermakna umumnya terjadi pada 1 minggu pertama pascakejadian, kemudian secara perlahan akan menurun.

Perhitungan nutrisi pada pasien ICU secara umum berdasarkan berat badan dengan formula 25-30 kkal/kgbb/hari menyebabkan underfeeding pada pasien luka bakar mayor. Perhitungan dengan penambahan stres faktor berdasarkan formula Harris & Benedict sering kali salah dan tidak tepat, sehingga menyebabkan overfeeding. Overfeeding dapat menimbulkan morbiditas seperti infiltrasi perlemakan hati dan peningkatan risiko infeksi. Oleh karena itu, indirect calorimetry merupakan gold standard untuk menentukan kebutuhan energi pada pasien , baik dewasa dan anak, luka bakar.

Pasien dengan luka bakar mayor memiliki sensitivitas yang lebih terhadap overfeeding jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kritis lainnya. Oleh karena itu penggunaan larutan dextrose 5% pada minggu pertama untuk mengkoreksi hipernatremi dan/atau agen sedasi propofol larut lemak perlu dimasukkan ke dalam perhitungan total energi yang digolongkan sebagai sumber karbohidrat dan lemak dari sumber non-nutritional.

Protein dan asam amino spesifik
Kebutuhan protein umum pada pasien dengan luka bakar mayor berkisar antara 1,5-2 g/kgbb/hari. Asupan protein >2,2 g/kgbb/hari tidak memiliki efek yang menguntungkan terhadap sintesis protein total. Asupan protein 3 g/kgbb/hari yang pernah dilaporkan pada anak tidak memiliki keuntungan yang bermakna.

Glutamine merupakan jenis asam amino yang menjadi berguna pada kasus pasien dengan luka bakar karena merupakan substrat yang dipilih oleh limfosit dan enterosit. Terdapat beberapa studi kecil yang sudah menunjukkan manfaat dari penggunaan glutamine pada pasien dengan luka bakar, akan tetapi jalur pemberian, durasi pemberian, dan dosis yang tepat masih sangat beragam dan belum dapat ditentukan dengan jelas. Sebuah penelitian besar yang pada saat ini sedang berjalan di Amerika seharusnya sudah dapat memberikan hasil yang lebih baik. Pada saat ini, dosis glutamine yang direkomendasikan adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10. Pada sebuah studi, pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada pasien anak dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.

Ornithine alpha-ketoglutarate merupakan prekursor dari glutamine, sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif, akan tetapi pada saat ini hanya tersedia di Perancis dalam bentuk sediaan enteral. Pemberian pada fase akut menunjukkan dapat mempercepat penyembuhan luka. Pemberian dengan dosis 30 g per hari yang dibagi menjadi 2-3 pemberian dibuktikan efisien untuk memperbaiki keseimbangan nitrogen. Pada saat ini belum ditemukan penelitian yang merekomendasikan suplementasi arginine pada pasien dengan luka bakar.

Karbohidrat dan kontrol glikemik
Penelitian terkait kebutuhan karbohidrat pada pasien dengan luka bakar mayor sampai saat ini masih sangat terbatas. Beberapa penelitian yang memiliki tingkat kepercayaan yang cukup baik memberikan rekomendasi pemberian karbohidrat sebesar 55-60% dari total kebutuhan energi tanpa melebihi 5 mg/kgbb/menit baik pasien dewasa atau pun pasien anak, atau sama dengan 7 g/kgbb/hari pada pasien dewasa.

Terkait kontrol glikemik dan terapi insulin intensif, perlu diperhatikan pada pasien dengan luka bakar mayor karena pemberian terapi insulin intensif memiliki risiko terjadinya hipoglikemi yang dimana sepertinya kejadian hipoglikemi ini meningkat pada pasien dengan luka bakar mayor. Peningkatan hipoglikemi pada pasien dengan luka bakar mayor disebabkan oleh peningkatan REE pasien dan juga asupan nutrisi yang tidak teratur (diberikan dengan durasi yang singkat dan tidak teratur) oleh karena pasien menjalani intervensi yang dilakukan dibawah anestesi, sehingga pemberian nutrisi enteral harus dihentikan.

Kontrol glikemik yang baik adalah mentargetkan berkisar 5-8 mmol/L dimana telah ditunjukkan memiliki manfaat secara klinis studi yang dilakukan pada pasien dengan luka bakar. Beberapa manfaat klinis yang ditunjukkan meliputi, penerimaan graft yang lebih baik, komplikasi infeksi yang lebih minimal, dan penurunan mortalitas. Rekomendasi khusus untuk kontrol glikemik pada pasien luka bakar belum ditentukan dengan jelas, oleh karena itu umumnya klinisi mengacu pada tatalaksana pasien ICU secara umum, yaitu menargetkan kadar glukosa 6-8 mmol/L (100-150 mg/dL).

Metformin yang dapat menurunkan kadar gula darah melalui beberapa mekanisme dapat digunakan sebagai alternatif dari insulin, akan tetapi risiko asidosis laktat perlu diperhitungkan. Selain daripada itu, penggunaan Exenatide, golongan obat incretin baru yang menghibisi sekresi glukagon, dapat menurunkan kebutuhan insulin eksogen seperti yang ditunjukkan pada studi awal pada pasien anak dengan luka bakar.

Lemak
Jumlah lemak yang sedikit diperlukan untuk mencegah terjadinya defisiensi asam lemak esensial, akan tetapi hanya beberapa studi yang tersedia yang menunjukkan kebutuhan lemak pada pasien luka bakar. Dari 2 studi yang tersedia ditunjukkan pemberian lemak mencapai 35% dari total kebutuhan energi memiliki dampak negatif terhadap lama rawat di RS (LOS – length of hospital stay) dan risiko infeksi jika dibandingkan dengan hanya 15% dari total kebutuhan. Dengan sediaan komersial saat ini yang memiliki kandungan lemak berkisar 30-52% dari total kebutuhan energi, pembatasan asupan lemak ini membutuhan prosedur compounding di rumah sakit. Selain daripada itu, perlu juga dimasukkan dalam perhitungan untuk asupan lemak yang berasal dari sumber non-nutritional seperti agen sedatif larut lemak propofol yang dapat berkontribusi mencapai 15-30 g/hari pada pasien dewasa. Kebutuhan akan omega-3, mono- dan polyunsaturated fatty acid masih dalam dalam penelitian yang sedang berjalan.

Kebutuhan mikronutrien
Pasien dengan luka bakar mayor memiliki kebutuhan mikronutrien yang meningkat, seperti trace element dan vitamin, oleh karena respons hipermetabolik, kebutuhan untuk penyembuhan luka dan kehilangan melalui membran kulit, khususnya pada pasien luka bakar dengan luka terbuka (open wound). Stres oksidatif yang sangat tinggi, bersamaan dengan respons inflamasi menghasilkan peningkatan kebutuhan aktivitas dari antioksidan endogen yang sangat bergantung terhadap kandungn mikronutrien di dalam tubuh. Kebutuhan dari mikronutrien yang tidak terpenuhi akan menunjukkan gejala klinis, khususnya pada bulan pertama seperti komplikasi infeksi dan juga penyembuhan luka yang terhambat.

Sediaan komersial dari nutrisi enteral atau multivitamin/trace element parenteral saat ini masih belum cukup untuk menutupi kebutuhan yang meningkat pada pasien dengan luka bakar mayor. Pengganti kehilangan dan peningkatan kebutuhan tidak bisa dipenuhi hanya dengan nutrisi enteral, oleh karena gangguan penyerapan dan juga kompetisi antara trace element.

Berdasarkan penelitian yang tersedia, dosis vitamin C dan E 1,5-3X dari AKG dapat meningkatkan penyembuhan luka pada pasien anak dan dewasa. Pada studi terbaru, pemberian dosis vitamin C tinggi (0,66 mg/kg/jam selama 24 jam) pada fase awal menunjukkan dapat menstabilkan endotel sehingga dapat menurunkan kebocoran kapiler dan kebutuhan cairan resusitasi sebesar 30%. Dosis vitamin D masih belum dapat ditentukan pada saat ini, akan tetapi dosis umum 400 IU/hari dari vitamin D2 tidak dapat memperbaiki densitas tulang.

Kandungan copper, selenium, dan zinc hilang dalam jumlah besar bersamaan dengan cairan eksudat, dan kehilangan dapat berlangsung lama jika luka belum tertutup. Durasi peningkatan kebutuhan trace element pengganti dibutuhkan sesuai dengan derajat dari luka bakar, seperti 7-8 hari untuk luka bakar 20-40% TBSA, 2 minggu untuk 40-60% TBSA, dan 30 hari untuk luka bakar >60% TBSA.

Pemberian trace element pengganti secara dini dikaitkan dengan penurunan peroksidasi lemak, perbaikan pertahanan antioksidan, perbaikan sistem imun, penurunan risiko komplikasi infeksi, percepatan penyembuhan luka, dan lama rawat ICU yang lebih singkat. Perlakuan yang sama juga dapat dilakukan pada pasien anak dengan memperhitungkan dosis trace element pengganti berdasarkan berat badan dan derajat keparahan luka bakar.

Kesimpulan: Pemberian nutrisi enteral dini, 12 jam pertama pascakejadian, merupakan bagian dari terapi resusistasi awal. Pemberian nutrisi yang spesifik dengan perhitungan kalori yang adekuat sangat diperlukan dari bagian tatalaksana luka bakar untuk memperbaiki outcome klinis dari pasien luka bakar mayor. (MAJ)


Referensi :
1.Rousseau AF, Losser MR, Ichai C, Berger MM. ESPEN endorsed recommendations: Nutritional therapy in major burns. Clin Nutr. 2013;32(4):497-502.
2.Singer P, Berger MM, Van den Berghe G, Biolo G, Calder P, Forbes A, et al. ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition: Intensive care. Clin Nutr. 2009;28(4):387-400.

Senin, 19 Agustus 2013

Metformin Menurunkan Kematian Kanker Prostat

Dari suatu studi kohort skala besar, pasien diabetes dengan kanker prostat yang mendapatkan terapi kanker prostat secara signifikan dapat hidup lebih panjang dan lebih sedikit meninggal karena kanker prostat. Pasien-pasien ini.mengalami penurunan risiko kematian sebesar 24% setelah mendapatkan terapi metformin untuk setiap kumulatif pemberian dengan durasi 6 bulan. Demikian hasil studi yang dilakukan oleh Universitas Toronto Kanada dan telah dipublikasikan dalam Journal Clinical oncology bulan Agustus tahun 2013 ini.

Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan database dari beberapa pusat kesehatan di Ontario. Pasien yang dilibatkan adalah para pria diabetes dengan usia di atas 66 tahun (dari data antara tahun 1997-2008) dengan kanker prostat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara durasi kumulatif dari penggunaan metformin setelah terdiagnosa kanker prostat dengan kematian karena kanker prostat dan kematian karena semua sebab pada pasien diabetes.

Jumlah pasien yang tersaring adalah 3837 pasien dengan rerata usia 75 tahun. Rerata waktu follow up adalah 4,64 tahun dan selama masa ini 35% pasien meninggal karena semua sebab dan 7,6% pasien meninggal karena kanker prostatnya. Durasi kumulatif dari terapi metformin pasca diagnosa kanker prostat memperlihatkan hubungan dengan penurunan risiko yang nyata dengan kematian karena kanker prostat dan kematian karena semua sebab. Rasio hazard untuk kematian karena kanker prostat adalah 0,76% (95% CI: 0,64 – 0,89) untuk setiap penambahan 6 bulan dari terapi metformin. Rasio hazard untuk kematian karena semua sebab juga 0,76% pada 6 bulan pertama tetapi selanjutnya mengalami penurunan menjadi 0,93 pada bulan ke 24 hingga 30.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa kanker prostat mungkin suatu keganasan metabolik. Banyak data menunjukkan bahwa progresivitas kanker prostat dapat dipengaruhi oleh obesitas, sindrom metabolik dan diabetes. Metformin merupakan obat yang relatif aman dan ekonomis, sehingga dari hasil penelitian ini mungkin dapat menjadi kandidat yang baik dalam strategi pencegahan atau perlambatan kanker prostat. (DHS)




Referensi:
1. Bankhead C. More Data Back Metformin in Prostate Cancer. [Internet] 2013 [cited on August 15th 2013] Available from:
2. Cumulative metformin connected to post-prostate cancer mortality. [Internet] 2013 [cited on August 15th 2013] Available from: 
3. Margel D, Urbach DR,Lipscombe LL,Bell CM, Kulkarni G, Austin PC, et al. Metformin Use and All-Cause and Prostate Cancer–Specific Mortality Among Men With Diabetes.JCO JCO.2012.46.7043; published online on August 5, 2013 [Internet] 2013 [cited onAugust 15th 2013] Available from:http://jco.ascopubs.org/content/early/2013/08/05/JCO.2012.46.7043

Midazolam Bermanfaat untuk Penanganan Status Epileptikus

Suatu studi meta-analisis menunjukkan bahwa midazolam non-IV seefektif atau lebih unggul dibanding diazepam IV atau rektal untuk mengatasi kejang pada anak dan dewasa muda. Dalam meta-analisis ini diketahui bahwa midazolam bermanfaat untuk penanganan status epileptikus. Studi yang dilakukan oleh Dr. Mc Mullan dan kolega ini telah dipublikasikan dalam Academic Emergency Medicine.

Meta-analisis ini membandingkan penggunaan midazolam non-IV dengan diazepam dalam terapi kejang. Tujuan spesifiknya adalah menentukan efikasi, kecepatan, dan keamanan penghentian kejang dengan midazolam non-IV, dibandingkan dengan diazepam IV atau non-IV, sebagai terapi kedaruratan inisial pada pasien anak dan dewasa dengan status epileptikus, yang dilakukan terhadap studi acak dengan kontrol yang dipublikasikan dari tahun 1950 hingga 2009 yang membandingkan midazolam non-IV dengan diazepam dengan berbagai rute pemberian untuk terapi awal status epileptikus pada pasien unit gawat darurat. Sebanyak 6 studi yang melibatkan 774 pasien (usia baru lahir hingga 22 tahun) memenuhi kriteria inklusi.

Tiga studi membandingkan midazolam bukal (0,5 mg/kg atau 10 mg) dengan diazepam rektal (0,5 mg/kg atau 10 mg), dan 3 studi membandingkan midazolam IM atau intranasal (0,2 mg/kg) dengan diazepam IV (0,2 atau 0,3 mg/kg). Pada analisis yang dikumpulkan dari obat yang diberikan melalui berbagai rute, midazolam lebih unggul dibanding diazepam untuk menghentikan kejang. Midazolam IM atau intranasal seefektif diazepam IV, sedangkan midazolam bukal lebih unggul dibanding diazepam rektal dalam pencapaian kontrol kejang. Waktu untuk penghentian kejang sama antara kelompok midazolam dan diazepam pada 3 studi. Namun pemasangan akses IV dapat secara bermakna memperlambat terapi status epileptikus.

Dalam kesimpulannya peneliti menyampaikan bahwa midazolam bukal, IM, atau intranasal merupakan alternatif yang efektif, aman, murah, dan mudah diberikan khususnya untuk anak dengan kejang tanpa akses IV.(EKM)



Referensi: McMullan J, Sasson C, Pancioli A, Silbergleit R. Midazolam versus diazepam for the treatment of status epilepticus in children and young adults: A meta-analysis. Acad Emerg Med. 2010;17(6):575-82.

Kombinasi Ibuprofen-Parasetamol vs Opioid-Parasetamol pada Nyeri Operasi Dental

Analisis data terbaru menunjukkan kombinasi ibuprofen dengan parasetamol lebih efektif dan lebih aman dibanding kombinasi opioid dengan parasetamol untuk meredakan nyeri karena operasi dental. Akan tetapi kombinasi ini memiliki risiko efek samping dan penyalahgunaan. Studi ini memberikan alternatif baru. Dr. Moore dan Elliot V. Hersh (DMD, PhD, profesor farmakologi University of Pennsylvania in Philadelphia) mempublikasikan temuan mereka di Journal of the American Dental Association edisi Agustus 2013.

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), seperti ibuprofen, bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin, menekan inflamasi dan nyeri. Parasetamol tidak menekan inflamasi, dan menekan nyeri melalui berbagai mekanisme yang lain. Menaikkan dosis kedua obat ini dapat meningkatkan efektivitas, tetapi hanya sampai batas tertentu, dan dosis yang lebih tinggi dapat bersifat toksik. Kombinasi 2 obat ini dapat menekan nyeri lebih baik daripada monoterapi salah satu obat saja.

Dr. Moore dan Dr. Hersh menggunakan quantitative evidence based review yang dipublikasikan oleh Cochrane Collaboration untuk menentukan efikasi dan keamanan dari kombinasi parasetamol dan ibuprofen. Mereka menemukan artikel tambahan dengan mencari database Ovid MEDLINE, PubMed, dan ClinicalTrials.gov . Beliau menemukan bukti yang konsisten mengenai efektivitas produk kombinasi. Sebagai parameter untuk membandingkan berbagai terapi, mereka menggunakan number needed to treat (NNT) yang didefinisikan sebagai jumlah [pasien yang perlu dirawat untuk mendapat tambahan 1 pasien yang mencapai setidaknya 50% perbaikan nyeri dalam waktu 4-6 jam dibandingkan dengan plasebo. Semakin rendah nilai NNT, semakin poten efek meredakan nyerinya.

Dari studi-studi yang mempelajari mengenai penanganan nyeri ekstraksi molar ketiga, peneliti menemukan ibuprofen 200 mg dikombinasikan dengan parasetamol 500 mg memiliki nilai NNT paling kecil, sebesar 1,6 (95% confidence interval ]CI[, 1,4 - 1,8) dibandingkan dengan codeine 60 mg dengan parasetamol 1000 mg (95% CI, 1,8 – 2,9). Peneliti juga menemukan nilai NNT sebesar 2,3 untuk oxycodone 10 mg dengan parasetamol 650 mg. Ibuprofen 200 mg saja memiliki nilai NNT sebesar 2,7 (95% CI, 2,5 – 3,0), dan parasetamol 1000 mg saja memiliki NNT sebesar 3,2 (95% CI, 2,9 – 3,6).

Sebagai tambahan, terdapat juga sebuah studi yang dilakukan oleh Daniels dkk yang membandingkan berbagai kombinasi ibuprofen, codeine, dan parasetamol untuk menangani nyeri ekstraksi molar ketiga. Dalam studi tersebut, pasien yang diberikan ibuprofen / parasetamol mengalami nyeri yang lebih ringan dibanding mereka yang diberikan codeine dan parasetamol, juga mengalami efek samping seperti mual, muntah, sakit kepala, dan pusing yang lebih minimal.

Di antara pasien yang mendapat kombinasi ibuprofen 200 mg dengan parasetamol 500 mg, 18,5% mengalami efek samping yang perlu segera ditangani dibandingkan 24,9% pada pasien ibuprofen 400 mg – parasetamol 1000 mg, dan 34,9% pada mereka yang diberikan kombinasi ibuprofen dengan codeine. Manfaat tambahan dari ibuprofen – parasetamol dibanding opioid adalah opioid umumnya disalahgunakan, sedangkan ibuprofen – parasetamol tidak.

Berdasarkan analisis ini, peneliti menyusun stepwise guideline untuk penanganan nyeri pasca operasi kedokteran gigi berdasar estimasi dokter akan ringan-beratnya nyeri setelah efek anastesi habis: Nyeri ringan: Ibuprofen 200 – 400 mg setiap 4-6 jam atau sesuai kebutuhan. Nyeri ringan – sedang: Ibuprofen 400 – 600 mg setiap 4-6 jam selama 24 jam, diikuti ibuprofen 400 mg setiap 4-6 jam atau sesuai kebutuhan. Nyeri sedang – berat: Ibuprofen 400 – 600 mg dikombinasikan dengan parasetamol 500 mg setiap 6 jam selama 24 jam, diikuti ibuprofen 400 mg dengan parasetamol 500 mg setiap 6 jam atau sesuai kebutuhan. Nyeri berat: Ibuprofen 400-600 mg dengan parasetamol 650 mg dan hydrocodone 10 mg setiap 6 jam selama 24 – 48 jam, diikuti ibuprofen 400-600 mg dengan parasetamol 500 mg setiap 6 jam atau sesuai kebutuhan.

Dalam guideline ini, dosis maksimal harian untuk parasetamol adalah 3000 mg, dan untuk ibuprofen adalah 2400 mg. Sebagai tambahan, NSAID mungkin akan bekerja dengan lebih baik jika diberikan preoperatif atau perioperatif. Dan peneliti menyimpulkan bahwa: kombinasi ibuprofen – parasetamol lebih efektif dan lebih aman dibandingkan dengan kombinasi opioid (hydrocodone / codeine / oxycodone) – parasetamol untuk penanganan nyeri pasca operasi dental. (AGN)



Referensi:
1.Harrison L. Painful dental work: Acetaminophen with ibuprofen best. Medscape Medical News ]Internet[ 2013 ]Cited 2013 Aug 16[. Available from:http://www.medscape.com/viewarticle/809415
2.Moore PA, Hersh EV. Combining ibuprofen and acetaminophen for acute pain management after third-molar extractions. JADA. 2013;144(8):898-908.

Kamis, 15 Agustus 2013

Macrolide dan Manfaatnya Terhadap Gejala Asma, Sebuah Metaanalisis

Menurut guideline GINA tahun 2011, ada beberapa pengobatan utama asma yaitu beta-agonis, kortikosteroid oral atau inhalasi dan berbagai modulator sistem imun. Belum ada rekomendasi penggunaan antibiotik untuk memperbaiki gejala asma. Ada hipotesis yang menduga bahwa penggunaan antibiotik macrolide bermanfaat memperbaiki gejala asma tetapi beberapa penelitian memperoleh hasil kontradiktif.
Untuk mengevaluasi efek macrolide terhadap asma, beberapa peneliti dari Philadelphia, USA, melakukan sebuah metaanalisis beberapa uji klinik tentang efek antibiotik macrolide terhadap asma. Mereka menemukan ada 116 uji klinik, tetap hanya 6 yang memenuhi kriteria dan dimasukkan dalam metanalisis. Dari 6 uji klinik ini, menggunakan 3 jenis macrolide yaitu azithromycin, roxithromycin dan troleandomycin.

Metanalisis in menemukan 2 hal, pertama adalah apabila antibiotik macrolide digunakan pada pasien asma yang tidak mendapat corticosteroid, tidak terdapat perbedaan bermakna pada FEV1 antara kelompok yang mendapat macrolide dengan kelompok yang mendapat plasebo (p = 0,43).
Hasil kedua adalah apabila antibiotik macrolide diberikan kepada pasien yang mendapat corticosteroid, terdapat pebedaan bermakna : kelompok macrolide + corticosteroid memperoleh FEV1 lebih tinggi dibandingkan kelompok plasebo + corticosteroid (p = 0,05). Selain itu juga ditemukan bahwa kelompok macrolide + corticosteroid membutuhkan dosis corticosteroid yang lebih rendah daripada kelompok plasebo +corticosteroid (0,004).
Simpulan metaanalisis ini adalah meskipun penggunaan antibiotik macrolide secara sendiri tidak berdampak signifikan terhadap gejala asma, pada pasien yang mendapat corticosteroid oral, penambahan antibiotik macrolide dapat memperbaiki FEV1 dan mengurangi kebutuhancorticosteroid oral. (NNO)
Referensi:
1.   Global Initiative for Asthma. Pocket guide for asthma management and prevention [Internet]. 2011 [cited 2013 Mar 28]. Available from:http://www.ginasthma.org/documents/1/Pocket-Guide-for-Asthma-Management-and-Prevention.
2.   Mikailov A, Kane I, Aronoff SC, Luck R, Delvecchio MT. Utility of adjunctive macrolide therapy in treatment of children with asthma: a systematic review and meta-analysis. J Asthma Allergy. 2013;6:23-9.