This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 19 Januari 2009

Diet Penderita Nephrotik Syndrom

Pada Shoutbox blog ini saya mendapatkan permintaan dari Wahyu: "mas apa diet bagi penderita penyakit nephrotik sindrom tersebut? kakak saya kemungkinan mengidap penyakit tersebut apa masih bisa sembuh?"

Ok, saya akan coba menjawabnya.

Pada nephrotik sindorom terjadi proteinuria (keluarnya protein dalam urin), hipoalbuminemia (kadar protein dalam darah rendah), edema perifer (pembengkakan pada tubuh, bisa seluruh tubuh), hiperlipidemia (kadar kolesterol darah meningkat). Untuk dietnya hindari makanan yang mengandung garam, karena garam akan menyebabkan air dalam tubuh tertahan sehingga bisa memperparah bengkaknya.Hindari makanan yang mengandung kolesterol tinggi, karena akan menambah kadar kolesterol dalam tubuh

Untuk kesembuhan apabila mengikuti terapi kortikosteroid sampai dengan tuntas frekuensi kesembuhannya bisa sampai 90%. Tetapi setelah kortikosteroid dihentikan bisa kambuh lagi sekitar 50%.

Semoga jawaban saya bisa membantu anda, saya doakan kakak anda segera sembuh. Amin.

Senin, 05 Januari 2009

ABORTUS

Kehamilan adalah proses fisiologi pada wanita dalam masa reproduksi. Dalam perjalanannya , kehamilan sering terhenti oleh proses abortus, partus immature maupun partus prematurus. Proses reproduksi umumnya dipandang sebagai proses fisiologis, akan tetapi kemungkinan timbulnya komplikasi pada kehamilan, persalinan, dan nifas sedemikian besarnya sehingga proses ini tidak dapat dibiarkan berlangsung sendiri tanpa perawatan, perlindungan, dan perawatan yang memadai.

Estimasi nasional menyatakan setiap tahun terjadi 2 juta kasus aborsi di Indonesia. Ini artinya terdapat 43 kasus aborsi per 100 kelahiran hidup (menurut hasil sensus penduduk tahun 2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15 – 49 tahun (berdasarkan Crude Birth Rate (CBR) sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup) (Utomo, 2001).

Abortus dibagi menjadi beberapa jenis, menurut kejadiannya abortus dibagi atas abortus spontan yang memang terjadi secara alamiah dan abortus provokatus yang kejadiannya dibagi atas abortus spontan yang memang terjadi secara alamiah dan abortus provokatus yang kejadiannya dipicu hal-hal tertentu. Menurut aspek klinis abortus dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu abortus imminens, abortus insipiens, abortus kompletus, abortus inkompletus, missed abortion dan abortus habitualis. Masing-masing abortus memiliki tanda dan karakteristik sendiri.

Penelitian ini dipicu oleh keingintahuan akan frekuensi kejadian dari masing-masing abortus tersebut berdasarkan jenisnya. Penelitian ini juga berusaha menelaah sedikit faktor-faktor yang bisa dianggap mempengaruhi terjadinya abortus.

Ada beberapa faktor yang merupakan predisposisi terjadinya abortus, misalnya faktor paritas dan ibu, mempunyai pengaruh besar. Risiko abortus semakin dengan bertambahnya paritas dan semakin bertambahnya usia ibu dan ayah ( Cunningham, 2000). Riwayat abortus pada penderita abortus nampaknya juga merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang. Kemungkinan terjadinya abortus berulang pada seorang wanita yang mengalami abortus tiga kali atau lebih adalah 83,6 % (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2000)

Selain beberapa faktor diatas, penyakit ibu seperti pneumonia, typhus abdominalis, pielonefritis, malaria dan lain-lain dapat menyebabkan abortus. Begitu pula dengan penyakit-penyakit infeksi lain juga memperbesar peluang terjadinya abortus.

II.1. Definisi

Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup luar kandungan. Batasan abortus adalah umur kehamilan kurang dari 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram ( Greenhill, 1965). Sedang menurut WHO /FIGO (1998) adalah jika kehamilan kurang dari 22 minggu, bila berat janin tidak diketahui. Di Indonesia umumnya batasan untuk abortus adalah sesuai dengan definisi Greenhill yaitu jika umur kehamilan kurang dari 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram. Abortus spontan dibagi menjadi abortus awal dan abortus yang terlambat. Abortus awal terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu. Abortus yang terlambat terjadi pada usia kehamilan 12 sampai 20 minggu (Gilbert dan Harmon,2003).

II.2. Frekuensi dan Rekurensi

Frekuensi abortus sukar ditentukan karena abortus buatan banyak tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi, juga karena sebagian abortus hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap haid yang terlambat. Diperkirakan frekuensi abortus spontan berkisar antara 10 dan 15 % (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2000).

Rekurensi terjadinya abortus sebanyak 20 % jika terdapat riwayat 1 kali abortus spontan sebelumnya, 35 % jika terdapat riwayat 2 kali abortus spontan sebelumnya, 50 % jika terdapat riwayat 3 abortus spontan sebelumnya, dan 30 % jika terdapat riwayat 3 kali abortus spontan sebelumnya dan telah 1 kali mengalami partus spontan ( Naylor, 2005)

II.3. Etiologi

Lebih dari 80 % abortus terjadi dalam 12 minggu pertama kehamilan dan angka tersebut kemudian menurun secara cepat ( Cunningham dkk., 2000). Penelitian menunjukkan bahwa hampir 60 % abortus awal (sebelum 12 minggu pertama kehamilan) memiliki abnormalitas kromosom (Gilbert dan Harmon, 2003).

Menurut Siegler dan Eastman, abortus terjadi pada 10% kehamilan. Rumah Sakit Pirngadi Medan juga mendapati angka 10 % dari seluruh kehamilan. Menurut Eastman, 80% abortus terjadi pada bulan ke 2-3 kehamilan, sementara Simens mendapatkan angka 76 % ( Mochtar,1998)

Anomali kromosom menyebabkan sekurang-kurangnya separuh dari abortus dini ini, dan kemudian secara pasti dan cepat angka ini akan menurun. Risiko abortus spontan kelihatannya semakin meningkat dengan bertambahnya paritas disamping dengan semakin lanjutnya usia ibu serta ayah (Cunningham dkk.,2000). Frekuensi abortus yang dikenali secara klinis bertambah dari 12 % pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, menjadi 26 % pada wanita berumur diatas 40 tahun. Insiden abortus bertambah jika kandungan wanita tersebut melebihi umur 3 bulan (Cunningham dkk.,2000).

Pada kehamilan muda, abortus tidak jarang didahului oleh kematian mudigah. Sebaliknya, pada kehamilan lebih lanjut biasanya janin dikeluarkan dalam keadaan masih hidup (Wibowo dan Wiknjosastro,1999). Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas peristiwa abortus tidak tampak jelas, tetapi dalam beberapa bulan kehamilan, ekspulsi ovum yang terjadi secara spontan hampir selalu didahului kematian embrio atau janin. Dengan alasan tersebut, pertimbangan untuk menentukan etiologi abortus dini harus melibatkan kepastian mengenai penyebab kematian janin. Dalam beberapa bulan kehamilan berikutnya, sering ditemukan sebelum ekspulsi masih hidup dalam uterus (Cunningham dkk.,2000).

Hal-hal yang dapat menyebabkan abortus, dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu :

1. Faktor fetal

Penemuan morfologis yang paling sering terjadi dalam abortus dini spontan adalah abnormalitas dalam perkembangan zigot, embrio fase awal janin, atau kadang-kadang plasenta. Perkembangan janin yang abnormal, khususnya dalam trimester pertama kehamilan, dapat diklasifikasikan menjadi perkembangan janin dengan kromosom yang jumlahnya abnormal (aneuploidi) atau perkembangan janin dengan komponen kromosom yang normal (euploidi).

Abnormalitas kromosom sering terjadi di antara embrio dan janin fase awal yang mengalami abortus spontan serta menjadi sejumlah besar atau sebagian besar kehamilan awal yang sia-sia. Penelitian menyebutkan bahwa 50 – 60 % dari abortus dini spontan berhubungan dengan anomali kromosom pada saat konsepsi.

Menurut Hertig dkk pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus spontan. Menurut penyelidikan mereka, dari 1000 abortus spontan, maka 48,9 % disebabkan oleh ovum yang patologis (Mochtar,1998).

Hasil konsepsi dengan kromosom normal yang mengalami abortus biasanya akan menghilang belakangan dalam kehamilan. Laporan menyatakan bahwa ¾ abortus an euploidi terjadi pada atau sebelum kehamilan 8 minggu, sedangkan abortus euploidi mencapai puncaknya sekitar 13 minggu (Cunningham,2000). Insiden abortus euploidi akan meningkat secara dramatis setelah usia maternal 35 tahun. Namun sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut belum diketahui secara pasti. Dua keadaan yang mungkin menjadi penyebab terjadinya abortus diatas : (1) abnormalitas genetik (2) sejumlah kasus maternal (Cunningham dkk.,2000).

2. Faktor maternal

Penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi. Peristiwa abortus tersebut mencapai puncaknya pada kehamilan 13 minggu (Cunningham dkk.,2000).

Keadaan yang menjadi faktor penyebab adalah :

  1. Infeksi

Beberapa infeksi kronis pernah terlibat atau sangat dicurigai sebagai penyebab abortus, diantaranya Listeria monocytogenes dan Toxoplasma.

  1. Pengaruh endokrin

Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidisme, diabetes mellitus, dan defisiensi progesteron. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan dengan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan berperan dalam peristiwa kematian janin.

  1. Faktor imunologis

Ada dua mekanisme utama pada abnormalitas imunologis yang berhubungan dengan abortus, yaitu : mekanisme alloimun dan mekanisme autoimun. Mekanisme autoimun adalah mekanisme timbulnya reaksi seluler atau humoral yang ditujukan kepada suatu lokasi spesifik dalam tubuh hospes. Alogenitas digunakan untuk menjelaskan ketidaksamaan genetik antar binatang dari spesies yang sama. Janin manusia merupakan cangkokan alogenik yang diterima dengan baik oleh tubuh ibu berdasarkan alasan yang tidak diketahui secara lengkap. Beberapa mekanisme imunologi dilaporkan bekerja untuk mencegah penolakan janin. Mekanisme tersebut mencakup faktor histokompatibilitas, faktor penghambat sirkulasi, faktor supressor lokal dan antibodi antileukositotoksik maternal atau anti paternal. Tidak adanya atau tidak disintesisnya salah satu faktor diatas oleh tubuh ibu menyebabkan terjadinya reaksi imun maternal abnormal yang berbalik melawan antigen dalam plasenta atau dalam jaringan janin lainnya dan mengakibatkan abortus.

  1. Gamet yang menua

Baik umur sperma atau ovum dapat mempengaruhi angka insiden abortus spontan. Gamet yang bertambah tua dalam traktus genitalis wanita sebelum fertilisasi, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus.

  1. Kelainan traktus genitalis

Retroversio uteri, myoma uteri, atau kelainan-kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan abortus, tetapi hanya retroversio uteri gravidi incarserata atau myoma submukosa yang memegang peranan penting (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2000).

3. Faktor paternal

Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor paternal dalam proses timbulnya abortus spontan. Translokasi kromosom dalam sperma dapat menimbulkan zigot yang mendapat bahan kromosom terlalu sedikit atau terlalu banyak, sehingga terjadi abortus (Cunningham,2000).

II.4. Patologi

Abortus biasanya disertai dengan pendarahan didalam desidua basalis dan perubahan nekrotik di dalam jaringan-jaringan yang berdekatan dengan tempat perdarahan. Hal tersebut menyebabkan ovum dapat terlepas seluruhnya atau sebagian dan mungkin menjadi benda asing dalam uterus, sehingga merangsang kontraksi uterus dan mengakibatkan pengeluaran janin.

Sebelum minggu kesepuluh, hasil konsepsi biasanya akan dikeluarkan lengkap. Hal ini disebabkan karena villi koriales belum menanamkan diri dengan erat kedalam desidua, hingga hasil konsepsi mudah lepas. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan secara sempurna yang dapat menyebabkan banyak pedarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas, umumnya mula-mula dikeluarkan setelah ketuban pecah adalah janin, disusul beberapa waktu kemudian oleh plasenta yang lengkap terbentuk. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap (Wibowo dan Wiknjosastro,1999).

Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Adakalanya kantong amnion kosong atau tampak didalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted ovum), mungkin pula janin lahir mati atau dilahirkan hidup.

II.5. Klasifikasi

Berdasarkan jenis tindakan yang dilakukan, abortus dibedakan menjadi 2 golongan yaitu :

1. Abortus spontan

Yaitu abortus yang terjadi tanpa tindakan dan terjadi dengan sendirinya (Wibowo dan Wiknjosastro,1999). Jenis abortus spontan merupakan 20 % dari semua abortus (Anonim,1981).

2. Abortus provokatus

Yaitu abortus yang terjadi akibat tindakan atau disengaja. Merupakan 80 % dari semua kasus abortus (Anonim,1981).

Abortus provokatus dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Abortus provokatus therapeutik

Adalah abortus provokatus atas indikasi medik yaitu kehamilan yang dapat membahayakan jiwa ibu, misalnya karena pasien menderita penyakit jantung yang berat (Anonim,1981). Adalah peristiwa pengakhiran kehamilan karena penyakit atau kelainan yang serius pada ibu dan jika kehamilan dilanjutkan akan membahayakan jiwa ibu (Eastman,1956).

b. Abortus provokatus kriminalis

adalah abortus provokatus tanpa ada alasan medis yang sah dan dilarang oleh hukum.

Berdasarkan gambaran klinik, abortus dibedakan menjadi 5 golongan, yaitu :

1. Abortus imminens

Abortus imminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, sedang hasil konsepsi masih dalam uterus tanpa adanya dilatasi serviks (Wibowo dan Wiknjosastro,1999).

Diagnosis abortus imminens diduga bila perdarahan berasal dari intrauteri muncul selama pertengahan pertama kehamilan, dengan atau tanpa kolik uterus, tanpa pengeluaran hasil konsepsi dan tanpa dilatasi serviks. Menurut Taber (1994), umumnya kira-kira 50 % wanita dengan gejala abortus imminens kehilangan kehamilannya, persentase kecil lahir prematur dan lainnya berlanjut ke kelahiran cukup bulan.

2. Abortus insipiens

Abortus insipiens ialah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah (Wibowo dan Wiknjosastro,1999).

Ciri : perdarahan pervaginam, dengan kontraksi makin lama makin kuat dan sering, serviks terbuka

3. Abortus inkompletus

Abortus inkompletus adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Perdarahan abortus ini dapat banyak sekali, sehingga dapat menyebabkan perdarahan banyak dan tidak berhenti sebelum hasil konsepsi dikeluarkan.

Ciri : perdarahan yang banyak, disertai kontraksi,serviks terbuka, sebagian jaringan keluar.

4. Abortus kompletus

Abortus kompletus terjadi dimana semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit,ostium uteri sebagian besar telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil.

Ciri : perdarahan pervaginam, kontraksi uterus, ostium serviks menutup, ada keluar jaringan, tidak ada sisa dalam uterus.

5. Missed abortion

Missed abortion adalah kematian janin sebelum usia 20 minggu, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih (Wibowo dan Wiknjosastro,1999). Setelah retensi yang lama dari hasil konsepsi yang mati, dapat terjadi kelainan pembekuan darah yang serius, khususnya bila kehamilan telah mencapai trimester kedua sebelum janin mati (Cunningham dkk.,2000).

6. Abortus habitualis

Definisi abortus spontan yang berkali-kali (habitualis) telah dibuat berdasarkan berbagai kriteria jumlah dan urutannya, tapi definisi yang paling mungkin diterima saat ini adalah abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali atau lebih (Cunningham dkk.,2000)

Menurut Hertig abortus spontan terjadi dalam 10 % dari kehamilan dan abortus habitualis 3,6 – 9,8 % dari abortus spontan.

Etiologi :

(1) Kelainan ovum atau spermatozoa, dimana bila terjadi pembuahan hasilnya adalah pembuahan yang patologis

(2) Kesalahan-kesalahan pada ibu, yaitu disfungsi tiroid, korpus luteum, kesalahan plasenta yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan progesteron sesudah korpus luteum atrofis, kelainan anatomis, hipertensi dan keadaan malnutrisi.

II.6 Manifestasi Klinis

  • Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu
  • Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi
  • Rasa mulas atau kram perut di daerah simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus
  • Pemeriksaan ginekologi :

a. Inspeksi vulva : perdarahan pervaginam, ada/tidak jaringan hasil konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vagina

b. Inspekulo: perdarahan dari cavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup,ada/tidak jaringan keluar dari ostium, ada/tidak jaringan berbau busuk dari ostium

c. Vaginal toucher : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam cavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat portio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, cavum douglasi tidak menonjol dan tidak nyeri

II.7 Pemeriksaan Penunjang

  • Tes Kehamilan : positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah abortus
  • Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup
  • Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion

II.8. Penatalaksanaan

  1. Abortus imminens

· Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik berkurang

· Periksa denyut nadi dan suhu badan dua kali sehari

· Tes kehamilan dan pemeriksaan USG untuk menentukan keadaan janin

· Berikan obat-obat hormonal dan antispasmodika

· Berikan obat penenang dan preparat hematinik

· Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C

  1. Abortus Insipiens

· Bila perdarahan tidak banyak tunggu terjadinya abortus spontan tanpa pertolongan selama 36 jam

· Pada kehamilan < 12 minggu, tangani dengan pengosongan uterus memakai kuret vakum atau cunam abortus, disusul dengan kerokan memakai kuret tajam. Suntikkan ergometrin 0,5 mg IM.

· Pada kehamilan > 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU dalam RL 500 ml dimulai 8 tetes/menit dan naikkan sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplet.

· Bila janin sudah keluar tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran plasenta secara manual

  1. Abortus Inkomplit

· Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl fisiologis atau RL dan selekas mungkin ditransfusi darah

· Setelah syok teratasi, lakukan kerokan dengan kuret tajam lalu suntikkan ergometrin 0,2 mg IM

· Bila janin sudah keluar tetapi plasenta masih tertinggal,lakukan pengeluaran plasenta secara manual

· Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi

  1. Abortus komplit

· Bila kondisi pasien baik, berikan ergometrin 3 x 1 tablet selama 3-5 hari

· Bila pasien anemia berikan hematinik

· Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi

· Anjurkan pasien untuk diet tinggi protein,vitamin dan mineral

  1. Missed abortion

· Bila kadar fibrinogen normal, segera keluarkan hasil konsepsi dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam

· Bila kadar fibrinogen rendah, berikan fibrinogen kering atau segar sesaat sebelum atau ketika mengeluarkan hasil konsepsi

· Pada kehamilan < 12 minggu, lakukan pembukaan servik dengan gagang laminaria selama 12 jam lalu dilakukan dilatasi servik dengan dilator hegar. Hasil konsepsi diambil dengan cunam dan kuret tajam.

· Pada kehamilan > 12 minggu, berikan dietilstilbestrol 3x5 mg lalu infus oksitosin 10 IU dalam RL 500 ml mulai 20 tetes/menit dan naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus

II.9. Komplikasi abortus

Komplikasi dari abortus sering terjadi pada abortus kriminalis walaupun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada abortus spontan. Komplikasi dini yang paling sering adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tertanam dalam uterus. Jika infeksi tidak diatasi, dapat terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menimbulkan aborsi septik, yang merupakan komplikasi aborsi ilegal yang paling fatal. Jika abortsi septik disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat virulen dan dibiarkan tidak diatasi, pasien dapat mengalami syok septik.

Komplikasi kedua setelah sepsis yang paling sering dilaporkan adalah perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera organ panggul. Kematian umumnya disebabkan oleh tidak tersedianya darah dan fasilitas rumah sakit yang memadai.

Komplikasi aborsi yang secara potensial fatal adalah bendungan sistem kardiovaskuler oleh bekuan darah, gelembung udara, atau cairan; gangguan mekanisme pembekuan darah yang hebat (DIC) yang disebabkan oleh infeksi yang berat. Bagi mereka yang luput dari komplilkasi awal abortus yang dilakukan oleh tenaga yang kurang terlatih mungkin mengalami efek samping jangka panjang yang lama. Misalnya, ineksi dapat menimbulkan kerusakan permanen di tuba falopii yang dapat menyebabkan kemandulan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, I., 1998, Karakteristik Pasien Abortus di RSUD Genteng Kab. Banyuwangi Selama tahun 1997 ( Karya Tulis Ilmiah), Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Benzion, T., 1994, Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri & Ginekologi, EGC, Jakarta, pp 56 – 76.

Anonym, 1981, Obstetri Patologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung

Cunningham, G.F., MacDonald, P.C., Gant, N.F., & Ronardy, D.H.,(eds), 2000, Abortus, Suyono,J., dan Hartono, A.,(alih bahasa), Obstetri Williams, EGC, Jakarta (edisi 20)

Delee, J.B., 1938, The Principles And Practise Of Obstetric, W.B. Saunders Company, Philadelphia and London (7th ed)

Eastman, N.J., 1956, William Obstetrics, Apleton – Century – Crofts, New york (11th ed.)

Greenhill, J.P., 1965, Obstetrics, W.B Saunders Company, Philadelphia and London (13th ed), pp 432-450

Harlap S, Shiono P.H., Ramcharan S.: A life table of spontaneous abortions and the effect of age, parity, and other variables. In porter IH, Hook EB (eds): Human Embrionic and Fetal Death. New York, Academic,1980, p 145

Mochtar, R., 1998, Sinopsis Obstetri, Jilid 1, Lutan, D. (Eds), EGC, Jakarta

Wibowo, B., & Wiknjosastro, G.H., 1994, kelainan Lamanya Kehamilan, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta pp 302-320.

“ Fakta dan Angka Kehamilan Yang Tidak Direncanakan oleh Prof. Dr. H.A. Moeloek dan Prof.Dr.I.B. Tjitarsa”, Desember 1996, PKBI-Jogya, http://www.pkbi-jogja.org/artikel/kesrep-011 html

Minggu, 04 Januari 2009

Karsinoma Rektal

Karsinoma rekti merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna, lebih 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Salah satu pemicu kanker rektal adalah masalah nutrisi dan kurang berolah raga. Kanker rektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Kanker rektal adalah kanker yang menyerang kolon dan rektum. Namun, penyakit ini bukannya tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 persen.3

Gejala kanker rektal adalah darah yang menggumpal dalam satu jaringan cerna, diare atau konstipasi, dan berat badan turun. Selain itu terasa nyeri di abdomen atau rektum, kejang di rektum, dan kelelahan yang berlanjut.3,6

Setiap waktu, kanker ini bisa menyerang seseorang. Risikonya akan terus meningkat seiring dengan penambahan usia. Data dari Amerika Serikat dan Inggris memperlihatkan, orang yang berusia antara 60 sampai 80 tahun berisiko tiga kali lipat dari kelompok usia lainnya. Mereka yang memiliki riwayat peradangan saluran cerna seperti kolit usus kronis, tergolong berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker kolorektal. Demikian juga dengan mereka yang memiliki riwayat penyakit kanker tersebut, risiko terkena penyakit ini bisa menyerang pada kelompok usia mana pun di bawah 60 tahun. 3

Umumnya penderita datang dalam stadium lanjut, seperti kebanyakan tumor ganas lainnya; 90% diagnosis karsinoma rekti dapat ditegakkan dengan colok dubur. Sampai saat ini pembedahan adalah terapi pilihan untuk karsinoma rekti. 1,2,3,10

 

A. Definisi dan Anatomi

Ca Rekti adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak di anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm. rectosigmoid junction terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir seluruhnya dibungkus oleh peritoneum. Di setengah bagian bawah rektum keseluruhannya adalah ektraperitoneral. Vaskularisasi rektum berasal dari cabang arteri mesenterika inferior dan cabang dari arteri iliaka interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemorriodalis internus dan berjalan ke kranial ke vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Ca Recti dapat menyebar sebagai embulus vena kedalam hati. Pembuluh limfe dari rektum diatas garis anorektum berjalan seiring vena hemorriodalos superior dan melanjut ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta. Operasi radikal untuk eradikasi karsinoma rektum dan anus didasarkanpada anatomi saluran limfaini Dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muscularis propria dan serosa. 1,2,5,11

clip_image002

Gambar 1. anatomi kolon dan rektum

B. Angka Kejadian

Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling sering terjadi dan nomer dua sebagai penyebab kematian di negara berkembang. Tahun 2005, diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus di rektal. Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus Ca kolon dan 8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal merupakan 11 % dari kejadian kematian dari semua jenis kanker. 1, 4

clip_image004

Gambar 2. 1 Ca rekti

Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi kematian pada hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health Organization, 2003). Menurut data di RS Kanker Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal menempati urutan keenam dari 10 jenis kanker dari pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia selain jenis kanker lainnya. Namun, perkembangan teknologi dan juga adanya pendeteksian dini memungkinkan untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa dicegah.1,3,4

Dari selutruh pasien kanker rektal, 90% berumut lebih dari 50 tahun. Hanya 5% pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki – laki memiliki insidensi terbanyak mengidap kanker rektal dibanding wanita dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5. 1,2

C. Etiologi dan Faktor Resiko

Banyak faktor dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker rektal, diantaranya adalah : 1,2,5,7,8,12

  • Diet tinggi lemak, rendah serat
  • Usia lebih dari 50 tahun
  • Riwayat pribadi mengidap adenoma atau adenokarsinoma kolorektal mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
  • Riwayat keluarga satu tingkat generasi dengan riwayat kanker kolorektal mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
  • Familial polyposis coli, Gardner syndrome, dan Turcot syndrome, pada semua pasien ini tanpa dilakukan kolektomi dapat berkembang menjadi kanker rektal
  • Resiko sedikit meningkat pada pasien Juvenile polyposis syndrome, Peutz-Jeghers syndrome, dan Muir syndrome.
  • Terjadi pada 50 % pasien Kanker kolorektal Herediter nonpolyposis
  • Inflammatory bowel disease
    • Kolitis Ulseratif (resiko 30 % setelah berumur 25 tahun)
    • Crohn disease, berisiko 4 sampai 10 kali lipat

D. Gejala Klinis

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah : 1,2,5,7,8,12

· Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar maupun yang berwarna hitam.

· Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB

· Feses yang lebih kecil dari biasanya

· Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut atau nyeri

· Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya

· Mual dan muntah,

· Rasa letih dan lesu

· Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah gluteus.

E. Diagnosis dan Staging

Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker rektal, diantaranya ialah : 1,2,5,7,8,9,12

1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di jaringan

2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung. clip_image006

Gambar 3. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti

3) Dapat pula dengan Barium Enema,. yaitu Cairan yang mengandung barium dimasukkan melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus gastrointestinal bawah. clip_image008

Gambar 4. Pemeriksaan Barium Enema

4) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi. clip_image010

Gambar 5. sigmoidoscopy

5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat colonoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi. clip_image012

Gambar 6. Colonoscopy

Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors.1,2

Ketika diagnosis rectal cancer sudah dipastikan, maka dilakukan prosedur untuk menetukan stadium tumor. Hal ini termasuk computed tomography scan (CT scan) dada, abdomen, dan pelvis, complete blood count (CBC), tes fungsi hepar dan ginjal, urinanalysis, dan pengukuran tumor marker CEA (carcinoembryonic antigen). 1,2

Tujuan dari penentuan stadium penyakit ini ialah untuk mengetahui perluasan dan lokasi tumor untuk menentukan terapi yang tepat dan menentukan prognosis. Stadium penyait pada kanker rektal hampir mirip dengan stadium pada kanker kolon. Awalnya, terdapat Duke's classification system, yang menempatkan klanker dalam 3 kategori stadium A, B dan C. sistem ini kemudian dimodofikasi oleh Astler-Coller menjadi 4 stadium (Stadium D), lalu dimodifikasi lagi tahun 1978 oleh Gunderson & Sosin. 1,2

Pada perkembangan selanjutnya, The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging system, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV). 1,2,5

1. Stadium 0

Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.

2. Stadium I

Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.

3. Stadium II

Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.

4. Stadium III

Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tedak menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.

5. Stadium IV

Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer

clip_image014

Gambar 7. Stadium Ca Recti I-IV

Tabel 1. CT Staging System for Rectal Cancer*

Stadium

Deskripsi

T1

Intraluminal polypoid mass; no thickening of bowel wall

T2

Thickened rectal wall >6 mm; no perirectal extension

T3a

Thickened rectal wall plus invasion of adjacent muscle or organs

T3b

Thickened rectal wall plus invasion of pelvic side wall or abdominal wall

T4

Distant metastases, usually liver or adrenal

 

*Modified from Thoeni (Radiology, 1981)

Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System*

TNM Stadium

Modified Dukes Stadium

Deskripsi

T1 N0 M0

A

Limited to submucosa

T2 N0 M0

B1

Limited to muscularis propria

T3 N0 M0

B2

Transmural extension

T2 N1 M0

C1

T2, enlarged mesenteric nodes

T3 N1 M0

C2

T3, enlarged mesenteric nodes

T4

C2

Invasion of adjacent organs

Any T, M1

D

Distant metastases present

*Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)

A. Pentatalaksanaan

Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :

1. PEMBEDAHAN

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal. 2,7

Tipe pembedahan yang dipakai antara lain : 1,2,9

  • Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy.
  • Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga mengandung sel kanker. clip_image002[4]

Gambar 8. Reseksi dan Anastomosis

  • Reseksi dan kolostomi : clip_image004[4]

Gambar 9. Reseksi dan Kolostomi

2. RADIASI

Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiesi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable. 1,2,9

3. KEMOTERAPI

Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan), dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III). terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira – kira 15% dan menurunkan angka kematian kira – kira sebesar 10%. 1,2,9

B. Prognosis

Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah sebagai berikut :

    • Stadium I - 72%
    • Stadium II - 54%
    • Stadium III - 39%
    • Stadium IV - 7%

50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahu pertama setelah operasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif tumor. 2

DAFTAR PUSTAKA

  1. Hassan , Isaac 2006, Rectal carcinoma, www.emedicine.com
  2. Cirincione, Elizabeth 2005, Rectal Cancer,www.emedicine.com

3. Anonim, 2006, Mengatasi Kanker Rektal, Republika online, www.republika.co.id

  1. American Cancer Society, 2006, Cancer Facts and Figures 2006, American Cancer Society Inc. Atlanta
  1. Anonim, 2006, A Patient’s Guide to Rectal Cancer, MD Anderson Cancer Center, University of Texas.
  1. Azamris, Nawawir Bustani, Misbach Jalins., 1997, Karsinoma Rekti di RSUP Dr. Jamil Padang, Cermin dunia Kedokteran no.120
  1. Anonim, 2006, Rectal Cancer Facts : What’s You Need To Know, www.healthABC.info
  1. Anonim, 2006, Rectal Cancer - Overview, Screening, Diagnosis & Staging, www.OncologyChannel.com
  1. Anonim, 2005, Rectal Cancer Treatment , www.nationalcancerinstitute.htm
  1. Marijata, 2006, Pengantar Dasar Bedah klinis, Unit Pelayanan Kampus, FK UGM.

11. De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

12. Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku Media Aesculapius. Jakarta.

 

 

Striktur Urethra

Uretra merupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan wanita, uretra mempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh. Saluran uretra juga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi pria. Uretra pria berbentuk pipa yang menyerupai alat penyiram bunga.

Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya jaringan fibrotik pada dinding uretra.1,2 Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat mengalirkan urin keluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat menyebabkan banyak komplikasi, dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal.3

Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian dunia tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra pada wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra, meskipun hal itu jarang terjadi.4

 

A. ANATOMI URETRA1,3,5,6

Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi. Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretra posterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.

1. Uretra bagian anterior

Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah.

2. Uretra bagian posterior

Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi). Uretra yang dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter. Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan kemih dan berhenti pada waku berkemih. Uretra membranacea terdapat dibawah dan dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai uretra membranasea.

clip_image002

Gambar 1. Uretra Pria6

B. DEFINISI

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya.7

C. ETIOLOGI

Striktur uretra dapat terjadi pada1,2,3,4,5,6,7,8,9

1. Kelainan Kongenital,

misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior

2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia

3. Trauma,

misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda pria; trauma langsung pada penis; instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah.

4. Post operasi,

beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.

5. Infeksi,

merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.

D. PATOFISIOLOGI3,6,9

Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal. Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.

Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama dengan semula.

Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra, sehingga terjadi striktur uretra.

E. DERAJAT PENYEMPITAN URETRA7

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu derajat:

1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra

2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra

3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra

Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

clip_image004

Gambar 2. Derajat Penyempitan Uretra7

F. GEJALA KLINIS

Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya adalah retensi urine. 1,2,3,4,9,10

G. PEMERIKSAAN

1. Pemeriksaan Fisik3

Anamnesa:

Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari penyebab striktur uretra.

Pemeriksaan fisik dan lokal:

Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra, infiltrat, abses atau fistula.

2. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi

Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal3,10

Uroflowmetri

Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi. 3,7,10

Radiologi

Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi. 2,3,5,7,10

Instrumentasi

Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.

Uretroskopi

Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse. 2,3,5,7

H. DIAGNOSIS

Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. Diagnosis pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan lokasi dan panjang striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra.3

I. PENATALAKSANAAN

Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun.10 Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotika.3,7,10 Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra.

Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:

1. Bougie (Dilatasi)7,11

Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa adanya glukosa dan protein dalam urin.

Tersedia beberapa jenis bougie (Gbr.4F). Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.

Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.

Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut (Gbr.3A-D). Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus (Gbr.3E).

Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya.

Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.

clip_image005

Gambar 3. Dilatasi Uretra dengan Bougie

clip_image007

clip_image009

Gambar 4. Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan). Bougie lurus dan bougie bengkok (F); dilatasi strikur anterior dengan sebuah bougie lurus (G); dilatasi dengan sebuah bougie bengkok (H-J).11

2. Uretrotomi interna

w Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau elektrokoter.

w Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada wanita dengan striktur uretra.

w Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2-3 hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan bouginasi. 1,3,4,7

3. Uretrotomi eksterna3,7,12

w Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm.

w Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik.

Stadium I, daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari.

Stadium II, beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.

w Uretroplasty dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.

J. KOMPLIKASI3,7

Trabekulasi, sakulasi dan divertikel

Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot.

Residu urine

Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing. Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.

Refluks vesiko ureteral

Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.

Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal

Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi.

Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.

Infiltrat urine, abses dan fistulasi

Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.

K. PENCEGAHAN1,4,10

w Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis

w Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter

w Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan dan memakai kondom

w Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti infeksi dan gagal ginjal

L. PROGNOSIS

Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah dilakukan observasi selama satu tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan.2,4,7

M. STRIKTUR URETRA PADA WANITA3

w Etiologi striktur pada wanita berbeda dengan laki-laki, etiologi striktura uretra pada wanita radang kronis. Biasanya di derita wanita usia diatas 40 tahun dengan sindroma sistitis berulang yaitu disuria, frekuensi dan urgensi.

w Diagnosis striktur uretra dibuat dengan bougie aboul’e, tanda khas dari pemeriksaan bougie aboul’e adalah pada waktu dilepas terdapat flik/hambatan.

w Pengobatan dari striktura uretra pada wanita dengan dilatasi, kalo gagal dengan otis uretrotomi.

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Urethral Stricture Disease. http://www.urologyhealth.org/ adultconditionsbledder/urethralstricturedisease.html, diakses tanggal 24 September 2004.

2. Stricture Urethra. http://www.strictureurethra.com, diakses tanggal 24 September 2004.

3. Rochani. Striktur Urethra, dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara, Jakarta, 1995. Hal; 152-156.

4. Urethral Stricture. http://www.drrajmd.com/urology/urethral-stricture, diakses tanggal 24 September 2004.

5. Urethral Stricture Disease. http://www.centerforreconstructive urology.com/urethralstricture, diakses tanggal 24 September 2004

6. The Male Urethra. http://www.bartleby.com/xI_splanchnology_ 3b_4_themaleurethra_gray,henry_1918_anatomyofthehumanbody diakses tanggal 24 September 2004.

7. Purnomo Basuki B. Striktura uretra, dalam: Dasar-dasar UROLOGI. Ed 2. CV. Sagung, Jakarta, 2003. Hal; 153-156.

8. Trauma Saluran Kemih. http://www.medicastore.com/sabtu 18september2004/164955, diakses tanggal 24 September 2004.

9. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Striktur Uretra, dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. Revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1996. Hal; 1018-1019.

10. Scott M. Gilbert, M.D., Department of Urology, Columbia-Presbyterian Medical Center, New York. Urethral Stricture. http://www.medlineplus.com/medicalencyclopedia.html, 5 Maret 2004. Diakses tanggal 24 September 2004.

11. Cook J, Sankaran B, Wasunna A.E.O. Uretra Pria, dalam: Penatalaksanaan Bedah Umum di Rumah Sakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995. Hal;165-166.

12. Purwadianto A, Sampurna B. Retensi Urin, dalam: Kedaruratan Medik, “Pedoman Penatalaksanaan Praktis”. Ed Revisi. Binarupa Aksara, Jakarta, 2000. Hal;145-148.

HIPERHIDROSIS

Berkeringat adalah suatu fenomena alamiah yang penting untuk regulasi suhu tubuh perorangan.

Sekresi keringat dilakukan oleh sistem syaraf vegetatif kita (sistem syaraf simpatik). Pada beberapa orang (kira-kira 1% dari populasi), sistem ini bekerja pada suatu tingkat aktivitas yang sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk menjaga suhu yang tetap.

Keadaan ini disebut sebagai hiperhidrosis.

Klasifikasi dan Penyebab

Penyebab

- Primer – essensial – idiopatik (penyebabnya tidak diketahui)

- Sekunder (penyebabnya diketahui)

Lokasi :

- Tapak tangan

- Ketiak

- Tapak kaki

- Wajah

- Badan

- Keseluruhan

1. Hiperhidrosis sebagai suatu bagian dari kondisi yang telah ada (hiperhidrosis sekunder)

Beberapa kondisi dapat menyebabkan keringat berlebihan, sebagai suatu yang melibatkan seluruh tubuh :

- Hipertiroidisme atau penyakit endokrin yang sejenis.

- Terapi endokrin untuk kanker prostat atau tipe lain dari penyakit keganasan.

- Penyakit-penyakit psikiatrik yang berat.

- Obesitas.

- Menopause.

2. Hiperhidrosis tanpa sebab yang diketahui (hiperhidrosis primer atau essensial)

Keadaan ini jauh lebih sering daripada hiperhidrosis sekunder dan muncul secara umum, berlokasi pada satu atau beberapa tempat dari tubuh) lebih sering tangan, kaki, ketiak atau kombinasi dari semua itu)

Selalu dimulai selama masa kecil atau masa remaja dan menetap sepanjang hidup.

Gugup dan cemas dapat mendatangkan atau mengagregasi keringat tetapi gangguan psikiatrik sangat jarang menyebabkan gangguan ini.

Manifestasi Hiperhidrosis Primer

Keringat mengalir jatuh dari ruang dalam keadaan stress dapat sangat menyiksa, menyebabkan pasien berpikir orang lain mungkin mengkhawatirkan/memperhatikan kegugupan dan kegelisahannya.

Hiperhidrosis palmar (telapak tangan)

Keringat yang berlebihan pada tangan adalah, secara umum benar-benar keadaan yang sangat menyiksa. Tangan sangat banyak dipakai pada aktivitas sosial dan potensial dibanding dengan bagian tubuh kita yang manapun. Beberapa orang dengan kondisi itu terbatas pada pilihan profesional menekan, karena ketidakmampuan memanipulasi benda-benda manapun terhadap kelembaban (misalnya kertas) atau segan untuk berjabat tangan; beberapa pasien sampai menghindari kontak sosial. Derajat keringat bervariasi dan dapat dari yang cukup lembab sampai menetes. Kebanyakan pasien menyatakan tangan mereka tidak hanya terasa lembab, tetapi juga dingin.

Hiperhidrosis Axiler

Hiperhidrosis ketiak juga dapat memalukan dan menyebabkan tanda-tanda basah yang lebar dan kadang-kadang sebuah bundaran garam yang putih dari keringat pada pakaian.

Hiperhidrosis kaki

Lokasi lain

Sangat jarang, lokasinya hanya pada badan dan/atau paha. Pasien lain menderita karena keringat yang banyak sekali di wajah.

- Beberapa orang menderita dari suatu kombinasi dari kategori di atas.

- Keringat dapat muncul tiba-tiba atau manifes sendiri lebih berkelanjutan.

- Ini dapat didatangkan dengan suhu luar yang tinggi atau stress emosional atau muncul tanpa sebab yang pasti.

- Secara umum, menjadi lebih buruk selama musim panas dan membaik selama musim dingin.

Pengobatan

Pada hiperhidrosis sekunder, kondisi yang mendasarinya harus diobati lebih dulu. Pasien dengan terapi hormonal untuk kanker prostat (castrasi, analog LHRH) dengan gangguan keringat dapat menjadi ringan dengan pemberian anti estrogen (ciproterone acetate).

Pada pasien dengan hiperhidrosis primer atau untuk terapi simptomatik dari keringat yang berat pada pasien dengan hiperhidrosis sekunder, sebaliknya tidak dapat diobati, metode-metode berikut ini dapat diterima.

Pada pasien psikiatrik dengan hiperhidrosis pengobatan yang sukses dengan simptom ini sering mengurangi kecenderungan stress emosional.

- Anti respiran

- Iontoforesis

- Obat-obatan

- Psikoterapi

- Pembedahan

- Metode pengobatan lain.

Anti respiran

Selalu direkomendasikan sebagai penilaian terapi yang pertama. Agen yang paling efektif adalah alluminium chlorida (20-25%) dalam alkohol 70-90%, diberikan pada malam hari 2-3 kali/hari. Secara umum, pengobatan ini cukup pada kasus-kasus dengan hiperhidrosis yang ringan sampai yang berat tetapi harus diulang secara teratur.

Iontoforesis

Dapat dicoba bila anti respiran tidak membawa kepada hasil yang menguntungkan. Metode ini terdiri dari penggunaan arus listrik intensitas rendah (15-18 mA), dihasilkan oleh generator DC, tapak tangan dan/atau tapak kaki dicelupkan ke dalam suatu larutan elektrolit. Prosedur ini harus diulang secara teratur, dimulai dengan 20 sesi beberapa kali/minggu, berangsur-angsur diperpanjang interval antara pengobatan menjadi 1-2 minggu. Hasilnya bervariasi : beberapa pasien, yang menderita hiperhidrosis ringan atau berat, senang dengan metode ini, beberapa ada yang menganggap ini terlalu membutuhkan waktu atau tidak efisien dan dapat dikatakan mahal sangat sulit untuk menggunakannya pada axilla dan tidak mungkin digunakan pada hiperhidrosis difus pada wajah atau badan/paha.

Peralatan secara spesifik dirancang untuk pengobatan hiperhidrosis di rumah atau pada kantor dokter, secara komersial tersedia dari penyuplai yang berbeda.

Obat-obatan

Tak ada obat-obatan yang spesifik tersedia melawan keringat sebesar-besarnya psikotropik (kebanyakan sedatif) dan/obat-obat antikolinergik sering dicoba tetapi selalu menunjukkan begitu banyak efek samping sebelum suatu hasil yang nyata dapat diterima. Hence, sesuai pesannya tidak direkomendasikan. Pada sedikit kasus yang menderita keringat yang besar-besar di badan (tapi tidak di ekstremitas, suatu dosis rendah agen anti kolinergik dapat mengurangi simptom yang ringan tanpa membawa kehidupan yang tidak dapat didukung dari efek samping (mulut kering, kesulitan akomodasi mata dan lain-lain) tetapi dosis penting untuk menormalkan jumlah keringat akan jarang ditoleransi.

Psikoterapi

Efek yang sangat terbatas pada mayoritas pasien absolut. Masalah psikologis pada kebanyakan kasus merupakan konsekuensi hiperhidrosis, bukan penyebab Hence, terapi psikofarmakologik atau terapi psikiatri tidak dapat menyembuhkan kelainan ini, kebanyakan dapat menolong pasien untuk menerima kehidupan dengan masalah.

Pembedahan

- Eksisi kelenjar keringat axilla

Pasien dengan hiperhidrosis axilla yang tidak responsif terhadap terapi medis dapat dengan efektif diobati dengan eksisi kelenjar keringat axilla. Jika keringat meluas melewati daerah yang ditumbuhi rambut di axilla, incisi beberapa kulit mungkin diperlukan, kadang-kadang menghasilkan suatu bentuk kelenjar parut hipertrofi dan/atau konstriktif.

Simpathectomy

- Prinsip simpatektomi adalah untuk memutus jalur syaraf dan nodus (ganglia) yang mengirim sinyal ke kelenjar keringat. Secara mendasar, ini dapat diterima untuk semua lokasi tubuh, tetapi hanya nodus syaraf dapat merespon kelenjar keringat tapak tangan dan wajah dapat diterima tanpa membutuhkan prosedur pembedahan mayor. Hari ini, pilihan terapi untuk hiperhidrosis telapak tangan dan wajah dari yang cukup sampai yang parah (tetapi juga axilla, khususnya jika dikombinasikan dengan keringat telapak tangan), dibuat dari suatu prosedur pembedahan yang dikenal sebagai simpatektomi thorax dengan endoskopi. Tehnik endoskop invasive minimal ini dikembangkan tahun-tahun belakangan ini pada beberapa rumah sakit di Eropa, menggantikan simpatektomi thorax konvensional. Suatu prosedur yang sangat traumatic yang dilakukan di waktu lalu. Tehnik endoskopi sangat aman, jika dilakukan oleh seorang ahli bedah yang sangat pengalaman pada tipe prosedur ini dan membawa kepada pengobatan definitif yang hampir 100% pasien meninggalkan hanya sedikit jaringat parut di ketiak.

- Orang-orang dengan hiperhidrosis kombinasi dari tapak tangan dan tapak kaki memiliki kesempatan yang baik untuk memperbaiki keringat kaki mereka setelah sebuah operasi ditujukan untuk menekan keringat pada tangan. Hiperhidrosis tangan terisolasi dapat bagaimanapun hanya diobati dengan simpatektomi lumbal. Suatu prosedur membuka abdomen.

- Hiperhidrosis difus dari tubuh atau keringat umum dari seluruh tubuh tidak dapat diobati dengan pembedahan.

Metode Pengobatan Lain

- Pengobatan alternatif

Menurut pengalaman pengarang beberapa pasien dikecewakan dengan pengobatan yang ditawarkan dokter mereka, telah mencoba metode-metode terapi alternatif yang berbeda termasuk homeopathy, masase, akupuntur dan obat-obat fisioterapi. Pada hampir semua kasus tanpa bukti yang nyata.

- Hipnotis

Tidak ada studi sistematik pada metode ini. Beberapa pasien telah mencobanya, melaporkan hasil yang jelek pada hiperhidrosis palmar.

- Toxin Botulinum

Sebuah famili toxin yang diproduksi oleh suatu bakteri yang dikenal sebagai Clostridium botulinum. Toxin ini adalah salah satu dari racun-racun yang mematikan yang pernah dikenal, dicampuri efek substansi transmitter asetil kolin pada synaps (tempat hubungan dari suatu akhiran syaraf dengan sel syaraf lain atau suatu otot) dan membawa paralisis progresif dari semua otot-otot di tubuh, termasuk otot-otot pernafasan. Pada dosis yang sangat rendah, toxin botulinum telah digunakan pada kasus-kasus dimana terlokalisasi hiperaktivitas otot (spasme kelopak mata, torticolli dan sebagainya) dihasilkan pada suatu penurunan dalam transmisi impuls ke otot. Laporan awal telah dipublikasikan berkenaan penggunaan toxin botulinum pada hiperhidrosis. Ini terlihat berhasil dengan adekuat pada hiperhidrosis axilla, habis selama 6-12 bulan tergantung dosis (0,5 – 1,0 unit/cm2)

Suatu kekurangan adalah biaya dari pengobatan ini dimana harus diulang pada interval yang teratur, tetapi efek samping terlihat dapat disepelekan jika dosis dijaga rendah.