This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 06 Juni 2012

Penambahan Zinc pada Terapi Antibiotik Menurunkan Angka Kegagalan Pengobatan

Infeksi bakterial yang serius merupakan salah satu penyebab utama kematian pada bayi awal kelahirannya. Intervensi yang tidak mahal dan dapat dijangkau meningkatkan efek dari pengobatan antibiotik standar dan dapat menurunkan angka kematian pada bayi. Studi terbaru menunjukkan suplementasi zinc pada terapi dengan antibiotik akan menurunkan angka kegagalan terapi pada bayi usia 7-120 hari dengan infeksi bakterial yang serius, hal ini merupakan kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh Prof. Shinjini Bhatnagar PhD dan kolega yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet tahun 2012 ini.
 
Studi tersebut dilakukan dengan disain acak tersamar ganda, plasebo-kontrol, dan melibatkan bayi dengan rentang usia 7-120 hari yang diperkirakan terkena infeksi serius pada tiga rumah sakit di New Dehli India antara 6 Juli 2005 sampai 3 Desember 2008. Dengan acak permutasi blok 6, subyek dikelompokkan menjadi kelompok yang berat badan di bawah standar, atau yang sedang diare untuk mendapatkan masing-masing 10 mg zinc atau plasebo secara oral setiap hari sebagai tambahan pada terapi antibiotik yang sudah diberikan.Parameter penilaian utama adalah seberapa besar angka kegagalan terapi yang didefinisikan dengan seberapa besar perlu mengubah antibiotik dalam waktu 7 hari,  atau kebutuhan untuk perawatan intensif, atau besar kematian yang terjadi  dalam waktu 21 hari. Peserta dan peneliti sama-sama tidak mengetahui jenis dan alokasi pengobatan. Semua analisa dilakukan dengan intention-to-treat.

Dari sebanyak 352 bayi yang diacak untuk mendapatkan zinc dan sebanyak 348 bayi mendaptkan plasebo, hanya sebanyak 332 bayi dari kelompok zinc dan 323 plasbeo yang dapat dinilai untuk keberhasilan terapi. kegagalan terapi secara bermakna lebih rendah pada kelompok zinc 10% daripada kelompok plasebo sebesar 17%, dengan penurunan risiko relatif sebesar 40% (95% CI 10-60, p=0,0113), penurunan risiko absolut sebesar 6,8%  dengan 95 CI% 1,5-12,0, p=0,0111. Pengobatan 15 bayi dengan zinc akan mencegah kegagalan pengobatan sebesar satu pengobatan.  Kematian bayi pada kelompok zinc sebesar 10 dibandingkan dengan sebesar 17 pada kelompok plasebo (RR 0,57. 95% CI 0,27-1,23, p=0,15).

Berdasarkan hasil studi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa zinc dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk menurunkan risiko kegagalan terapi pada bayi usia 7-120 hari dengan infeksi bakterial yang serius.

Referensi:  Shinjini Bhatnagar, Nitya Wadhwa MD, Prof Satinder Aneja MD, Rakesh Lodha MD , Prof Sushil Kumar Kabra MD, Uma Chandra Mouli Natchu MD,et al. Zinc as adjunct treatment in infants aged between 7 and 120 days with probable serious bacterial infection: a randomised, double-blind, placebo-controlled trial. The Lancet 2012;379(9831): 2072 - 2078.

Sumber:  http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1613/Penambahan-Zinc-pada-Terapi-Antibiotik-Menurunkan-Angka-Kegagalan-Pengobatan.aspx

Studi Awal, NAC (N-Acetylcysteine) Oral Bermanfaat untuk Autisme

 Ketidakseimbangan sistem eksitasi dan inhibisi  dengan kelainan dalam jalur glutamatergic diperkirakan berkontribusi terhadap patofisiologi autisme. Selain itu, ketidakseimbangan yang menahun dari proses  kronis  baru-baru ini juga terkait dengan gangguan ini, oleh karena itu penggunaan antioksidan diharapkan memberikan manfat untuk pasien-pasien ADHD ini. Dan studi terbaru menunjukkan bahwa  N asetilsistein-oral (NAC), sebuah modulator glutamatergic dan antioksidan memberikan manfaat untuk anak dengan gangguan autisme. Studi klinis skala kecil ini dilakukan oleh Dr. Antonio Hardan dan kolega dan telah dipublikasikan secara online dalam jurnal Biologycal Psychiatry Juni 2012. 
 
Penelitian NAC ini merupakan studi 12-minggu,  acak- tersamar ganda, terkontrol plasebo yang dilakukan  pada anak dengan gangguan autis. Subyek diacak untuk mendapatkan NAC dengan dosis  900 mg setiap hari selama 4 minggu, kemudian 900 mg dua kali sehari selama 4 minggu dan 900 mg tiga kali sehari selama 4 minggu. Parameter utama adalah  (Checklist Perilaku Menyimpang [ABC] iritabilitas subskala) dan penilaian keamanan  dilakukan pada awal, dan 4 8, dan 12 minggu. Parameter sekunder termasuk ABC stereotypy subscale, Repetitive Behavior Scale-Revised, and Social Responsiveness Scale.

Sebanyak tiga puluh tiga subyek (31 subyek laki-laki, 2 subyek perempuan; usia 3,2-10,7 tahun) secara acak dilibatkan dalam penelitian ini. Follow-up data tersedia pada 14 subjek pada kelompok NAC dan 15 pada kelompok plasebo. Pemberian NAC secara peroral secara umum ditoleransi dengan baik dan dengan efek samping terbatas. Dibandingkan dengan plasebo, NAC menghasilkan peningkatan signifikan pada iritabilitas ABC subskala (F = 6,80, p <.001, d = 0,96).
Data dari penelitian tersebut mendukung potensi dari NAC untuk penanganan iritabilitas anak dengan gangguan autis.  Penelitian dalam skala yang besar dan terkontrol diperlukan untuk memastikan manfaat ini.



Referensi: Biol Psychiatry. 2012;71:956-961

Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1620/Studi-Awal-NAC-N-Acetylcysteine-Oral-Bermanfaat-untuk-Autisme.aspx

Tigecycline Sebanding dengan Kombinasi Ceftriaxone dan Metronidazole

Studi multisenter yang dipublikasikan di jurnal Clinical  Microbiology and  Infection pada tahun 2010 membandingkan tigecycline dengan ceftriaxone + metronidazole dalam hal efikasi klinis dan keamanan untuk perawatan pasien dengan cIAI (complicated intra abdominal infection). Dalam studi multisenter ini, tigecycline dibandingkan dengan ceftriaxone + metronidazole dalam hal efikasi klinis dan keamanan. Pada studi ini, 473 pasien cIAI secara acak diberikan tigecycline (dosis awal 100 mg diikuti 50 mg setiap 12 jam) atau ceftriaxone (2 g sekali sehari) + metronidazole (1-2 g/hari) selama 4–14 hari.
 
End point primer yang dinilai adalah tingkat kesembuhan klinis. Dari 473 pasien, 376 dapat dievaluasi secara klinis. Pada 376 pasien ini, tingkat kesembuhan klinis adalah 70,4% (133/189) pada kelompok tigecycline dibanding  74,3% (139/187) pada kelompok ceftriaxone + metronidazole (95% CI; - 13,1 – 5,1; p 0,009 untuk noninferioritas).  Tingkat kesembuhan klinis untuk subyek dengan skor Acute Physiological and Chronic Health Evaluation II = 10 adalah 56,8% pada kelompok tigecycline vs 58,3% pada kelompok ceftriaxone + metronidazole. Respons mikrobiologis serupa pada kedua kelompok perawatan, dengan eradikasi mikrobiologis dicapai pada 68,1% kelompok tigecycline dibanding 71,5% pada kelompok ceftriaxone + metronidazole. Efek samping yang paling banyak dilaporkan pada kedua kelompok perawatan adalah mual (tigecycline [38,6%] vs ceftriaxone/metronidazole [27,7%]) dan muntah  (tigecycline [23,3%] vs ceftriaxone/metronidazole [17,7%]). 8,9% pasien pada kelompok tigecycline menghentikan perawatan karena efek samping, dibanding 4,8% pada kelompok ceftriaxone + metronidazole.

Kesimpulan peneliti dalam studi ini tigecycline noninferior dibandingkan dengan ceftriaxone/metronidazole untuk pasien dengan cIAI.

Referensi:
Towfigh S, Pasternak J, Poirier A, Leister H, Babinchak T. A multicentre, open-label, randomized comparative study of tigecycline versus ceftriaxone sodium plus metronidazole for the treatment of hospitalized subjects with complicated intra-abdominal infections. Clin Microbiol Infect 2010;16: 1274–81.


Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1622/Tigecycline-Sebanding-dengan-Kombinasi-Ceftriaxone-dan-Metronidazole.aspx

Penggunaan Dexmedetomidine pada Anak

Dexmedetomidine adalah golongan alpha-2-­adrenergic agonist yang poten, serta memiliki efek sedatif, analgesik, dan menghilangkan kecemasan tanpa menimbulkan depresi napas. Penggunaan dexmedetomidine dapat menurunkan penggunaan obat sedatif atau analgesik tradisional, serta menimbulkan rasa tenang, nyaman, dan kooperatif. Berdasarkan efektivitas yang baik pada dewasa, dexmedetomidine sekarang dipertimbangkan untuk dipergunakan pada pasien anak. 

Sebuah studi yang diikuti 120 pasien anak dengan usia 5-14 tahun yang akan menjalani tonsilektomi dengan anestesi inhalasi sevoflurane untuk menilai efektivitas dexmedetomidine pada anak. Secara acak pasien anak dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kontrol, kelompok konsentrasi dexmedetomidine rendah, dan kelompok konsetrasi dexmedetomidine tinggi dan menerima plasebo atau 0,5 μg/kgBB (loading dose) selama 10 menit dan dilanjutkan dengan infus pemeliharaan 0,2 μg/kgBB selama pembedahan atau 1 μg/kgBB (loading dose) selama 10 menit dan dilanjutkan dengan infus pemeliharaan 0,4 μg/kgBB selama pembedahan.

Hasil studi menunjukkan bahwa tingkat kejadian emergence agitation lebih tinggi secara bermakna pada kelompok plasebo dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan konsentrasi dexmedetomidine tinggi ketika ekstubasi (p<0,05). Selain itu, terdapat perbedaan bermakna antara ketiga kelompok pada skor VAS ketika ekstubasi dan 5-10 menit setelah ekstubasi (p <0,05).

Simpulannya, dexmedetomidine aman dan efektif dalam menurunkan tingkat kejadian emergence agitation dini pada anak pascatonsilektomi dengan anestesi inhalasi sevoflurane. Dosis yang direkomendasikan adalah 1 μg/kgBB (loading dose) selama 10 menit dan dilanjutkan dengan infus pemeliharaan 0,4 μg/kgBB selama pembedahan. (MAJ)

Referensi:
  1. Reiter PD, Pietras M, Dobyns EL. Prolongad dexmedetomidine infusions in critically ill infants and children. Indian Pediatr. 2009;46:767-73.
  2. Meng QT, Xia ZY, Luo T, Wu Y, Tang LH, Zhao B, et al. Dexmedetomidine reduces emergence agitation after tonsillectomy in children by sevoflurane anesthesia: A case-control study. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2012; DOI: 10.1016.j.ijporl.2012.03.028.
Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1621/Penggunaan-Dexmedetomidine-pada-Anak.aspx

Tata Laksana Hiperglikemia pada Pasien dengan Nutrisi Parenteral

Pemberian nutrisi parenteral seringkali digunakan sebagai life-saving. Sekitar 20-30% pasien dirumah sakit mengalami kondisi malnutrisi energi dan protein. Asupan nutrisi yang adekuat sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup sel dan fungsi organ, serta penyembuhan penyakit ataupun luka. Akan tetapi, meskipun digunakan sebagai life-saving, pemberian nutrisi parenteral dalam jangka panjang maupun pendek dapat memberikan beberapa komplikasi dan efek samping, seperti penyakit hati, sepsis yang berkaitan dengan kateter, syok septik, abnormalitas cairan dan elektrolit, dan terutama adalah hiperglikemia, khususnya pada nutrisi parenteral dengan kandungan glukosa. 

Meskipun pemberian nutrisi parenteral dengan kandungan glukosa dapat menyebabkan risiko terjadinya hiperglikemia, akan tetapi pemberian karbohidrat nutrisi parenteral dalam bentuk glukosa masih direkomendasikan, khususnya bagi pasien dengan penyakit pankreas akut. Hal ini disebabkan karena, glukosa mudah di dapat, mudah di monitor, dan juga lebih murah dibandingkan dengan jenis karbohidrat lainnya. Dengan tatalaksana dan kontrol gula darah yang tepat sebelum pemberian nutrisi parenteral, maka risiko hiperglikemia dapat di kontrol dan juga dihindari. Penanganan hiperglikemia yang umumnya digunakan adalah dengan pemberian insulin. Insulin dapat diberikan secara ­add-on ke dalam larutan parenteral nutrisi ataupun dapat diberikan secara terpisah (drip).

Kadar gula darah sewaktu harus diperhatikan dengan baik sebelum dimulai untuk diberikan nutrisi parenteral. Kadar gula darah sewaktu yang direkomendasikan adalah <180 mg/dL (<10 mmol/L) sebelum pasien tersebut dapat diberikan nutrisi parenteral yang mengandung glukosa. Begitu pula dengan kadar gula darah sewaktu pada 24 jam dan 48 jam setelah pemberian nutrisi parenteral yang mengandung glukosa.  Kadar gula darah sewaktu yang direkomendasikan adalah 140-180 mg/dL. Pada pasien dengan kadar gula darah >180 mg/dL setelah pemberian nutrisi parenteral ataupun sebelum harus mendapatkan terapi insulin untuk menurunkan kadar gula darah dan juga risiko morbiditas lainnya. Pada pasien diabetes tipe 1 dan 2, pemberian nutrisi parenteral glukosa harus diturunkan. Direkomendasikan pasien diabetes tipe 1 memulai dosis nutrisi parenteral glukosa dengan dosis 100 g glukosa/hari dan 150 g glukosa/hari pada pasien diabetes tipe 2 dan menjaga kadar gula darah <180 mg/dL.

Pemberian insulin pada pasien non-diabetes direkomendasikan untuk diberikan dengan dosis 1 unit/20 g karbohidrat dan untuk pasien dengan diabetes dengan dosis 1 unit/10 g karbohidrat + 0,15 unit/kgBB/hari jika CBG (capillary blood glucose) mencapai <200 mg/dL (11,1 mmol/L) dan 1 unit/5 g karbohidrat + 0,25 unit/kgBB/hari jika CBG mencapai >200 mg/dL. Insulin dapat diberikan dengan cara 2/3 insulin diberikan secara add-on atau bersamaan dengan nutrisi parenteral dan 1/3 menggunakan long-actin insulin. Keadaan hipoglikemi dapat terjadi jika CBG <80 mg/dL. Maksimal dosis insulin yang diberikan bersamaan dengan nutrisi parenteral (add-on) adalah 60 unit/L. Jika pasien tersebut masih memerlukan insulin, maka add-on insulin di dalam nutrisi parenteral harus dihentikan dan diberikan insulin secara drip

Sebagai simpulan, dengan tatalaksana dan pengawasan gula darah secara tepat, maka hiperglikemia dan juga risiko morbiditas dan mortalitas oleh keadaan tersebut dapat turunkan dan di kontrol dengan baik. Pemberian nutrisi parenteral sangat penting, khususnya pada pasien yang tidak dapat menerima nutrisi enteral dan memiliki gangguan fungsi saluran cerna. Asupan nutrisi yang tidak adekuat dapat meningkatkan risiko hipoglikemi yang memiliki risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan hiperglikemia yang dapat di kontrol dengan baik. (MAJ)

Referensi:
  1. Kumar PR, Crotty P, Raman M. Hyperglycemia in hospitalized patients receiving parenteral nutrition is associated with increased morbidity and mortality: A review. Gastroenterol Res Pract. 2011;2011:1-7.
  2. Cheung NW, Napier B, Zaccaria C, Fletcher JP. Hyperglycemia is associated with adverse outcomes in patients receiving total parenteral nutrition. Diabetes Care 2005;28:2367-71.
  3. Gianotti L, Meier R, Lobo DN, Bassi C, Dejong CHC, Ockenga J, et al. ESPEN guidelines on parenteral nutrition: Pancreas. Clin Nutr. 2009;28:428-35.
  4. Mirtallo JM. Should insulin be added to parenteral nutrition. Proceedings of the 33rd ESPEN Congress; 2011 September 3-6; Gothenburg, Sweden.
  5. Soetedjo NNM. Hyperglycemia in parenteral nutrition: Can we avoid and how long should we decrease the blood glucose level?. Paper presented at: Simposium Endokrinologi Klinik Bandung IX; 2012 May 26-27; Bandung, Indonesia
Sumber: http://www.kalbemedical.org/News/tabid/229/id/1623/Tata-Laksana-Hiperglikemia-pada-Pasien-dengan-Nutrisi-Parenteral.aspx

Senin, 04 Juni 2012

Better Blood Pressure Control With Antihypertensive Drug Combo


Among elderly hypertensive patients in Japan, adding a calcium channel blocker (CCB) to an angiotensin II receptor blocker (ARB) provided better blood pressure control than a doubled dose of the ARB.
Dr. Shokei Kim-Mitsuyama from Kumamoto University Graduate School of Medical Sciences told Reuters Health by email, "We think that ARB plus CCB combination therapy is suitable for antihypertensive treatment in elderly hypertensive patients with previous cardiovascular disease" -- whereas for some diabetics, high dose ARBs will be enough to control hypertension.
Dr. Kim-Mitsuyama and colleagues in the OSCAR study group randomly assigned 1,164 elderly Japanese patients with cardiovascular disease or type 2 diabetes to receive either olmesartan 40 mg or olmesartan 20 mg plus amlodipine or azelnidipine.
At 36 months, mean systolic and diastolic blood pressures were lower by 2.4 mm Hg (p=0.03) and 1.7 mm Hg (p=0.02), respectively, in the combination therapy group, the research team reported online April 14 in The American Journal of Medicine.
Also, significantly more patients in combination group achieved the target blood pressure of <140/90 mm Hg (p=0.003).
There were fewer primary end points in the ARB plus CCB group than in the high-dose ARB group, but the difference failed to achieve statistical significance overall.
However, in the prespecified subgroup analysis of patients with cardiovascular disease, the incidence of primary end points (fatal and non-fatal cardiovascular events and non-cardiovascular deaths) was 63% higher in the high-dose ARB group than in the ARB plus CCB group (p=0.03).
Therefore, the researchers note, the effect of treatment "might differ depending on whether patients have cardiovascular disease; this finding is not definitive but may be considered as hypothesis generating."
The number of serious adverse events did not differ between the two treatment groups, according to their report.
"We have ongoing several kinds of subgroup analysis according to eGFR, sex, age, etc.," Dr. Kim-Mitsuyama said. "We hope that further subanalysis will provide new insight into ARB-based antihypertensive therapy."
Am J Med 2012.

BP Overtreatment for Diabetics May Be as Common as Undertreatment at VA


The efforts by the Veterans Administration (VA) to ensure that all hypertensive diabetic patients receive appropriate blood-pressure medication has been so successful that many patients may be "overtreated," results of a new study show [1].
The study by Dr Eve Kerr (Department of Veterans Affairs, Ann Arbor Healthcare System, MI) and colleagues, published online May 28, 2012 in the Archives of Internal Medicine, shows that the VA has made impressive progress in reducing undertreatment of hypertension in diabetic patients at its hospitals. But it now "appears that in the VA, rates of potential overtreatment are currently approaching, and perhaps even exceeding, the rate of undertreatment and that high rates of achieving current performance measurement targets are directly associated with medication escalation that may increase risk for patients," the authors conclude.
Kerr et al retrospectively analyzed the care of hypertension in nearly a million established VA patients with diabetes at 879 VA hospitals and smaller outpatient clinics in 2009 and 2010. The measures taken to manage the hypertension in each patient was considered appropriate if the patient did not have high blood pressure (<140/90 mm Hg) during the index visit or if the patient's hypertension was treated appropriately with blood-pressure medication.
In the study, 82% of patients had a blood pressure <140/90 mm Hg and 12% of patients with a higher blood pressure were treated with appropriate clinical actions, according to Kerr et all, so 94% of patients "passed" the test of the study. However, pass rates varied among facilities from 77% to 99% (p<0.001). Among all of the patients with diabetes, 20% had blood pressure below 130/65 mm Hg, and therefore 8% of patients with diabetes were potentially overtreated, the study found. Facility rates of potential overtreatment varied from 3% to 20% (p<0.001), and the facilities with the highest rates of meeting the threshold target of <140/90 mm Hg had higher rates of potential overtreatment (p<0.001).
According to the authors, recent improvements in treatment of diabetic patients have been partially driven by performance measures focused on specific risk-factor thresholds. "Yet, the evidence does not fully support the 'treat-to-target' approach implied in current performance measures," Kerr et al argue. "While there is no doubt that appropriate management of hypertension among patients with diabetes is of critical importance, our data suggest that the VA and other high-performing health systems may have reached the point when threshold measures for BP control have the potential to do more harm than good," Kerr et al explain.
"Most randomized controlled trials provide causal evidence for the benefit of treatment (eg, a BP medication or statin) and not a particular threshold risk-factor level achieved in the intervention group," Kerr et al. explain. "Consequently, such measures can promote overtreatment and diastolic hypotension, which has been shown in multiple studies to be associated with worse cardiovascular outcomes."
Instead of these dichotomous thresholds, the study authors favor "tightly linked" clinical action measures strongly tied to the evidence. The VA is now instituting new clinical action measures for hypertension management that capture the complexity of clinical decisions, credit the facility for delivering the right evidence-based treatment even if a specific risk-factor threshold is not achieved, and reduce the potential for overtreatment and unintended consequences accounting for other patient-specific factors.
In an accompanying editorial [2], Dr Eileen Handberg (University of Florida, Gainesville) argues that Kerr et al's definition of "overtreatment" is based on their critique of current hypertension management research and not guidelines that were available to the VA clinicians evaluated by the study. "With no guidance as to a lower threshold other than epidemiological (for BP) and other risk-factor (for LDL-cholesterol) data that 'lower is better,' one could argue that lower BPs were an indicator of better care, not 'overtreatment,' " Handberg argues. The study presents no evidence that these "overtreated" patients were at increased risk, so "a blanket statement that 10% of the VA population may be overtreated creates a negative impression of care that might not be true."
Nevertheless, Handberg agrees that "reporting of performance measures is important, and the development of tightly linked clinical measures as those by Kerr et al are an important step forward in evaluating the complexities of management for hypertension and serve as a model for other measures."
Neither the authors nor the editorialist have any financial disclosures.

Liraglutide (GLP-1 analogue), Mempunyai Potensi untuk Menurunkan Berat Badan

Studi terbaru menunjukkan 35,6% kelebihan berat badan hilang pada pasien obesitas yang diberikan liraglutide 3 mg/hari selama setahun. Dr. Nick Finer (University College London Hospitals (UCLH) and UCLH Centre for Weight Loss, Metabolic and Endocrine Surgery at University College London, United Kingdom) melaporkan di 19th European Congress on Obesity (ECO) bahwa nilai number needed to treat (NNT) untuk mencapai 10% penurunanan berat badan total pada pemberian liraglutide hanya sebesar 3, dan sebesar 2 untuk mencapai 5% penurunan kelebihan berat badan.

Liraglutide merupakan injeksi subkutan long-acting glucagon-like peptide (GLP)-1 analogue yang telah disetujui untuk perawatan diabetes tipe 2 sebagai terapi pendamping diet dan olahraga. Dala uji klinik 20 minggu, yang kemudian diperpanjang menjadi 52 minggu ini, peserta dengan BMI 30–40 kg/ m2, umur 18-65 tahun, dan dengan kadar gula darah puasa < 126 mg/dL diberikan plasebo selama 2 minggu dan kemudian secara acak diberikan 1 dari 6 pilihan perawatan: liraglutide subkutan 1,2 mg/hari, 1,8 mg/hari, 2,4 mg/hari, atau 3 mg/hari; injeksi placebo subkutan; atau orlistat oral 120 mg 3x/hari. Dari minggu 20–52, investigator dan peserta dibuat tidak mengetahui obat yang diberikan (liraglutide atau plasebo). Selama uji klinik ini, peserta menjalani diet pengurangan 500 kkal/hari dan melakukan aktivitas fisik yang lebih tinggi.

Total 356 peserta menyelesaikan uji klinik sampai minggu ke-52. Penurunan berat badan terjadi pada minggu ke-20, kemudian berlanjut sampai minggu ke-52, terkait dengan dosis liraglutide (dose dependent). 75% pasien yang diberikan liraglutide 3 mg dikategorikan sebagai responder (paling tidak mengalami penurunan BB sebesar 5%) dibanding 32% pasien yang diberikan plasebo dan 38% pada pasien orlistat. Responder liraglutide mengalami kehilangan BB sebesar 7,9 kg pada minggu ke-12, dan pada minggu ke 52, kehilangan BB sebesar 11,1 kg (sekitar 12% dari rata-rata total berat badan atau 35,6% dari kelebihan berat badan). Non-responder liraglutide hanya mengalami kehilangan BB sebesar 3,2 kg pada minggu ke-12, tetapi pada minggu ke-52, total Bb yang hilang sebesar 6 kg. Respon pada kelompok plasebo mengalami penurunan berat badan sebesar 7,1 kg pada minggu ke-52. Pada minggu ke-52, tidak ada pasien kelompok liraglutide yang mengalami kenaikan berat badan, dibanding 27% pada kelompok plasebo dan 13% pada kelompok orlistat yang mengalami kenaikan berat badan.

Namun diperlukan studi yang lebih lengkap untuk indikasi penggunaan liraglutide sebagai obat penurun berat badan, salah satunya mungkin data keamanan kardiovaskuler, sebagai konsekuensi adanya masalah pada sibutramine di masa lalu.(AGN)


Referensi:
19th European Congress on Obesity (ECO). Abstract #152. Presented May 11, 2012

Sepsis, Meropenem Tunggal Sebanding dengan Kombinasi Meropenem-Moxifloxacin

Studi terbaru menunjukkan kombinasi meropenem dan moxifloxacin tidak lebih baik dibanding dengan monoterapi meropenem untuk pasien dengan sepsis derajat berat. Hal ini merupakan kesimpulan dari studi yang dipublikasikan dalam Journal of American Medical Association tahun 2012. Terapi antimikroba yang tepat dan segera menghasilkan angka kematian yang lebih rendah terkait sepsis derajat berat. Perananan terapi empiris dengan mengombinasikan 2 antibiotik dengan mekanisme yang berbeda masih bersifat kontroversial.

Sebuah studi paralel, terbuka, acak pada 600 pasien dengan sepsis derajat berat atau syok septik membandingkan pemberian meropenem (n=298) vs meropenem + movifloxacin (n=302). Uji klinik ini dilakukan pada 41 ICU di Jerman mulai dari Oktober 200 7 – Maret 20120. Jumlah pasien yang dievaluasi sebanyak 273 pada kelompok monoterapi dan 278 pada kelompok kombinasi. Meropenem IV (1 g setiap 8 jam) diberikan sebagai agan tunggal atau dikombinasikan dengan moxifloxacin (400 mg setiap 24 jam) selama 7 – 14 hari atau sampai pasien keluar dari ICU atau meninggal (mana yang tercapai lebih dahulu).

Dari 551 pasien yang dievaluasi, tidak terdapat perbedaan rata-rata skor SOFA (sequential organ failure assessment: 0-24 poin, di mana skor yang lebih tinggi menunjukkan kegagalan organ yang lebih berat) selama 14 hari yang bermakna pada kelompok meropenem (8,3 poin; 95% CI, 7,8-8,8 poin) dibandingkan dengan kelompok meropenem + moxifloxacin (7,9 poin; 95% CI, 7,5-8,4 point) (P=0,36). Selain itu, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal mortalitas, pada hari ke-28, terdapat 66 kematian pada kelompok kombinasi (23,9%; 95% CI, 19,0%-29,4%) dibanding 59 kematian pada kelompok meropenem (21,9%; 95% CI, 17,1%-27,4%) (P=0,58). Pada hari ke-90, terdapat 96 kematian (35,3%; 95% CI, 29,6%-41,3%) dibandingkan 84 kematian (32,1%; 95% CI, 26,5%-38,1%) (P=0,43) pada kelompok monoterapi. Bahkan terdapat insidens efek samping yang lebih banyak pada kelompok kombinasi (n=26; 8,6% [95% CI, 5,7%-12,3%]) dibanding dengan kelompok monoterapi (n=11; 3,8% [95% CI, 1,2%-6,6%]; P=0,02).

Berdasarkan studi tersebut peneliti menyimpulkan bahwa, pada pasien dengan sepsis berat, pemberian kombinasi meropenem dengan moxifloxacin dibanding monoterapi meropenem tidak memberikan hasil yang lebih baik dalam hal kegagalan organ.(AGN)

Referensi:
Brunkhorst FM, Oppert M, Marx G, Bloos F, Ludewig K, Ptensen C, et al. Effect of empirical treatment with moxifloxacin and meropenem vs meropenem on sepsis-related organ dysfunction in patients with severe sepsis: A randomized trial. JAMA. 2012;


Metformin, Manfaatnya pada Pasien Obesitas Non-Diabetes dengan Hipertensi

Obesitas dan Hipertensi sering berkaitan dengan efek metabolisme dan inflamasi sistemik derajat rendah. Metformin menurunkan berat badan dan proses inflamasi pada pasien dengan diabetes. Dan studi terbaru menunjukkan bahwa penggunaan metformin juga memberikan efek yang menguntungkan pada pasien obesitas non-diabetes dengan hipertensi. Metformin mampu menurunkan kolesterol total, obesitas abdominal, dan kadar CRP pada pasien non-diabetes tersebut. Hal ini merupakan kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh Dr. He dan kolega dan dipublikasikan secara online dalam Journal of Hypertension bulan April 2012 ini.

Studi tersebut melibatkan sebanyak 180 partisipan, yang secara acak mendapat metformin dan sebanyak 180 partisipan yang secara acak mendapat plasebo. Pada minggu ke-24, pemberian metformin jika dibandingkan dengan plasebotidak memberikan efek yang bermakna pada penurunan tekanan darah, kadar gula darah, HDL maupun LDL, namun menurunkan total kolesterol serum (0,27 mmol/L, P=0,038). Metformin secara bermakna juga menurunkan berat badan (-0,7 kg. P=0,006), BMI (-0,2 kg/m, P=0,024), serta lingkar pinggang (-0,9 cm, P=0,008), dan baik lemak subkutan (-6,1 cm, P=0,043) maupun viseral (-5,4 cm, P=0,028) yang diukur dengan menggunakan computered tomography, dan menurunkan kadar C-reactive protein (-0,6 mg/dL, P<0,001). Namun tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal kejadian efek samping (P=0,785).

Berdasarkan hasil studi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa metformin tidak memberikan efek terhadap tekanan darah, kadar gula darah, namun mampu menurunkan total kolesterol, obesitas abdominal, dan kadar C-reactive protein pada pasien obes dengan hipertensi tanpa diabetes.

Referensi:
He H, Zhao Z, Chen J, Ni Y, Zhong J, Yan Z, Li Y, Liu D, Pletcher MJ, Zhu Z; Metformin-based treatment for obesity-related hypertension: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Journal of Hypertension (Apr 2012).











Penggunaan NSAIDs Jangka Panjang Mengurangi Risiko Kanker Kulit

Studi terbaru (population based, case control) yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Cancer pada Mei 2012, menunjukkan bahwa penggunaan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) dapat mengurangi risiko terjadinya squamous cell carcinoma (SCC) atau malignant melanoma (MM). Studi yang dilakukan oleh Sigrun Alba Johannesdottir Bsc., ini menggunakan data dari Danish Cancer Registry (DCR), di mana peneliti mengidentifikasi semua kasus SCC, MM, dan BCC yang didiagnosis pad pasien dengan umur 20 tahun atau lebih di Denmark utara, mulai dari tahun 1991–2009. Peneliti mengidentifikasi 1974 kasus SCC, 13.316 kasus BCC, dan 3242 kasus MM.

Secara umum penggunaan NSAID (>2 peresepan) terkait dengan penurunan risiko SCC (incidence rate ratio [IRR], 0,85; 95% confidence interval [CI], 0,76–0,94) dan MM (IRR, 0,87; 95% CI, 0,80–0,95) dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan (<2 peresepan). Hal ini terutama untuk penggunaan jangka pangka panjang (≥7 tahun) dan penggunaan intensitas tinggi (>25% cakupan peresepan selama total durasi penggunaan). 

Sekalipun penggunaan NSAID tidak terkait dengan penurunan risiko basal cell carcinoma (BCC) secara umum (IRR, 0,97; 95% CI, 0,93–1,01), penurunan risiko BCC selain di kepala tercatat pada penggunaan jangka panjang (IRR, 0,85; 95% CI, 0,76–0,95) dan intensitas tinggi (IRR, 0,79; 95% CI, 0,69–0,91). Efek dari NSAID meningkat sesuai dengan lamanya durasi dan intensitas penggunaan yang mungkin menunjukkan efek biologis kumulatif (dose response effect) dalam inisiasi karsinogenesis. Peneliti mencatat bahwa NSAID yang terkait dengan penurunan risiko kanker terutama adalah NSAID nonselektif dan COX-2 inhibitor generasi lama (diclofenac, meloxicam, etodolac). Tidak seperti studi lain, studi ini tidak mendukung temuan bahwa COX-2 inhibitor baru terkait dengan penurunan risiko kanker kulit dan BCC.

Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa NSAID secara umum, termasuk aspirin, NSAID nonselektif lain, dan COX-2 inhibitor generasi lama terkait dengan penurunan risiko kanker kulit, khususnya SCC dan MM.(AGN)



Referensi:
Sigrun Alba Johannesdottir, Ellen T. Chang, Frank Mehnert, Morten Schmidt, Anne Braae Olesen and Henrik Toft Sørensen. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs and the risk of skin cancer : A population-based case-control study. 29 May 2012 | DOI: 10.1002/cncr.27406


Peranan Vitamin D pada Asma Bronkiale

Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang mempunyai banyak manfaat, selain fungsi utamannya untuk sistem rangka tubuh, studi terbaru menunjukkan bahwa vitamin D jugamempunyai pengaruh terhadap kejadian dan mekanisme asma bronkial. Hal ini merupakan studi yang dilakukan oleh Dr. Luong dan kolega yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Pulmonary Pharmacology & Therapeutics bulan April 2012.

Dalam studi tersebut disebutkan bahwa vitamin D dan metabolismenya mempunyai peran penting sebagai hormon untuk memodulasi sistem imunitas dan mampu menekan sel Th2 yan gberperan dalam reaksi alergi pada saluran nafas. Beberapa faktor genetik mungkin berkontribusi dalam terjadinya asma ini yang diatur oleh vitamin D, seperti Vitamin D receptor (VDR), human leukocyte antigen genes (HLA), human Toll-like receptors (TLR), matrix metalloproteinases (MMPs), a disintegrin and metalloprotein-33 (ADAM-33), dan poly(ADP-ribosyl) polymerase- 1 (PARP-1).

Vitamin D juga terlibat dalam asma melalui efek pada obesitas, vaksinasi basil Calmettee Guérin (BCG) dan kadar vitamin D yang tinggi tinggi, suplemen vitamin D, checkpoint protein kinase 1 (Chk1), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan gamma delta T cells (gdT). Vitamin D berperan dalam asma dan mekanismenya dengan cara baik melalui genomik dan / atau non-genomik.


Referensi:
Luong Kv, Nguyen LT. The role of vitamin D in asthma. Pulmonary Pharmacology & Therapeutics 2012:25(2):137-43.


Suplementasi Co-enzyme Q-10 Menurunkan Keluhan Nyeri Kepala pada Pasien Fibromialgia

Coenzyme Q10 adalah substansi menyerupai vitamin larut lemak dan dikenal juga dengan nama ubiquinone. Coenzyme Q10 diindikasikan untuk pengobatan berbagai penyakit kardiovaskuler, neurologi dan imunologi. Studi terbaru menunjukkan bahwa splementasi co-enzim Q10 juga memberikan manfaat dalam mengurangi nyeri kepala pada pasien-pasien dengan fibromialgia. Studi yang dilakukan oleh Dr. Cordero dan kolega ini dipublikasikan secara online dalam jurnal PloS One tahun 2012 ini.

Dalam studi tersebut peneliti melibatkan sebanyak 10 pasien fibromyalgia dan 15 subyek sebagai pembanding yang juga dilakukan evaluasi parameter-parameter stress oksidatif yaitu kadar coenzyme Q10, kadar catalase dan kadar malondialdehyde. Selain itu juga dinilai beratnya sakit kepala dengan visual analog score (VAS), fibromyalgia impact questionnaire (FIS), dan headache impact test (HIT-6). Korelasi antara kadar coenzyme Q10, catalase dan malondialdehyde dengan beratnya gejala sakit kepala (HIT-6) dihitung dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson (r). 

sebanyak 10 pasien fibromyalgia diberikan suplementasi coenzyme Q10 dalam bentuk ubiquinone sebanyak 300 mg / hari selama 3 bulan kemudian dievaluasi kembali parameter-parameter stress oksidatif yaitu kadar coenzyme Q10, catalase dan malondialdehyde serta beratnya gejala sakit kepala dengan visual analog score (VAS), fibromyalgia impact questionnaire (FIS), dan headache impact test (HIT-6).

Hasil pertama dari penelitian ini adalah kadar coenzyme Q10 dan catalase berkorelasi negatif secara signifikan dengan beratnya gejala sakit kepala (HIT-6) dengan koefisien korelasi: r = -0,59; P<0,05 & r = -0,68; P<0,05.2 Selain itu kadar malondialdehyde berkorelasi positif secara signifikan dengan beratnya sakit kepala (HIT-6) dengan koefisien korelasi: r = 0,33; P<0,05.2. Hasil kedua dari penelitian ini adalah pemberian suplementasi coenzyme Q10 dalam bentuk ubiquinone 300 mg / hari selama 3 bulan meningkatkan secara bermakna kadar coenzyme Q10 (p<0,001) dan catalase (p<0,001) serta menurunkan secara bermakna kadar malondialdehyde (p<0,001).2 Selain itu beratnya gejala sakit kepala juga membaik secara bermakna setelah suplementasi coenzyme Q10 diukur dengan menggunakan visual analog score (VAS) (p<0,01), fibromyalgia impact questionnaire (FIS) (p<0,01), dan headache impact test (HIT-6) (p<0,05).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah beratnya gejala sakit kepala pada fibromyalgia berkorelasi dengan parameter-parameter stress oksidatif. Lebih lanjut, suplementasi coenzyme Q10 menunjukkan perbaikan gejala klinis yang bermakna pada sakit kepala fibromyalgia. Penelitian lanjutan dengan uji klinis acak, tersamar ganda diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini. (NNO)


Referensi:
Cordero MD, Cano-Garcia FJ, Alcocer-Gomez E, De Miguel M, Sanzhez-Alcazar JA. Oxidative Stress Correlates with Headache Symptoms in Fibromyalgia: Coenzyme Q10 Effect on Clinical Improvement. PLoS One. 2012; 7(4): 1-6.